.
Oneshot ini adalah spin-off dari oneshot What is Love.
.
.
-o-
Taemin sudah bersumpah tak akan main-main lagi dengan kematian.
Tapi tampaknya – lagi-lagi – ini sebuah pengecualian.
-o-
.
“Katakan, bagaimana aku akan mati?”
Taemin terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap gadis itu sejenak, lalu mencodongkan tubuhnya sambil memamerkan senyum malaikatnya, dan berbisik, “Aku tidak akan memberitahumu. Sayang sekali,
… itu top secret.”
.
***
.
Menjadi sesosok Malaikat Maut bukan hal yang mudah menurut Taemin. Andai ia dapat memilih takdirnya, ia jelas tak sudi menjadi seorang Malaikat Maut. Ia sangat membenci tugasnya ini. Terutama ketika ia harus mendatangi dan mengawasi manusia yang harus dijemputnya sehari semalam sebelum mereka meninggal.
Tsk. Kenapa tidak bisa langsung saja sih, dia datang-jemput-lalu-antar si Calon Nyawa ke Bus Tujuan Akhirat dalam hitungan menit? Kenapa harus seharian penuh mengawasi Calon Nyawa sebelum akhirnya mencabut nyawanya dan mengantar rohnya? Tidak masuk akal.
.
Lalu, Taemin benci karena ia punya kewenangan untuk dapat membaca seluruh kisah kehidupan Calon Nyawa dalam lembaran Buku Kehidupan, yang tebalnya — ia yakin — dapat membuat nyawa manusia manapun akan melayang saat itu juga.
Bukan karena ia malas membuka Buku Kehidupan yang super tebal itu. Bukan.
Ia benci justru karena ia selalu sangat ingin tahu dan selalu penasaran seperti apa kehidupan Calon Nyawa yang akan dijemputnya. Ingin rasanya ia mengutuk rasa penasarannya. Karena setelah tuntas membaca kisah mereka, rata-rata akhirnya ia jadi semacam terenyuh dan tidak tega.
Demi Langit, ia kan Malaikat Maut. Kenapa ia punya hati lembek seperti tofu? Oh, itu kalau ia punya hati. Ia sendiri tak yakin apa Malaikat Maut diberi hati.
Yang jelas ia mudah sekali merasa tidak tega dengan para Calon Nyawa yang harus dijemputnya. Maka dari itu, sebenarnya ia justru senang ketika harus menjemput nyawa orang-orang yang jahat. Tugasnya akan jauh lebih mudah karena tidak ada rasa terenyuh yang menghalanginya.
.
Hal lain yang Taemin benci dalam rangka menjadi Malaikat Maut adalah, ia dapat menampakkan wujudnya di depan Calon Nyawa atau keluarganya. Seharusnya di mata manusia biasa, ia akan tampak seperti seekor kucing hitam. Namun, khusus untuk beberapa ‘orang terpilih’, ia dapat terlihat seperti wujud aslinya. Bahkan ia bisa berkomunikasi dengan mereka.
Dan sayangnya, wujud aslinya tidak menyeramkan seperti dalam dongeng atau mitos yang beredar di kalangan manusia mengenai Malaikat Maut. Ia tidak bertudung, tidak keriput, apalagi bertanduk. Ia jelas tidak berjubah panjang menjuntai seperti penyihir.
.
Bahkan pakaiannya bisa ia ubah sesuka hati. Walau akhirnya, sebagai Malaikat Maut muda, ia memilih untuk mengikuti kebiasaan ribuan Malaikat Maut senior yang memakai setelan jas berwarna monokrom yang menurutnya sangat kaku dan membosankan.
Meski sebenarnya, kalau boleh jujur, ia lebih suka mengikuti tren mode manusia. Pakaian warna-warni itu terlihat lucu di matanya. Tapi apa boleh buat, pada akhirnya ia harus puas mengenakan setelan jas hitam-hitam atau putih-putih agar serupa dengan Malaikat Maut lainnya.
.
Sayapnya transparan, hingga ia benar-benar tampak seperti manusia. Ia juga memiliki wajah yang sama sekali tidak garang.
Oke, wajahnya yang cenderung imut ini menyusahkan. Karena, para ‘orang terpilih’ — yang biasanya adalah Calon Nyawa atau keluarga Calon Nyawa — jadi sama sekali tidak takut melihat penampakannya. Pada akhirnya mereka akan memohon sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
.
Itulah yang membuat Taemin akhirnya mengacaukan tugasnya. Taemin adalah yang termuda di antara para malaikat lain yang bertugas di area Jepang dan Korea.
Si bungsu.
Kali pertama ia mengacaukan tugasnya saat bertugas di Jepang dan masih harus didampingi bertugas oleh keempat kakak yang paling dekat dengannya. Onew, Jonghyun, Key, dan Minho.
.
Taemin mengacaukan semuanya karena dirinya terenyuh mendapati sang ayah yang berprofesi sebagai badut menghibur anaknya yang sakit parah dengan berbagai cara. Bahkan melayangkan seribu balon di penjuru Rumah Sakit.
Sang ayah yang ternyata bisa melihat wujud Taemin, menangis dan memohon padanya agar ditukar nyawa dengan sang anak. “Istriku sangat depresi dan aku tidak mau membuatnya bersedih. Anakku sangat pintar, masa depannya cerah. Kumohon, sebagai gantinya bawa saja aku pergi.”
Bagaimana mungkin Taemin tidak luluh?
.
Alih-alih membawa sang anak, Taemin akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permohonan sang ayah, menjemput sang ayah sebagai gantinya, dan mengantarkannya ke Bus Tujuan Akhirat yang membawanya alam baka sana. Taemin menukar sisa nyawa sang ayah pada sang anak. Membuat cetak biru Buku Kehidupan berubah.
.
Membuat keempat kakaknya kelimpungan memikirkan bagaimana menyelamatkan Taemin dari hukuman, dan membuat akhirnya keempatnya berlutut bersaksi membela Taemin ketika Taemin harus menghadapi Pengadilan Penghukuman Para Malaikat.
Beruntung ia tidak dijebloskan ke Neraka karena melanggar aturan yang ditetapkan atau turun kasta jadi makhluk mortal dan dilempar ke bumi untuk selamanya. Taemin akhirnya mendapat hukuman skorsing selama beberapa bulan dan mendapat kesempatan tetap bertugas sebagai Malaikat Maut dengan syarat pengawasan yang ketat dari keempat kakaknya.
.
***
.
Setelah seratus penjemputan dan pengantaran nyawa yang sukses, mati-matian mengenyahkan rasa tidak tegaan yang bersarang di hatinya, akhirnya Taemin dengan bangga menunjukkan dirinya tak membuat masalah. Akhirnya ia diberi kepercayaan penuh untuk bertugas sendirian.
Taemin sama sekali tidak menyangka bahwa justru di saat pertama kali ia bertugas sendirian, kekacauan yang kedua datang.
Kali ini di Korea Selatan.
.
Taemin tak tega ketika mendapati seorang kakak yang memohon padanya untuk ditukar nyawanya demi sang adik pada sebuah kecelakaan.
Yang ini lebih parah. Karena kejadiannya sudah terjadi. Taemin bahkan sudah siap mengantar — ia ingat betul nama sang adik, Oh Sehun — untuk menuju bus yang akan membawanya ke Alam Baka — ketika tiba-tiba sang kakak bersimpuh di hadapannya.
Memohon dengan sangat, dengan berurai air mata, dan menjelaskan bahwa ia sangat menyayangi adiknya, bahwa adiknya akan tes masuk sekolah impiannya, dan ia ingin adiknya itu berhasil. Padahal hubungan kakak-adik itu adalah saudara tiri. Membuat Taemin akhirnya terenyuh dan mengabulkan permohonan sang kakak.
Taemin juga ingat betul nama sang kakak, Kim Jongin. Oh ayolah, bagaimana kau bisa melupakan manusia yang membuatmu memutuskan untuk mengacaukan tugasmu sendiri dan beresiko dipecat dari jabatan Malaikat?
.
Dan karena kejadian kecelakaan itu sudah terjadi, Taemin akhirnya mengantar sang kakak ke tempat Penyihir Putih yang punya kuasa mengabulkan permohonan yang dilandasi oleh hati yang murni dan punya alat sihir untuk memutarbalikkan waktu.
Membuat Taemin akhirnya jadi melibatkan Penyihir Putih.
.
Yang tidak Taemin duga adalah, Penyihir Putih yang luar biasa baik hati itu mengajukan diri bersaksi membela Taemin — keempat kakaknya juga kembali ikut andil membela si bungsu ini — di hadapan Hakim Pengadilan Para Malaikat. Lelaki tua itu bahkan bersedia ikut menerima hukuman asalkan Taemin tidak dipecat dari status malaikatnya atau tidak diturunkan derajatnya dengan dilempar ke bumi menjadi makhluk mortal.
Taemin akhirnya lolos dari hukuman maut, dan ‘hanya’ mendapat hukuman pengasingan tanpa kekuatan selama tiga tahun — yang berarti entah berapa juta tugas yang ia harus lewatkan — sebelum akhirnya kembali ditugaskan.
.
Membuat keempat kakaknya akhirnya bersumpah bahwa mereka tidak akan membela Taemin lagi jika ia lagi-lagi melanggar aturan. Sama seperti Taemin yang bersumpah tidak akan bermain-main lagi dengan kematian. Bahkan ia bertekad tidak akan menyentuh Buku Kehidupan agar tidak terenyuh pada kisah para Calon Nyawa, dan akan mengawasi Calon Nyawa dari tempat paling jauh, sejauh yang ia bisa.
.
Namun takdir berkata lain.
Setelah beberapa bulan dengan sukses menjalankan tugasnya tanpa mengubah satu pun takdir seluruh Calon Nyawa bagiannya, ia mendapat ujian. Tugasnya kali ini, sepertinya … lagi-lagi adalah pengecualian.
.
.
***
.
.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari gadis itu. Shin Minra namanya, berdasarkan informasi dari lembaran daftar Calon Nyawa yang ia terima. Selama seharian dari mulai pagi tadi hingga sore ini Taemin mengawasinya.
Gadis itu sejak pagi hanya berjalan sendirian, keluar masuk berbagai toko buku, membeli makan, lalu akhirnya masuk ke kafe ini, duduk membaca buku. Kemudian fokus mengetik sesuatu di layar laptopnya hingga berjam-jam lamanya.
.
Namun, ketika Taemin memperhatikannya, ada sesuatu yang mengusiknya. Ketenangan gadis itu luar biasa. Gadis itu diliputi aura ketenangan dan kesendirian yang membuatnya takjub. Perpaduan antara keindahan dan misteri …
oke baiklah, Taemin mengaku, gadis itu indah. Berbeda.
Taemin juga tidak melihat satupun manusia lain yang berhubungan dengan gadis itu sama sekali. Padahal biasanya Taemin akan berurusan dengan keluarga atau orang-orang terdekat dari Calon Nyawa-nya. Membuatnya penasaran dan sedikit menyesal tidak membawa Buku Kehidupan dan meninggalkan buku itu di Atas sana.
.
“Pakaianmu aneh.”
Gadis di hadapannya tiba-tiba bersuara. Pelan, namun tatapannya tertuju langsung pada Taemin yang sedari tadi berdiri bersandar pada dinding dengan tangan bersedekap di dada. Taemin tersentak. Ah, gadis ini ternyata bisa melihatnya.
Shin Minra menempelkan ponsel di telinga kanannya sementara sebelah tangannya menopang dagu.
.
Gadis cerdik. Pura-pura sedang menelepon, padahal jelas-jelas matanya tertuju pada Taemin, agar orang-orang di sekeliling mereka tidak menganggapnya gila dan mengusirnya karena bicara seorang diri.
Sejak kapan gadis itu menyadari kehadirannya?
Taemin sudah hampir buru-buru menyingkir – karena ia sudah kapok dan malas berurusan dengan Calon Nyawa yang bisa melihatnya dan berkomunikasi dengannya – ketika didengarnya gadis itu bertanya lagi.
.
“Bukankah kau bermaksud menjemputku? Apa itu berarti aku juga harus ikut pergi denganmu sekarang?”
Taemin terdiam. Belum pernah ada Calon Nyawa yang bisa melihatnya dan bertanya terang-terangan dengan nada santai-separuh-menantang semacam itu.
.
“Kau malaikat maut, kan?” Minra bertanya lagi ketika mendapati Taemin tidak menjawab pertanyaannya tadi.
.
“Bukan, aku hanya pengunjung. Aku akan pergi. Mari.” Taemin mencoba bersikap formal dan membungkuk untuk pamit, ketika gadis itu menyelanya lagi.
“Kau pasti malaikat maut. Karena tidak mungkin ada orang datang ke kafe ini, berpakaian hitam-hitam,” Minra mengibaskan tangan di udara sekilas menunjuk pakaian yang dikenakan Taemin, “lalu berdiri di sudut ruangan tanpa membeli apapun, dan hanya memandangiku selama berjam-jam.” Gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe. “Kurasa seluruh orang di kafe ini tidak ada yang bisa melihatmu.”
.
Uh oh. Oke. Masuk akal. Yeah, mana dia tahu kalau gadis itu ternyata bisa melihatnya? Kalau dia tahu, tentu dari awal ia akan bersembunyi entah di balik tiang listrik atau kolong meja, asalkan Calon Nyawa-nya ini tidak melihatnya.
.
Taemin akhirnya kembali bersandar pada dinding dan bersedekap memandang gadis itu. “Kalau aku mengaku bahwa aku malaikat maut, apa kau tidak takut?”
Minra terkekeh pelan. Seperti geli. “Kau punya muka yang sangat imut untuk ukuran malaikat maut. Bagaimana aku bisa takut?”
Tsk. Gadis ini pasti termakan mitos bahwa Malaikat Maut punya tampang mengerikan. Padahal kan kami semua tampan. Taemin mengerutkan kedua alisnya, tanpa sadar mengerucutkan bibirnya. Ekspresinya itu malah membuat gadis itu makin terkikik geli.
“Kau lucu.”
Taemin bahkan tidak tahu harus bereaksi apa mendengar komentar gadis itu barusan. Baru kali ini ada Calon Nyawa yang menertawainya dan menyebutnya lucu.
.
Lalu tiba-tiba gadis itu kembali memasang tampang serius. “Oke, katakan, bagaimana aku akan mati?”
Taemin terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia menatap gadis itu sejenak, lalu mencodongkan tubuhnya sambil memamerkan senyum malaikatnya, dan berbisik, “Aku tidak akan memberitahumu. Sayang sekali,
… itu top secret.”
.
Minra menghela napas. Tidak puas. Lalu menelengkan kepalanya sembari berpikir. “Apa aku sakit jantung? Atau penyakit mendadak lainnya? Sebab seingatku aku sehat-sehat saja. Bahkan hari ini aku merasa sedang sangat fit.”
Taemin mengamati gadis yang sedang berbicara sendiri di hadapannya itu dengan separuh takjub. Bagaimana mungkin gadis ini berbicara tentang menyambut kematian seperti berbicara tentang memilih makanan? Ia tampak sama sekali tidak takut.
Luar biasa.
.
Membuatnya akhirnya melontarkan satu pertanyaan dari ribuan pertanyaan yang mengganjal pikirannya. “Kulihat kau seharian ini tidak bertemu dengan siapapun. Apa kau memang suka jalan sendirian seperti ini?”
Minra tersenyum, berbisik mengutip sebuah quote yang disukai gadis itu, “The soul that sees beauty may sometimes walk alone.”
.
Taemin terdiam menatapnya sejenak. Gadis ini berbeda.
Detik itu Taemin sadar, ia akan terjebak dalam pelanggaran tingkat dewa. Mampuslah ia.
Mungkinkah Malaikat Maut bisa jatuh hati pada Calon Korban-nya?
.
Buru-buru diusirnya perasaan anehnya itu, lalu sebuah cengiran menghiasi wajah Taemin. “Oke, berarti yang kau maksud dengan keindahan itu … aku? Karena kau bisa melihatku, kan?”
Minra memutar bola mata. “Ya ya ya. Terserahlah … ah, siapa namamu? Apakah malaikat punya nama?”
.
Taemin tersenyum geli mendengarnya. Baru kali ini ada yang menanyakan namanya. Sejenak ia menimbang-nimbang. Sebenarnya percuma juga ia memberi tahu namanya. Toh gadis ini akan pergi. Tapi, tidak ada salahnya ia jujur menjawab pertanyaan gadis ini. Baru pertama ini ia mengobrol dengan Calon Nyawa tanpa bumbu permohonan dan airmata.
“Taemin.”
.
Gadis itu menyemburkan tawa, lalu tersadar orang-orang menoleh padanya. Buru-buru ia sembunyikan wajahnya di balik laptop, pura-pura mengetik.
“Kenapa?” Taemin masih tidak habis pikir apa yang lucu dari namanya hingga membuat gadis itu menyemburkan tawa.
.
Gadis itu masih menahan tawa. “Taemin? Kenapa namamu sangat Korea? Apakah kau juga punya marga? Bukankah malaikat harusnya punya nama seperti Gabriel, Izrael, Azriel, Hazael, atau semacamnya?”
.
“Kau kebanyakan membaca dongeng,” putus Taemin separuh kesal. “Kami dinamai sesuai dengan daerah tugas kami. Karena aku bertugas di Jepang dan Korea, begitulah namaku. Dan tidak, aku tidak punya marga. Iya, namaku hanya Taemin dan aku bukan manusia. Terima kasih.” Taemin menjawab dengan defensif, masih kesal karena gadis itu masih tertawa geli.
.
Minra mengangkat tangan. “Hei, hei. Aku cuma bercanda. Oke?” Gadis itu masih mengulum senyum, sambil meraih gelas di sampingnya, meski matanya terus menatap Taemin. “Aigoo~ ekspresimu lucu sekali.”
.
Taemin memilih mengabaikan komentar gadis itu dan bertanya, “Tidak ada yang mau kaupamiti atau semacamnya?”
Gadis itu hampir tersedak green tea latte yang sedang disesapnya. “Apa kau menyuruhku untuk meninggalkan kata-kata terakhir atau semacamnya?”
.
Taemin hanya mengangkat bahu. “Aku hanya mencoba untuk memberimu kesempatan. Jarang ada yang punya kesempatan emas seperti ini. Sebagian besar manusia tidak mengetahui kapan ia akan dibawa pergi. Mereka tidak punya kesempatan mengucapkan salam perpisahan pada orang-orang yang mereka sayangi. Kau beruntung, bukan?”
Gadis itu hanya tersenyum tipis, pandangan matanya meredup. “Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya.”
.
Oh tidak. Ini dia. Taemin tidak akan sampai hati pada gadis ini, lalu dia akan memikirkan cara agar gadis ini tidak jadi mati … tidak, tidak. Tidak boleh. Kali ini dia harus tega.
Baru saja Taemin ingin bertanya lebih lanjut mengenai orang tua atau orang-orang terdekat gadis itu, ketika Minra mengangkat tangan karena berjengit kaget.
Gadis itu tersentak karena earphone yang ia pasang di telinganya, sebagai ganti karena pegal memegangi ponsel di telinganya, tiba-tiba memekikkan dering yang menandakan ada panggilan masuk.
.
Minra melirik Taemin sejenak seolah memberi kode bahwa pembicaraan mereka akan terinterupsi sejenak oleh panggilan masuk itu, yang dibalas dengan anggukan singkat oleh Taemin.
Gadis itu berbicara pada ponselnya. “Ada apa, Sehun~ah?”
.
Taemin terhenyak. Sehun?
Hmm… tapi mungkin bukan Sehun yang itu. Tidak mungkin Calon Nyawa-nya kali ini berhubungan dengan Calon Nyawa yang dulu ditolongnya atas permintaan sang kakak.
Taemin memang sudah bersumpah tidak membaca Buku Kehidupan agar tidak terdistraksi dengan kisah para Calon Nyawa. Jadi, ia benar-benar tidak tahu menahu kehidupan Minra selain hanya namanya dan posisinya sekarang.
Tapi Oh Sehun … tidak mungkin ada hubungannya, kan?
.
Ketika Minra memutus sambungan teleponnya, Taemin langsung menodongnya dengan pertanyaan. “Barusan itu bukan Oh Sehun, kan?”
Giliran Minra yang terhenyak. “Whoa~ Daebak! Apa kau bahkan bisa melihat dengan siapa aku berbicara di telepon?”
.
Oke, mungkin ada banyak manusia bernama Oh Sehun di dunia ini. Taemin mencoba menenangkan perasaannya sendiri.
“Bu–bukan adik dari Kim Jongin, kan?”
.
Mendengar nama Kim Jongin disebut, mendadak ekspresi Minra berubah. Wajahnya dan sinar di matanya tiba-tiba meredup. Raut mukanya menjadi sangat … bersedih?
“Jangan bilang kau yang mencabut nyawanya.” Gadis itu mengucapkannya dengan lirih. Taemin bahkan bisa mendengar getaran dalam suara gadis itu ketika mengatakannya. Membuat Taemin membeku seketika.
.
Demi Langit, dari seluruh manusia yang harus dicabut nyawanya, mengapa dirinya kebagian tugas mencabut nyawa manusia yang berhubungan dengan kasus-yang-membuatnya-menerima-hukuman-pengasingan itu? Ujian apalagi ini?
Apakah ini permainan takdir? Yang sengaja memperingatkannya agar tidak bermain-main dengan kematian lagi? Agar tidak tergoda untuk menolong gadis di hadapannya ini?
.
Taemin mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia bahkan tidak mau tahu apa hubungan gadis ini dengan Kim Jongin dan Oh Sehun. Namun, nada sedih dan perih yang terpancar dari ucapan gadis itu jelas membuatnya resah. Seolah dari caranya berbicara saja, dapat memastikan bahwa sepertinya gadis ini kemungkinan punya hubungan istimewa dengan Kim Jongin.
.
Dipandangnya Minra lekat-lekat. Taemin harus membuat keputusan. Dia tidak boleh goyah. Waktu gadis itu akan habis. Sebentar lagi akan terjadi.
Gadis ini sepertinya memang sudah tidak punya siapa-siapa. Mungkin karena itulah gadis ini begitu pasrah dan tenang dalam menyambut kematiannya. Tidak seperti Calon Nyawa lain – yang bisa melihatnya – akan langsung panik ketakutan dan memohon-mohon pada Taemin.
.
Gadis ini sudah pasrah. Jadi bukankah seharusnya Taemin bisa dengan tenang mencabut nyawa gadis ini?
Namun kenapa Taemin justru resah? Kenapa seperti ada suara dalam dirinya yang menyuruhnya untuk menolong gadis ini? Bahwa gadis ini masih sangat layak untuk meneruskan hidup.
Tapi nyawa siapa yang akan ditukarnya sekarang? Gadis ini bahkan tidak punya seorang pun kerabat yang memohon untuk ditukar nyawanya.
Gadis ini benar-benar sendiri dan penuh misteri.
.
Mereka berbincang-bincang lagi dengan pelan selama beberapa lama hingga akhirnya Minra berdiri dari sofa dan membereskan semua peralatan yang berserakan di mejanya. Mulai dari buku, ponsel, hingga laptop, semua dimasukkannya ke dalam ranselnya yang besar.
“Aku mau pulang. Sudah mau tutup kafenya.”
.
Taemin mengeluarkan sebuah arloji kuno dari saku jasnya. Ah sudah waktunya.
.
“Jadi, kau masih tidak mau memberitahuku kapan dan bagaimana aku akan mati?”
Taemin tidak mampu menjawab, ia hanya menatap gadis itu, lalu bertanya, “Kalau kau punya kesempatan untuk terus hidup. Kau ingin melakukan apa?”
.
Minra tertegun sejenak. Sama sekali tidak menyangka akan ditanyai semacam ini. Mereka berdua berjalan ke luar kafe. “Hmm.. entahlah. Aku baru saja lulus, mungkin aku akan mencari kerja, sambil terus berkarya dan berbagi ilmu melalui tulisan-tulisanku. Karena tulisan akan abadi meski aku sudah tidak ada di dunia ini. Lalu, mungkin kalau aku beruntung, aku akan bertemu dengan jodohku, menikah, dan punya anak.”
“Kau tidak punya kekasih atau orang yang sangat berarti bagimu?”
.
Dalam keadaan normal, mungkin pertanyaan to the point dari Taemin akan membuat gadis manapun tersinggung. Namun, Minra sama sekali tidak terlihat tersinggung. Pertanyaan itu justru seolah menenggelamkan gadis itu dalam lautan kesedihan.
Hening lama, hanya bunyi langkah Minra dan lalu-lalang kendaraan di jalanan, sebelum gadis itu akhirnya menjawab. “Punya, dulu. Ketika aku masih SMA, hingga aku masuk kuliah tingkat pertama, lalu dia …”
Minra menelan ludah, tidak mampu meneruskan. Gadis itu mendongak dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu memandang traffic light. Kilatan matanya yang menunjukkan luka membuat Taemin sudah bisa menebak jawabannya.
Jadi dugaannya tentang Kim Jongin tadi benar.
.
…
…
.
Mereka melanjutkan berbincang-bincang sembari menunggu lampu di persimpangan jalan menjadi hijau untuk pejalan kaki.
Lampu berkedip hijau.
Minra melangkahkan kaki untuk menyeberang, lalu tiba-tiba Taemin tersenyum padanya. “Sampai jumpa lagi.”
.
Minra tertegun. Semuanya terjadi begitu cepat. Yang Minra lihat terakhir adalah sinar menyilaukan dari lampu kendaraan besar, beserta klakson nyaring yang memekakkan telinga. Gadis itu menutup matanya.
Ah, jadi ini caraku mati.
.
.
***
.
.
Cahaya putih menyilaukan matanya. Gadis itu mengerjap. Sekali. Dua kali. Hingga matanya terbiasa dengan bias mentari yang masuk melalui jendela …
… kamarnya?
Gadis itu terkesiap, memandang sekitarnya dengan liar. Tidak mungkin. Seharusnya dirinya sudah mati kan?
Seharusnya ia sudah diantar oleh Malaikat Maut … oleh Taemin. Seharusnya kemarin ia tertabrak entah kendaraan besar apa di jalan. Bahkan suara klakson kendaraan tersebut masih berdenging jelas di telinganya.
.
Lalu, mengapa ia sekarang berada di kamarnya?
Dirabanya seluruh permukaan badannya. Baik-baik saja. Tanpa sehelai rambut pun yang terluka. Mendadak ada gema dalam kepalanya.
.
.
“Kenapa kau bertanya apa yang ingin kulakukan jika aku bisa meneruskan hidup? Memangnya kematianku bisa kautangguhkan?”
“Well, aku tahu sebuah cara rahasia.”
“Tapi bukankah tadi kau cerita bahwa bermain dengan kematian itu melanggar aturan? Bukankah kau bilang Malaikat akan kena hukuman jika melanggar aturan?”
“Hmm.. seperti yang kubilang, aku tidak akan memberitahumu. Itu rahasia.”
“Tidak, Taemin. Jangan lakukan apapun yang sedang kaupikirkan. Jangan.”
.
.
Terngiang kembali percakapan semalam yang terjadi antara dirinya dan Taemin. Seketika sebuah pemahaman menghantam benaknya. Membuatnya mencelos dan matanya berkaca-kaca seketika.
Oh tidak. Tidak …
Ya Tuhan … dia benar-benar melakukannya.
.
.
.
~
.
.
“Taemin. Dengan ini kau dijatuhi hukuman. Pencabutan status Malaikat Maut. Diturunkan ke bumi. Menjadi manusia mortal dengan ingatan yang dihapuskan. Memorimu tentang gadis, yang kautangguhkan kematiannya hingga ia tua itu, akan musnah.
Kau mungkin akan bertemu dengannya lagi. Namun, kau tidak akan mengenalinya. Kau tidak akan ingat tentang seluruh masa lalumu maupun tugas-tugasmu saat menjabat sebagai Malaikat Maut.
Kau akan menjadi seorang pemuda dengan seluruh memori yang baru. Seluruh kekuatan, keabadian, dan kekuasaanmu sebagai Malaikat Maut dengan ini resmi dicabut.”
.
.
.
-o-
Bagiku, ada yang lebih berharga dari sebuah keabadian.
Ini sebuah pertukaran. Sesuatu yang kupertaruhkan.
Mungkin suatu saat nanti, kita akan berjumpa lagi, bersisian di suatu persimpangan jalan.
-o-
.
.
.
.
.
*terinspirasi dari MV berikut ini . Tapi aku interpretasikan dan aku kembangkan sesuai versiku sendiri. Hehe.
Penyihir Putih terinspirasi dari wujud Gandalf The White milik JRR. Tolkien dan Dumbledore milik JK. Rowling.
Sedangkan sebutan lain seperti Buku Kehidupan, Bus Tujuan Akhirat, Calon Nyawa, dan sebagainya itu murni rekaanku sendiri. Cerita ini murni AU Fantasy. Jadi, jangan dipikirkan secara logika. Nikmati saja ya ^^
Selamat menikmati! ^^
.
.
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Jongin, Lee Taemin, Oh Sehun
