Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Malicious: the Kidnapping Job [1/2]

$
0
0

malicious1-

“Jung, siapa itu yang mengetuk pintu?”

Krystal Jung mengangkat wajahnya dari majalah  yang dua jam terakhir ini tengah dipandanginya lekat-lekat. Saat itu pukul sembilan malam dan kakaknya, Jessica Jung, baru saja tiba di apartemen setelah berkali-kali meminta maaf pada Krystal karena harus pulang terlambat. Gadis berusia sembilan belas itu menutup majalahnya, berjalan menyeberangi ruangan menuju pintu.

Ia baru akan mengulurkan tangannya untuk menggeser selot kunci ketika tiba-tiba ketukan di pintu yang semula halus dan tidak terlalu menuntut berubah sebaliknya. Krystal menarik kembali tangannya, mengerutkan alis, dan mundur teratur.

Bukan apa-apa. Ia hanya berdua saja dengan kakaknya di apartemen dan kenyataan bahwa tidak ada seorang lelaki pun bersama mereka bukanlah hal yang bisa membantu.

“Jessica-eonni…,” panggil Krystal dengan suara lemah. “Bisakah kau tinggalkan kegiatan memasakmu dulu?”

Kepala sang kakak menyembul dari balik pintu dapur dengan sebelah alis terangkat. Ia melepaskan apron berwarna kuning muda dengan aksen bunga-bunga kecilnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya menyusul Krystal di ruangan tengah. Ia membiarkan Krystal yang langsung menghambur ke arahnya dan bersembunyi di belakang tubuhnya.

Jessica mengulurkan tangan, menggeser selot kunci, dan sontak terdesak mundur ketika pintu apartemennya menjeblak terbuka akibat dorongan paksa dari arah luar. Ia menengadahkan kepalanya, menatap sebegitu heran pada figur tinggi besar yang kini mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dengan tatapan remeh.

“Kurasa kau salah ruangan, Tuan. Ini bukan tempat para pecandu alkohol dan ganja,” semprot Jessica begitu ia mendapatkan kembali fokusnya. Ia tidak mengubah ekspresi sedikitpun begitu figur tadi menunduk ke arahnya sembari mengangkat sebelah alis.

“Dari cara bicaramu, apakah kau benar Jessica Jung?” tanya si pemilik figur tadi dengan suara berat dan kasar. Dugaan Jessica benar. Aroma alkohol menguar di udara begitu tamunya berbicara.

“Ya. Ada yang bisa kubantu?”

Seulas senyum tipis terbentuk di bibirnya. Lelaki itu berbalik dalam hitungan detik, menyelipkan tubuhnya ke pintu apartemen. “Kids, kita mendapatkannya. Cepat bawa.”

Hal terakhir yang mampu diingat Krystal adalah figur kakaknya yang tiba-tiba berada di antara pegangan kuat dua pria berpakaian hitam lainnya, meraungkan beberapa kalimat umpatan, sebelum akhirnya ketiga sosok itu menghilang di balik pintu. Jika saja tidak ada oknum lain yang ikut memeganginya, mungkin setidaknya ia dapat membantu kakaknya untuk kabur.

Ini penculikan. Dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain terduduk syok di tengah ruangan dengan pintu apartemen yang masih terbuka. Dimana para tetangga penyewa ruangan lain ketika ada ribut-ribut malam hari seperti ini?

-

Ini sudah genap lima belas menit sejak Park Jungsoo menyilakan tamunya untuk duduk bersamanya di sudut meja bar dan menceritakan seluruh potongan kejadiannya. Lelaki itu memanggil Kim Ryeowook, koki andal yang sejak tiga bulan lalu resmi bekerja di sana untuk membuatkan dua cangkir kopi hangat untuknya dan tamunya.

Jungsoo melipat tangannya di atas meja. “Nona Jung, boleh aku tahu pekerjaan kakakmu?”

Sang tamu mengangguk. “Jessica-eonni pernah bercerita padaku, saat ia memutuskan untuk menjemputku di kampus suatu hari. Ia sedang mengerjakan sebuah proyek, kalau tidak salah tentang air bersih dan tata kota. Katanya, itu sangat rahasia, karena ini berdasar dari uji penelitian yang ia kerjakan sendiri.” Krystal menghentikan kalimatnya, mencodongkan tubuhnya. “Ia belum memberitahukan ini kepada siapapun, omong-omong, termasuk atasannya.”

“Apakah kau pernah mengunjungi kantornya?” tanya Jungsoo, mengangkat alis. Lalu, jawaban Krystal adalah sebuah gelengan kepala. Ia baru ingin berbicara lagi ketika Kim Ryeowook datang dengan pesanannya. “Oh thanks, Ryeong.” Dan si koki bertubuh mungil itu tersenyum lebar sembari menggerakkan tangan kanannya dengan gerakan memutar.

Park Jungsoo menghela napasnya begitu sosok Ryeowook meninggalkan mereka berdua. “Begini, Nona Jung, menurutku alasan kakakmu diculik mungkin saja ada hubungannya dengan proyek terbaru yang sedang ia kerjakan. Kau tahu? Bahkan setiap atasan di seluruh dunia ini tidak rela ketika salah satu karyawan menyimpan rahasia darinya—“

“Jadi kau ingin bilang bahwa Jessica-eonni diculik oleh orang suruhan atasannya sendiri?” Krystal memotong ucapan Jungsoo, sedikit menggebrak meja di hadapannya. “Sudah kubilang, sebaiknya eonni keluar dari perusahaan itu.”

“Belum bisa menyimpulkan sampai kami benar-benar mengerjakan kasus ini, Nona Jung,” kilah Jungsoo ramah. “Aku akan selalu menghubungimu jika nanti kami mendapat berita atau informasi apapun.”

Krystal menghela napas. “Tuan Park, aku hanya ingin kakakku kembali. Tolong, ia adalah satu-satunya anggota keluarga yang masih kupunya…”

Jungsoo tersenyum. “Kami akan berusaha, Nona Jung. Dan sebaiknya, kau tidak berkeliaran diluar dulu selama beberapa hari ini. Orang-orangku akan berjaga di sekitar apartemenmu.”

Selang sesaat kemudian, Krystal mulai berbenah dan membungkukkan dirinya singkat kepada Jungsoo, sebelum berbalik dan melengang menuju pintu keluar bar.

Jungsoo mengedikkan kepalanya ketika sosok Kim Heechul dengan gelas tinggi di tangan kanannya berjalan melewati figurnya yang masih duduk di posisi yang sama. “Pertemuan, sekarang.”

-

“Lee Sungmin, tolong detailnya.”

Berbicara soal detail, seluruh tim sudah setuju untuk melemparkan tugasnya pada Lee Sungmin. Selain karena saat pertama kali direkrut Sungmin adalah satu-satunya orang yang memiliki tipikal orang terpelajar, setidaknya pendapat Jungsoo soal sifatnya yang dewasa dan selalu hati-hati serta teliti benar-benar tidak terbantahkan. Walaupun Kyuhyun kadang bersungut-sungut karena dirinya-lah yang paling berjasa ketika mencuri informasi berharga dari target mereka, debatan sang ketua tidak mudah dipatahkan.

Kini, setiap orang di ruangan itu terpaku pada arah yang sama.

Park Jungsoo duduk di belakang meja tinggi diapit Kim Heechul dan Hangeng, yang masing-masing memiliki aktivitas sampingan yang berbeda. Heechul dengan gelas tinggi berisi birnya dan Hangeng yang sedikit-sedikit menulis penjelasan Sungmin di buku sakunya.

Jo Kyuhyun duduk di belakang laptop, mendengarkan penjelasan Sungmin sembari mematikan sekumpulan pesawat alien. Jika Choi Siwon tidak segera menepuk bahunya, mungkin tatapan tajam sang ketua sudah membunuhnya sekarang.

Lee Donghae duduk di bangku terpojok ruangan, mengangkat kakinya ke atas, dan memeluk kedua lututnya. Entah apa yang salah dengan lelaki Mokpo itu. Sejak Lee Hyukjae menceritakan sebuah kisah horor klasik padanya, Donghae berkali-kali mengumpat jika saja kau tidak bersikeras mempengaruhiku bahwa ceritanya bagus dan benar-benar membuat penasaran, aku tidak akan terus merasa bulu kudukku merinding begini, Lee Hyukjae.

Maka, di sisi lain, Hyukjae tetap bersikeras bahwa kau, Lee Donghae adalah seorang pria dewasa dimana alasan akan takut hantu, tempat-tempat gelap, dan berbagai hal semacamnya bukanlah sesuatu yang bisa kau koar-koarkan. Kau ingin nanti tidak mendapat pacar karena kau takut hantu, heh, Lee Donghae?

“Jadi… ada pertanyaan?” Sungmin menyudahi penjelasannya.

Kyuhyun menghela napas, terang-terangan menguap setelah menutup layar laptopnya sesaat lalu. “Ini perbuatan atasannya—tunggu, tunggu jangan potong kalimatku dulu. Mana ada sih, atasan yang rela merasa dipermainkan oleh karyawan yang senang menyimpan rahasia? Mau ditaruh mana mukanya nanti?”

“Oi. Ini menyangkut hak cipta, Man. Jessica Jung pastilah memiliki alasan yang kuat kenapa ia belum ingin meluncurkan idenya itu,” sela Choi Siwon. “Lagipula, jika nanti ada kesalahan fatal, hal ini menyangkut jangka waktu hidup penduduk Seoul, bahkan mungkin seantero Korea Selatan.”

Heechul menjentikkan jarinya. “Aku sependapat dengan Kyuhyun. Siapa tadi nama atasannya?” Lelaki itu mengindikasikan pada Sungmin yang langsung mengubah layar besar di depan mereka pada sebuah foto. “Nah, lihat saja wajahnya. Pengusaha muda yang suka bermain wanita dan gila uang. Tsk, taruhan, dia hanya mewarisi semua perusahaan ini dari orangtuanya.”

“Baiklah, baiklah, aku tampung semua pendapat kalian.” Park Jungsoo bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke tengah-tengah ruangan di mana tadi Sungmin sempat berada. “Jadi, tujuan kali ini adalah menculik kembali Nona Jessica Jung dari perusahaannya, mendapatkan kembali proyeknya, dan—“

“Membuat perusahaannya bangkrut, tentu saja.” Lee Hyukjae menyahut dari sudut ruangan. “Orang kaya itu harus diberi pelajaran, omong-omong.”

Jungsoo mengangguk. “Baiklah. Kukira kalian sudah mengerti apa yang dikerjakan.”

-

“Apa kubilang. Sistem pertahanannya payah.”

Jangan tanya bagaimana Kyuhyun mendapatkan keajaiban menjadi seorang hacker dengan sempurna. Ia belajar otodidak, katanya, ketika suatu kali Heechul iseng bertanya padanya. Sistem pertama yang ia retas adalah sistem komputer di sekolahnya saat sekolah menengah, dimana akhirnya Kyuhyun dapat dengan mudah mengakses arsip-arsip rahasia sekolah. Entah tentang catatan-catatan murid, hingga ke soal-soal untuk ujian akhir. Setidaknya, dengan kemampuan yang ia punya, bahkan murid dengan skor terendah di sekolahnya pun bisa lulus tepat waktu. Jo Kyuhyun, God bless you.

Seperti yang biasanya mereka lakukan pada hari pengamatan pertama, Jungsoo selalu menempatkan Kyuhyun, Hyukjae, dan Donghae di van. Tugas Kyuhyun adalah melacak jaringan komputer target, masuk ke dalam sistem, dan akhirnya dengan mudah mengendalikannya jika diperlukan. Oh, jangan lupa dengan sifat jahilnya. Jika nanti operasi ini sudah selesai, hal sinting seperti apapun mungkin terjadi, dan Park Jungsoo sudah sangat maklum dengan semua ini.

Hyukjae mendengus dari balik buku komik yang dibacanya. “Mereka sudah masuk ke dalam? Cepatlah, menunggu di dalam van membuatku gila,” keluhnya berkali-kali. Ia melipat ujung halaman buku komiknya, menaruhnya sembarangan di sekitar laptop dan berbagai-perangkat-penting milik Kyuhyun, yang sontak membuat lelaki jangkung itu berjengit terganggu.

“Jauhkan komik-komik mesum itu dari barang-barangku, hyung. Mereka tidak berdosa!”

“Heh, kaupikir segala yang berhubungan denganku adalah hal-hal mesum, hah? Dasar maknae kurang ajar!”

“Tidak usah berkilah, hyung, koleksimu di lemari kayu besar itu adalah buktinya. Mau beralasan macam apa lagi kau?”

“Cerewet!”

Maka, satu-satunya jiwa yang tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol atau bertengkar di ruangan kecil van itu hanya menatap keduanya sembari bersandar dengan mata setengah mengantuk. Jungsoo menyuruhnya bergabung dengan Kyuhyun dan Hyukjae di dalam van, hitung-hitung untuk menjaga mereka berdua. Siwon dan Sungmin ada di tempat lain, lalu Hangeng bersama Heechul. Setidaknya, kemampuannya membela diri cukup lumayan.

Donghae mengedarkan pandangannya. Kali ini ke arah laptop milik Kyuhyun yang terbuka lebar, di mana layarnya terbagi ke dalam sembilan layar kecil yang masing-masing menunjukkan gambar dan situasi berbeda. Oh, tentu saja. Kyuhyun sudah berhasil meretas sistem pertahanan gedung dan masuk ke dalamnya. Kini, mereka hanya akan mengendalikannya dengan mudah.

“Hei, hei, kalian diamlah.” Donghae nampak tertarik dengan layar di ujung kiri atas. Ia memutuskan untuk bangkit dari kursinya dan berjalan menuju laptop. “Itu ruang penyimpanan, kan? Menurut kalian, kenapa ada jaket yang teronggok seperti itu?”

Di belakangnya, Kyuhyun dan Hyukjae berbarengan menutup mulut masing-masing dan menghampiri Donghae yang kini memilih duduk berlutut di belakang meja. Keduanya mengikuti arah telunjuk jari Donghae dan seketika itu pula, mereka tahu apa yang harus dilakukan.

“Kyuhyun, jaga van-nya. Kurasa aku tahu dimana Jessica Jung berada.”

I’ve got your back.”

“Omong-omong sepertinya Heechul-hyung sudah menemukan si tersangka,” Kyuhyun menggumam. “Oke, kabari aku lagi!”

Lalu, pintu van tertutup di belakang figur Hyukjae dan Donghae yang lantas menuju pintu masuk.

-

Donghae-hyung perlu tanda pengenal pegawai, omong-omong. Jika tidak, pintunya tidak mau terbuka. Aku tidak bisa meretas hingga kesana.

Hangeng mengangguk pelan. “Tanda pengenal yang mana saja, kan?”

“Yep.”

Sosok tingginya berjalan di antara pegawai kantor yang berlalu lalang. Ia baru saja berpisah dengan Heechul sesaat yang lalu, ketika lelaki itu bilang ia akan pergi ke ruangan direktur untuk mengalihkan perhatian. Maka, disinilah Hangeng, dengan sepasang mata yang teliti menyisiri setiap sudut ruangan di lobi bawah.

Seorang pegawai wanita berjalan ke arahnya. Blazer hitam membungkus tubuhnya di atas dalaman berwarna merah menyala dengan sempurna. Sudah kebiasaan bagi seluruh pegawai menggantungkan tanda pengenal di sekitar pinggang dan begitu juga dengannya. Ketukan stilleto pumps berwarna senada terdengar jelas di telinga lelaki itu setiap si wanita melangkahkan kakinya. Senyum wanita itu merekah kala Hangeng berjalan ke arahnya, tersenyum kecil, dan dalam hitungan beberapa detik keduanya akan berpapasan.

Miss, it’s hot outside.

Tangan kanannya bergerak halus menyibakkan blazer yang dari semula tidak terkancing, membiarkan dalaman merahnya sedikit lebih terekspos. Wanita itu mendesah pelan akibat perlakuan Hangeng, entah karena ia terlalu terpesona atau memang kata-kata lelaki itu benar. Tiba-tiba saja udara menjadi sedikit lebih panas.

Keduanya tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berubah, hanya kartu tanda pengenal milik wanita itu saja yang kini sudah berpindah tangan.

Figur lelaki itu berjalan menuju pintu keluar, di mana dua orang baru melewati pintu yang sama, di lobi bawah, lalu berpisah begitu pintu kaca geser tertutup di belakang mereka. Salah satunya berjalan menuju Hangeng.

“Thank you.”

“Anytime.”

Donghae menekan receiver di telinga kanannya, merapikan jas yang ia pakai secara tidak formal di atas kemeja biru garis-garis yang tadi pagi diberikan Jungsoo. Tangan kanannya memainkan kartu tanda pengenal yang baru saja dioper Hangeng padanya. “I’m in.”

Here we go. Ikuti kata-kataku terus, oke?”

Lee Donghae menggulung lengan jasnya sebatas siku begitu ia menyelipkan tubuhnya di antara pintu lift. “On your command, Jo Kyuhyun.”

-

“Oh, Tuan Kim, ternyata kau datang dua jam lebih cepat dari perjanjian kita kemarin.” Figur tegap Park Jaebum memasuki ruangan minimalis dengan keseluruhan perabotan dominan putih itu. Kakinya berjalan santai menuju meja kerja dengan kursi beroda yang membelakanginya. Senderan tinggi kursi itu menghalangi pandangannya akan seseorang yang duduk di atasnya. “Well, jadi inikah ruang kerja yang kauinginkan nanti?”

Kim Heechul memutar kursinya dengan gerakan mendramatisir. “Ya, dengan warna keseluruhan putih. Kau tahu? Ini warna yang menenangkan dan aku bersedia membayarmu tiga kali lipat jika kau juga berani menjual proyek baru itu padaku.”

Lelaki di depan Heechul memasang tampang tak percaya. “Kupikir… kemarin kau hanya ingin membeli perusahaan ini saja? Maksudku… kau tentu tidak melupakan perbincangan kita di telepon, kan?”

“Begini, Tuan Park. Tidakkah kau mengerti efek besar apa yang akan terjadi jika proyek itu berhasil?” Heechul mencondongkan tubuhnya, menumpu dagu. “Seluruh warga Seoul akan tunduk dan menghormatimu, namamu akan dikenal, pikirkanlah. Bahkan derajatmu akan lebih tinggi daripada pemimpin negara ini, kau tahu. Dan aku akan membantumu mencapai itu semua…,”

Kim Heechul tersenyum meyakinkan. Satu tangannya meraih cangkir mungil berisi kopi hangat yang semula diantarkan oleh salah satu office boy di sana. “Jadi… apa kita sepakat?”

Park Jaebum mengangkat sebelah alisnya, sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan lelaki di depannya secara langsung. Ia meraih kursi lain di hadapan Heechul, duduk di atasnya, dan melipat tangan di atas meja. “Bisakah kita makan siang bersama sembari membicarakannya?” tanyanya balik, sebelum kemudian tersenyum, dan mengulurkan tangannya pada Heechul.

Keduanya berjabat tangan.

Dan Heechul hanya perlu menganggukkan kepalanya singkat untuk jawaban makan siangnya.

-

“Bagaimana dengan Kim Junsu? Kau sudah membereskannya?”

Lee Sungmin menyenderkan punggung ke dinding besi di belakangnya, menarik napas dalam, dan mengembuskannya kasar. “Jungsoo-hyung, seharusnya kau mengirim Siwon untuk melakukan ini. Sosoknya lebih besar dari foto yang kudapatkan,” jawabnya, sesekali terengah. “Biar aku yang berjaga di sekitar apartemen Krystal Jung.”

“Begini, Sungmin. Masalahnya, si atasan pasti terus mengirim orang untuk meyakinkan bahwa adik dari Jessica Jung itu tidak melapor polisi, detektif, atau siapapun agar penculikan ini tidak terkuak dan diketahui media. Nah, siapa tahu kalau kini Siwon sedang menghadapi orang lain yang bertubuh lebih besar?”

Lelaki itu seketika terlonjak. “Ah, kau serius?!” tanyanya dengan nada tinggi. “Baik, baik, aku ke tempat Siwon sekarang.”

Sungmin bangkit, menepuk-nepuk celana bagian belakangnya berkali-kali. Setelah memastikan jejaknya aman, ia melangkah terburu menuju mobil sedan yang semula diparkir di pinggir jalan. Tidak terlalu memedulikan jalanan yang sedikit ramai, lelaki itu memutar balik, menyebabkan mobil sedan lain terpaksa mengerem secara mendadak, dan si pengemudi meracaukan kalimat-kalimat umpatan padanya.

“Aku mendengarmu, bung,” Sungmin berbisik pelan sebelum menginjak gas dalam-dalam.

Di belakang, tepatnya di jalanan kecil sebuah gang dengan bak sampah raksasa di sudut tempat di mana lelaki itu sempat mengatur napas tadi, sesosok pria dengan lebam dan luka di sekujur tubuhnya perlahan membuka mata. Kepalanya pusing setengah mati dan sepertinya ada dua, tiga gigi yang tanggal, menyisakan rasa asin darah yang lekat di mulutnya.

Kim Junsu bertumpu pada apapun benda terdekat yang mampu ia raih. Mendorong tubuhnya bangun, mengedarkan pandangan ke seluruh gang, sebelum benar-benar sadar bahwa keadaannya benar-benar berantakan saat ini dengan jas robek-robek, dasi menggantung, serta sepatu yang hilang sebelah. Oh. You’ve got served.

Sesaat, ia teringat akan janji yang kemarin dibuatnya dengan salah satu pemilik perusahaan besar di kantornya. Oke, ia akan menghubunginya sekarang, meminta maaf untuk datang terlambat, sekaligus mengajukan permohonan untuk mengundur waktu pertemuan. Itu perlu, tentu saja. Ia tidak mungkin datang dengan keadaan seperti habis mengeruk lumpur di sepanjang sungai Amazon begini, kan? Ya. Tentu saja ceritanya akan lain jika ia tidak menemukan ponselnya di kantung celana kanan, kiri, bahkan di kantung kemeja dan di kantung jasnya.

Bagus. Selain dipukuli, ponsel dan dompetnya hilang entah kemana.

Alisnya terangkat sedetik ketika ditemukannya secari kertas lusuh di bagian terdalam kantung celananya. Ia bergerak cepat, membaca tulisan di kertas itu, sebelum akhirnya berterima kasih puluhan kali kepada siapapun yang tadi memukulinya.

-

Choi Siwon memicingkan matanya ke arah seberang. Bangunan tinggi di ujung blok dengan warna putih gading yang menutupinya, serta beberapa coretan lumut bekas hujan di bagian tengah hampir ke bawah dinding gedung, menjulang tampak lebih tinggi dari beberapa bangunan di sekitarnya.

Ia masih belum mematikan mesin mobil, membuka kunci, dan menginjakkan kakinya ke tanah sejak tiga jam yang lalu Jungsoo menyuruhnya memonitor apartemen kakak-beradik Jung. Hanya beberapa orang yang tidak mencurigakan yang berlalu-lalang di sekitarnya, masuk dan keluar seperti hal itulah yang mereka lakukan sehari-hari. Dengan kata lain, belum ada satu, dua orang yang benar-benar menarik perhatiannya.

Ketika seorang wanita tua dengan cara berjalan yang sedikit tertatih keluar dari kedai kopi di samping gedung apartemen, seorang pria tinggi dengan jaket kulit berwarna hitam melintas di depannya. Langkahnya tergesa—terlalu tergesa untuk ukuran orang yang baru keluar dari sebuah gedung apartemen. Katakan ia ingin berangkat bekerja seperti pegawai kantoran lain, namun saat itu jam digital di dasbor mobil sudah menunjuk pukul dua siang.

Kedua alis lelaki itu terangkat. Dengan mata yang terkunci pada sosok di pria yang kian menjauh, Siwon keluar dari mobil, menggebrak pintunya asal, dan berlari mengejarnya. Pria itu berbelok di ujung jalan lainnya saat dua, tiga orang memotong jalannya.

“Oh, maaf.”

Hati Siwon mencelos. Pria itu hanya berhenti di depan mobil penjual kopi hangat keliling, menghisap rokoknya dalam-dalam dan memesan satu cangkir kopi pada si penjual. Ia terburu-buru karena ingin merokok? Ah, tentu saja! A smoker’s lunch can be a cigarette and a cup of bad coffee.

‘Dan aku membiarkan apartemen kakak-beradik Jung hilang dari pandanganku selama sepuluh menit. Oh, yang benar saja!’

-

“Jadi, sebenarnya pintu mana yang harus kubuka?” Donghae bertanya dengan nada tidak sabaran. Ia berdiri di dekat tangga, setelah sekitar sepuluh menit merangkak di saluran udara dengan komando dari Kyuhyun. Napasnya terengah. Ia memang sudah berpengalaman mengatur cara bernapasnya ketika tengah menyusup lewat saluran-saluran sempit. Tapi dengan bau-bauan aneh di sana? Ew.

Chill out. Seperti kau tidak pernah berhasil menyelamatkan orang saja. Aku perlu memastikan tidak ada orang lain yang menuju ke tempatmu sekarang, jika tidak, kita akan berakhir di balik jeruji besi karena menyusup.”

Donghae memutar bola mata. “Kita tidak tahu bagaimana keadaan Jessica Jung saat ini. Siapa yang bisa menjamin kalau dia masih terjaga? Kau tahu, kan, wanita tidak suka gudang dan tempat gelap?” balasnya, bertanya. Lelaki itu menyeret langkah, duduk di atas anak tangga kedua, menunggu respon Kyuhyun.

“Ck. Kau berkata seperti kau sudah lama mengenalnya. Anyway, aku sudah memutuskan pintu tercepat dan termudah yang harus kau ambil. Sekarang berdiri dan hitung langkahmu sebanyak lima belas. Lalu, menghadap ke kiri, dan itulah pintumu.”

“Jangan berbicara dengan nada milik Willy Wonka begitu,” sahut Donghae datar, mengabaikan ocehan protes dari Kyuhyun. Lelaki itu bangun, melakukan setiap detil poin yang dikomandokan sang maknae padanya—ya, walaupun dirinya tahu, menghitung langkahnya sendiri adalah sikap yang sungguh kekanakan. “Sudah lima belas,” tuturnya pelan, sebelum akhirnya menghadapkan tubuhnya ke kiri.

Voila!”

Lee Donghae menatap pintu di hadapannya dengan pandangan datar dan alis terangkat. “Boleh kutahu kenapa kau memilih pintu yang ini?”

“Karena itu pintu gudang tempat Jessica disekap. Aku pintar, kan?!”

“Brengsek,” desah lelaki itu pelan, menelan bulat-bulat kenyataan kalau kali ini ia benar-benar menjadi bulan-bulanan Kyuhyun. Derai tawa sang maknae mengalir dengan jelas, sangat jelas di kedua telinganya. Inginnya melepas sepasang receiver itu, tapi itu artinya ia harus siap diceramahi Jungsoo saat misi selesai nanti.

Tidak ada cara lain, selain bersabar ketika kau harus bekerja sama dengan seorang Jo Kyuhyun.

Pintu terbuka dengan suara ‘klik’ pelan, ketika trik membobol pintu miliknya membuahkan hasil. Donghae melarikan tangannya, mendorong pintu itu perlahan agar tidak menimbulkan suara sebising apapun. Sudut matanya menangkap kamera pengintai di ujung kiri atas ruangan. Kyuhyun sudah meretas sistemnya. Ia tidak perlu takut para penjaga perusahaan akan mengetahui keberadaannya.

“Nona Jung…?”

Ia berjalan berjingkat, kembali menutup pintunya, sebelum berbalik hanya untuk berteriak kaget sembari hampir terjungkang ke belakang.

“Hei, hei, singkirkan pemukul bisbol itu dari wajahku!” hardik lelaki itu, setelah berhasil mengatur napasnya.

Jessica Jung berdiri di sana dengan kedua tangan yang menggenggam erat sebuah pemukul bisbol yang terbuat dari besi. Senyum kecilnya menandakan ia puas dengan keadaan di mana lelaki di hadapannya saat ini sama sekali tidak memiliki senjata dan benar-benar terpojok.

“Kau sudah menculikku dan sekarang kau meminta pemukul bisbol ini untuk tidak menghajarmu?” tanya Jessica dengan nada galak. “No shit, Sherlock, an eye, for an eye.

Donghae mengangkat kedua tangannya di depan dada, bersikap defensif kalau-kalau pemukul bisbol itu akan berakhir menghantam kepalanya. Tidak, tidak. Aku disini untuk menyelamatkanmu. Seseorang di perusahaan menculikmu untuk proyek yang selama ini kau kerjakan. Mereka hendak mencurinya.” Lelaki itu menelan ludah. “Dan untuk memudahkan, mereka membuatmu seperti ini.”

Sepasang mata Jessica menyipit. “Lalu… bagaimana kau bisa tahu kalau aku diculik? Tunggu, aku tidak mengenalmu.” Lagi-lagi gadis itu mengangkat pemukul bisbolnya.

Lelaki itu menghela napas. “Adikmu… adikmu Krystal yang datang pada kami dan meminta bantuan. Dia tampak putus asa, kau tahu.”

“Oh Tuhan….” Gadis itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Ia melupakan pemukul bisbolnya, meletakkannya sembarangan di lantai, dan berbalik dari hadapan Donghae. Ia memijat keningnya. “Bagaimana keadaannya? Ia… tidak melakukan hal bodoh, kan? Apa dia baik-baik saja?”

Donghae tersenyum kecil. “Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu yang terakhir,” katanya, membuat Jessica sontak berbalik dan melayangkan tatapan membunuh pada lelaki itu. “Karena kau akan keluar dari sini.”

Jessica menghela napas. “How?”

Baru saja lelaki itu hendak menjawab dan berbalik untuk kembali membuka pintu gudang, teriakan nyaring dari alarm yang entah ditempatkan di sebelah mana sontak memenuhi ruangan. Lampu-lampu merah yang berputar tanpa henti menerangi suasana gudang yang sedikit kekurangan cahaya.

Di belakangnya, Jessica beringsut panik. “A-aku tidak menyentuh apa-apa, tapi alarmnya—“

“Jo Kyuhyun! What the hell with this sudden alien invasion?!” Donghae berteriak sembari kembali mencoba membuka pintu, namun hasilnya nihil. Sesuatu telah benar-benar menguncinya.

Damn it! Mereka sedikit lebih pintar dari yang kuduga. Brengsek! Sistemnya balik menyerang! Mereka mengirim virus ke jaringan sistem kita!”

-

Katakan saja, untuk pengalaman seperti ini, jujur saja seorang Krystal Jung belum pernah mengalaminya.

Siang ini, ia mengikuti saran Park Jungsoo, dengan menjadi seorang gadis manis yang berdiam di rumah, mengerjakan berbagai tugas dari dosennya, membaca majalah, dan membuat makan siang. Sudah tiga panggilan yang tidak ia hiraukan—ponselnya tergeletak begitu saja, lagipula Jungsoo berjanji akan menelepon ke nomor telepon rumah, dan bukan ponsel.

Jika saja ia tidak sedikit diserang kantuk dan tidak main membuka pintu saat bel berdering halus. Ketika itu, Krystal baru selesai dengan makan siangnya dan sedang disibukkan dengan majalah. Ia tidak repot-repot mengecek siapa pembunyi bel dan hanya langsung membuka pintunya.

“Is your Mommy home?”

“No, but—“

Jawabannya tidak akan pernah keluar dari mulutnya, karena sekonyong-konyong dua tangan besar dengan kuat memerangkap tubuhnya, menyumpal mulutnya dengan saputangan yang diikat begitu erat ke belakang kepalanya, dan mengikat kedua tangannya di balik kursi. Ada satu, oh dua, tidak, ada tiga orang dengan ukuran tubuh yang sama, yang kali ini mendatangi apartemennya.

Krystal tidak menyukai obrolan yang tengah mereka bicarakan. Sejauh yang ia tangkap, ia mendengar beberapa kalimat tentang ‘obat penenang’, ‘bernasib sama dengan kakaknya di gudang’, dan sekelebat ucapan selamat tinggal. Jika ia harus mati hari ini, maka hal yang paling ia sesalkan adalah, bukan sosok kakaknya yang ia lihat terakhir kali.

Sepasang matanya sontak melebar begitu ia dengar pintu depan kembali menjeblak karena dibuka secara paksa. Ketiga pria dengan tubuh besar itu menyebar, bersembunyi di sudut-sudut ruangan. Hatinya mencelos ketika seorang lelaki tinggi yang ia kenali berjalan menuju dirinya, dengan pandangan serius dan penuh pertanyaan.

‘Tidak! Jangan! Ini namanya seperti seekor tikus yang rela memasuki kandang berisi tiga kucing raksasa kelaparan! Keluar! Keluar!’

Sumpalan di mulut membuatnya sulit berteriak. Krystal hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja begitu lelaki di hadapannya berlutut, hendak melepaskan ikatan kaki dan tangannya begitu satu dari pria bertubuh raksasa yang menyekapnya muncul dari sudut ruangan dengan pemukul bisbol, sementara yang lain menyiapkan tali dan ikatan kain lainnya.

Airmata Krystal meleleh. Ikatan di sekitar mulutnya lepas, tepat pada saat akhirnya Choi Siwon ambruk di hadapannya.

-

Kim Heechul menyeka mulutnya perlahan. Inilah yang ia sukai dari posisi yang diberikan Park Jungsoo padanya. Tidak perlu menggunakan otot, energi, dan berbagai macam kekerasan lain. Hanya perlu otak yang berjalan, serta lidah yang tidak salah memilih kata, dan untungnya, itu adalah keahliannya.

Park Jaebum baru saja permisi ke kamar kecil untuk mencuci tangan dan setelah itu, proyek milik Jessica Jung akan secara resmi jatuh ke tangannya. Tugasnya selesai dan ia yakin Jungsoo sudah mengurus hingga ke detil-detil terkecil.

“Jadi… apa kita sepakat?” tanya Heechul tanpa mengangkat wajahnya. Ia melipat tangan di depan dada, memandang lurus ke bawah, begitu ia tahu Park Jaebum sudah berdiri di belakang kursinya.

“Ya, kita sudah sangat sepakat.” Jaebum memberikan nada meyakinkan pada kata-katanya saat pria itu menunduk dan menjawab pertanyaan Heechul. “Untuk menjebloskanmu ke penjara.”

Satu alis Kim Heechul terangkat, namun ia tak perlu menoleh ataupun membalikkan tubuhnya, karena Jaebum beserta dua sosok lelaki tinggi dengan seragam kepolisian lengkap berjalan memutari meja dan berhenti di seberang mejanya. Jaebum menyeringai. “Kaupikir kau bisa membodohiku? Siapa yang tidak mengenalmu, Kim Heechul? Artis papan atas yang akhirnya jatuh dan bangkrut, lalu kini menjadi seorang penipu…,”

“…aku tahu komplotanmu kini sedang menyerang gedung perusahaanku. Maka dari itu, kusuruh para penjaga mengaktifkan sistem pertahanan tiga kali lipat lebih ketat. Dan apa kau tahu? Aku juga menyuruh orang-orangku untuk kembali mendatangi apartemen kakak-beradik Jung. Jika perlu, aku juga harus membuat adik Jessica Jung tidak bernyawa seperti kakanya, eh?

Heechul menghela napas. “Ka—“

“Hei, hei. Aku yang berkuasa di sini, jadi hanya aku yang boleh bicara. Mengerti, Kim Heechul?” Dan lelaki itu hanya bisa memutar bola matanya atas kata-kata Park Jaebum. “Nah, bicara soal uang dan proyek, aku akan menyuruh pegawaiku untuk kembali memasukkannya ke tempat yang aman. Hm… kalau perlu kau juga bisa mendengar percakapan kami.”

Park Jaebum tersenyum kecil. Ia mengeluarkan ponselnya, menyetelnya ke mode speaker, dan meletakkannya di meja, di hadapan Heechul. “…kau dengar perintahku, kan, kembalikan file berisi proyek Jessica Jung ke tempat semula. Dan jangan pernah berpikir untuk menyerahkannya pada penipu kacangan lainnya, mengerti?”

“Diterima, Sir.

Maka, Heechul hanya bisa duduk seperti orang idiot disana, saat akhirnya Jaebum bertanya padanya dengan nada sinis dan mengejek. “Ada kalimat terakhir, Kim Heechul?”

tobecontinued

* * *


Filed under: fan fiction, series Tagged: 2PM, Cho Kyuhyun, Choi Siwon, Han Geng, Jessica Jung, Kim Heechul, Krystal Jung, Lee Donghae, Lee Hyukjae, Lee Sungmin, Malicious: the Series, Park Jaebum, Park Jungsoo, SNSD, Super Junior

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles