I wonder if you hurt like me
I wonder if you cry like me
I wonder if you live all day in memories like me
2AM – I wonder if You Hurt Like Me
.
Pernahkah kalian memutuskan sesuatu, dan menyesalinya sesaat kemudian? Pernahkah kalian berusaha keras meraih sesuatu, tapi obsesi itu menjadi hal sambil lalu yang akhirnya kausesali? Karena saat ini, itulah yang kaurasakan.
Kau tidak berhenti bertanya kenapa; Kenapa kau begini? Kenapa kau sembrono? Kenapa dulu kau tidak begini dan begitu? Kenapa kau tidak bisa sabar dan berpikir jernih? Kenapa kau membiarkan dirimu dikuasai oleh obsesimu yang membutakan? Kenapa? Kenapa? Dan Kenapa?
Dulu kau tidak begini. Han Jo yang kaukenal dulu, adalah seseorang yang tahu apa yang dia inginkan. Han Jo adalah seseorang yang memiliki mimpi, memiliki prinsip yang tidak tergoyahkan oleh segala macam distraksi. Han Jo adalah seorang yang penyayang, dia bukan seseorang yang egois dan mementingkan dirinya sendiri hanya untuk memenuhi hasrat keinginannya.
Entah apa yang waktu telah lakukan padanya, karena Han Jo yang saat itu berdiri di hadapan Luhan, kau sama sekali tidak mengenalnya. Kau melihat seorang gadis yang putus asa, yang karena obsesinya terhadap sebuah perhatian, dia melakukan hal yang tidak akan pernah Han Jo dulu lakukan.
Kelegaanmu hanya berjalan setidaknya selama 17 jam sejak kau dibebaskan dari belenggu beban-beban pikiran itu. Begitu Luhan meninggalkan kamarmu, kau berdiri di sisi jendela menatap jejak-jejak kakinya di atas tumpukan salju tertumpuk oleh langkah orang-orang yang berlalu-lalang di depan asramamu.
Kau duduk di tepi pembaringan, menekuk lutut di atas karpet dan memeluknya erat. Pandanganmu terarah pada dinding tak jauh di hadapanmu, pikiranmu melayang entah ke mana. Hari itu kau merasa seperti sebuah ruangan yang baru saja ditinggalkan pemiliknya. Tanpa ada perabotan di sana sini tiap sudutnya terasa lebar. Angin dingin menari-nari di dalamnya dengan leluasa memenuhi tiap jarak yang tidak ditempati, udara terasa jauh lebih segar dan melegakan, tapi di saat yang sama, kau merasa kosong. Kau merasa hampa.
Hari itu kau hanya duduk diam di sana. Tidak ada pikiran apapun yang bermain-main di dalam kepalamu sebelum kau tidur—kau tidak bisa tidur meski begitu. Malam itu pandanganmu kosong tertuju pada langit-langit ruangan, dan kau baru terlelap setelah lelah berkedip, menghabiskan sekitar dua atau tiga jam berjalan-jalan di dunia mimpi.
Kau terbangun paginya dengan mata yang basah. Luhan adalah nama pertama yang muncul di ruang kesadaranmu, ketika kau tersentak dan menemukan dirimu seorang diri di dalam kamar tidurmu. Hari itu kau melepas kalung pemberian Jongin dan cincin dari Luhan, menyimpannya kembali di kotaknya masing-masing.
Pagi itu, kau mulai menyesali pilihan yang kaubuat. Pilihan yang Luhan buatkan untukmu.
* * *
Januari 2014
Ini diawali dari sebuah insiden kecil pada suatu pagi di hari penghujung tahun 2013. Setelah mengurung diri di dalam ruanganmu selama beberapa hari, Seohwa mengajakmu berjalan-jalan ke Seoul bersama Minseok. Mereka mungkin ingin menghiburmu, meski kau tidak melihat apa signifikasinya inisiatif itu. Kau merasa dirimu baik-baik saja pasca berakhirnya hubunganmu dengan Luhan, meski kadang beberapa hal tentang keabsenannya membuatmu sedikit kehilangan, kau berpikir ini hal yang wajar. Jadi kau tidak mengerti kenapa Seohwa beranggapan bahwa kau memerlukan sedikit hiburan.
Kalian berangkat hanya berdua dari Woobin. Rencananya kalian akan berjalan-jalan di Hongdae, dan Minseok akan menyusul kalian berdua di sana. Mau tidak mau kau harus mengakui, bahwa keluar dari kamarmu sesekali waktu ternyata tidak buruk juga rasanya. Sudah lama sekali kau tidak berkunjung ke Hongdae, dan rasanya menyegarkan bisa menikmati pedagang-pedagang yang menyajikan variasi sandang untuk musim dingin dan segala pernak-perniknya yang menarik mata.
Kalian berkunjung dari satu lapak ke lapak lainnya, beberapa kali berhenti untuk melihat topi-topi cantik dengan model baru tren musim dingin tahun ini. Beberapa kali itu juga kau hampir membeli sebuah benie, atau helmet-hat dengan model yang berbeda untuk Luhan—kau menemukan sebuah model topi bercorak koala berwarna biru dan memberitahu Seohwa bahwa topi itu akan sangat manis bila Luhan yang memakainya. Dia hanya mengangguk dengan senyum simpul, dan saat itulah kenyataan itu menerjangmu bagai banjir bandang. Kau teringat akan situasi kalian berdua, dan kau mengurungkan niatmu membelinya, mengembalikan topi itu kembali ke tempatnya.
Segalanya sederhana saja sebenarnya, bagaimana hanya berjalan berkeliling Hongdae bisa membuat suasana hatimu jauh lebih baik. Kau terhibur dengan hiasan-hiasan beberapa toko dalam suasana Natal berwarna merah, juga berbagai diskon tahun baru yang tidak akan kaulewatkan. Kalian menertawakan leucon-lelucon yang Seohwa ceritakan, juga hal-hal lucu yang kalian liat di pinggir jalan. Sebegitu sederhananya, sesederhana rusaknya seluruh tawa dan suasana hatimu hanya dalam satu penemuan singkat yang tak pernah kauduga.
Minseok memberitahu bahwa dia akan menemui kalian di Cafe Benne, dan akhirnya kau juga Seohwa memutuskan untuk pergi ke sana terlebih dulu menghangatkan diri sambil menunggu Minseok datang.
Cafe Benne di Hongdae adalah satu tempat yang akan selalu kau kunjungi dulu di masa SMA. Tempat itu bisa dibilang menyimpan banyak sekali kenangan, karena hampir semua teman sekolahmu datang ke sana bila sedang menghabiskan waktu di area tempat berkumpulkan para anak muda ibukota ini. Kau bahkan mengenal baik para pramusajinya, dan kafe ini juga, adalah tempat di mana kau dan Luhan dulu menghabiskan sore kalian hampir tiap minggu.
Sebenarnya agak aneh datang ke sana seorang diri—tanpa Luhan—karena biasanya kalian seperti satu paket yang akan selalu terlihat bersama. Do Kyungsoo, salah satu pramusaji yang tidak pernah beranjak dari posisinya di depan kasir, selalu tahu apa yang akan kalian pesan; memproses pembayaran dua gelas minuman, sepotong Opera cake dan semangkuk muffin coklat tanpa Luhan perlu mengatakannya begitu berdiri di seberang konter.
Kau tidak berpikir akan bertemu dengannya di sana saat itu, dari semua hari dan semua tempat kongkow di seluruh pelosok Seoul metropolitan. Kau bahkan tidak perlu berusaha mengenalinya, karena sosok itu sudah seperti sebuah feature dalam daftar katalog ‘mengenal kehidupan seorang Han Jo’. Luhan melangkah keluar dari dalam kafe, dan lelaki itu tidak sendiri.
Sebelum Seohwa sempat membuka pintu, kau menariknya menjauh dari sana. Ada beberapa orang yang berdiri di antara jalan kalian berdua, hingga saat Luhan muncul dari balik pintu, dia tidak menyadari keberadaan kalian di sana.
Kau mengawasinya berjalan pergi bersama seorang gadis yang sudah tidak lagi asing bagimu. Mereka mengobrol dengan akrab, Luhan membuat gadis itu tertawa sebelum menertawakan lelucon yang dilontarkannya sendiri. Pemandangan itu mungkin tidak akan mempengaruhimu, bila saja Luhan tidak meraih tangan gadis itu dan mengaitkannya ke sikunya—sebuah kebiasaan yang selalu lelaki itu lakukan, hanya saja kali ini bukan tanganmu yang diraihnya.
Hatimu mencelos seketika.
“Siapa dia?” Seohwa bertanya sejurus kemudian, mengembalikanmu pada pemandangan yang kini tersaji dengan nyata. Kau bukan hanya sedang bermimpi melihatnya.
“Lee Chaerin. Dulu kami teman SMA.” Kau menjawab singkat.
Seohwa hanya mengangkat kedua alisnya dan mengangguk pelan mengonfirmasi sebelum menarikmu ke dalam kafe. Kau ingin ikut bersamanya, tapi entah kenapa suasana hatimu sudah tidak lagi terlalu antusias untuk melanjutkan jalan-jalan kalian hari ini. Seolah ada pemadaman total dalam ruang batinmu, keinginanmu untuk bersenang-senang pun padam bersama dengan perasaan aneh yang kini menguar dalam hatimu.
Kau menarik tanganmu dari genggaman Seohwa,
“Kau tahu? Kurasa lebih baik aku kembali ke Woobin. Udaranya terlalu dingin, sepertinya aku akan merasa lebih nyaman bila menghabiskan waktu di studio. Kau tunggu saja Minseok di sini, oke? Sampaikan salamku untuknya, sampai ketemu nanti malam.” Tanpa membiarkan Seohwa menjawab maupun menahanmu pergi, kau menepuk lengannya ringan, mengangkat tanganmu menyapa—sekaligus tanda selamat tinggal—Kyungsoo yang melambaikan tangannya dengan senyum lebar dan bergegas pergi meninggalkan kafe itu. Mengambil jalan yang berbeda dari yang Luhan lewati, kau memutar ke jalan besar, menyetop taksi dan kembali ke institut saat itu juga.
Bayang-bayang akan ekspresi Luhan saat bersama Chaerin terus berkutat di dalam kepalamu hari itu. Suara tawanya, matanya yang menyipit di saat yang sama, ekspresinya yang ceria, yang tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia tengah tersakiti maupun patah hati karenamu, semuanya terputar dengan jelas seperti rekaman video yang bisa kau saksikan di ponselmu saat itu.
Tawanya bersama Chaerin begitu lepas hingga kau tidak bisa memastikan apakah ketulusan itu benar-benar nyata di sana, karena begitulah Luhan. Dia seorang yang sangat fleksibel dan mampu mengenalikan emosinya dengan hampir sempurna. Tapi mungkin saja dia memang benar-benar baik-baik saja. Seharusnya kau senang karena apa yang kaulakukan padanya tidak berimbas besar pada cara Luhan melanjutkan hari-harinya tanpamu. Keputusanmu tidak mempengaruhinya secara signifikan, dan seharusnya kau lega.
Tapi kenapa rasanya begini?
Saat kau melihat Luhan bersama dengan gadis lain yang bukan dirimu, kau tidak menyukainya. Saat kau melihat Luhan mengaitkan tangan gadis itu di sikunya, kau merasa seperti sebuah tuas emosi membangkitkan amarah dalam dirimu. Saat kau melihatnya melontarkan canda dan membuat gadis itu tertawa, kau merasa ini adalah lelucon paling tidak lucu sedunia.
Dadamu sesak memikirkannya. Tenggorokanmu tercekat membayangkannya. Dan untuk pertama kalinya setelah beberapa hari, kau merasa tidak baik-baik saja.
.
Kau teringat Miss Hariette, pelatih balet akademimu dulu pernah berkata, bahwa dalam sebuah pilihan akan selalu ada satu hal yang harus kaulepaskan untuk mendapatkan hal lain yang kau inginkan.
To gain, is to lose. You can’t get everything and still have everything—adalah sebuah kutipan yang pernah dikatakannya padamu, dan selalu kauingat hingga saat ini. Dan kau tidak pernah cukup mengerti kalimat itu, karena dulu kau selalu mendapatkan apa yang kauinginkan. Kau tidak pernah bisa merasakannya, hingga saat ini. Kau tidak pernah mengira bahwa pada akhirnya kau harus melepaskan Luhan untuk mendapatkan kebebasan yang kauinginkan.
Hari-hari terus berjalan denganmu mulai merasa kehilangan dia. Kau berpikir ini hanyalah sebuah efek samping dari akhir sebuah hubungan yang telah lama terjalin. Meski yang sesungguhnya baru berjalan satu tahun, ikatanmu dengannya telah menyimpul kuat selama beberapa tahun sebelumnya. Dan selama beberapa tahun kini kau terlalu biasa dengan kehadirannya, hingga keabsenannya membuatmu hilang arah. Seperti orang orang gila yang tersesat.
Kau berusaha untuk meyakinkan dirimu bahwa kau akan baik-baik saja. Bahwa ini hanyalah sebuah proses, bahwa ini adalah resiko yang harus kau ambil dari keputusan yang telah kaubuat. Tiap hari saat kau membuka mata, kau terus meyakini bahwa inilah yang kauinginkan, dan kau akan bisa melewatinya. Tapi kau tidak pernah mengira, semakin hari berlalu, semakin besar rasa kehilangan itu menggerogotimu. Semakin kau berusaha untuk melupakannya, semakin gencar pula memorinya menguasai seluruh benak rasa rindumu.
Bekas keberadaannya menghilang bersama angin dingin yang bertiup memasuki sudut kamarmu, menghapus aroma cologne yang tercium dari balik mantelnya yang tertinggal, menghapus suaranya yang dulu selalu bernyanyi di telingamu.
Dia menghilang, seperti tak pernah ada.
.
Satu minggu berlalu, dan kau mulai berhalusinasi. Semua hal yang kaulihat selalu mengingatkanmu padanya, segala hal yang kau dengar mengingatkanmu pada kehadirannya. Kau seperti melihatnya di salah satu kursi audiens di auditorium, kau seperti mendengar tawanya di keramaian kafetaria, kau seperti merasakan hela napasnya di lehermu saat kau hampir terlelap, dan merasakan dekapannya menemani tidur malammu.
Kau tahu ada yang salah dengan kepalamu, karena Luhan tidak pernah ada di manapun kau berada. Kau tidak menemukannya di tempat kau merasa melihatnya, dan kau tidak menemukan sosoknya saat kau mengira mendengar suaranya berbicara. Dan kau mulai menarik diri dari keramaian. Kau hanya ingin sendiri, karena hanya dengan begitu, bayangan maupun suara-suara itu akan meninggalkanmu.
Atau kaupikir tadinya begitu. Karena ternyata delusi ini terasa begitu buruk, karena untuk sekali waktu, dari semua hal yang mampu membuatmu melupakan segalanya, menari tidak lagi mampu mengalihkan rasa rindumu padanya.
Bila dulu dengan menari kau akan merasa jauh lebih ringan, bahwa dengan menari bisa membuatmu terlupa akan segala pikiran yang membebanimu. Saat ini menari tidak bisa menjadi tujuanmu saat ingin melarikan diri. Saat ini menari hanyalah menari, dan tarian itu tidak berarti karena tidak ada lagi seseorang yang akan duduk menontonmu dengan antusias. Karena tidak ada lagi seseorang yang membuatmu terdorong untuk memberikan sebuah pertunjukkan yang luar biasa. Orang itu tidak pernah lagi datang.
Teknis menarimu menurun jauh, seperti terjun bebas. Sekeras apapun kau berlatih, selama apapun kau menghabiskan waktu di studio untuk mengulang rutin yang sama berjam-jam, kau tidak bisa menunjukkannya sebaik dulu.
Di minggu kedua kau menangis untuk pertama kalinya.
Bukan hanya karena kau sangat merindukannya tapi terlalu takut untuk menghubunginya, kau menangis karena kau gagal melakukan segala gerak yang diinginkan Ms. Evreinoff dalam latihan individualmu. Ketidakfokusanmu membuatnya tidak sabar, dan menekan tombol pelontar untuk mendorong seluruh kemampuan menarimu hari itu, menghabiskan energimu hingga titik penghabisan, hingga kau tidak lagi mampu berdiri begitu kelas berakhir.
Kau menangis karena kuku ibujarimu patah akibat pointe work yang mengharuskanmu berjinjit dan bertumpu di atas jari-jari kaki, dan rasanya luar biasa nyeri. Kau menangis karena Ms. Evreinoff berpikir seluruh usahamu belum cukup untuk memuaskannya, bahwa menurutnya kau masih belum berusaha yang terbaik, bahwa selama tiga jam kelas itu kau hanya sedang menyakiti dirimu sendiri dengan kesalahan-kesalahan rutin yang kaulakukan.
Sisa hari itu Seohwa menemanimu menemui dokter, dan tinggal bersamamu sepanjang waktu. Malam itu kau meluapkan seluruh emosi yang tertahan selama hari-hari sebelumnya. Dia menangis bersamamu, dan kehadirannya membuatmu merasa semakin emosional. Malam itu, untuk pertama kalinya kau memberitahu seseorang bahwa kau sangat, amat sangat, merindukan Luhan, dan dadamu terasa sebah karenanya.
Rasanya sangat menyakitkan, saat kau berusaha mengambil udara di sela sesak yang mencekik tenggorokanmu, karena satu-satunya yang kauinginkan saat itu adalah Luhan yang mendekapmu dalam pelukannya. Karena kaitan lengannya di tubuhmu adalah satu hal yang mampu menenangkanmu saat itu, tapi kau tidak akan mendapatkannya karena Luhan tidak ada di sana untuk melakukannya. Malam itu kau terlelap dalam pelukan Seohwa untuk menenangkanmu, kau tidur setelah lelah menangis, dan rasa kantuk itu menyerangmu begitu saja tanpa kausadari.
Pagi harinya kau meminta gadis itu untuk merahasiakan hal ini dari siapapun; apa yang dia lihat dan dia dengar, akan tetap menjadi rahasia antara kau dan dirinya. Hanya kalian berdua.
Atas saran dokter kau tinggal di dalam kamarmu hari itu. Agar proses pengeringan luka di jari kakimu lebih cepat, kau dilarang untuk banyak beraktifitas, jadi yang kaulakukan hanyalah duduk di atas tempat tidur dan menonton televisi seharian.
Tanpa bisa kautolak, bayang-bayang Luhan kembali menyerang benakmu tiap kali pikiranmu melayang. Kau akan terus melihat wajahnya di tiap sudut ruang batinmu, kau mendengar suaranya di antara para karakter dalam drama yang disiarkan di televisi, dan dadamu kembali sesak karenanya. Jadi kau memutuskan untuk menyibukkan diri. Sepanjang siang keesokan harinya, kau membersihkan kamarmu.
Kau meminjam vacoom cleaner dari petugas pembersih dan menyedot seluruh debu di dalam tiap sudut kamarmu, menyikat kamar mandi, mengganti seprai dan duvet di pembaringan, dan membereskan barang-barang di lemari.
Aktifitasmu sempat terhenti saat kau menemukan sebuah buku tebal berselimutkan kulit sintesis kecoklatan. Sebuah buku yang sudah cukup lama tidak kau buka sejak kau menempati kamar ini, yang kau biarkan tertumpuk di antara barang-barang yang hampir tidak pernah kaupakai, buku yang hampir terlupakan karena kesibukan aktifitas yang menyita hampir seluruh waktumu untuk menyimpannya di tempat yang lebih baik.
기억의 첵—kau menatap lekat tulisan tangan Luhan yang terukir dengan gel perekat di cover buku itu. Buku kenangan yang diberikannya bersama Minseok pada hari ulangtahunmu tahun lalu, sebuah buku yang dia berikan sebagai token perjanjian baru komitmen hubungan kalian.
Setelah sekian lama akhirnya kau membuka kembali buku itu, menatap cukup lama foto di halaman depan, karena itu satu-satunya penampakkan dari Luhan yang nyata di dalam buku ini. Kau menyesal kenapa dulu tidak bersikeras meminta Luhan menuliskan sesuatu di sana, karena dengan begitu setidaknya saat ini kau bisa membaca sesuatu darinya, yang mungkin bisa sedikit membuatmu merasa lebih baik—untuk sesaat ini kau ingin mencoba menghibur diri dengan menikmati kenangan yang yang dia buat untukmu di dalam buku ini.
Kau membuka tiap halamannya satu persatu, membaca pesan dan menatap foto yang tertempel di sana dengan lekat. Sambil mengulang kembali momen-momen yang berjalan di kala kau menciptakan kenangan itu bersama mereka, kau hampir tidak menyadarinya, tapi beberapa kali kau tersenyum ketika membayangkannya.
Dan ketika kau tiba di halaman terakhir, kau melakukan sesuatu yang tidak pernah kau lakukan pada buku itu sebelumnya. Kau membuka halaman-halaman yang kosong satu persatu hingga hampir di akhir halaman, kau menemukan tulisannya.
Tidak pernah terpikir di kepalamu bahwa Luhan akan menulis pesannya di sana, jauh dari peradaban pesan-pesan yang bermukim di halaman-halaman depan, dia meninggalkan kata-katanya sendiri di satu halaman di belakang, hanya untuk dirinya sendiri.
Tulisannya tidak banyak, hanya terdiri dari beberapa kata yang ditulis rapi dalam bahasa Inggris. Kau membacanya dengan seksama.
The moments to be always remembered,
are the moments you create to enlighten the days when we were together
Bind to passion, I’m a guide to your glow
.
Revolve your foe – Lu Han ~♥
Kau tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum untuk membacanya. Ada kehangatan yang kini menjalar dari dadamu, ke seluruh tubuhmu. Kata-katanya terasa begitu hangat saat membicarakan apa arti kehadiranmu untuknya, dan juga sebaliknya.
Untuk beberapa lama kau berusaha untuk memahami kalimat terakhir. Pesan yang tertulis di akhir cetakan pena itu terasa sedikit tidak pada tempatnya, kenapa tiba-tiba saja Luhan menyuruhmu untuk ‘revolve your foe’—terus berada di sekitar musuhmu?
Kau mencoba untuk meng-anagram kalimat itu, yang kemudian membentuk sebuah kalimat baru. Kalimat yang membuat jantungmu merosot hingga ke kaki saat membacanya. Sebuah kalimat yang berbunyi: love you forever.
Menarik napas dalam, lalu menghelanya pelan. Kau mengulang gerak ini berkali-kali sembari menahan tangis. Kalimat itu terngiang terus di benakmu, seolah kau bisa mendengar Luhan membisikkannya di telingamu berulang kali. Kau tidak bergerak selama beberapa jam itu. Duduk di atas tempat tidur, dengan buku itu terbuka di atas pangkuanmu, dan kau menatap tulisannya lekat-lekat, menaruh jarimu di atas halaman buku, menelusuri tiap lekuk huruf-huruf yang tertulis seolah kau bisa menyentuhnya dari sana.
Kau tidak mendengar ketika kamarmu diketuk dan Minseok muncul dari balik pintu. Saat kau menyadarinya, dia merangkak naik ke atas pembaringan dan duduk di sampingmu.
Minseok membawa ddeokbokki kesukaanmu dan membukanya agar kalian bisa menikmatinya bersama. Dia menanyakan keadaanmu, yang kaujawab dengan senyum simpul yang tidak begitu meyakinkan.
“Aku baik-baik saja.”
“Kau tidak terlihat baik-baik saja.” Minseok menepuk-nepuk sisi wajahmu lembut. “Pipimu makin tirus.”
“Latihanku gila sekali belakangan ini.”
“Begitukah?” dia bertanya lagi, dan memutuskan untuk menerima jawabanmu saat kau mengangguk.
Kedua matamu kembali tertuju pada halaman buku yang terbuka di atas pangkuanmu, Minseok mengikutimu sesaat kemudian.
“Aku baru saja menemukannya.” Kau memberitahunya, menunjuk tulisan Luhan di antara halaman-halaman kosong di bagian belakang buku.
“Kalau saja aku membaca buku ini lebih sering seperti yang dia suruh, kurasa aku sudah akan menemukannya sejak dulu.” ujarmu menambahkan.
“Setidaknya kau sudah menemukannya sekarang.”
Kau mengangguk. Kalian terdiam.
“Apa dia baik-baik saja?” tanyamu beberapa saat kemudian. Matamu masih tertuju pada tulisannya, dan tidak teralihkan saat pertanyaan itu terlontar.
“Dia baik-baik saja.” Minseok menjawab pelan.
“Apa dia mengatakan sesuatu?”
“Dia tidak tahu aku datang ke sini.”
“Apa dia…“ kau menoleh padanya. “Pernah menanyakanku?”
Minseok tidak langsung menjawabmu. Dia hanya diam, mengalihkan matanya darimu pada kotak ddeokbokki di dekat lipatan kakinya dan menusuk satu kue beras, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri.
Saat Minseok menggeleng, kau tahu bahwa itu adalah jawaban untukmu. Dan kau mengangguk mengetahuinya. Tentu saja. Untuk apa dia menanyakanmu setelah apa yang kaulakukan padanya. Luhan mungkin membencimu saat ini, namamu bisa jadi adalah hal terakhir yang ingin dia dengar. Bodoh sekali bila kau berpikir dia masih memikirkanmu setelah kau memilih untuk memikirkan orang lain ketimbang dirinya.
Luhan bukan seorang malaikat, hatinya tidak senaif itu.
“Apa dia—“
“Jo, kau harus berhenti menanyakannya.”
“Maafkan aku….”
“Dan berhentilah meminta maaf. Berhentilah menyesal, karena percuma, segalanya sudah terjadi.” Minseok menusuk satu kue beras lagi dan memasukkannya ke dalam mulut, “Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, karena dia baik-baik saja, dan dia ingin kau bahagia dengan keputusan yang telah kaubuat.”
Satu bulir air matamu mengalir saat kaudengar kalimat itu terucap, dan kau mengusapnya dengan satu tanganmu.
“Dia membenciku, iya kan?” kau bertanya lagi sesaat kemudian.
“Dia tidak membencimu. Dia hanya…” Minseok berhenti sebentar, seperti sedang mencari kata yang tepat untuk menjawabmu. “Kau tahu, bila aku adalah Luhan saat ini, mungkin aku akan mengutukmu dengan semua keputusan bodoh yang telah kaulakukan. Tapi aku bukan Luhan, dan kita tahu dia bukan orang seperti itu. Saat-saat sekarang ini memang berat untukmu, dan mungkin juga untuknya, tapi dia berusaha untuk bertahan. Setidaknya sampai hari ini dia masih bertahan, dan dia melepaskanmu. Karena itu lupakanlah dia. Lanjutkan hidupmu dan biarkan dia melanjutkan hidupnya sendiri. Akan lebih mudah bagimu untuk melupakannya kalau kau berhenti memikirkannya, atau menanyakannya.”
Kau tidak ingin mengakuinya, tapi mungkin apa yang Minseok katakan ada benarnya meski terdengar sangat menyakitkan. Lalu bagaimana dengan kalimat ‘love you forever’ yang Luhan tulis di buku itu? Apakah dia juga akan melupakannya begitu saja, seperti kau harus melupakan dia yang pernah hidup dalam memorimu?
Tapi otakmu bukan hardisk komputer yang bisa kau atur dengan mudah. Sistem cara kerja memorimu tidak semudah menekan ctrl+A dan shift+del seperti mudahnya komputer menghapus beratus giga file yang kau simpan dalam ruang memorinya.
“Kau harus bertahan, Jo, seberat apapun rasanya, seburuk apapun rasa sakitnya.” Minseok berkata lagi. “Begitulah rasanya kehilangan, seperti kau melompat dari atas tebing ke jurang yang curam. Yang terburuk mungkin saat kau harus membuat keputusan itu. Tapi sekalinya kau melompat, tidak ada lagi yang bisa kaulakukan selain melepaskannya.”
Air matamu mengalir lagi.
“Pada akhirnya itulah pilihan yang kaubuat, dan tidak masalah seberapa berat pertimbanganmu saat memutuskannya. Yang terpenting adalah bahwa kau telah melakukannya.” Minseok membelai rambutmu dengan lembut. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi selain pengakuan bahwa dia baru saja mengutip Cassandra Clare dan Lauren Oliver pada buku-buku mereka.
Tidak ada respon yang mampu kaukatakan saat ini. Kau tidak tahu apa saja yang sudah Luhan katakan pada Minseok, maupun obrolan macam apa yang mereka lakukan, tapi yang baru saja lelaki itu sampaikan seolah menjadi jawaban dari seluruh kebimbanganmu selama dua minggu ini.
Kau mengeringkan wajah dengan tanganmu dan menahan tangismu dengan menjejalkan potongan kue-kue beras pedas itu ke dalam mulutmu banyak-banyak hingga tersedak, hingga Minseok menyuruhmu untuk berhenti makan. Kau memuntahkan seluruh isi perutmu di kamar mandi setelah itu. Dan selama beberapa jam setelahnya dia menungguimu di sana, menepuk punggungmu dengan lembut dan sayang, saat kau gagal menahan luapan emosi yang bergemuruh di dadamu dan menangis sesenggukkan dalam sandaran tanganmu di dudukan toilet.
Apakah yang dikatakannya itu adalah hal yang sama seperti yang Luhan inginkan, kau tidak pernah tahu. Tapi bila memang itu yang lelaki itu inginkan, mau tidak mau kau mungkin harus berusaha untuk melakukannya. Karena sampai dua minggu yang lalu, inilah yang kauinginkan, dan kau telah memaksa Luhan untuk memutuskannya untukmu.
Saat Minseok akhirnya meninggalkanmu, kau membolehkannya pergi setelah menyumpahnya untuk tidak mengatakan hal ini siapapun. Apa yang dia lihat, maupun yang dia dengar, hanya akan menjadi rahasia di antara kalian berdua.
Dan apa yang Minseok katakan padamu terus terulang di dalam kepalamu sepanjang malam itu. Kau harus berhenti menangis, kau harus berhenti.
Kau harus melupakannya. Ini tidak akan mudah, tapi kau harus melakukannya.
* * *
.
.
================================================================================
chapter pre-finale.
Aku agak bingung gimana nulisnya soalnya di finale ini ada 2 tema yang berbeda, jadinya aku publish dulu yang pertama. Dan ya, ini memang bukan tentang Luhan maupun Jongin, jadi nggak perlu protes “kenapa porsinya Luhan dikit banget” atau “jonginnya mana?”
jawabannya: soalnya ini cerita tentang Han Jo dan kehidupannya
This is just not the end.
LIKE and comment would be appreciated
~xoxo
Filed under: fan fiction, series Tagged: Enchanted, Han Jo, Kim Minseok, Lu Han
