Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Forsaken – Chapter 12

$
0
0

forsaken1

-

“Aku pernah punya adik perempuan, namanya Lian.” Luhan tiba-tiba bercerita.

Pernah?

Saat itu hujan salju sedang deras-derasnya, terus-menerus sepanjang pagi dan tidak berhenti bahkan saat matahari hendak tenggelam. Badai salju tengah melanda kota-kota di daerah pantai timur laut Amerika, menyebabkan sekolah-sekolah diliburkan di banyak tempat.

Mereka berdua duduk di pinggir kamar tidur Soojung, bersandar pada bantal di tiap sudut sofa buatan di sisi jendela, menatap titik-titik es yang menginvasi halaman rumah mereka dengan brutal. Soojung mengangkat kepala dari laptop di pangkuannya, konsentrasinya buyar seketika mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Luhan.

Saat itu pertama kalinya dia mendengar Luhan bicara tentang saudara perempuannya, dia mengira Luhan anak tunggal.

“Di mana dia sekarang?” adalah pertanyaan pertama yang Soojung tanyakan begitu mendengar fakta itu terlontar.

Luhan berhenti memainkan gundam yang pagi itu baru selesai dia rakit, menarik kakinya yang terjulur berlawanan dengan Soojung, kemudian menegakkan duduknya dengan kedua kaki yang terlipat.

“Entahlah.” Anak laki-laki itu menjawab. Kedua bahunya terangkat, lalu menoleh keluar jendela. Luhan bermain dengan jendela selama jeda yang agak lama menjawab pertanyaan Soojung, mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaca dan membiarkan dia menunggu selama hampir semenit sebelum melanjutkan jawabannya.

“Saat itu musim dingin, seperti saat ini…” Luhan mengangkat kepalanya menatap langit di luar jendela, “Umurnya dua tahun, dan dia sudah bisa memanggil namaku.”

Soojung memberikan seluruh fokus perhatiannya pada Luhan saat itu. Dia menatap anak laki-laki itu diam, seperti tengah mengingat sesuatu yang telah lama terjadi. Sesuatu pada ekspresi Luhan memberitahu Soojung bahwa anak itu tampak terluka. Entah karena apa, dia sabar menunggu hingga Luhan menceritakannya.

Dan rasanya lama sekali mereka hanya diam dalam posisi seperti itu. Luhan tidak pernah terlihat seperti itu sebelumnya, tiba-tiba murung seolah ada sesuatu yang tengah menyakitinya. Sebuah kekuatan yang menggerogoti kesadaran anak itu dari dalam dirinya.

“Sudah lama sekali. Sore hari saat hujan salju sederas ini dia menangis. Dad membawanya pergi, katanya ke rumah sakit, lalu sejak itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Dia—“ Luhan menarik napas dalam, “Menghilang. Begitu saja.”

“I’m sorry.” Soojung tidak tahu harus mengatakan apa lagi selain satu kalimat itu. Dia sudah mendengar cukup banyak cerita tragis di kehidupan Luhan, tentang ibunya yang mengalami gangguan jiwa dan ayahnya yang dengan mudah melayangkan tangan padanya, dan saat itu ditambah lagi dengan sebuah kisah baru yang tidak kalah mencengangkan.

Rasanya Soojung ingin menangis mendengarnya.

Tapi Luhan tidak mempermasalahkannya, anak itu mengulas senyum kecilnya, kemudian tertawa tanpa suara.

“Kalau Lian sudah cukup besar, aku ingin bermain salju dengannya. Dulu itu yang kupikirkan. Aku ingin mendorong kereta saljunya, lalu mengajarinya berseluncur.”

Soojung mengikuti arah tatapan mata Luhan keluar jendela. Salju masih turun dengan deras di luar, menciptakan gunungan es yang makin tinggi di halaman rumahnya. Tapi dia berpikir, dia berjanji, bila salju sudah reda, dia akan mengajak Luhan bermain es bersama. Mereka akan berseluncur, dan Soojung akan membiarkan Luhan mendorong kereta saljunya seperti yang anak laki-laki itu inginkan. Karena dia telah menganggap Luhan seperti saudaranya sendiri, dan dia berharap Luhan pun menganggapnya demikian.

 

* * *

“Han Soojung, kau sudah menggendongnya hampir satu jam, sekarang giliranku.”

Soojung menghela napas panjang saat Chanyeol mendekatinya lagi. Anak laki-laki itu telah mengatakan hal yang sama setidaknya 12 kali selama setengah jam ini, dan Soojung hampir bosan mendengarnya.

Dia tahu bahwa Chanyeol sudah tidak sabar untuk bisa menggendong Luhan. Sejak bayi kecil itu lahir, Chanyeol hampir tidak pernah memiliki waktu untuk bisa melihat Luhan karena jadwal latihan predebutnya yang semakin ketat.

Chanyeol tidak datang ketika ibunya dibawa ke rumah sakit, lelaki itu hanya melihat wajah Luhan dari gendongan ayahnya dari sambungan video call yang Soojung inisiatifkan setelah makhluk kecil itu dibawa dari ruang bayi. Chanyeol tidak pernah mengatakan hal ini sebelum Luhan benar-benar ada, tapi Soojung yakin lelaki itu antusias dengan kehadiran adik kecil mereka, pada akhirnya.

Dan selama dua hari ini, di akhir minggu yang tenang, dua remaja dewasa itu tidak berhenti berkelakar dan berebut menggendong si makhluk kecil. Chanyeol meributkan Soojung yang tidak bersedia membagi Luhan dengan dirinya,  sementara seharusnya Soojung mau mengalah karena dia sendiri yang tidak punya banyak waktu di rumah dan menghabiskan hari bersama keluarganya. Chanyeol bersikeras selama akhir minggu itu, bahwa dia yang paling berhak bersama Luhan,

‘Tidak setiap hari aku bisa libur begini, menyingkirlah.’ Ujarnya beralasan.

Soojung tidak pernah mau kalah dalam situasi seperti ini. Dia tahu yang dilakukannya kekanak-kanakan, tapi dia berpikir dirinya yang lebih berhak menggendong Luhan, karena dia lah kakak kandung Luhan. Sejak fakta tentang adopsi Chanyeol bukan lagi menjadi rahasia di dalam keluarganya, Soojung tidak pernah segan lagi membahasnya, dan menjadikannya alasan utama untuk membuat Chanyeol diam.

Status keberadaan Chanyeol menjadi semacam lelucon pribadi mereka berdua, tapi satu-satunya alasan Soojung memakainya sebagai senjata hanyalah karena Chanyeol sama sekali tidak keberatan, dan menertawai lelucon ini. Kadang lelaki itu jengkel, dan Chanyeol tidak lagi ragu memukul Soojung bila gadis itu sudah membuatnya jengkel.

Bila keadaan sudah mulai panas di antara mereka berdua, maka yang bisa memisahkan mereka berdua hanyalah ayahnya. Pria itu akan mengambil Luhan, dan melarang mereka berdua untuk mendekati si makhluk kecil. Ayahnya menghukum mereka dengan menyuruh keduanya kembali ke kamar dan tidak diperbolehkan keluar sebelum dipanggil.

Soojung benci sekali dengan hukuman itu, begitu juga Chanyeol. Jadi untuk menghindari hal semacam ini lagi terjadi, Soojung pun mengalah. Dia menyentuh lembut pipi Luhan dengan jari telunjuknya, mengecup selimut yang membungkus bayi itu di sisi kepalanya, dan memberikannya pada Chanyeol.

“Hati-hati, ini bukan mainan, jangan dijatuhkan.” Ujarnya memperingatkan.

Chanyeol memutar bola mata mendengar kalimatnya. Lelaki itu tahu Soojung menggodanya dan dia mengangkat tangannya yang mengepal bersiap memukul. Soojung mundur beberapa langkah dan menjulurkan lidah.

Lelaki itu tidak pernah menggendong bayi seumur hidupnya hingga dua minggu yang lalu. Soojung ingat bagaimana canggungnya Chanyeol menggendong Luhan untuk pertama kalinya saat itu, lelaki itu jelas tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan lebih parahnya lagi, Chanyeol adalah seseorang yang mudah panik, dan bila sedang panik, lelaki itu akan berteriak. Suaranya yang membahana membuat Luhan terkejut, dan mungkin syok, hingga bayi kecil yang malang itu tidak bisa berhenti menangis sepanjang malam. Saat itu jelas bukanlah malam yang tenang bagi keluarga mereka.

Soojung mengedarkan pandangannya pada hiasan dinding di kamar Luhan, masih belum puas memuji dirinya sendiri akan kreatifitas yang dituangkannya dalam mewarnai ruangan itu. Seminggu sebelum Luhan lahir, Soojung mengajak Chanyeol untuk memberi kejutan pada ibu. Bersama ayah, mereka bertiga berbelanja barang-barang yang dibutuhkan untuk kamar bayi.

Dia membeli berbagai macam macam wallpaper—memilih model pohon dengan sulur-sulur berujung kotak persegi panjang yang berfungsi sebagai frame foto polaroid, garis tanda nada, kartun bayi cupid, dan juga semacam permukaan air laut dengan ikan lumba-lumba yang melompat ke atas udara. Chanyeol memprotes pilihannya yang menurut lelaki itu tidak sesuai dengan umur, tapi Soojung membantahnya. Setidaknya dia tidak memilih untuk membeli kuda-kudaan kayu bergoyang. Demi Tuhan, Luhan mungkin baru bisa menaikinya setelah umurnya di atas empat tahun.

Tapi setidaknya itulah yang bisa Soojung maupun Chanyeol lakukan untuk kedua orangtua mereka. Ayah maupun ibunya bukan lagi pasangan muda, dan sebahagia dan seantusias apapun ayahnya akan kehadiran putra kecilnya, Soojung tahu kekuatan mereka tidak lagi sebesar dulu, karena itulah dia menawarkan diri untuk mengurusi segala yang mereka butuhkan untuk mempersiapkan kamar si bayi. Lagipula ini untuk Luhan, dan Soojung tidak keberatan melakukan apapun untuk Luhan, bahkan bila dia harus diperbudak sekalipun. Dan begitulah dia menikmati liburan musim panasnya tahun ini, liburan terbaik yang pernah dia lalui selama ini.

Soojung keluar dari kamar ketika mendengar Yerin memanggil mereka. Ibu memotongkan melon dan semangka untuk mereka, dan Soojung membawanya ke halaman belakang, bergabung bersama Baekhyun yang tengah duduk berjemur di bawah matahari.

“Park Chanyeol masih bersama Luhan?” Baekhyun bertanya seraya menggigit sepotong melon.

Aa. Kau tidak akan melihatnya sampai makan malam nanti, bila sudah bersama Luhan anak itu bisa lupa waktu.”

Baekhyun tergelak mendengarnya. Mungkin mereka sedang memikirkan hal yang sama saat ini, bagaimana dulu Chanyeol kalang kabut dan tampak uring-uringan ketika pertama kali mengetahui ibunya tengah hamil, dan sekarang dia berubah menjadi kakak laki-laki yang tidak ingin berpisah jauh dari adik kecilnya.

“Manis sekali,” ujar mereka bersamaan, dan kembali tertawa.

“Chanyeol tidak punya keluarga lain sekali ibunya. Dalam beberapa bulan saja dia mendapatkan kau, ayahmu, kemudian sekarang Luhan. Kalau aku jadi dia, mungkin aku pun akan syok berat.” Soojung mendengar Baekhyun berkomentar, “Tapi tidak kusangka si brengsek itu memiliki sisi lembut semacam ini dengan bayi, anak itu kan penakut.”

Soojung tidak berkomentar meresponnya, dia hanya tersenyum kecil seraya mengamini kecenderungan Chanyeol yang takut dengan banyak hal dan menertawainya di dalam hati. Dia mengangkat kepalanya, membiarkan matahari menghangatkan wajahnya. Di rumahnya matahari tidak memberikan efek panas yang serupa seperti di tengah kota, karena itu kehangatan ini pas sekali untuk berjemur.

Untuk beberapa saat Soojung hanya diam pada posisinya, mendengarkan Baekhyun mengomentari suasana dan udara di sekitar rumahnya, juga bagaimana akan lebih menyenangkan bila saja Minhyuk dan Jaejin ada bersama mereka saat ini, hingga akhirnya mereka bicara tentang kewajiban para laki-laki ini untuk bergabung dalam latihan militer.

Baekhyun ternyata memiliki riwayat penyakit asma akut, yang membuatnya harus menunda wajib militer hingga dinyatakan cukup aman untuk bisa bergabung.

“Tapi mungkin bisa jadi aku tidak akan bergabung dengan pasukan aktif untuk selamanya, mereka memberiku pilihan untuk bertugas di pelayanan sosial. Aku berencana untuk melapor lagi tahun depan.” Ujarnya.

Soojung baru menyadari bahwa Chanyeol sudah cukup umur untuk melapor tahun lalu, tapi karena statusnya masih pelajar SMA, dia harus menunda wajib militernya hingga lulus sekolah. Seharusnya Chanyeol sudah diharuskan untuk bergabung dengan barak awal tahun ini, tapi sepertinya dia akan menunda kewajibannya lebih lama dengan rencana debutnya akhir tahun nanti.

“Ah, Han Soojung, kau tahu sesuatu tentang Daehoon Entertainment?”

“Daehoon Entertainment?” Soojung menoleh, mengerutkan dahinya ketika Baekhyun menanyakan sebuah nama yang belum pernah dia dengar. Maka dia menjawabnya dengan gelengan tidak tahu. “Kenapa dengan Daehoon Entertainment?”

Baekhyun mengerlingkan matanya dengan bibir yang mengerucut, seolah tengah menimbang sesuatu. “Beberapa hari yang lalu ada seseorang yang mendatangiku dan Yerin di Kona Beans. Dia mengaku sebagai pencari bakat dari satu agensi ini, dan menawarkan kerjasama supaya Bogotda bisa debut.”

“Lalu apa katamu?”

“Aku tidak bilang apa-apa. Yerin tidak terlalu yakin karena kami tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya, tapi orang itu berusaha meyakinkan kami bahwa agensinya adalah anak perusahaan Woolim.”

“Woolim?”

“Woolim Entertainment, kau tahu? Infinite?”

Soojung membuka mulutnya mendengungkan huruf ‘A’ panjang dan mengangguk saat mulai mengerti agensi yang Baekhyun maksud. Hanya saja seingatnya agensi ini telah bergabung dengan sebuah agensi besar dan meleburkan sistem manajemennya atas nama perusahaan itu, dia sendiri tidak yakin bila Woolim masih bisa memiliki anak perusahaan lepas dalam keadaan seperti ini.

“Begitukah? Aku tidak begitu mengerti bagaimana seharusnya hal semacam ini bekerja.” Kata Baekhyun ketika Soojung mengutarakan pendapatnya. “Tapi untuk jaga-jaga saja, bisakah kau menanyakan Yoonhan Hyung mengenai hal ini?”

“Lalu, kalau ternyata Daehoon ini benar-benar ada, apa yang akan kaulakukan? Menerima tawarannya?” kau bertanya, ingin tahu.

“Entahlah, kurasa tidak. Bogotda tidak lagi aktif sejak Chanyeol ditarik FnC, dan kini dia akan debut, kami tidak berpikir untuk mencari penggantinya. Hanya saja, kalau saja ternyata Daehoon ini perusahaan fiktif, maka harus ada seseorang yang melaporkan mereka. Kau tahu banyak sekali anak-anak yang ingin menjadi idol sekarang ini, bila tidak ada yang menghentikan mereka, entah berapa orang yang akan menjadi korban.”

Soojung mengangguk setuju, poin yang sempurna. Dia tidak bisa lebih setuju lagi dengan pemikiran Baekhyun, karena yang laki-laki itu utarakan adalah sebuah kenyataan pahit yang banyak sekali terjadi di sekitar mereka.

“Aku akan menanyakannya pada oppa nanti. Belakangan ini dia sibuk sekali, aku belum bicara dengannya sejak tiga hari yang lalu.”

“Begitu.” Baekhyun mengangguk-anggukkan kepala, kemudian berdehem pelan. Soojung menoleh kembali saat mendengarnya bertanya.

“Han Soojung, jangan tersinggung, tapi ada sesuatu yang aku ingin tahu. Aku pernah menanyakan ini pada Park Chanyeol, tapi anak itu menyuruhku untuk bertanya langsung padamu.”

“Ada apa?”

“Kau dan Jeon Yoonhan. Apa hubunganmu dengannya? Kalian berpacaran?”

Baekhyun menatapnya dengan serius saat pertanyaan itu terlontar. Soojung tahu itu bukanlah sekedar pertanyaan yang ditanyakan karena basa-basi, lelaki itu serius ingin tahu, tapi dia tidak menjawabnya.

Bukan karena Soojung tidak ingin menjawabnya, tapi karena dia sendiri tidak tahu. Hubungan macam apa yang keduanya miliki saat ini, mereka tidak pernah membahasnya. Dan sesungguhnya, seperti Baekhyun, Soojung pun sama-sama ingin tahu jawabannya. Sangat.

* * *

“Selamat siang,”

Soojung menyapa ramah seorang gadis yang berjaga di lobi Stomp, menundukkan kepalanya sekilas. Dia melangkah cepat menyusuri koridor dan masuk ke dalam lift yang mengantarnya ke lantai tiga. Hari itu Yoonhan menyuruhnya untuk datang ke kantor, mereka berencana untuk makan malam bersama.

Setelah lebih dari seminggu tidak bertemu langsung dengan Yoonhan, Soojung begitu bersemangat akan melihat lelaki itu lagi. Sejak insiden kecil sebuah peringatan di hari kelulusannya Januari lalu, Soojung bersikap jauh lebih terbuka menunjukkan rasa sukanya. Bila dulu dia cenderung malu-malu dan menyembunyikan perasaannya di dalam dirinya sendiri, beberapa bulan ini dia lebih blak-blakkan. Dia ingin Yoonhan tahu mengenai hatinya, dan dia tahu Yoonhan menyadarinya. Bagaimana situasi sebaliknya adalah satu hal yang Soojung tidak pernah tahu hingga saat ini.

Mereka berdua menyadarinya, Soojung yakin. Selama ini mereka berada dalam wilayah yang dia sebut dengan DBD—don’t play dumb—di mana keduanya tidak lagi bersikap pura-pura tidak tahu tentang hati yang lain. Yoonhan memperlakukannya seperti seorang laki-laki ketika berhadapan dengan kekasihnya; mengirimkan pesan pendek hampir tiap hari hanya untuk mengatakan selamat pagi atau malam, menghubunginya tiap waktu dan membiarkan dia tahu bagaimana lelaki itu merindukan suaranya. Yoonhan tidak segan mengomelinya bila dia melakukan sesuatu yang lelaki itu tidak sukai, mengritik gaya berpakaiannya, atau memuji penampilannya.

Satu hal yang tidak pernah lelaki itu lakukan adalah membiarkannya tahu dengan jelas apa yang terpendam di dalam dirinya. Bagi Soojung kadang perbuatan saja tidak cukup untuk meyakinkan dirinya, bahwa yang dirasakannya kini bukan hanya jalan searah. Soojung ingin mendengar kalimat itu.

“Selamat siang,”

Ketika membuka pintu ruang pertemuan, Soojung menemukan seorang wanita dan dua orang pria selain Yoonhan tengah mengobrol. Apapun yang tengah mereka bicarakan, tampaknya baru saja selesai melihat orang-orang kini telah berdiri saling mengucapkan selamat tinggal.

Yoonhan menyuruhnya masuk saat melihatnya di ambang pintu dengan tatapan menilai.

“Sudah berapa kali kubilang jangan memakai pakaian pendek bila kau keluar rumah?” Yoonhan mengritiknya dengan kedua lengan bersedekap. Soojung memandang orang-orang di dalam ruangan itu dengan canggung, haruskah Yoonhan membahas hal semacam ini di depan banyak orang?

“Hawanya panas sekali, Oppa.”  Ujarnya membela diri. Soojung segera mengenalkan dirinya untuk mengalihkan pembicaraan mereka, melihat orang-orang itu menunggunya berkata sesuatu tentang dirinya.

“Oh, Han Soojung? Dia siapa? Adikmu? Pacarmu?” Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Lim Saehee menatapnya dengan pandangan menilai, kemudian bertanya pada Yoonhan.

Soojung memutuskan untuk tidak menyukai wanita itu dari caranya bicara pada Yoonhan dan menyentuh bahu lelaki itu. Dia juga tidak menyukai cara wanita itu memandangnya, dan bicara padanya dengan nada yang orang dewasa pakai bila bicara dengan anak kecil. Yang paling dia tidak suka lagi, adalah bagaimana Yoonhan tidak menjawab pertanyaan Lim Saehee seperti yang dia harapkan. Yoonhan hanya tersenyum dan membelai kepalanya lembut, gestur yang seorang laki-laki lakukan untuk menunjukkan rasa sayang pada adik kecilnya. Adik kecil.

Dengan satu tangannya, Soojung menepis tangan Yoonhan di kepalanya. Dia tidak suka.

“Kalau begitu sampai bertemu lagi besok di kedutaan, jangan lupa pakai dasi. Pilih yang terbaik.” Wanita itu berkata lagi mengakhiri pertemuan mereka.

Soojung menangkap Lim Saehee mengedipkan sebelah matanya pada Yoonhan, menepuk pelan bahu lelaki itu sebelum pergi meninggalkan ruangan bersama dua lelaki lain. Dia sungguh menahan diri untuk tidak menyumpah dan mengatai wanita itu di depan Yoonhan.

“Ada apa besok? Kau akan pergi ke kedutaan mana?”

“Hanya pertemuan biasa di kedutaan Inggris.”

“Pertemuan apa?”

“Tidak penting, biasa.”

“Lalu siapa dia? Kenapa dia harus pergi bersamamu?”

“Dia staf dari manajemen Stomp. Ayo kita pergi.” Yoonhan menumpuk beberapa dokumen dan membiarkannya di atas meja. Dia mengantongi dompet dan ponselnya ke dalam saku celana sebelum melangkah keluar ruangan, tapi berhenti di ambang pintu saat menyadari Soojung masih belum bergerak. Ketika berbalik dia melihat Soojung melipat kedua lengannya dan menatap lelaki itu sewot.

“Kenapa?”

“Dia menyukaimu, perempuan itu.”

Yoonhan menelengkan kepalanya, “Ya, lalu?”

“Kau menyukainya?” Soojung sedikit menyesal begitu bertanya. Dia tidak suka mendengar nada suaranya sendiri, terdengar seperti seorang gadis cemburuan yang terlalu mengekang kekasihnya. Ah, dia benci terdengar seperti itu, tapi dia kesal. Soojung tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Yoonhan sepertinya mengenali motif di balik nadanya itu. Lelaki itu mengangkat kedua alisnya dengan senyum terulas, sengaja menggodanya sebelum kemudian menjawab,

“Kalau aku bilang tidak, apa kau akan percaya?” Soojung tidak memberi respon, dan Yoonhan menghampirinya lagi, menarik Soojung bersamanya. “Ayolah, aku sudah lapar. Kau pasti juga belum makan.”

Dan selama perjalanan itu Soojung tidak membuka mulutnya. Dia masih kesal karena pemandangan yang tadi disaksikannya. Ada seorang wanita yang tampaknya tergila-gila pada Yoonhan dan tidak segan menggoda lelaki itu bahkan di depannya, dan Yoonhan sama sekali tidak pernah menyebutkan nama Lim Saehee padanya, kenyataan ini sudah cukup membuatnya naik darah.

Hal lain yang membuatnya kesal adalah bagaimana Yoonhan tidak menjawab pertanyaan wanita itu tentang dirinya. Kenapa Yoonhan diam saja? Apa sebenarnya arti keberadaannya bagi lelaki itu, apakah Yoonhan malu mengakuinya? Apakah lagi-lagi ini karena umur mereka yang terpaut jauh?

Soojung menghela napasnya. Selama hampir setengah jam itu dia membisu sementara menatap keluar jendela. Jalanan yang mulai ramai di jam pulang kerja membuat perjalanan lebih lama dengan banyaknya volume kendaraan di sekitar mereka. Yoonhan menyolek lengannya, menyuruhnya memakan roti Danish yang mereka beli di dekat kantor untuk mengisi perut sebelum makan malam, tapi Soojung tidak mengacuhkannya.

Dia tidak pernah bersikap seperti ini. Biasanya bila ada sesuatu yang tidak dia suka, Soojung akan langsung mengatakannya dan membahasnya secara terbuka. Tapi kali ini rasanya berbeda, ada banyak hal yang membuatnya kesal dan dia tidak tahu harus bagaimana menyikapi amarahnya sendiri. Dan bila sedang kesal, Soojung pasti akan menangis, karena itulah dia memilih diam untuk mendinginkan kepalanya.

Soojung juga tahu Yoonhan menyadari sikapnya yang tidak biasa ini. Dia tahu Yoonhan tidak berhenti menoleh ke arahnya, seperti hendak mengatakan sesuatu. Dalam keadaan seperti ini, biasanya hanya dua hal yang lelaki itu lakukan: membiarkannya sendiri, atau berusaha untuk membuatnya tertawa, sebelum akhirnya membahas apa yang mengganggu Soojung begitu suasana hatinya membaik. Kali ini lelaki itu tidak melakukan keduanya.

“Aku tidak menyukainya, oke? Kau tidak perlu memikirkannya karena dia tidak menarik di mataku.”

“Lalu kenapa kau tidak menjawabnya? Ketika dia menanyakanku kenapa kau diam saja?” Soojung bertanya, kini perhatiannya telah tertuju seluruhnya pada Yoonhan. Dia tidak ingin membahas ini sebenarnya, tapi begitu Yoonhan membahasnya lagi, amarahnya mulai terpancing kembali. Dan begitu dia bicara, maka tidak ada lagi kata berhenti. Air matanya mengalir begitu saja begitu kalimat pertamanya terlontar. Tenggorokannya tercekat karena terlalu dalam dia menahan amarahnya, sungguh, dia benci sekali harus menangis seperti ini.

“Demi Tuhan, Yoonhan, kupikir permainan semacam ini sudah tidak berlaku lagi di antara kita. Aku menyukaimu dan kau tahu itu, tapi kau selalu saja membuatku bertanya-tanya bagaimana dengan kau.” Soojung mengeringkan air mata wajahnya dengan kedua tangannya sementara mengutuk dirinya sendiri, “Kalau ini ternyata hanya permainanku sendiri, seharusnya kau membiarkanku tahu sejak dulu dan berhenti memperlakukanku seolah aku masih memiliki harapan denganmu. Shit! Stop crying like a baby, you whimp.

Yoonhan  melambatkan laju mobilnya dan berhenti di pinggir jalan. Lelaki itu berdecak pelan, mengambil tissue dari laci dashboard seraya melepas sabuk pengamannya dan mendekatkan diri untuk mengeringkan wajah Soojung yang banjir air mata. Sekali lagi Soojung menepis tangan Yoonhan.

“Maaf, bila aku membuatmu berpikir kau bukan siapa-siapa, kau berhak kesal dan bersikap seperti ini. Han Soojung, I love you. I’ve loved you since you were like, twelve, and I love you more as you’re mature enough to be loved. Dan aku mengatakannya bukan karena ini yang ingin kau dengar, aku—“ Yoonhan tidak lagi melanjutkan kalimatnya ketika Soojung telah melepas sabuk pengamannya sendiri dan mencondongkan tubuhnya pada lelaki itu, menciumnya.

Soojung bisa merasakan jantungnya berdetak sangat kencang saat bibirnya menyentuh lelaki itu. Dia tidak merencanakan semua ini, seperti bagaimana dia pun merasa sedikit bingung kenapa dia melakukan ini begitu saja. Yoonhan tidak terkejut seperti terakhir kali dia menyerang lelaki itu secara tiba-tiba, lelaki itu tidak menarik diri maupun mendorongnya menjauh, malah sebaliknya. Dan yang membuat Soojung terkejut, adalah ketika dia menemukan Yoonhan membalas ciumannya.

Ada sensasi berbeda yang Soojung rasakan saat ini. Dia tidak pernah mencium seseorang sebelumnya, dan kecupan yang pernah dia layangkan untuk Yoonhan tidak pernah seintens ini. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat kecupan-kecupan singkat itu berubah menjadi ciuman yang lebih dalam lagi saat mulutnya terbuka. Bila aksinya ini adalah inisiatifnya di awal-awal, sekarang Soojung membiarkan Yoonhan lebih mendominasi dan menuntunnya.

Yoonhan menahan dirinya dengan menaruh tangan di belakang kepalanya, sementara Soojung mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki itu. Dia merasa seperti ada banyak sekali kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Tubuhnya gemetar, tapi dia menyukainya. Sekarang Soojung mengerti saat orang mengatakan bahwa bila kau mencium seseorang, rasanya kau tidak ingin berhenti. Dia merasa agak kecewa ketika akhirnya Yoonhan menarik diri, mengecup bibir bawahnya sebelum benar-benar memisahkan diri mereka.

“Masih kesal juga?” tanya lelaki itu dengan nada menggoda, Yoonhan sengaja meledeknya.

Dan Soojung yakin wajahnya pasti merah padam saat ini. Tidak ada yang bisa menjelaskan betapa malunya dia saat Yoonhan menatapnya seperti itu, rasanya dia ingin mengubur dirinya sendiri dan memukul wajah lelaki itu di saat bersamaan.

Tidak. Jawaban dari pertanyaan Yoonhan adalah dia tidak lagi kesal. Memang ada beberapa hal yang masih mengganggunya, tapi setelah lelaki itu mengatakan kalimat yang ingin dia dengar, Soojung tidak lagi mempermasalahkannya. Kembali pada posisi duduknya semula, Soojung membuang pandangannya keluar jendela, berpikir untuk membicarakan hal lain agar bisa keluar dari kecanggungan ini.

“Lalu apa yang akan kau lakukan besok di kedutaan?”

 Pertanyaan itu sebenarnya hanyalah alih-alih supaya Yoonhan tidak lagi menggoda aksi impulsif yang membuatnya tidak bisa berkata-kata. Soojung tidak berharap Yoonhan akan membahasnya dengan serius, tapi saat lelaki itu terlihat sedikit terkejut dan tidak menjawabnya dengan cepat seperti semestinya, Soojung tahu ada yang salah.

“Bagaimana kalau kita membicarakan ini saat makan malam?”

Soojung memandangnya curiga, kedua matanya menyipit bertanya-tanya. Kenapa? Ada apa memangnya hingga Yoonhan ingin membahasnya secara tersendiri saat makan malam? Kenapa tidak sekarang saja?

Yoonhan hanya mendesah pelan saat Soojung tidak bersedia menunggu dan mendesak untuk memberitahunya sekarang juga. Dia orang yang tidak sabaran, dan menunggu bukanlah kegiatan favoritnya, Yoonhan tahu itu. Dan lelaki itu cukup tahu benar bahwa Soojung tidak akan menyerah untuk mendapatkan jawaban bila dia memiliki sesuatu yang sangat diinginkannya.

“Jeon Yoonhan, ada apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?” Soojung bertanya. Nadanya kembali serius, dan kali ini perasaannya benar-benar tidak enak. Yoonhan tidak pernah terlihat merasa bersalah seperti ini.

“BBC dan Warren Bros membutuhkan seorang music director untuk beberapa tayangan serial mereka, dan mereka menginginkanku bergabung—“ Yoonhan mengatakannya dengan pelan, seolah dia sangat berhati-hati dalam memilih kata-katanya. Ya, ini sungguh serius.

“Sejak kapan?”

“Kami sudah membahas kerja sama ini sejak tiga bulan yang lalu, dan aku harus pergi ke London dalam waktu dekat—“

“Berapa lama?”

Yoonhan menarik napasnya, menatap keluar jendela ketika menjawab pertanyaan itu. “Kami menandatangani kontrak untuk lima tahun.”

Soojung mendengus keras, mencemooh. Dia tidak bisa percaya apa yang baru saja didengarnya. Sampai kapan Yoonhan berencana untuk menyembunyikan hal ini bila saja dia tidak mendesak lelaki itu memberitahunya? Rasanya seolah Yoonhan menggenggam tangannya, membawanya terbang tinggi hanya untuk menjatuhkannya begitu mereka telah berada di atas langit. Soojung merasa dikhianati.

Yoonhan akan meninggalkannya selama lima tahun. Lelaki itu memiliki tiga bulan lebih untuk memberitahunya, dan memutuskan untuk menyembunyikan berita ini hingga entah…

“Kapan kau akan berangkat?”

“Mungkin minggu depan, Soojung, tunggu—“

Soojung tidak mendengar kelanjutannya. Dia tidak menunggu lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, segera membuka kunci pintu dan keluar dari mobil. Air matanya sudah keluar lagi saat dia berlari menjauh meninggalkan Yoonhan yang menyusulnya keluar dari mobil. Dia menyetop taksi yang kebetulan lewat dan merangsek masuk ke dalam kabin, mengunci pintu dan menyuruh sang sopir untuk segera menjalankan kendaraannya, tidak memedulikan Yoonhan yang mengejarnya.

“Drama anak muda,” Dia mendengar sang sopir berkomentar dari belakang kemudi, membuat Soojung tertawa di tengah tangisnya.

“Aku tahu. Tolong jangan berkomentar, lelaki itu brengsek.” Katanya sebelum melanjutkan tangis dan menghabiskan tissue yang bapak sopir tawarkan padanya.

.

Soojung mendesah pelan saat melihat Yoonhan memarkir mobil di dekat pintu gerbang rumahnya. Dia baru saja turun dari taksi dan bergegas membuka pintu pagar, memasukkan password saat Yoonhan menghampirinya. Soojung tidak mengira lelaki itu akan menyusulnya hingga pulang ke rumah.

“Inilah kenapa kubilang kita harus membahasnya saat makan malam. Kau tidak akan berpikir jernih saat sedang lapar.” Soojung memutar bola matanya mendengar lelaki itu bicara.

“Sudahlah. Kau punya tiga bulan untuk memberitahuku dan tidak melakukannya, kenapa sekarang kau ingin membicarakannya? Pulanglah, aku tidak ingin bicara denganmu.”

“Aku akan pulang, setelah kau memberiku makan dan kita membicarakannya secara dewasa. Salahmu kau meninggalkanku di tengah jalan.”

Sekali lagi Soojung mendengus. Membicarakannya dengan dewasa katamu? Siapa yang milih untuk menyembunyikan semua ini dariku? Pikirnya. Dia ingin sekali mengatakan sesuatu, mengumpat, berteriak, tapi tidak ada gunanya. Untuk pertama kalinya Yoonhan sungguh membuatnya kecewa, apakah seperti ini yang namanya mencintai? dia kembali mencemooh lelaki itu di dalam kepalanya.

 Yoonhan segera menuju ke dapur begitu mereka sudah berada di dalam rumah. Soojung tidak memedulikan lelaki itu saat bertanya apa yang ingin dia makan ketika membuka lemari es. Dia memeriksa semua ruangan, tidak menemukan orangtuanya maupun Chanyeol di mana-mana. Mereka semua belum pulang. Orangtuanya pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan perkembangan kesehatan Luhan sore tadi, sementara Chanyeol masih di agensinya.

Dia menatap jam tangannya. Seharusnya Chanyeol sudah pulang saat ini, dan Soojung berusaha untuk menghubungi saudaranya itu. Chanyeol tidak mengangkat teleponnya. Mungkin Chanyeol sedang menyetir dan tidak mendengar panggilannya.

Soojung berdiam diri di dalam kamarnya, tidak berniat untuk keluar dan menemui Yoonhan. Dia berpikir untuk membuat lelaki itu menunggunya hingga semua orang pulang ke rumah, dengan sendirinya lelaki itu akan pergi nanti.

Dia duduk di tepi tempat tidurnya, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Masih tidak bisa dia percaya hal-hal yang bertolak belakang bisa terjadi begitu cepat. Dia masih bisa merasakan jejak kecupan Yoonhan di bibirnya, tapi rasanya semua ini hanya mimpi. Mereka tidak pernah bertengkar sebelumnya, Yoonhan tidak pernah membuatnya semarah ini. Terlebih lagi, Yoonhan bukan tipe orang yang bisa membuatnya marah. Lelaki itu sangat pengertian, selalu menjaga perasaannya, dan penuh pertimbangan. Dan kini, entah apa yang ada di dalam kepala lelaki itu hingga memperlakukannya seperti ini.

Kerjasama kerja ini tidak seperti biasanya. Lima tahun kontrak bersama BBC berarti sama saja Yoonhan harus pindah ke Inggris dan menetap di sana. Yoonhan tidak hanya bepergian sebentar dan akan kembali dalam satu minggu seperti biasanya, dia tidak akan bertemu lelaki itu selama berbulan-bulan, dan mungkin hitungan tahun. Dan untuk masalah sebesar ini Yoonhan tidak memberitahunya lebih awal. Lalu begini dia tidak boleh kecewa?

Lamunannya buyar saat mendengar dering ponselnya dari speaker konektor di sisi pintu kamarnya. Konektor speaker itu sengaja dipasang di kamarnya maupun kamar Chanyeol, sehingga orangtuanya tidak perlu naik ke lantai dua untuk memanggil mereka. Telepon itu sudah berdering berulang kali sejak beberapa waktu lalu, tapi Soojung sengaja tidak mengeceknya karena berpikir Yoonhan yang menghubunginya. Hingga kini ponselnya masih berdering dan tidak ada yang menerimanya. Soojung mengumpat, Yoonhan sepertinya sengaja membiarkan ponselnya berdering dan mendekatkannya ke konektor agar Soojung keluar dari kamar dan menerimanya.

Ketika hampir tiga menit membiarkan telepon terus berdering, Soojung akhirnya beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuruni anak tangga. Dia menemukan Yoonhan duduk di konter dapur, menikmati sandwich beku yang dia buat sendiri dari simpanan makanan di lemari es. Lelaki itu mengangkat satu tangannya yang memegang sepiring sandwich, tapi Soojung tidak mengacuhkannya.

Dia mengambil ponselnya di atas konter, melihat nomor asing muncul di layar dan berjalan menjauh sebelum menerima panggilan itu.

“Selamat malam, Apakah saya bicara dengan nona Han Soojung?” Soojung mengiyakan pertanyaan seseorang di seberang telepon begitu menjawabnya.

“Ya, ini darimana?”

“Nona Han Soojung, kami mencoba untuk menghubungi Anda sejak satu jam yang lalu. Nomor Anda berada di daftar panggil terbaru korban. Saya petugas dari Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Gwahwangmun, Anda harus segera datang kemari.”

“Apa yang terjadi?”

“Terjadi kecelakaan beruntun di perempatan besar Myeongdong, Nona. Maaf, tim dokter kami ingin bicara langsung..”

Soojung tidak lagi mendengarkan. Suara orang itu terdengar mulai mengecil di telinganya semakin banyak informasi yang disampaikan oleh petugas yang meneleponnya, mungkin kesadarannya yang mulai memudar.

Tidak. Tidak lagi. Jangan lagi.

Dia merasa seseorang menahannya dari belakang, Soojung tidak menyadari tubuhnya mulai limbung dan Yoonhan menangkapnya.

“Ada apa? Siapa yang menelepon?”

Soojung tidak mendengar pertanyaan itu. Dia bingung. Dia mungkin salah mendengar, petugas itu mungkin menghubungi keluarga yang salah. Banyak orang memiliki nama yang sama di kota sebesar ini. Tidak mungkin.

Dia mencari pegangan. Soojung tidak lagi menyadari apa yang terjadi saat dia telah memeluk Yoonhan dengan erat, seperti bayi koala yang tidak ingin lepas dari induknya. Seolah hidupnya bergantung dari eratnya rengkuhan itu. Napasnya terhela cepat. Soojung merasa dadanya sangat sesak, kehabisan udara.

“Tenang, Soojung, bernapaslah. Tidak apa-apa, bernapaslah.” Yoonhan berbisik di dekatnya seraya menepuk punggungnya dengan lembut. Lelaki itu menaruh tangan di sisi wajahnya, meminta perhatian Soojung kembali,

“Bernapas, oke? Katakan padaku, apa yang terjadi?”

Dan Soojung tidak lagi bisa menahan air matanya. Seketika saja wajahnya kembali dibanjiri tetes demi tetes air yang tidak berhenti mengalir dari matanya.

“Chanyeol! Demi Tuhan, Chanyeol! Oh Tuhan…”

Soojung mengeratkan pelukannya, lalu berteriak histeris. Dia tidak lagi mendengar suaranya sedetik kemudian. Dia tidak mendengar apa-apa.

* * *


Filed under: fan fiction, series Tagged: Byun Baekhyun, Forsaken, Han Soojung, Park Chanyeol, Yoon Han

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles