-
“Sometimes you gotta dance with the devil to get out of hell.”
Suara sirine dari empat, hingga lima buah mobil kepolisian dengan lambang New York Police Department itu mulai memenuhi pelataran depan 32 East 3rd Street, tepat di depan sebuah apartemen, ketika Zhang Yixing mengontak anak buahnya untuk segera menuju lokasi lewat receiver. Dua, tiga orang lelaki berseragam turun beriringan dari tangga besi yang terlihat reyot dengan seorang tersangka berkaus putih, rambut panjang menjuntai, ditambah memar di seluruh tubuh, serta luka tembak. Satu dari mereka telah mengamankan pistol milik si tersangka yang tergeletak sembarangan begitu peluru Yixing sempat menembus paha kirinya.
Menjadi satu-satunya orang yang hampir kehilangan nyawanya malam itu gegara sindikat jaringan pengedar narkoba asal Brazil ini—untunglah Yixing masih lebih dulu meloloskan tembakannya—Luhan adalah orang pertama yang langsung ambruk begitu sosok si tersangka tumbang di depan matanya. Tiga hari terakhir ia belum mendapatkan tidur yang cukup dan penyergapan darurat ini tidak akan terjadi apabila ia mengambil rute jalan pulang seperti biasanya. Salahkan masalah jam tidurnya yang benar-benar terganggu.
“Tidurlah setelah ini, Lu. You look like a wreck and I’m not kidding.” Yixing berkata sembari menjatuhkan dirinya di sebelah Luhan yang duduk di trotoar, memerhatikan polisi-polisi itu mengamankan keadaan pasca penyergapan pukul dua pagi ini.
Di sebelahnya Luhan menghela napas panjang. “Another two hours sleep, you mean? I need more than that. This Mala Noche[1] thing makes me go insane. Kita benar-benar harus menemukan ketua mereka jika ingin mendapatkan tidur yang cukup setidaknya selama dua hari. Man, berjalan saja rasanya seperti melayang.”
“Dan aku tidak bohong jika mengatakan lingkaran di sekitar matamu itu benar-benar seperti digambar spidol.” Yixing berceletuk sembari melingkarkan tangannya di bahu Luhan. “Cheer up, Lu. There’s always brighter side, okay?”
Luhan baru akan membuka mulutnya untuk merespon Yixing ketika sosok tinggi sang supervisor tim mereka, Kris Wu, berdiri dengan gagahnya hingga menghalangi paparan cahaya kekuningan lampu jalanan di hadapan mereka. Yixing mengernyit sesaat, bangkit dari duduknya disusul oleh Luhan dua detik kemudian. Lelaki itu terlihat bisa ambruk sewaktu-waktu.
“Nice work, Pals.” Kris berkata pelan, menyodorkan dua buah cup plastik berisi kopi panas yang entah didapatnya dari mana. Dari mesin penjual kopi di dalam apartemen, mungkin? Siapa tahu. “Dan sepertinya kalian tidak bisa melanjutkan tidur di kasur malam ini—berhenti Lu, wajahmu seperti zombie jika melotot begitu, iya aku juga tidak rela—detektif Taylor[2] barusan menghubungiku, mengatakan bahwa kita harus sudah tiba di Boston pagi ini.”
“Kris, are you drunk?”
“No. Even I wish I am,” desah Kris sembari menyisiri rambutnya. “Kita bertemu kembali di LaGuardia pukul lima, oke? Aku akan menjelaskan pada kalian berdua tugasnya di sana. Dan Yixing, kuharap kau bersedia menemani Luhan pulang ke apartemennya. Ia bisa menggantung dirinya sendiri karena frustrasi.”
“Brengsek. Shut up, Kris.”
Lelaki tinggi itu tersenyum timpang, sembari sudut matanya mengawasi Luhan yang berjalan sempoyongan menuju mobilnya yang terparkir sembarangan, diikuti oleh Yixing yang langsung menerima kunci mobil yang dilemparkan Luhan padanya. “You drive, if you don’t want us to end up in a hospital.”
“Aye, aye captain!”
-
“Tugas pengawasan dan penjagaan atas seseorang?”
Baik Luhan maupun Yixing sama-sama membiarkan mulutnya terbuka selama beberapa detik saat Kris mulai menjelaskan detil tugas terbaru mereka pagi ini. Jika lelaki itu tidak segera menyodorkan dua potong kecil kentang goreng ke mulut dua rekannya, kecil kemungkinan Yixing dan Luhan akan mati tersedak lalat.
“Yeah. Det. Taylor yang khusus memberikan tugas ini pada kita, entahlah sesuatu seperti orang yang paling dipercaya dari sekian polisi yang bekerja di sana. Posisi kalian akan digantikan sementara oleh orang-orang dari tim Joonmyun di shift malam sampai tugas ini selesai. Dan kasus sindikat jaringan narkoba itu—“
“Mala Noche.” Luhan memotong kalimat Kris, mengoreksinya.
“—whatever, kupercayakan pada Joonmyun selama kita tidak ada di New York. Jadi, setidaknya selama tugas ini berlangsung kita bisa mendapat tidur yang cukup.” Kris menyelesaikan penjelasannya dengan menyesap kopi paginya—yang kali ini tidak perlu diminumnya sembari terburu-buru seperti di hari-hari lain.
Yixing tersenyum lebar, memamerkan lesungan dalam di kedua pipinya. “Well, that’s great news for sure!” komentarnya. Kini ia beralih pada Luhan yang masih memakan hamburger besarnya dalam diam. “And Lu, Mala Noche you said?”
“Spanish word for Bad Night,” jelasnya, sebelum menelan habis gigitan besarnya yang ketiga. “Hanya ungkapan iseng gegara semalam nyawaku hampir melayang terkena peluru tersangka itu. Oh, lupakan! Pikiranku sedang kacau.”
Kris tersenyum kecil sembari menyeruput kopi paginya yang masih terasa hangat. Ia melempar pandangan ke sekitar ruang tunggu yang semakin dipadati oleh para calon penumpang pesawat. Sebagian dari mereka terlihat membawa-bawa koran serta secangkir plastik kopi atau teh yang masih mengepul, lalu duduk di sudut, dan menyibukkan diri sendiri, sebagian lagi bercengkerama dengan teman seperjalanannya masing-masing.
Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi, jadi kebanyakan dari mereka mungkin hanyalah para karyawan atau pebisnis yang harus sampai di Boston dalam hitungan waktu sesingkat mungkin. Itu jika menebak dari gaya berpakaian dan muatan yang dibawa, sih. Sulit menemukan sosok anak-anak pada penerbangan pagi seperti ini—oh, salahkan pekerjaan mereka. Kadang mengawasi seseorang terlalu larut hingga tidak benar-benar sadar.
‘Good morning, Passengers. This is the pre-boarding announcement for flight 2132 leaving for Boston. We are now inviting those passengers with children and any passengers requiring special assistance—‘
Ketika akhirnya suara seorang wanita beraksen selatan yang kental menyeruak masuk lewat pengeras suara yang menggantung di sudut-sudut ruangan, Kris menyudahi acara minum kopinya. Lelaki itu menepuk Yixing yang masih sibuk dengan koran paginya, serta Luhan yang lagi-lagi mencoba untuk mencuri waktu tidur setelah membutuhkan waktu singkat untuk menghabiskan hamburger besarnya tadi. Bagus. Selain mengantuk, ia juga kelaparan.
“Siapa namanya tadi?” Yixing bertanya pada Kris setelah ketiganya bergabung dalam suatu antrian panjang.
Kris menoleh sekilas. “Kim Jongdae, putra satu-satunya Kim Jongwoon. Berikan nama Kim Jongwoon pada sekumpulan pria buncit dengan jas rapi di belakang sana, lima puluh persen kemungkinan, mereka pasti mengenalnya. Dia seorang pebisnis internasional yang sebentar lagi akan melebarkan sayapnya ke daratan Eropa.”
“Kalau begitu, surat-surat teror yang kau jelaskan tadi, yang ditujukan pada Kim Jongdae mungkin ada hubungan dengan para pesaing ayahnya.” Luhan berkomentar dari belakang tubuh Yixing. “Just saying. Kadang-kadang pebisnis-pebisnis itu rela menggunakan cara kotor untuk menggulingkan pesaingnya.”
“Bisa jadi,” respon Kris, mengangkat bahu. Ia menunjukkan boarding pass-nya pada petugas di pintu, disusul Yixing dan Luhan, sebelum akhirnya berjalan di antara penumpang lain menuju gate pesawat. “Det. Taylor tidak memberi tahu kemungkinan siapa pengirim surat-surat itu, dan lagi mana tahu ada peringatan-peringatan lain. Seperti kekerasan fisik, mungkin?”
Yixing membiarkan Luhan mengambil tempat duduk di pinggiran jalan—lelaki itu benci ketinggian dan tempat duduk di pinggir jendela membuatnya kadang berfantasi liar membayangkan bahwa awan-awan itu adalah medusa yang siap melahap pesawat apapun yang melintas—sementara dirinya langsung menjatuhkan diri di kursi sebelahnya. Kris duduk terpisah sendirian, berseberangan, dan langsung tenggelam dalam bahan bacaan yang sempat diraihnya saat memasuki pesawat.
“Setidaknya Minseok memesankan kita tempat duduk di kelas bisnis,” desah Luhan sembari merentangkan kedua tangannya, meregangkan otot, dan merapatkan jaket. “Bangunkan aku begitu sampai, oke?”
Di sebelahnya, Yixing mengangguk singkat. “Yeah, yeah. Have a nice sleep, Little Kid.”
-
Kim Jongdae selalu berpikir bahwa seseorang yang bekerja di kepolisian adalah seseorang yang memiliki badan tegap dan dada membusung, garis wajah tegas yang menggambarkan sifat angkuh dan menyeramkan, serta tubuh atletis hasil dari menangkap penjahat setiap harinya. Oh! Jongdae juga sering menonton sebuah drama polisi di mana salah satu kepala polisinya memiliki kumis baplang. Jadi, sudah terekam dalam kepalanya bahwa semua polisi pasti memiliki kumis.
Pendapat pribadinya ini, yang telah dibangunnya secara sempurna saat menunggu orang-orang yang dijanjikan ayahnya hancur sudah ketika melihat tiga orang lelaki asing dengan setelan rapi berdiri di depan apartemennya ketika ia membuka pintu. Jongdae bahkan masih egois akan pendapatnya, sedikit berpikir bahwa ketiga lelaki itu adalah salesman yang hendak menawarkan produk ini-itu, hingga akhirnya salah satu dari mereka—Jongdae berasumsi bahwa lelaki itu adalah ketuanya—menunjukkan lencana NYPD dari balik saku jasnya.
“Namaku Kris Wu, ini Zhang Yixing, dan yang di sebelah sana Luhan. Kami ditugaskan untuk melakukan pengawasan dan penjagaan atas Saudara Kim Jongdae. Benar kau Kim Jongdae?” Lelaki tinggi itu bertanya pada Jongdae setelah memasukkan kembali lencananya.
Ia memerhatikan sosok lelaki tinggi bernama Kris Wu itu dari ujung kaki hingga kepala. Rambut pendek berwarna kecoklatan, tubuh tegap, dan kulit putih bersih. Jongdae mengangkat sebelah alisnya. Bukankah pekerjaan seorang polisi adalah berkeliaran di jalanan sembari menangkap penjahat? Lalu dimana kulit kecoklatan bekas terbakar mataharinya?
Matanya beralih pada sosok kedua, di sebelah Kris Wu. Kalau tidak salah namanya Zhang Yixing, or something like that, semoga ia tidak salah dengar. Tatapan kedua matanya luar biasa ramah, pun dia tidak berhenti tersenyum sejak detik pertama Jongdae membuka pintu. Mungkin orang ini adalah satu dari sekian polisi ramah dan baik hati, dan sepertinya ia mulai menyukainya. Oke. Mereka bisa berteman dekat.
Dan pada sosok yang terakhir, Jongdae bahkan membiarkan mulutnya terbuka begitu saja. Dengan rambut pendek yang sama dengan kedua rekannya, dan berwarna kecoklatan, serta tubuh yang sama tegapnya. Namun, ketika melihat wajahnya yang super mengantuk serta pandangan mata yang kadang seperti merasa hilang, satu kalimat meluncur dari bibirnya tanpa ia sadari.
“Apakah kau laki-laki tulen?”
Oh, Kim Jongdae, selamat. Kau baru saja mengasah pisaumu sendiri untuk bunuh diri.
Dan dengan gerakan singkat, ujung pistol si polisi terakhir kini telah tertuju padanya. “Step back, Guys. Let me shoot that troll head of him.”
“Whoa, whoa, hang on, Lu.” Yixing adalah orang pertama yang menghentikan tangan Luhan, ketika di hadapannya Jongdae bersiap untuk berlindung di balik pintu. “Kid, remember. You don’t want to mess with him whilst he’s sleepy. Just… don’t wake the monster up within him, okay? You’ll regret it later,” lanjutnya, kini beralih pada Jongdae.
Luhan menyipitkan matanya, membuat suara kecil mengerikan pada pistolnya sembari menatap galak pada Jongdae. “You’ve heard him, Kid.”
Dan Kim Jongdae hanya bisa menatap ketiganya sembari menelan bulat-bulat air liurnya. Ia membuka pintu lebih lebar kali ini, memberikan gerakan singkat untuk menyilakan ketiga tamunya masuk. Yah, setidaknya ia tidak perlu tinggal dengan ketiga polisi bertampang galak seperti yang telah dibayangkannya dua hari terakhir ini. Setidaknya mereka masih terlihat keren dan bersahabat—dan tanpa kumis baplang, tentu saja.
-
“Ini. Surat-surat ini datang ke lokerku sekitar seminggu yang lalu. Awalnya hanya satu, hingga dua surat. Tapi, selang tiga hari setelah itu… man, they’re dropping off my locker like canaries.” Jongdae menyodorkan sekotak penuh kertas-kertas yang terlipat berantakan pada ketiga tamunya yang duduk bersisian di sofa panjang.
Luhan mengangkat sebelah alisnya. “Selain surat-surat ini, apa kau pernah mendapat teror secara fisik? Seperti seseorang menyirammu dengan slushie di koridor, hampir dicelakai dari gedung berlantai lima, atau mungkin hampir mendorongmu saat kereta melintas? Yah, perlakuan-perlakuan macam begitu.”
“Kau terdengar seperti orang pertama yang akan mengangkat baliho ketika aku mati.” Jongdae menyipitkan matanya penuh curiga ke arah Luhan.
“Dan mengangkat gelas tinggi untuk bersulang,” Luhan menambahkan, mengabaikan Yixing yang tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk bahunya. Iya. Perang dingin antar dirinya dan Kim Jongdae bahkan masih berlanjut hingga saat ini.
“Baiklah, kalau begitu hal pertama yang mungkin bisa kita lakukan adalah melumuri seluruh ruangan ini dengan kamera pengintai—iya, yang bentuknya kecil, Jongdae, dan berhenti menatapku takjub seperti itu—lalu memasangi alat yang sama padamu ketika kau pergi ke kampus,” tutur Kris sembari bangkit dari sofa, berjalan pelan menuju tiga buah tas besar yang ditemukannya di bagasi belakang sebuah Land Rover setelah mereka mendarat di Logan tadi. Seorang polisi lain bernama Huang Zitao yang memberitahunya bahwa Land Rover itu adalah milik mereka selama bertugas.
Jongdae mengerutkan alis. “Dengar, aku sangat menghargai upaya kalian untuk menyelamatkan hidupku, tapi memasang kamera di setiap sudut ruangan? Hell, aku bukan artis terkenal yang harus dimonitor selama 24 jam.”
“Kecuali kau ingin tiba-tiba lehermu ditebas oleh pedang samurai dari belakang.” Luhan menimpali sembari membuang muka. “Your choice, Sir.” Dan kalimat itu cukup membuat nyali Jongdae ciut seketika.
“Dengar, Kid. Ini tugas yang khusus diberikan oleh ayahmu pada kami. Ayahmu sendiri yang menghubungi Det. Taylor, meminta padanya untuk mengirimkan orang demi menjaga keselamatanmu dan mengungkap siapa dalang di balik surat-surat teror itu.” Kali ini giliran Yixing yang ambil suara. Ia mengekor di belakang Kris yang mulai mengeluarkan barang-barang elektronik dari ketiga tas tadi. “Kami hanya butuh kau untuk bekerja sama. Oke?”
“Apakah itu artinya kau juga akan memasang kameranya di kamar mandiku?” Jongdae bertanya lagi.
Sosok Kris melintas di hadapan Jongdae yang masih berdiri di posisinya. “Jika kubilang seluruh ruangan, maka itu artinya seluruh ruangan secara harfiah.”
Ya, ya, tidak ada hal paling keren selain harus mandi sembari berdoa semoga ketiga polisi yang memiliki tampang kucing namun berjiwa serigala ini tidak mengintipnya lewat kamera pengintai.
Maka, dalam selang waktu dua jam ke depan, ruangan besar yang dipenuhi oleh barang-barang mewah itu dipenuhi oleh suara ketukan palu pada dinding, bor listrik, dan ng… sepertinya itu ulah Yixing yang menyalakan keras-keras lagu ‘Cherry Pie’ milik Warrant, dan Jongdae tidak bisa melakukan apapun kecuali ikut menggoyangkan kepalanya—tentu dia tak ingin berakhir dengan peluru cantik di dahinya, atau kena damprat Luhan lagi karena banyak protes.
Jongdae duduk di konter dapur, memerhatikan sosok Yixing yang tengah berada dua meter dari lantai dengan bantuan tangga lipat yang entah ditemukannya dari mana. Dari lemari penyimpanan di belakang, mungkin, ia tak tahu. Pikirannya kembali pada hari pertama ia mendapatkan surat-surat itu di dalam lokernya. Awalnya hanya berupa peringatan untuk tidak berulah di kampus—ia bahkan bingung meresponnya, ayolah, tidak mengerjakan tugas dosen saja ia tak pernah. Seingatnya ia sudah menjadi murid baik-baik selama dua tahun ini.
Dari sehelai hingga dua helai surat, yang masih terbungkus rapi dalam amplop namun berisi kalimat ancaman, waktu berselang, dan akhir-akhir ini lokernya dipenuhi dengan tulisan orang yang lebih kesetanan pada selembar kertas, tanpa perlu repot-repot melipatnya. Ia bahkan harus menyapu sendiri kertas-kertas itu setiap kali membuka loker.
Sosok Kris melintas tiba-tiba dari arah kamar utama, dengan kedua tangannya yang masing-masing membawa palu dan gulungan kabel-kabel tipis. Ia berhenti di depan pemutar musik di ruang tengah, membungkuk singkat, dan detik berikutnya, petikan gitar listrik Ozzy Osbourne mengisi ruangan—tidak kalah bisingnya dengan lagu pilihan Yixing tadi. Dan ‘Bark at the Moon’ yang sekarang ganti memenuhi ruangan, sekaligus mengiringi Kris yang kembali ke arah kamar utama.
“What the heck, Kris!” Yixing protes dari tempatnya, tentu saja dengan suaranya yang teredam, dan tentu ia tak bisa melakukan apapun—kecuali ia rela pinggangnya patah karena menghantam lantai tanpa pengaman.
Iya. Jongdae benar.
Keputusannya untuk mengadu pada ayahnya—yang saat itu tengah berada di Texas untuk mengurus sesuatu—tiga hari setelah surat pertama tiba di lokernya, ternyata tidak sepenuhnya salah. Ia benar-benar tidak mengira bahwa ayahnya akan langsung menghubungi Det. Taylor di kepolisian New York—ia ingat ayahnya mengatakan bahwa detektif itu adalah sahabatnya sejak SMA—dan memintanya mengirimkan orang yang paling dipercayainya untuk tugas pengawasan dan penjagaan.
Dan telepon dari ayahnya sehari setelah pengaduan itu sungguh mampu membuatnya memuntahkan seloyang besar pizza yang menjadi menu makan siangnya hari itu, mengatakan bahwa ia telah menyewa sebuah penthouse mewah di apartemen Devonshire yang elit beserta seluruh isinya, dan juga orang-orang yang akan mengawasinya akan datang sehari kemudian.
“What’s with these men?”
Jongdae kini menangkap sosok Luhan yang melintas ruangan sembari membawa kotak besar yang terbuka berisi gulungan kabel yang rumit serta beberapa alat ringan di dalamnya. Lelaki itu berhenti di depan pemutar musik yang sama, lalu bangkit dan berjalan menuju arah yang berkebalikan sementara ‘All the Small Things’ milik Blink182 mengiringinya pergi.
“LUHAN, YOU LITTLE RASCAL!”
“Thank you!”
-
Semenjak perseteruannya dengan Luhan kemarin pagi, duduk bersisian di ruang kelas sembari mendengarkan penjelasan seorang profesor di muka ruangan sama sekali tidak ada dalam daftarnya. Jika Kris tidak memilih sistem voting untuk menentukan siapa orang yang bertugas mengawasi Jongdae selama di kampus, maka mungkin bukan seorang Luhan-yang-kini-tatapan-matanya-garang-sehingga-ia-terlihat-bisa-membunuh-siapapun-dengan-hanya-menatap yang duduk di sebelahnya.
Jongdae sibuk dengan buku catatannya, menyibukkan dirinya sendiri, dan menahan kuat-kuat dirinya untuk tidak sekadar mencuri lihat ke arah Luhan yang sedari tadi menundukkan kepalanya, terfokus pada sesuatu yang mirip PSP di pangkuan. Jongdae sempat mengintipnya, kalau boleh jujur, dan layarnya tidak menampilkan karakter bulatan kuning yang sibuk memakan apapun di hadapannya sementara sibuk melarikan diri dari monster yang mengejar. Layar kecil itu lebih terlihat tengah menampilkan sebuah peta rumit dengan koordinat-koordinat yang tidak ia mengerti.
“Curiousity kills the cat, Young Man.” Suara Luhan terdengar pelan dengan nada mengingatkan, begitu Jongdae sekali lagi mencuri lihat. Masa bodoh dengan penjelasan Profesor Auburn di depan kelas. Baru kali ini ia tinggal satu atap dengan para detektif terlatih beserta alat-alat mereka yang luar biasa.
“Kau lebih terlihat seperti agen FBI ketimbang seorang detektif yang bekerja di NYPD.” Jongdae berbisik balik, membuat Luhan mengangkat kepalanya. “Alat-alat itu… woah, selama ini kukira alat-alat yang dipakai James Bond itu bohongan.”
Luhan tersenyum timpang. “Beberapa, ya, memang bohongan. Tapi beberapa lagi memang benar ada. Aku pernah melihatnya ketika suatu kali seorang agen rahasia yang bertugas di luar negeri datang ke ruangan det. Taylor, memintanya untuk membantu penyelidikan seonggok mayat tanpa identitas, yang diyakini adalah anggota Mossad. Katanya sih sedang memata-matai kantor kepresidenan. Entahlah,” lelaki itu mengangkat bahu. “Omong-omong, seharian ini aku belum sekalipun memarahimu, ya?”
Di sebelahnya, Jongdae memajukan bibir. Detektif itu rupanya belum melupakan secara penuh kesalahannya kemarin. “I won’t do that again, I promise,” desahnya sembari mengangkat tangan kanannya, membuat huruf ‘V’ menggunakan jari tengah dan telunjuknya. “Kemarin kan hanya refleks.”
“Be a good boy then, Kid.” Adalah kata-kata terakhir Luhan sebelum akhirnya lelaki itu kembali tenggelam dalam aktivitasnya semula.
Satu setengah jam ke depan, selama satu-satunya mata kuliah yang Jongdae miliki di hari ini berjalan amat-sangat-lambat, anak itu menghabiskan waktunya dengan melamun—kadang mencatat seadanya penjelasan sang profesor yang kebetulan terdengar, lainnya, ia hanya sibuk memainkan bolpoin.
Ketika akhirnya ia sadar bahwa Luhan telah lebih dulu berdiri di sampingnya, Jongdae menawarkan diri untuk mengantarnya ke kafetaria. Mana tahu lelaki itu masih lapar karena bangun kesiangan dan hanya sempat memakan sisa remah-remah cheese crackers sisa kudapannya kemarin. Keduanya duduk berhadapan di meja bulat, dan Luhan berniat membunuh waktu dengan setidaknya mengobrol.
“Itu Do Kyungsoo.” Telunjuk Jongdae mengarah pada seorang anak lelaki yang tengah duduk sendirian di sudut lain kafetaria. “Dia teman satu klubku. Klub vokal. He’s quiet, but he sings well. So do I.”
Luhan mengangkat sebelah alisnya. “What did you say?”
“Me. I sing well. Kau belum pernah mendengarnya saja.”
“Whatever. Who else?”
Penjelasan Jongdae berlanjut lagi, sembari Luhan menghabiskan makan siangnya. Dimulai lagi dari teman klub vokalnya yang lain, Byun Baekhyun, yang selalu berjalan di koridor layaknya seorang diva. Walaupun begitu, semua anak di gedung ini menyukainya, terlepas dari tatapan matanya yang kadang terlalu menilai. “Tapi dia baik!” Jongdae menambahkan dengan segera. “Ia menemaniku pergi ke museum di akhir minggu waktu itu, yeah, walaupun jalan-jalannya tidak berakhir baik, sih.”
Lalu, ia beralih pada Kim Jongin. Bintang penari kampus yang kadang lebih terkenal di antara banyak penari jalanan dibanding teman sekelasnya sendiri. Bukannya ia jarang pergi ke kampus, Jongdae bahkan menyangkal hal itu karena ia selalu menemukan sosok Kim Jongin sebagai murid pertama yang hadir di kelas. Sepagi apapun jadwal kuliahnya. “Aku sempat berpikir ia rela tidur di kampus agar tidak terlambat. Ya Tuhan, sepertinya ia selalu kekurangan tidur. Kau harus berbicara dengannya kapan-kapan. Menurutku ia bahkan bisa tidur sembari berjalan jika ingin.”
Terakhir, Oh Sehun. Jongdae harus menarik napas, lalu mengembuskannya, lalu mengulangi hal yang sama selama tiga kali sebelum akhirnya Luhan merentangkan tangannya menarik kerah baju anak itu.
“Do it once again, I’ll let you sleep without an eye. Spill.”
“Dia anak baru. Aku benar-benar baru melihatnya dua hari yang lalu. Entah karena ia mengikuti program pertukaran mahasiswa atau apa. Tapi… entahlah. Kurasa aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi lupa di mana,” Jongdae menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Hanya mereka yang benar-benar mengambil kelas yang sama denganku. Terkecuali Oh Sehun itu. Mengobrol saja aku tidak pernah.”
“Jad—“
‘Speak of the devil, Guys. Seseorang membobol pintu apartemen kita. Aku dan Kris akan kembali secepatnya ke sana sekarang. Lu, bawa Jongdae. Pastikan dia dalam pengawasanmu, got it?’
-
“Kasus ini tidak sesimpel yang kalian kira, kawan-kawan.” Kris berbicara dari ujung meja makan, sementara tangan kanannya memegangi sebuah laptop yang masih dalam keadaan tertutup. Lelaki itu membukanya dalam satu gerakan, menampilkan layar hitam pada mulanya, sebelum berlanjut pada pemutar video setelah Kris mengutak-atiknya beberapa saat. “Aku menaruh kamera lain di dekat loker Jongdae. Dan orang ini yang menaruh kertas-kertas itu berkali-kali, kurasa dua kali sebelum kelas pagi kalian dimulai, dan satu kali terakhir sebelum alat pelacak Yixing berbunyi keras soal pembobolan apartemen ini.”
Yixing mengambil alih. “Pembobolannya halus. Kau ingat saat kita menangkap tersangka di East 3rd Street? Di apartemen itu? Tekniknya sama persis, Lu—“ ia beralih pada Luhan yang duduk bersedekap di kursinya, “dan jika boleh kukatakan, surat teror dan pembobolan ini tidak ada hubungannya sama sekali. Not at all. Surat-surat teror itu hanyalah masalah sepele yang dilakukan teman sekelasmu, lupakanlah. Dan aku juga baru menyadari bahwa semua ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan ayahmu.”
“So? What is it all about?” Luhan menyeletuk.
“Mala Noche. Just like what you said. Entah bagaimana sindikat itu kini berhubungan dengan Jongdae,” jawab Kris, menutup laptopnya. Ia kini melipat kedua tangannya di atas meja, di hadapannya. Pandangan lurus tertuju pada sosok mungil Jongdae yang terlihat ciut. “Is there something you didn’t tell us?”
Jongdae menunduk, merasakan tatapan ketiga detektif itu seolah menghakiminya. Entah sudah semerah apa wajahnya sekarang. Ia rela memberikan apapun yang ia miliki saat ini asalkan seseorang memberinya jubah gaib milik Harry Potter sekarang juga. Kesepuluh jarinya saling mengait di bawah meja, dan sepertinya bibir bawahnya terasa kelu—ia menggigiti bagian itu berkali-kali demi mengurangi rasa gugupnya.
Dengan decakan pelan, Luhan adalah orang pertama yang mendorong kursinya, serta melangkah pergi, mengabaikan panggilan pelan dari Yixing yang menyuruhnya kembali. Dan kali ini, lelaki berdarah Changsha itu beralih pada Jongdae yang masih bungkam.
“Kami tidak bisa menyelamatkan hidupmu jika kau menolak untuk bercerita, Kid. Tell us, or give us a name. Sindikat ini telah menjadi incaran NYPD, dan tidak menutup kemungkinan kalau FBI akan turun tangan sebentar lagi,” tutur Yixing, berusaha keras bersikap sabar. “What did you see? Pendistribusian? Atau kau pernah tidak sengaja memergoki mereka di suatu tempat?”
“No…”
Yixing menghela napas. “Kid, kau tidak ingin Luhan mendampratmu lagi, kan?”
Jongdae menggelengkan kepala. “Duduk bersisian dengannya di saat jam kuliah sudah cukup.”
“So?”
“Baiklah, aku bercerita.” Jongdae akhirnya menegakkan tubuh. “Hari itu akhir minggu seperti biasa. Baekhyun mengajakku pergi ke museum di daerah Fenway-Kenmore. Awalnya hanya berjalan biasa-biasa saja, lalu Baekhyun mengajakku melihat lukisan berjudul The Rape of Europa karta Titan, yang saat itu tengah ditempatkan di suatu tempat terpencil di ruangan. Namun ketika itu, Baekhyun benar-benar penasaran dan aku tidak bisa menghentikannya. Di saat akhirnya ia menemukan tempat lukisan itu berada, sekitar tiga orang pria bertubuh raksasa terlihat sedang memindahkan karung-karung berisi sesuatu ke dalam suatu ruangan yang sangat terpencil…”
“Kau melihat isinya?” Kris bertanya, memotong penjelasan Jongdae.
Anak itu menggeleng. “Kami terjepit. Baekhyun gemetaran di sisiku, dan ketika kami berusaha untuk kabur, salah seorang dari pria itu melihat kami. Tapi untungnya aku dan Baekhyun masih sempat melarikan diri hingga ke pintu keluar.”
Yixing dan Kris saling berpandangan kali ini. Namun, sebelum salah satu dari mereka sempat merespon penuturan Jongdae, suara berisik dari arah kamar tamu menelisik indera pendengaran mereka. Sesuatu yang terbuat dari kaca baru saja pecah berantakan, dan selanjutnya disusul dengan suara pintu kayu yang dibobol paksa.
Kris mengambil pistolnya dari saku belakang, menyuruh Yixing untuk mengamankan Jongdae ketika sosok Luhan yang terengah sembari memegangi lengan kiri bagian atasnya kuat-kuat.
“What are you doing?! Get the hell out of here!”
Dengan bentakan Luhan, baku tembak yang berasal dari moncong pistol berperedam menghujani ruangan itu tanpa ampun. Yixing menarik ujung sweater Jongdae ketika anak itu masih linglung dengan apa yang tengah terjadi, dan Kris menarik Luhan untuk segera bersembunyi di balik konter, di dapur.
“What’s with this sudden alien invasion?—shit, Lu, you get shot?”
“No time for that, Kris. We need to get out. Ruangan ini telah menjadi sasaran utama para sniper Mala Noche sejak detik pertama pintu apartemen ini dibobol.” Luhan menjelaskan sembari menggigit bibir bawahnya.
“Awasi terus Kim Jongdae. Dia adalah target Mala Noche kali ini.”
* * *
—tobecontinued
[1] Mala Noche: originally taken from csi: miami. drug cartel based in Brazil. (too lazy to think about another gang’s name xD)
[2] Det. Taylor: originally taken from csi: ny. Det. Mac Taylor; head of NYPD crime lab. (no one beats his charisma as a supervisor, hehe)
Filed under: fan fiction, series Tagged: EXO, EXO-M, Kim Jongdae, Kris Wu, Xi Luhan, Zhang Yixing
