-
“Brengsek, Lim, kamu hampir saja melubangi kepalaku!”
Lim menutup pintu pelan dan segera berlari menghampiri Eli yang duduk di lantai basement, membantu laki-laki itu membersihkan darah yang mengalir di sisi kepala karena tendangan kerasnya. Dia mengambil posisi duduk di samping Eli, menatap sahabatnya dengan penuh rasa bersalah, menggenggam tangannya yang kekar.
“Sori, Eli, kupikir kamu salah satu orang-orang itu.”
Eli mungkin tidak tahu, tapi Lim merasa amat sangat senang dan lega bisa melihat laki-laki itu kembali dengan keadaan yang jauh lebih baik dari dugaannya. Situasi saat ini masih membingungkannya, apa yang telah terjadi, dan bagaimana Eli bisa berada di dalam rumahnya, dan sejak kapan. Serangkaian pertanyaan itu dilontarkannya segera karena penasaran.
“Aku datang tiap malam karena kupikir kamu pasti akan kembali. Tapi tidak kusangka aku harus menunggu selama ini sampai bisa melihatmu lagi. Apa yang terjadi padamu malam itu?”
Lim menceritakan seluruh runtutan kejadian sejak dia berada di ruangan Thomas Adili. Sejak kepanikan menyerangnya begitu menyadari situasinya berbalik, bahwa dia telah dijebak. Lim berpikir untuk melacak siapa yang baru saja meninggalkan ruangan itu sebelum dirinya. Seseorang telah membunuh Thomas Adili, dan Lim yakin pelakunya seseorang yang yang dikenal ayah angkatnya itu. Lokasi eksekusi itu bukan milik ayahnya—Thomas pasti sedang menemui seseorang ketika orang itu menembak kepalanya.
Lim bercerita bagaimana dia belum sempat mendapatkan petunjuk apapun ketika mendengar belasan langkah orang-orang mendatangi tempatnya berada, frustrasinya saat gagal berkomunikasi dengan Eli, juga bagaimana para pria bertubuh besar dan ahli bela diri itu tiba-tiba saja muncul dan berusaha membunuhnya hingga pengejaran mereka.
“Tapi kita tidak akan membicarakan keadaanku sekarang. Ceritakan padaku apa yang kamu lihat malam itu, Eli, kamu pasti melihat siapa yang berada di dalam ruangan itu sebelum aku masuk.” Lim tidak sabar mengganti topik pembicaraan mereka.
Eli adalah seorang penembak jitu di antara mereka. Bila saatnya mereka berdua bekerja bersama dalam satu misi, laki-laki itu akan berada di tempat lain untuk mengintai dan mengamankan situasi sementara Lim berada di baris depan. Lim hampir tidak pernah gagal memangsa buruannya berkat bantuan mata elang Eli. Lelaki itu sangat membantunya mengarahkan keadaan sekitar dari jauh.
Kecuali malam itu, saat tiba-tiba saja sistem komunikasi mereka sengaja diacak seseorang hingga mereka tidak bisa berkomunikasi secara langsung selama Lim mendekati targetnya.
“Sayangnya tidak, Lim. Ketika suaramu menghilang dari radarku, aku terus mengawasi ruangannya. Aku tidak berhenti berusaha memberitahumu bahwa yang sedang kamu datangi adalah Thomas, tapi komunikasi kita benar-benar diacak. Ketika kulihat dia bicara dengan seseorang, kupikir itu kamu yang sedang berkompromi dengannya. Kurasa orang itu berdiri di depan pintu karena benar-benar tertutup sempurna oleh tembok dan aku tidak bisa melihat siapa dia.”
Lim mendengarkannya dengan seksama. Di dalam kepalanya ingatannya kembali terputar pada peristiwa yang kini menjadi salah satu mimpi buruk terbesarnya. Bayang-bayang tiap adegan mengerikan itu jelas sekali di benaknya, napasnya tertahan. Otaknya berusaha mencerna, mencari letak keanehan yang terdengar ganjil di mana-mana.
Eli melanjutkan ceritanya. “Begitu kudengar kamu menghilang, aku mencoba meyakinkan mereka bahwa kita telah dijebak. Anehnya semua rekaman dan data-data misi kita menghilang begitu saja seolah ada yang sengaja menghapusnya. Misi ini disabotese, dan yang kutakutkan, mereka sengaja memburumu, Lim. Aku tidak begitu yakin, tapi kurasa mereka tahu rencanamu untuk berhenti. Dan kamu mengenal organisasi ini, we don’t do quitting. Mereka akan melakukan apapun untuk melenyapkanmu, kecuali kamu kembali ke dalam organisasi.”
Lim lemas mendengar Eli akhirnya menjawab pertanyaan yang selama berminggu-minggu ini menganggunya. Jadi orang-orang itu ingin membunuhnya karena keputusannya untuk berhenti dari organisasi ini? Bahkan setelah belasan tahun mengabdi dan melakukan misi-misi anonim mereka dengan resiko kehilangan nyawanya, dia masih dianggap seorang pengkhianat saat memilih untuk pensiun dini? Sungguh alasan yang tidak masuk akal.
“Bagaimana denganmu? Apa mereka juga melakukan hal yang sama padamu?” Lim kemudian bertanya, teringat bahwa mereka berpartner kerja dalam misi sebelumnya. Eli memang tidak secara terbuka tergabung dalam misi ini, tapi orang-orang itu tahu mereka bekerja bersama. Lim tidak ingin Eli juga diburu karena terlibat dalam misi yang bukan miliknya. Lelaki itu satu-satunya orang yang dia percayai saat ini.
“Tidak. Sudah kukatakan padamu semua data dan rekaman untuk misi kita dihapus seseorang. Mereka menyuruhku untuk tidak ikut campur, tapi kadang aku memang merasa beberapa orang mengikutiku.” Lelaki itu terdengar menyesal. “Dengar Lim, untuk saat ini bersembunyilah dulu sementara aku mencari tahu apa yang sedang terjadi. Di mana kamu selama ini?”
Lim menggigit bibirnya sesaat, menimbang-nimbang apakah dia perlu memberitahu Eli tentang insiden penembakannya dan juga pertemuannya dengan seorang residen bedah yang kemudian menyelamatkannya. Dia merasa sangat beresiko untuk menyebut nama Aiden, terutama karena pria itu sama sekali tidak tahu kekacauan macam apa yang sedang terjadi di depan matanya. Tapi Lim percaya Eli akan menyimpan rapat rahasianya. Dia menceritakan insidennya di basement dan apa yang Aiden telah lakukan untuknya selama tiga minggu belakangan ini.
Eli menghela napasnya berat begitu Lim selesai bicara. Dia menunduk dalam menatap lantai dan berpikir selama hampir satu menit. Lalu dia mengangkat kepalanya kembali dan menatap Lim tepat di kedua matanya.
“Kamu harus tetap tinggal bersamanya, Lim. Meski ini akan sangat berbahaya untuk kalian berdua, tapi bersama dokter itu adalah tempat teraman yang kamu miliki saat ini. Semua orang sedang berusaha untuk menemukanmu, dan bila kamu tertangkap sebelum kita berhasil membongkar konspirasi terselubung ini, maka tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkanmu.”
“Tapi, aku—”
“Lim, aku tidak akan mendebatmu soal ini. Aku tahu kamu benci bersembunyi, tapi tahan saja untuk beberapa waktu sampai kita menemukan cara yang terbaik untuk setidaknya membersihkan namamu. Aku tidak ingin kehilangan satu teman lagi, dan kamu harus mendengarkan kata-kataku. Setelah ini, kembalilah ke apartemennya, dan jangan pergi ke manapun kecuali aku yang menyuruhmu. Kamu pastikan saja untuk memperbarui tiap entry code-ku, aku akan membuat portal baru. Dengan begitu kita bisa berkomunikasi tanpa terlacak. Kamu mengerti, kan?”
Lim tidak menjawabnya. Matanya berair menatap Eli, tidak rela. Dadanya sesak. Kalau boleh memilih Lim ingin tetap bersama teman terbaiknya itu dan melawan semua orang yang berusaha menyakiti mereka berdua, bertempur hingga napas terakhirnya. Dengan begitu dia baru bisa merasa aman.
Tapi dia hanya bisa menahan itu di dalam kepalanya. Eli memiliki rencana lain untuknya. Lim benci harus berpisah secepat ini tanpa tahu kapan mereka akan pernah bertemu kembali.
“Apakah aku harus benar-benar pergi? Tidak boleh kalau aku bersamamu saja?” Lim mendapati dirinya terisak pelan. Seluruh emosinya serasa bertumpuk menjadi satu memenuhi dadanya karena pembicaraan mereka harus berakhir seperti ini.
“Kamu harus pergi, Lim, dengan begini aku bisa melindungimu. Dari mana kamu datang tadi? Gorong-gorong?”
Lim mengangguk.
“Baiklah, kita harus bergerak sekarang. Akan lebih baik kalau kamu tidak membuang lebih banyak waktu di sini. Aku tidak suka aura tempat ini.” Eli menarik Lim ke dalam pelukannya dan mendekap gadis itu beberapa lama, menyuruhnya berhenti menangis.
“Lim, apapun yang terjadi nanti, kamu harus mempercayaiku. Kamu mengerti, kan? Kamu harus percaya aku, karena aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri.”
Eli menarik diri dan melepas dekapannya ketika Lim kembali mengangguk menjawab pertanyaannya, dan segera beranjak menaiki tangga. Mereka bergerak cepat setelah membiasakan kedua mata mereka keluar dari basement.
Tanpa peringatan, Eli menghentikan langkahnya, menahan Lim di belakang punggungnya. Ada orang lain di sana. Mereka bahkan bisa mendengar langkah beberapa orang itu dari luar rumah bergerak hendak masuk.
“Aku akan menemui mereka, kamu cepat pergi,” Bisiknya. Dia kembali memeluk Lim, mengecup dahinya, kemudian mendorongnya pergi seraya melangkah pergi menemui para penguntit yang sempat kehilangan jejaknya setelah mengekor seharian ini.
Lim mengawasi punggung Eli menghilang di kegelapan dalam sedetik jeda langkah kakinya sebelum pergi ke dapur. Lelaki itu, seseorang yang tidak pernah meninggalkannya, seseorang yang selalu menawarkan punggungnya sebagai tameng, sebagai bentuk kesetiaan tertinggi yang mereka miliki satu sama lain.
Entah kapan Lim akan melihat sosok itu kembali. Dia hanya bisa berharap Tuhan bersedia melindungi temannya itu selama mereka terpisah sementara ini.
Kamu juga jaga dirimu, Eli.
* * *
Beberapa minggu setelah pindah ke Ceko, Eli mengajak Lim menonton X-Men di bioskop yang terletak di sebuah pusat perbelanjaan di Praha. Mereka dibuat terperangah dengan beberapa kemiripan dalam keadaan yang terjadi di masa pelatihan mereka. Ketika pertama kali Thomas Adili membawa mereka ke Inggris, lelaki itu membawanya ke sebuah mansion besar pada sebuah daerah pinggiran kota Chester. Tempat itu bernama Heaven Woods. Tidak banyak orang yang tinggal di sana; mansion itu mungkin satu-satunya bangunan yang dia temukan selama menyusuri jalan utama dengan pemandangan hijau perbukitan dan hutan sejauh puluhan kilo begitu keluar dari pusat kota.
Eli maupun Lim tidak pernah menyangka bahwa rumah baru yang Thomas maksud bagi mereka adalah sebuah sekolah, tempat pelatihan bagi anak-anak yang tengah dipersiapkan untuk menjadi petarung. Lim tidak bisa menutup rahangnya saat melihat bagaimana anak-anak seumurnya belajar saling membanting di kelas judo, atau memegang senapan laras panjang di kelas menembak. Segala pemandangan itu sangat baru bagi mereka, tapi demi apapun, tempat itu bagaikan surga dalam bentuk taman bermain ekstrim.
Selama bertahun-tahun mereka mengikuti pelatihan itu. Kerasnya gaya hidup baru yang mereka jalani sedikit banyak mengubah cara mereka dalam memandang kehidupan. Kedisiplinan dan juga tingginya kualitas kompetisi di antara para siswa membangkitkan sisi daya saing dalam diri Lim yang selalu ingin menang. Ini adalah cara, pikirnya, untuk bertahan hidup. Ini adalah keluarga besar yang kuat yang selama ini dia cari-cari, keluarga yang akan mengajarinya melawan ketidakberdayaan. Keluarga yang tak akan meninggalkannya di bandara, tak akan meringkuk kesakitan dipukuli orang. Di tempat ini, Lim mendapat kepastian tentang apa yang selama ini sudah dia curigai: bahwa dia seorang monster.
Di sampingnya, Eli tumbuh dari sosok anak kucing yang tidak terawat menjadi singa jantan yang kuat dan mematikan. Mereka berdua makin tidak terpisahkan, dan bersama-sama, mereka menjadi aliansi yang terkuat, tercerdas dan tercepat. Jiwa petarung itu sudah lama bersembunyi dalam diri mereka, dan seluruh pelatihan ini memperkuat insting dan kemampuan mereka dalam menghadapi pertarungan yang sesungguhnya. Dari sana Eli memanggilnya Lim dalam nama Lima, merujuk pada karakter makhluk liminal pada legenda klasik. Lim adalah dua karakter berbeda yang hidup dalam satu tubuh seorang gadis manis, teman yang sempurna, guru yang bijaksana, tapi juga berbahaya di saat yang sama.
Mereka seperti X-Men di dunia nyata, di mana kekuatan super pengendali elemen digantikan dengan kecepatan gerak dan juga kecerdasan otak yang terlatih. Mereka bergabung secara otomatis dalam sebuah persaudaraan yang menyebut diri mereka Organisasi. Tidak ada nama lain, hanya Organisasi. Thomas Adili memimpin organisasi, dengan belasan anggota aktif diambil dari pelatihan yang menampung mereka selama bertahun-tahun sebelumnya. Misi persaudaraan itu sederhana: menyeimbangkan tatanan sosial dunia dengan menyediakan jasa. Mereka tentu saja tidak sedang membicarakan dunia di mana anak-anak dengan riangnya bermain bersama di halaman rumah, atau ibu-ibu yang dengan asiknya menonton siaran hiburan tentang gosip selebritis. Ini tentang dunia yang lain, di mana seorang penguasa akan melakukan segalanya untuk bisa bertahan di atas tahtanya memimpin sebuah negara, atau sekelompok manusia yang berkepentingan akan sebuah manifestasi pribadi, atau golongan. Dunia konspirasi. Dan Lim kini bagian darinya, tak akan lagi dibuat tidak berdaya. Itu janji yang didapatkannya dulu.
* * *
“Jane?”
Aiden mengetuk pintu pelan memanggil sang pemilik kamar untuk kedua kalinya. Gadis itu sudah mengurung dirinya di dalam kamar sejak dia kembali di rumah sakit. Ketika pertama kali mengetuk pintu kamar, dia tidak mendengar jawaban apapun dan berpikir gadis itu sedang tidur. Tapi setelah hampir lima jam kemudian, Aiden mulai merasa aneh karena Si Gadis masih belum juga terlihat keluar dari dalam kamarnya.
Keabsenan ini membuatnya cemas saat tiba-tiba teringat kembali kata-kata gadis itu sebelum dia pergi sehari sebelumnya. Aiden mulai berpikir tidak-tidak, karena saat menghubunginya kemarin malam, suaranya tidak sebersemangat di sore harinya.
“Jane, you okay?” Aiden mengetuk pintu lagi, memanggil Jane di dalam kamarnya. Masih belum ada jawaban.
“Jane? Jane, aku akan masuk.”
Aiden mematung. Dia ragu apakah dia benar-benar harus masuk ke dalam kamar itu. Dia tidak ingin mengganggu privasi gadis itu, tapi keheningan ini terasa sangat ganjil. Perlahan Aiden membuka pintu, melongok ke dalam kamar… Dan segera membukanya lebar saat sajian pemandangan di dalam ruangan itu membuatnya terperanjat.
Aiden mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha untuk menyadarkan diri kalau yang dilihatnya saat ini memang nyata. Dia berada di kamar yang benar. Dia sungguh tidak ingat memiliki semua barang yang berserakan di atas tempat tidur.
Di atas meja sebuah laptop dengan layarnya terbuka memperlihatkan kode-kode acak bergerak naik dengan cepat seperti sedang memprogram sesuatu, sementara di sampingnya berserakan beberapa lembar kertas penuh dengan coretan kode yang tidak dia mengerti. Tas punggung yang terbuka di kolong meja menarik perhatiannya karena dia merasa pernah memilikinya. Aiden menekuk lututnya menarik tas itu dan mengintip ke dalamnya. Dia menemukan beberapa kotak peluru yang belum pernah terpakai, dengan puluhan ikat uang pecahan besar.
Dia mengeluarkan sebuah pigura yang memperlihatkan foto Sang Gadis diapit dua orang pria, gadis itu memeluk pria di sebelah kirinya sementara pria yang lain memeluknya berurutan. Dia ingat pernah melihat salah satu pria yang sedang memeluk gadis itu menunggu Lim keluar dari gereja. Yang satu lagi tampak asing. Lelaki yang dipeluk itu menaruh matanya ke arah kamera dengan tatapan tajam yang sangat kontras dengan senyum terulas dari sudut wajahnya. Sesuatu dalam ekspresi gadis itu yang berseri di dalam foto sontak membangkitkan memorinya terhadap seseorang, tapi Aiden dengan cepat kembali terfokus pada barang-barang yang hanya dilihatnya di film a la Bond, yang kini bertebaran di dalam sebuah kamar di rumahnya sendiri.
Jantungnya berdegup kencang menemukan semua ini. Berbagai pertanyaan sontak timbul memenuhi kepalanya. Apa yang terjadi? Sejak kapan dan bagaimana bisa gadis itu memiliki semua barang-barang ini? Dan yang paling penting, siapa gadis itu sebenarnya? Rasa ngeri mendadak menjalar menguasainya saat dia mulai menebak-nebak kemungkinan terbesarnya. Demi Tuhan, gadis itu berbohong selama ini dengan berpura-pura kehilangan ingatannya!
Aiden sudah hendak beranjak untuk meninggalkan ruangan itu ketika Lim memergokinya di sana. Dia merasakan sesuatu menyentuh belakang kepalanya. Gadis itu berdiri di hadapannya begitu berbalik, dengan tubuh yang hanya terbalut handuk mandi dan rambut yang masih basah seperti sengaja keluar kamar mandi untuk mengecek sesuatu. Tapi dari semua pemandangan yang mengejutkannya, hal yang paling membuatnya syok adalah sebuah senjata api berperedam yang tergenggam di ujung tangan Lim kini terarah tepat ke wajahnya. Sang pemilik menatapnya tanpa ekspresi, sama sekali tidak terlihat terkejut atau merasa bersalah dengan temuan besarnya ini.
Gadis itu mengedikkan senjata apinya, menyuruh Aiden beranjak dan keluar kamarnya tanpa suara. Tidak ada satupun di antara mereka yang berniat mengatakan sesuatu sementara Aiden menuruti perintahnya dan melangkah pergi dengan tatapan tidak percaya. Lim membanting pintu begitu Aiden keluar dari kamarnya.
“Shit,” umpat Lim pelan begitu pintunya tertutup. Terlalu fokus mengurusi program laptopnya membuatnya ceroboh dan melupakan hal paling kecil dalam usahanya menyembunyikan diri: mengunci pintu.
Sejak kembali dari rumahnya pagi ini, Lim melakukan hal yang sama sepanjang hari: membangun portal baru untuk mendobrak masuk ke dalam jaringan komunikasi organisasinya, seperti yang pernah dimilikinya dulu, secara anonim. Dia benar-benar melakukannya dengan sangat berhati-hati agar tidak tertangkap sebagai penyusup dan menghabiskan berjam-jam waktunya untuk mengingat formula alogaritma yang benar agar sistemnya tidak terlacak sama sekali. Dia memang memiliki memori fotografis yang kuat dalam mengingat detil sebuah kejadian atau banyak hal lainnya, tapi itu tidak termasuk bila harus mengingat aliansi simbol huruf dan deret angka kode-kode komputer. Untuk soal ini masih banyak yang jauh lebih baik darinya.
Beberapa jam sebelumnya dia memang mendengar Aiden memanggil namanya berulang kali. Lim tidak memedulikannya karena sangat berkonsentrasi di depan laptopnya. Dia menurunkan tingkat kewaspadaannya terlalu banyak hingga tidak berpikir Aiden akan menerobos masuk. Kembali ke dalam kamar mandi untuk membilas diri, Lim berpikir apa yang harus dikatakannya bila Aiden menuntut penjelasan, atau dia hanya perlu bersikap dingin dan bersikeras tidak mengatakan apapun. Dia merasa di atas angin karena kini memiliki senjata yang bisa dipakainya untuk menggertak lelaki itu. Apakah Aiden akan mudah terintimidasi dengan todongan senjatanya bila dia memilih untuk melakukannya? Bersikap seperti itu akan membuatnya tidak berbeda dengan orang-orang di organisasinya yang berniat memaksanya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Selama hampir setengah jam Lim duduk diam di tepi tempat tidurnya untuk berpikir, sebelum dia mengambil beberapa lembar cek dari dalam tasnya dan beranjak keluar, berniat bicara dengan sang pemilik rumah.
Aiden ternyata sudah berdiri di depan kamarnya ketika Lim membuka pintu. Pria itu melipat kedua lengan bersedekap defensif dengan ekspresi kesal yang dipendam jelas, menatapnya lekat tanpa mengatakan apapun. Lim tidak pernah melihat tatapan itu sebelumnya. Tatapan yang jauh dari keteduhan yang selama ini Aiden berikan padanya. Sorot mata terkhianati.
Lim bergidik. Ini jauh lebih buruk daripada bila Aiden langsung saja memaki atau memukulnya saat itu sebagai reaksi kekecewaannya. Seketika Lim dirundung rasa bersalah dan cemas yang besar. Aiden tidak seharusnya tahu mengenai hal ini, tidak dengan cara seperti ini.
Selama beberapa detik mereka hanya berdiri mematung di atas kaki masing-masing dalam keheningan, hingga Aiden mengedikkan kepalanya dan bersuara.
“Ikut aku,”
Lim berjalan mengikuti sementara membiarkan Aiden menggiringnya ke dapur. Lelaki itu duduk di salah satu kursi meja makan dengan kedua tangan masih bersedekap dan menyuruh Lim duduk di seberang meja. Ekspresi wajahnya masih belum berubah.
Lim menurut. Dia lalu menaruh cek yang digenggamnya di atas meja berinisiatif untuk memulai pembicaraan mereka sebelum Aiden sempat mengintrogasinya.
“Apa-apaan ini?”
“Aku harus tetap tinggal di sini,” Lim menjawab pertanyaan Aiden pendek. Lelaki itu menatapnya dalam seperti sedang berusaha menembus benak pikirannya, mencari tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya. Sangat kentara sekali bahwa sikapnya saat ini benar-benar membuat lelaki itu tersinggung.
“Kenapa?”
“Karena…” Lim menghindari mata Aiden sekarang. “Aku tidak punya tempat lain yang bisa kutuju saat ini, dan karena keadaan memaksaku untuk tetap tinggal. Aku akan mengganti semua kerugianmu selama aku di sini, kamu tidak perlu bersikap seolah aku ada… Namun biarkan aku menempati kamar itu untuk beberapa waktu.”
Lim tidak yakin mengapa, namun tampaknya pernyataan barusan makin menyinggung Aiden. Kedua matanya memicing menatap Lim tidak habis pikir. Namun ada sesuatu yang lain juga di sana, sesuatu seperti… rasa iba? Aiden tidak pernah terlihat seserius ini sebelumnya. Niatnya tampak sekuat baja untuk membuat Lim menjelaskan semuanya. Malam ini juga meski pembicaraan mereka akan berlangsung selama berjam-jam hingga terik matahari menjulang, sepertinya Aiden tidak akan peduli. Tatapannya begitu berniat memaksa gadis itu mengungkapkan kebenarannya, meski harus mengancamnya dengan berbagai cara. Lim mulai ragu pistolnya akan banyak bermanfaat.
Namun Aiden akhirnya melepaskan lipatan tangannya dan mencondongkan tubuhnya maju bersandar di meja setelah tidak melihat Lim hendak mengatakan hal lain. “Lupakan saja. Ambil kembali uangmu. Aku tidak membutuhkannya.”
Lim menggigit bagian dalam bibirnya tanpa menatap kedua manik mata kehitaman di hadapannya itu. Lim kehilangan kata-kata. Bila biasanya dia selalu menemukan jalan untuk berkelit dari tekanan dengan segala cara, namun kali ini lidahnya terasa kelu. Dia merasa sangat bersalah, tapi dia tidak bisa menunjukkannya. Tidak boleh. Lelaki itu tidak boleh melihat kelemahannya.
“Kamu tidak merasa berhutang maaf, ya? Demi Tuhan, Jane, kamu menodongku dengan senjata api tadi! Kamu benar-benar berniat membunuhku?”
“Kamu menerobos masuk ke dalam kamarku, dan membongkar barang-barangku—”
“Wow! Dan kamu membohongiku selama ini! Kamu bahkan membongkar lemari besiku!”
Mengangkat matanya, Lim memberanikan diri untuk menatap Aiden di seberangnya. Lelaki itu mengusap kepalanya frustrasi. Wajahnya yang biasanya tenang dengan senyum yang selalu terukir indah kini digantikan dengan dahi yang berkerut dalam, juga tatapan tidak percaya.
Lim telah membuat lelaki itu tampak bodoh dengan akting dan tipuannya selama ini. Aiden merasa jengkel, dan Lim bisa mengerti hal ini. Aiden mungkin menyesal telah menolongnya. Lelaki itu telah melakukan banyak hal untuknya. Lim bahkan menyadari segala resiko yang lelaki itu ambil saat memutuskan untuk menolongnya, dan hanya ini yang dia berikan sebagai pembalasan. Lim mungkin seseorang dengan segunung dosa besar di masa lalunya, tapi dia tidak pernah mengkhianati kepercayaan seseorang. Apalagi seseorang yang berharga untuknya. Orang yang telah menyelamatkan nyawanya.
Ekspresi di wajah Aiden saat itu membuatnya merasa seperti seorang kriminal yang pantas mati. Dia tidak pernah merasa selemah ini sebelumnya, tapi entah kenapa segalanya berbeda berkaitan dengan Aiden belakangan ini.
“Aku tidak ingin mengatakan ini, Jane, tapi kamu benar-benar menguji kesabaranku. Aku benci dibohongi ketika aku telah melakukan segalanya untuk menyelamatkan nyawamu. Maka saat ini aku menuntutmu membayar hutangmu dengan kebenaran. Kalau kamu masih memiliki nurani dan rasa bersalah, Jane, kamu jawab semua pertanyaanku dengan jujur, tanpa kehobongan, tanpa kamu gubah! Aku ingin mendengar semuanya.”
Lim sengaja tidak merespon kata-kata Aiden seperti apa yang lelaki itu inginkan. Dia hanya diam menatap lawan bicaranya tanpa ekspresi, sementara di dalam dirinya batinnya berperang. Kedua matanya turun ke atas permukaan meja menimbang-nimbang dalam keraguan. Seberapa jauh dia harus jujur pada Aiden?
Sebuah mug keramik di sudut meja menyita tatapan kedua matanya. Pikirannya menerawang. Lim berhutang banyak atas budi baik yang Aiden berikan padanya selama tiga minggu belakangan ini. Lelaki itu menariknya dari jurang kematian, lelaki itu memberinya tempat tinggal dan perlindungan yang dia butuhkan. Lim bisa saja membunuh Aiden karena telah mengetahui rahasia terbesarnya saat ini. Yang perlu dilakukannya hanya mengambil senjata apinya di kamar, mengarahkannya ke arah kepala lelaki itu, dan menarik pelatuknya. Seperti tugas-tugas lainnya. Akan mudah sekali.
Lim yang dulu mungkin akan melakukannya.
Lim yang sekarang, dia hidup bersama nuraninya. Dia berjanji pada Tuhan untuk tidak lagi hidup bersama Lim yang dulu, gadis yang tidak memiliki belas kasihan. Tuhan telah berwelas asih membiarkannya tetap hidup saat ini. Lim tidak bisa begitu saja mengambil nyawa seseorang yang telah Tuhan kirimkan untuk membantunya.
Selama belasan tahun hidup dan tumbuh di dalam lingkungan organisasi dengan dua dunia berbeda yang dijalaninya sekaligus, Lim tidak pernah sekalipun membicarakan kehidupan aslinya pada orang lain, terutama orang asing yang baru dikenalnya. Mulutnya tertutup rapat menjaga rahasia keesklusifan organisasinya, kesetiannya tidak terbantahkan. Dia bukanlah seorang pengkhianat. Tapi peristiwa dan berbagai insiden yang terjadi belakangan ini mengubah cara berpikirnya. Ketika orang-orang yang sangat dilindunginya ternyata malah berbalik hendak melenyapkannya dari permukaan bumi ini, Lim menyadari bahwa mereka telah memaksanya untuk membuang kesetiannya seperti barang bekas yang tidak lagi terpakai.
Dan dia juga masih memiliki perjanjiannya tersendiri bersama Tuhan untuk sebuah perubahan.
Kedua matanya terangkat kembali menatap Aiden. Napasnya terhela pelan mengucapkan kebenaran pertama yang dilontarkannya sejak membuka mata, setelah sang lawan bicara menyelamatkan nyawanya. Lim memilih untuk memberontak dari cara lamanya, memulai lembaran baru.
“Namaku Alana. Aku seorang pendosa.”
* * *
“Aku membunuh orang. Itu profesiku.”
Selama hampir satu jam, Jane Doe yang kini ternyata bernama Alana itu bercerita secara detil deskripsi profesi yang telah lama dijalaninya ini. Aiden mendengarkannya dengan seksama tanpa menyela, membiarkan gadis itu mengungkapkan sebuah kisah kehidupan yang dia pikir tadinya hanya terjadi di film-film saja. Terperangah dan ngeri bercampur aduk dalam dirinya.
Alana bukanlah seorang gadis biasa, dari dulu Aiden yakin. Tapi dia tidak pernah menyangka bahwa gadis itu akan begitu berbahaya. Gadis itu membuatnya tercengang dengan bagaimana dia menyebut dirinya sendiri sebagai seorang predator; salah satu yang tercepat dan mematikan.
Gadis itu memberitahunya semuanya—bagaimana misi datang, apa saja yang dilakukannya selama pengintaian hingga hari eksekusi dilaksanakan, lalu bagaimana setelahnya dia harus berjuang untuk tetap bertahan hidup ketika belasan pembunuh bayaran lainnya berusaha membalas dendam. Meski kerjanya tidak selalu mengintai dan berburu (tidak jarang dia disewa sebagai mata-mata korporat atau menyusup masuk ke dalam jaringan besar mafia Rusia dan Hong Kong), tapi misi-misinya selalu berakhir dengan dia harus mengorbankan banyak nyawa orang. Hanya satu peraturan yang mereka miliki: mereka tidak pernah tahu siapa yang mempekerjakan mereka, dan juga sebaliknya.
“Seluruh misi yang kami dapatkan diatur secara otomatis oleh sebuah sistem pusat komputerisasi di dalam organisasi. Tapi ada seseorang yang menyabotase program ini untuk misi terakhirku, dan siapapun dalang di balik kekacauan ini, aku harus menemukannya.” Alana meneguk habis air mineral yang Aiden berikan padanya.
Malam telah larut ketika gadis itu mengakhiri ceritanya. Aiden kelaparan setelah berjam-jam mendengarkan, dan agaknya gadis itu pun demikian. Aiden memasak mie instan untuk mengganti makan malam mereka yang sangat terlambat sementara menunggu Alana memotong sayuran di sampingnya.
Rasa kesalnya hampir hilang sepenuhnya begitu mendengar cerita Alana yang diungkapkan dengan begitu rinci dan menyeluruh seperti yang diinginkannya. Lucu, bagaimana mereka berdua membicarakan kehidupan seorang malaikat pencabut nyawa dan berjuta sensasi berbahaya dengan begitu santai seperti layaknya pasangan muda yang mengobrol tentang apa saja yang mereka lakukan seharian di tempat kerja.
Satu sisi dalam masalah ini menyakitinya saat teringat akan serangkaian kebohongan yang gadis itu sembunyikan. Kalau hari ini dia tidak masuk ke dalam kamar Alana, gadis itu mungkin akan terus melanjutkan aktingnya yang sempurna. Ironis sekali. Bagaimana perasaannya saat ini, juga bagaimana matanya memandang kisah hidup mereka berdua yang serupa tapi tak sama. Mungkin karena dia telah terbiasa berurusan dengan orang mati dan beberapa kali disebut—bahkan pernah dia diteriaki—seorang pembunuh oleh keluarga pasien bila dia tidak berhasil menyelamatkan nyawa para pasiennya di meja operasi.
Aiden memecahkan dua telur ke dalam panci, mengaduknya pelan dengan sumpit, kemudian menatap gadis di sebelahnya. Sebenarnya mereka tidak jauh berbeda, jika bukan karena faktor kesengajaan. Dia memperhatikan raut wajah gadis itu seketika berubah murung saat bicara tentang orang-orang mati. Dia tidak tahu bagaimana hal ini berpengaruh terhadap suasana hati gadis itu, yang tersembunyikan dengan sempurna.
“Eli itu… Apakah dia laki-laki di foto itu?” Aiden mendadak teringat saat Alana menceritakan sahabatnya, seorang penembak jitu yang membantu misi terakhirnya.
Gadis itu menatapnya sesaat, sedikit terkejut mendengar Aiden mengungkit foto tersebut.
“Dia teman dan juga partner terbaikku. Kami berasal dari panti asuhan yang sama di Bali bertahun-tahun yang lalu. Dia mengajariku banyak hal tentang bagaimana caranya memberontak, dan kami sering sekali mendapatkan masalah dan dihukum berat karenanya. Ketika suatu hari Thomas Adili berkunjung untuk mencari bibit-bibit baru bagi masa depan organisasinya dan kemudian memilihku, aku bersikeras tidak ingin pergi karena tidak mau meninggalkan Eli seorang diri. Jadi saat itu dia membawa Eli serta bersama kami.” Gadis itu tertawa pelan mengenangnya.
Aiden mendapati dirinya tersenyum. Tawa tulus gadis yang diselamatkannya itu adalah pemandangan yang amat langka.
“Dia lalu membawa kami ke Inggris,” gadis itu melanjutkan. “Kami tinggal di sebuah mansion besar di luar kota Chester bersama dengan puluhan anak lainnya. Di sana kami belajar bahasa Inggris, Perancis, dan, Rusia juga beberapa bahasa dunia lainnya. Selain itu juga kami berlatih bela diri, memanah, menembak, kamu tahu? Bahkan saat umurku 12 tahun, mereka telah membuatku mahir menggunakan rifle semacam Colt M16, dan menembak target dari jauh. Senapan-senapan yang sangat berat. Aku tak pernah tahu aku punya tangan sekuat itu.”
Gadis itu mengamati jari-jarinya yang lentik sejenak, mencari jejak-jejak monster di dalamnya seperti pertama kalinya. Lalu dia bercerita bagaimana dia menyadari bahwa pelatihan itu tidak pernah berhasil bagi semua anak yang tinggal di sana ketika satu persatu anggota mereka makin lama makin berkurang. Hanya sedikit yang bisa melewatinya hingga level terakhir seperti dirinya. Dia tidak pernah tahu bagaimana nasib anak-anak lain yang tertinggal di belakangnya.
Dia bercerita bahwa dia pernah membicarakan hal ini bersama Eli. Tapi ketika menanyakannya langsung pada ayah angkatnya, pria itu meminta mereka untuk tidak pernah lagi memikirkannya, karena rasa penasaran ini akan membuat benak mereka lemah. Menurut Thomas, dari yang Alana kisahkan, rasa simpati yang dimiliki manusia adalah penyakit mematikan bagi orang-orang ‘spesial’ seperti mereka. Aiden mengawasi perubahan nada Alana saat membicarakan hal ini. Gadis itu beberapa kali menggigit bibirnya, seperti tengah berduka, atau menyesali sesuatu.
“Ayah tidak pernah berhenti mengingatkan kami untuk tidak pernah kalah dengan empati dan rasa belas kasihan terhadap orang lain, terutama bila sedang dalam misi.”
Aiden merapatkan bibirnya. Thomas Adili terdengar begitu agung. Terlihat jelas rasa hormat yang dalam Alana simpan pada kekaguman sekaligus keseganannya pada ayah angkatnya itu.
Sewaktu genap berusia enam belas tahun, Alana dan Eli telah menjadi dua trainee dengan nilai tertinggi, dan dikirim ke Ceko oleh Thomas Adili. Lelaki itu secara pribadi melatih mereka seni ‘berburu’ bersama satu anak lain. Sejak itu mereka tak terpisahkan, menurut Alana, bahkan ketika menerima misi pertamanya setahun kemudian. “Pada dasarnya, seluruh anggota di dalam organisasi kami bekerja secara individual, tapi kurasa tidak sedikit di antara kami yang bekerja berkelompok. Eli sudah menjadi rekanku sejak pertama kali misiku ditugaskan. Kami melakukan banyak hal bersama, dan dia adalah salah satu orang yang paling mengerti bagaimana cara otakku bekerja.”
Aiden mengangkat kedua alisnya. Dia terperangah menemukan kisah yang sebelumnya Aiden pikir hanya terjadi di film-film aksi saja. Bahkan, pemeran utama film itu kini duduk di hadapannya.
Dipandanginya gadis itu takjub, kehilangan kata-kata. Tidak pernah dia kira bahwa organisasi semacam ini pernah ada, hidup dan tumbuh di Indonesia. Jadi begini, bayang-bayang di balik kinerja berbagai aturan kaku yang konon dijunjung tinggi dan diagung-agungkan? Menarik sekali.
Aiden tidak menyesal mempertaruhkan hidupnya pada kocokan dadu acak yang memutuskan untuk menolong Alana sejak hari itu.
Lim tidak pernah merasa selega ini seumur hidupnya. Ketika dia mengungkapkan seluruh kisah yang selama ini dipendamnya seorang diri, bicara seterbuka ini pada orang lain selain orang-orang di dalam organisasinya, dia merasa seluruh beban berat yang terpikul di pundaknya meringan. Sesak di dadanya menghilang.
Dia ingin menjadi sosok yang berbeda di hadapan Aiden, sebagai Alana. Kehidupan ini terlalu pahit untuk dijalaninya seorang diri. Masa lalunya, rasa bersalah yang menghantuinya, kematian-kematian orang terdekat yang menghancurkan dirinya menjadi kanker ganas yang menggerogoti dirinya dari dalam, membunuhnya perlahan. Lim menemukan ketenangan sejak menemukan lelaki itu di gereja, sebuah pertemuan yang dianggapnya bukanlah kebetulan belaka. Ada sesuatu dari sorot mata lelaki itu yang membuatnya yakin bahwa Tuhan sengaja mengirim lelaki itu ke sana untuk sebuah pesan.
Dulu Lim benar-benar menikmati masa-masa pelatihannya bersama Eli, masa-masa transformasinya dari seorang gadis yatim piatu tak berdaya menjadi senjata pembunuh yang beringas, yang bisa diandalkan untuk menjaga keseimbangan tatanan dunia di balik bayang-bayang. Lim adalah salah satu dari mereka, kaum elit penguasa dunia, dan walaupun dia hanya anjing suruhan, Lim menemukan ketenangan di dalamnya, semacam dendam-dendam masa lalu yang terbalaskan perlahan-lahan. Betapa leganya dia ketika dijemput dan dimasukkan pelatihan Thomas Adili, dibawa pergi dari panti asuhan yang menyesakkan, yang memberinya nama konyol “Alana” itu.
Setelah semuanya terjadi, bagaimanapun, Lim menemukan dirinya merindukan sosok Alana. Alana yang penurut, yang menyimpan semua dalam hatinya demi hidup damai, yang enggan menangis karena percuma. Alana yang tak pernah mengeluhkan makanan-makanan yang tidak enak atau ibu panti yang menyebalkan. Sosok itu adalah segala yang berkebalikan dengan Lim. Sosok yang hidup dalam dunia anak-anak tanpa mimpi buruk, penuh dengan tawa, ceria, dan sempurna. Sosok yang tidak berdaya, tapi punya seribu satu harapan akan masa depan yang damai. Saat menjadi Alana, Lim merasa dunia ini sangat ramah padanya, Tuhan menyayanginya dan mendengarkan doa-doanya.
Kehadiran Aiden memunculkan kembali sosok gadis kecil yang telah lama mati itu di dalam dirinya, meringkuk erat di bawah kebekuan hati Lim. Bersama Aiden, kebekuan itu perlahan mencair, menyibakkan secercah harapan.
Lelaki itu tidak berbohong padanya. Alana percaya. Lim percaya.
Aiden mengambil satu garpu dan diberikannya pada Lim, tersenyum sekilas melihat Lim menerimanya dengan agak canggung. Selama beberapa saat mereka tenggelam dalam keheningannya masing-masing, menikmati makan malam, hanya berkomentar tentang rasa mie instan yang mereka buat. Lim berpikir untuk mengganti topik pembicaraan mereka segera sebelum Aiden mulai menanyakan hal yang mungkin akan sulit dijawabnya.
“Perempuan di foto yang kamu simpan itu… Apa kamu masih mencintainya?” tanya Lim.
Pria itu menyeruput mienya dengan lahap tanpa bersuara, membiarkan Lim menunggu. Entah Aiden sengaja mengulur waktu atau memang sedang berpikir, Lim tidak tahu. Baru setelah lelaki itu meneguk habis segelas air mineral di dekatnya dia menatap Lim dan menjawabnya.
“Saat-saat itu sudah lama sekali berlalu. Aku masih ingat beberapa kenangan tentang dia tentu saja,” jawabnya enggan. Lim sama sekali tidak puas mendengarnya.
“Kamu tidak menjawab pertanyaanku.”
Aiden menggaruk pelipisnya. Sekali lagi dia membiarkan jawabannya tertunda beberapa saat.
Lim mengangkat kedua alisnya tidak sabar.
“Dia pernah mengisi satu bagian besar dalam hatiku bertahun-tahun yang lalu. Kami memiliki begitu banyak kenangan yang indah. Tapi dia juga bukan seseorang yang ingin kuingat terus menerus di saat begitu banyak hal baru yang aku temui dalam melanjutkan hidup. Seperti itulah kenyataannya. Bila aku harus menjawab pertanyaanmu seperti yang kamu inginkan, yang kutahu adalah bahwa apa yang kurasakan padanya saat ini tidak sekuat yang pernah kumiliki dulu. Dan, seperti yang sudah kukatakan padamu, saat-saat itu sudah lama sekali.”
Lim sebenarnya hanya membutuhkan jawaban iya atau tidak. Tapi entah kenapa Aiden malah memberinya jawaban yang membuatnya harus kembali berpikir apa yang ada di balik kalimat pria itu. Selama ini Lim mengira bahwa para pria memiliki cara berpikir yang sederhana, berdasarkan logika dan kenyataan yang ada di depan mereka. Rupanya pria yang duduk di dekatnya saat itu pengecualian.
“Lalu kenapa kalian berpisah? Kenapa kamu meninggalkannnya?”
“Karena dia tidak mencintaiku.” jawab Aiden, kini tanpa jeda panjang. Sepertinya memang itulah akar permasalahan hubungannya setelah sekian lama. Kedua mata lelaki itu menerawang menatap permukaan meja. Entah kemana pikirannya melayang, Lim tidak tahu.
“Dia hanya mencintai Aiden dengan seluruh kesempurnaan semu di matanya, tapi dia tidak mencintaiku dengan segala keterbatasan yang kumiliki. Saat itu adalah masa-masa tersibuk residensiku, di mana aku lebih banyak menghabiskan waktuku bekerja di rumah sakit. Di saat itulah kemudian komunikasi di antara kami semakin merenggang, dan segala hal tiba-tiba menjadi masalah besar baginya hanya karena kesalahpahaman kecil. Hari-hari penuh tawa seketika berubah menjadi ketegangan.”
Aiden mengangkat gelas di depannya dan meneguk isinya hingga habis. Dia melihat ke dalam isi gelas itu dan mengerutkan dahinya, seolah mencari sesuatu yang seharusnya ada di sana. Lalu, seolah akhirnya memutuskan, dia melanjutkan.
“Lagipula aku melakukan kesalahan besar, sesuatu yang fatal.”
Sejenak, keheningan menguasai mereka—keheningan panjang seolah mereka baru menerima berita kematian seseorang yang dekat. Air muka Aiden berubah. Lim tak bisa memastikan bagaimana, tapi ada membuatnya tidak nyaman.
“Memangnya apa kamu lakukan?” Lim bertanya.
“Ceritanya panjang.”
“Oh, aku punya waktu sampai besok pagi.”
“Aku yang tidak punya waktu.” Aiden menghela napas dangkal dan menaruh gelas airnya di meja dengan sebuah ketokan tegas. “Percaya deh, terutama karena malam ini aku hanya ingin mendengar ceritamu. Kisahku berhenti di sini. Aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali kami mengobrol tanpa harus saling berteriak dan menyalahkan. Jadi aku memilih untuk mengakhirinya.”
Lim mengernyit. Keputusan Aiden tampak final. Dia tidak heran sebenarnya mendengar jawaban seperti ini, karena di masa lalunya dia juga pernah menemukan seseorang yang memiliki kecenderungan yang sama. Bila dulu orang bertanya mana yang lebih dicintainya, antara pekerjaan atau kehidupan pribadi, Lim pasti akan menjawab yang pertama tanpa ragu. Tapi kini keadaan berubah. Setelah berbagai kepahitan insiden yang harus ditelannya bulat-bulat, Lim banyak sekali merenungkan pilihannya dan menyadari betapa kehidupan pribadinya merupakan sebuah kenangan yang sangat berharga—satu-satunya hal yang paling diinginkannya untuk berjalan sempurna. Lim menemukan alasan Aiden begitu egois.
Meski dia tidak yakin benar masalah apa yang sesungguhnya terjadi di antara kedua orang itu, Lim berpikir seharusnya Aiden mampu bersikap lebih bijaksana untuk memahami keinginan seorang wanita. Dia sendiri akan bersikap tidak berbeda bila kekasihnya tidak pernah berada di rumah dan menyempatkan diri untuk menghabiskan waktu bersama karena terlalu sibuk mengurusi kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri. Dan itulah yang dikatakannya pada pria itu, mengungkapkan pemikirannya.
“Sangat tidak adil bila kamu menilaiku seperti itu.” ujar Aiden membela diri.
“Ini bukanlah tentang apakah aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dan lebih mengurusi kepentingan orang lain daripada diriku sendiri, tapi tentang sumpah yang kukatakan di hadapan Tuhan, Alana. Sumpah seorang dokter yang mengabdikan kehidupannya untuk masyarakat. Selagi aku mampu, aku akan melakukan segalanya untuk memastikan seseorang mendapatkan perawatan yang terbaik dan menyelamatkan nyawa mereka, tidak peduli meski mereka menyerangku dan mengancamku dengan pisau di leher.”
Kalimat terakhir itu jelas tertuju pada Lim. Dia benci harus mengakui bahwa Aiden sama sekali tidak salah dengan apa yang dikatakannya tadi, menjadikannya tampak bodoh karena pada akhirnya orang disebutnya egois tidak lain adalah dirinya sendiri, sementara bentuk dedikasi itu merupakan hal terbaik yang telah menyelamatkan nyawanya.
“Jadi karena itu kamu menolongku? Kamu sama sekali tidak berpikir bahwa aku mungkin saja sangat berbahaya untukmu?” Sebenarnya dia tidak perlu mendengarkan jawabannya, tapi entah kenapa seketika saja Lim ingin mendengar apa yang Aiden pikirkan tentangnya. Jawaban pria itu sama sekali tidak disangka.
“Aku tidak berpikir kamu berbahaya, jujur saja. Kamu memang menyerangku, tapi yang lebih membuatku waspada adalah apa yang berada di sekitarmu. Aku lebih mencemaskanmu daripada diriku sendiri.”
Kedua mata Lim membelalak lebar mendengar kalimat yang baru saja didengarnya. Aiden mencemaskannya? Mungkin seharusnya Lim terharu, tapi dia justru terhina mendengarnya. Terbiasa diwaspadai oleh tiap lawan yang berdiri di hadapannya, bahkan orang-orang di dekatnya pun mengakui bahwa dia gadis paling berbahaya yang pernah mereka temui. Seorang pria asing yang belum genap sebulan dikenalnya malah mencemaskannya daripada beranggapan sebaliknya. Apa-apaan ini!
Lim tersinggung. Sedetik kemudian dia menaruh garpunya di atas meja, lalu menarik diri bersandar di kursi. Lengannya bersedekap.
“Itu kasar sekali.” Lim ingin sekali memukul lelaki itu, atau melancarkan aksi terapi syok memberi Aiden pelajaran karena kalimatnya yang lancang, tapi dia tidak melakukan apapun. Lim terlalu tercengang untuk bisa melontarkan kata-kata balasan yang relevan membela dirinya.
Aiden tergelak di kursinya. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu, Alana. Tapi bagaimanapun juga, tidak peduli sebesar apa kekuatanmu, atau seberbahaya apapun dirimu, di mataku kamu tetap seorang wanita.”
Lim menarik kepalanya terhenyak. “Apa maksudmu?”
Sekelibat tentang kalimat itu seolah menariknya kembali pada tahun-tahun yang telah berlalu. Tidak ada yang pernah membahas tentang hirarki jender bila berkaitan dengan dirinya, atau mungkin tidak ada yang berani. Semua orang di organisasi tahu benar sepak terjangnya dalam kehidupan gelap itu, seberapa besar kemampuan yang dia miliki, maupun determinasinya. Tidak ada yang menganggap Lim sebagai seorang wanita bila mereka telah berlaga dalam arena pertarungan. Kecuali seseorang. Hanya satu lelaki itu yang pernah mengatakan hal ini padanya.
Lim menyentuh dadanya. Rasanya nyeri, seperti ada tembakan panah tak kasat mata yang tepat mengenai jantungnya. Kenangan akan seorang laki-laki dari masa lalu yang ingin dilupakannya menjeblak masuk ke dalam ruangan pertahannya yang tak terjaga. Ingatan akan lelaki itu menyakitinya, salah satu alasan besar pengasingannya pada dunia gelap ini. Kematian terburuk yang harus dia hadapi dengan berat di antara serentetan tragedi yang menghancurkan hidupnya.
Kalimat itu dilontarkan untuk mengolok-oloknya dulu. Lelaki itu mengakui kebengisannya, tapi ternyata seluruh keistimewaan ini tidak cukup untuk mengalahkan kebesaran yang lelaki itu miliki dibandingkan dirinya. Lim menyadarinya. Dia tidak suka dipandang sebelah mata hanya karena dirinya seorang wanita, tapi hanya lelaki itu yang bisa membuat kalimat meremehkan ini menjadi sebuah lelucon yang kadang bahkan membuat Lim merasa tersanjung. Bahwa dia memiliki seseorang yang selalu ada di sampingnya, mencintainya.
Kalimat Aiden membuatnya sedikit syok. Kenangan akan hari-hari menyedihkan itu kembali lagi merayapi seluruh bagian tubuhnya. Dadanya sesak.
“Jangan salah paham, aku tidak meragukan bahwa kamu seorang gadis yang spesial. Kamu memiliki refleks yang luar biasa, dan kekuatanmu… Aku merasakannya sendiri. Tapi bahkan seorang Cleopatra pun akan jatuh ke pelukan Julius Caesar. Alana, kamu, dan segala kesempurnaanmu, akan ada saatnya kamu membutuhkan perlindungan seorang pria, dan di hadapannya, kamu tidaklah terlihat berbahaya. Seperti laki-laki yang kamu peluk di foto yang kamu simpan di dalam tasmu. Meski dengan cara pandang yang berbeda, aku melihatmu dengan mata yang sama. Karena aku juga seorang laki-laki.”
Untuk kesekian kalinya Aiden membuat Lim membeku di kursinya. Bahkan setelah usahanya untuk mengalihkan obrolan mereka menghindari topik ini, pria itu masih saja membuatnya kembali untuk menghadapi kenyataan pahit itu. Lim menggigit bibirnya. Dia benci harus mengakui bahwa kata-kata Aiden sama sekali tidak salah.
“Laki-laki itu pacarmu?”
Lim tidak menjawab. Dia sudah kehilangan minatnya melanjutkan pembicaraan ini. Tenggorokannya tercekat tiap mengingat ‘laki-laki itu.’
Lim menaruh garpunya di atas meja, kemudian beranjak dari kursinya. “Aku tidak ingin membiacarakannya. Terima kasih atas makan malamnya.” Dia menghindari mata Aiden dan bergegas kembali ke kamarnya. Entah bagaimana tatapan Aiden pada punggungnya waktu itu, Lim sama sekali tidak bisa menebak. Di dalam kamarnya, Lim duduk bersandar di sisi tempat tidur. Dadanya terasa sesak saat kembali teringat seluruh bayang-bayang kebersamaan di masa lalunya. Sosok lelaki dari foto yang mengintip keluar dari tas punggungya menangkap seluruh perhatiannya.
Sepasang mata yang tajam itu menatapnya dalam dengan senyum simpul yang selalu dia rindukan. Itu hanya sebuah foto, tapi Lim masih bisa merasakan seluruh gairah yang terpencar dari mata lelaki itu untuknya. Lim bahkan masih mengingat hangatnya lengan lelaki itu saat memeluknya kuat-kuat. Pria itu dulu adalah segalanya, pria itu sumber kehidupannya, tempatnya berlindung. Menghapus air mata di pipinya, Lim menaruh foto itu di atas karpet dekat kakinya.
Dia rindu lelaki itu. Lim membayangkan wajahnya, manik mata gelapnya yang bening, alisnya yang tebal, tawanya yang renyah… juga kebahagiaan mereka yang terenggut paksa oleh Kematian.
Kris… Aku belum bisa melupakanmu.
* * *
Filed under: original fiction, series Tagged: the Sinner's Vow
