Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

SUPER JUNIOR ONESHOT SERIES – #KANGIN

$
0
0

kangin-sealedNW

“A dog is the only thing on earth that loves you more than he loves himself.”

― Josh Billings

―ᴥᴥᴥ―

“Ia tidak seburuk kelihatannya, Oppa… Percayalah.”

Kangin menganggukkan kepalanya ragu, sementara langkahnya dari dapur menuju ke ruang tengah ia buat selambat mungkin. Lelaki itu menggenggam dua cangkir cappucino yang berada di masing-masing tangannya dengan lebih erat. Jika boleh jujur, sebenarnya ia sudah menggenggam kedua benda keramik itu dengan erat tadi. Sangat erat. Lelaki itu sedikit menggerakkan lehernya, membiarkan permukaan telanjang lehernya beradu dengan permukaan handuk basahnya yang mengelilingi lehernya.

“Setidaknya tolong jauhkan ia dari sana.” Kangin berdeham pelan, melirik ke sudut ruangan dengan pandangan yang terlihat sedikit ―ralat sangat horor, sebelum kemudian akhirnya kembali mengembalikan arah pandangnya ke sofa di ruang tamu apartemennya. “Tolong?”

Kangin menelan ludahnya dalam, hampir kepayahan ketika mendapati sosok gadis yang tengah duduk di atas sofa ruang tamu miliknya itu tampak tak bergeming sedikit pun dari tempat duduknya. Kangin terlalu mengenali gadis itu hingga bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran gadis itu hanya dengan melihat ekspresi yang gadis itu tunjukkan dan terkadang ia menyesali kemampuannya mengenali gadis itu terlalu dalam. Sebenarnya cukup sering. Sekarang adalah contohnya.

“Aku sudah meletakkan Hachiko di sudut apartemenmu. Dan asal kau ketahui saja, di luar sedang hujan salju dan jangan harap aku akan membiarkan Hachiko di luar sendirian.” Gadis itu menelengkan kepalanya sedikit ke kanan, memberikan pandangan memperingatkan lewat iris cokelatnya sambil mengangkat kedua kakinya ke atas sofa. “Atau kau ingin aku yang menjauhkanmu dari sini, hmm? Kim Young Woon?”

Baiklah. Ia menyesal absen dari klub renangnya hari ini hanya karena gadis ini mengatakan ingin menemuinya tadi. Gadis ini sudah menyebut nama aslinya, dan itu berarti ia tidak punya pilihan lain selain mengiakan apapun ucapannya. Hah.

“Tidak. Tentu saja tidak.” Kangin memberi jeda sebelum kembali berujar, “Okay, aku minta maaf, Cheonsa. Biarkan Hachiko berada di sana.”

Kangin lagi-lagi menelan ludahnya. Kali ini ia tak lagi membiarkan matanya melirik bahkan barang sedikit pun lagi ke arah sudut apartemennya, dan memutuskan untuk memfokuskan pandangan serta pikirannya pada apa yang sedang ia pegang dan siapa yang sedang berada di hadapannya saat ini. Lelaki itu menundukkan tubuhnya, meletakkan segelas cappucino yang tadi ia pegang ke atas meja sementara dirinya sendiri duduk di atas sofa kulit miliknya sambil menyesap sedikit cappucino lain yang ia pegang. Bibirnya melengkung membentuk seulas senyum maaf saat akhirnya ia mendapati gadis di hadapannya menggelengkan kepala sambil menghela nafasnya.

“Aku tidak mengerti kenapa kau benar-benar membenci anjing. Mereka makhluk yang lucu.” Gadis itu ―Cheonsa menyorongkan tubuhnya ke depan, meraih cangkir cappucino yang tadi Kangin letakkan sambil lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Kepalanya menunduk sedikit ketika ia berusaha mendinginkan cappucino dalam genggamannya, sementara matanya mendelik tepat ke arah Kangin. Tatapannya mengobservasi, hampir terlihat menyelidik. “Kau benar-benar tidak pernah digigit anjing, kan?”

“Tentu saja tidak.” Kangin tertawa, mengutuk dirinya sendiri ketika ia menyadari bahwa tawanya benar-benar sangat parah tadi. Dan sekarang ia baru menyadari bahwa tawanya bahkan mengundang tatapan yang lebih aneh lagi dari Cheonsa. “Aku hanya tidak terlalu menyukai mereka. Bukan berarti aku membenci mereka, Cheonsa-ya... Kau mengerti perbedaan antara tidak suka dan benci, kan?”

Kangin mendapati Cheonsa akhirnya mengalihkan pandangan darinya. Setidaknya kali ini ia tidak perlu lagi mendapat tatapan yang tidak perlu lagi dari gadis itu, dan ia cukup bersyukur ketika akhirnya gadis itu menempelkan bibirnya di permukaan cangkir porselen, menyesap cairan di dalamnya sedikit sebelum kemudian menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa. Kepalanya mengarah ke kanan, memperhatikan sudut ruangan dengan senyum tipis di bibirnya.

Bagus sekali. Gadis ini tersenyum pada peliharaannya, dan mengabaikannya kekasihnya sendiri.

Kangin tanpa sadar memutar bola matanya kesal. Selama beberapa detik lamanya, semua pikirannya yang tadi berpusat pada betapa horornya ia pada makhluk di sudut ruangan sana kali ini berubah menjadi sebaliknya. Mungkin terkesan sedikit ―mungkin juga banyak konyol, tetapi terkadang Kangin tidak bisa memungkiri bahwa ia cemburu pada makhluk berbulu di sudut ruangan sana. Bayangkan saja. Ia? Cemburu pada anjing? Lucu, kan?

Tapi hal tersebut, terlepas seberapa konyolnya kedengarannya, sudah berlangsung hampir empat tahun lamanya. Tepatnya sejak ia memutuskan untuk memulai hubungan yang lebih serius dengan seorang gadis yang ia kenal dari klub renang yang ia ikuti. Ia sudah melakukan pendekatan hampir selama setahun dengan gadis itu saat itu, dan akhirnya berpikir bahwa gadis tersebut bisa ia jadikan sebagai seseorang yang mempunyai tempat khusus di hatinya.

Apakah ia sudah mengatakan bahwa gadis itu adalah Ahn Cheonsa? Yep. Gadis di hadapannya ini, kekasihnya sendiri.

“Ngomong-ngomong kenapa kau datang ke sini? Kau bilang kau masih sibuk skripsi, kan?”

Ah. Betapa menyebalkannya ia jika sudah kesal seperti ini.

Kangin mengerjapkan matanya pelan, berpikir cepat selama beberapa detik tentang apa ia harus meminta maaf dengan kalimat yang tadi ia katakan. Bagaimanapun alasannya, kalimatnya tadi terdengar sedikit kasar, dan seingatnya Cheonsa bukan tipe orang yang suka diperlakukan kasar. Tetapi ketika mendapati Cheonsa akhirnya menolehkan kepalanya kembali ke arahnya, ia mendapati pandangan tersebut tidak mengandung sinar kemarahan. Sinar jengkel memang ada, tetapi setidaknya tidak ada kemarahan di sorot matanya. Jadi Kangin memutuskan untuk tidak ‘memperbaiki’ lagi kalimatnya tadi.

“Kau tidak suka aku berada di sini?”

“Bukan begi―”

“Aku akan ke Jepang besok…”

Kangin membulatkan matanya, kali ini sepenuhnya sadar tentang ekspresi terkejut yang muncul dengan jelas di wajahnya. Entah sejak kapan tangannya sudah terulur ke depan, meletakkan cangkir miliknya, sementara tangan kirinya menarik handuk yang tergantung di lehernya dengan cepat. Keningnya berkerut halus. Apa tadi ia bilang?

“Apa tadi kau bilang?” Kangin menyuarakan pendapatnya dengan cepat, yakin bahwa kekasihnya itu pasti mendengar kalimatnya dengan teramat jelas. Ia memajukan posisi duduknya, memiringkan kepalanya ke kiri selama sedetik, lalu ke kanan selama dua detik. Lalu akhirnya kembali ke kiri lagi. “Jepang?”

Ekspresinya tolol. Sangat tolol.

Okasan baru membuka cabang baru kedai ramennya di dekat Shibuya dan ia ingin sekaligus mengenalkan aku pada kenalannya.” Cheonsa menghela nafasnya panjang ketika mendapati ekspresi Kangin masih belum berubah. Masih terlihat tolol. “Demi Tuhan, Oppa… Aku sudah pernah mengatakan ini padamu dua minggu lalu. Jangan bilang kau lupa? Atau kau tidak mendengarku waktu itu. Hmm?”

Ah ya. Ia baru ingat.

Kangin memundurkan tubuhnya lambat ketika akhirnya sekeping memori memasuki ingatannya. Ia ingat tentu saja, hanya saja ia perlu sedikit waktu lebih banyak untuk bisa mengingat apa yang gadis itu ucapkan padanya sekitar dua minggu yang lalu. Mereka sedang kencan akhir minggu waktu itu, dan ia sedang berada dalam fokus tertingginya untuk melempar bowling saat gadis itu mengatakan hal ini padanya. Sekarang, saat ia akhirnya berhasil mengingat hal itu dengan jelas, sekeping perasaan lain kembali memasuki hatinya. Menyesal.

“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Kau tahu betapa parahnya ingatanku, Cheonsa-ya.” Kangin bergumam pelan, menghela nafasnya lagi sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Ia lantas kembali berucap, sebelum gadis itu sempat mengucapkan satu kata padanya. “Berapa lama? Skripsimu sudah selesai?” Kangin mengambil sedikit jeda, memasang ekspresi sulit dibaca sambil mengalihkan pandangannya singkat. “Lalu bagaimana denganku?”

Gadis itu mengangkat alisnya tinggi, memandang Kangin seolah lelaki itu baru saja memakan siput beserta cangkangnya atau apa. Hidung mungil gadis itu berkerut, sudut mulutnya ikut terangkat seiring dengan keningnya yang juga berkerut. Dan Kangin, tentu saja, mengerti apa yang sedang berada di pikirannya. Seolah segala hal yang sedang ia pikirkan tertulis jelas di keningnya. Setelah beberapa detik, gadis itu akhirnya menghembuskan nafasnya cepat, hampir terlihat seperti mendengus kecil. Kali ini ia juga ikut melipat tangannya di depan dada.

Oppa, kau kerasukan apa?”

Nah, kan. Benar dugaannya.

“Cheonsa-ya…”

Woah― Tunggu…” Gadis itu mengangkat alisnya semakin tinggi, membiarkan matanya membulat bahkan tanpa ia sadari. “Tunggu sebentar. Apa tadi kau baru saja merengek padaku? Yah! Oppa! Kau benar-benar tidak sedang kerasukan, bukan?”

“Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal tentang kerasukan atau semacamnya, Ahn Cheonsa.” Kangin menyahut dengan wajah kesal, memperhatikan ketika gadis di hadapannya berdecak pelan sambil menggelengkan kepalanya selama beberapa saat. Kangin menundukkan kepalanya, melanjutkan ucapannya dengan gumaman pelan yang tidak ia harapkan untuk didengarkan oleh siapa pun. “Aku merindukanmu…”

Tapi sepertinya Tuhan memang tidak pernah merancang suara yang ia miliki untuk berbisik.

Kangin lagi-lagi memutar bola matanya, kesal ketika mendapati telinganya mendengar suara tawa yang tiba-tiba saja meledak di dalam ruang tamu apartemennya. Gadis itu sudah pasti mendengar apa yang ia gumamkan tadi, dan sudah pasti juga gadis itu sedang menertawakan betapa childish sikapnya saat ini. There’s no doubt about it. Memikirkan bahwa ucapan berisi pengakuan perasaannya secara tak langsung itu ditertawakan membuat Kangin sedikit banyak mendidih. Ia mendengus keras, melepaskan lipatan tangannya sambil menyipitkan matanya, sebelum kemudian akhirnya mengambil posisi berdiri di atas kedua kakinya dengan cepat.

“Tertawalah, oke? Sampai kau puas! Aku mau tidur! Jika sudah selesai silakan bangunkan aku, Nona Ahn!”

“Hei… Tunggu aku… Yah! Oppa! Aigoo… Jangan marah….”

Kangin membalikkan badannya, melangkahkan kakinya menjauhi sofa sambil tetap memasang ekspresi kesal di wajahnya. Lelaki itu tentu saja sadar jika gadisnya baru saja mengikutinya tadi. Ia tidak perlu melongokkan kepalanya ke belakang, ataupun sekedar melirik singkat ke sana. Ia tidak perlu itu semua.

Lingkaran lengan kecil di pinggangnya ini sudah cukup membuktikannya.

“Jangan marah…” Kangin menghela nafasnya pelan ketika mendapati suara gadis itu terdengar teramat jelas dari jarak sedekat ini, tepat di belakang punggungnya. Ia bisa merasakan pipi gadis itu menempel di punggungnya, dan ia merutuki bagaimana seorang Ahn Cheonsa selalu bisa membuatnya meleleh hanya dengan satu tindakan kecil seperti ini. “Hanya lima hari… Setelah itu kita bisa kencan lagi… Sepuasnya, oke?”

Lima hari?

“Benarkah?” Kangin akhirnya memutuskan untuk mengangkat tangannya, menggenggam permukaan kecil telapak tangan yang berada di depan perutnya sambil merasakan kehangatan yang disalurkan lewat permukaan tersebut. Ia memasang senyum tipis ketika merasakan gerakan kecil di punggungnya, tanda bahwa gadis itu sedang mengangguk tanpa suara. Ia mengeluarkan helaan nafas panjang. “Baiklah… Hanya lima hari, dan jika lebih dari itu maka aku sendiri yang akan menyusulmu ke Jepang, mengerti?”

Biar saja. Ia memang terlihat kekanakan sekarang. Dan ia sama sekali tidak malu untuk mengakuinya.

“Ah, ya. Tentu saja.” Gadis itu tertawa kecil selama beberapa saat, sebelum kemudian akhirnya berhenti total. Kangin mengernyit ketika mendapati tangan gadis itu sedikit membentuk gerakan meremas, tanda bahwa gadis itu sedang gelisah. “Oppa?”

“Hm?” Kangin menyahut singkat, mendadak merasa agak waspada dengan bagaimana nada yang gadis itu gunakan untuk memanggilnya terakhir tadi. “Ada apa?”

“Itu… Oppa kenal Ji Hyun, kan?” Kangin mengangguk kecil, membayangkan seorang gadis yang mempunyai sikap tak jauh berbeda dengan gadisnya ini. Gadis itu ―Ji Hyun―, adalah kekasih sahabatnya, Siwon, dan sekaligus juga sahabat gadisnya selama ini. Cheonsa berdeham selama beberapa saat sebelum kemudian kembali melanjutkan perkataannya. “Ia sudah sakit selama dua hari terakhir ini.”

“Benarkah?” Kangin mengernyitkan keningnya, masih merasa tidak mengerti arah tujuan pembicaraan gadis di belakangnya ini. “Lalu?”

“Itu…” Gadis itu lagi-lagi berdeham, dan kali ini Kangin melihat dengan jelas bagaimana gadis itu meremas tangannya lagi. Jelas ada sesuatu yang salah di sini. “―Sepertinya ia tidak bisa menjaga Hachiko selama aku pergi nanti.”

BINGO. Seharusnya ia benar-benar tidak kabur dari klub renang tadi. Serius.

―ᴥᴥᴥ―

“Nah. Apa yang harus kulakukan sekarang, eoh?”

Kangin menghela nafasnya kasar dan panjang. Ia meletakkan kardus karton makanan hewan yang baru saja ia buka dengan sembarangan di atas konter dapur miliknya. Matanya menjelajahi permukaan mangkuk yang kini sudah penuh dengan makanan entah-apa-itu di atasnya dengan pandangan setengah ngeri dan setengah meringis. Otaknya dipenuhi berbagai hal selama beberapa menit terakhir. Dan kali ini, mau tidak mau ia mengangkat wajahnya, memandang ke arah lima meter di hadapannya.

Hachiko berbaring di sana, menggoyangkan ekornya sedikit lebih bersemangat ketika mendapati Kangin memperhatikannya, tetapi tetap tak menghilangkan kesan pemalas dalam dirinya. Lehernya terikat di kaki meja. Anjing tersebut terlihat terganggu, tapi tidak cukup terganggu untuk sekedar menggonggong. Kangin cukup bersyukur untuk hal ini.

Kemarin semuanya berlangsung dengan alot. Ia setengah mati berusaha menahan dirinya agar tidak meledak dan memicu pertengkaran yang sama sekali tidak perlu. Ia sungguh benar-benar berusaha. Tetapi sepertinya Cheonsa benar-benar tidak memedulikan usahanya tersebut. Gadis itu tetap merengek, mengatakan hal-hal bernada meyakinkan tentang betapa tidak berbahayanya Hachiko untuknya, yang sejujurnya malah membuat Kangin lebih paranoid lagi. Dan seperti yang bisa diperkirakan, ia benar-benar lemah jika harus dikaitkan dengan seorang Ahn Cheonsa.

Jadi inilah yang terjadi sekarang.

Lelaki itu sadar betapa awkward suasana yang sedang terjadi sekarang, bahkan tanpa ia perlu tambahi lagi dengan pandangan awas yang ia berikan pada Hachiko yang berbaring dan balas menatapnya dengan pandangan tajam namun malas khas anjing rasnya tersebut. Untuk beberapa alasan, pandangan mata keduanya terlihat mirip. Sipit, tajam, malas. Kangin tidak menyukai fakta itu, jadi saat itu akhirnya ia berdeham.

Kuharap Cheonsa serius soal Hachiko yang jinak di sini.

Yah… Kau mau makan?”

Hachiko menggerakkan kepalanya sedikit ke samping, menatap Kangin dengan pandangan yang hanya bisa dimengerti oleh sesama jenisnya sendiri, dan tentu saja Kangin bukan termasuk sesama itu. Lelaki itu tersenyum ragu selama beberapa detik, menyadari betapa tololnya saat ia mengajak bicara anjing ini berbicara tadi. Ia lantas meraih mangkuknya, mengangkatnya sambil akhirnya melangkahkan kakinya memutar melewati konter. Ia butuh sekedar dari usaha yang kuat ketika akhirnya kakinya melewati konter, perlahan menuju ke arah Hachiko yang masih berbaring di sana dengan pandangan mata yang mengikuti langkah kakinya.

“Hachiko, Sayang. Jangan berpindah dari tempatmu, oke? Aku akan memberikanmu makan jadi jangan bergerak, oke?”

Baiklah. Biar saja. Ia tahu ia konyol, tapi daripada ia tidak melakukan apapun untuk melindungi dirinya sendiri.

Lelaki itu melangkahkan kakinya secara perlahan, langkah demi langkah yang ia lakukan dengan rasa ragu yang setiap detiknya semakin bertambah besar. Lagi-lagi lelaki itu merutuki bagaimana selera gadisnya dalam memilih anjing. Bukannya anjing poodle yang terlihat amat tidak berbahaya, gadis itu malah memilih anjing yang telinganya bahkan mencapai pinggang gadis itu sendiri. Jelas saja anjing ini terlihat lebih berbahaya, apalagi dengan tatapan tajam dan sipit yang dimilikinya.

Hachiko bergerak sedikit dalam kemalasannya, kepalanya terkulai ke sisi lantai, sementara matanya masih menatap Kangin dengan pandangan setengah tajam dan setengah malas yang sama. Kaki kanan depan anjing itu terlihat menggapai-gapai, menggeser-geser tali kekang yang terpasang di lehernya dengan gerakan lambat, sementara kedua kaki belakangnya diam di dekat kaki meja makan milik Kangin.

Kangin menghembuskan nafas. Sejauh ini, anjing ini tidak berbahaya.

“Ini makananmu. Makanlah, oke? Aku akan dibunuh Cheonsa jika kau bertambah kurus saat ia kembali nanti.” Kangin lagi-lagi berucap, perlahan merasa bahwa tindakannya tak lagi terasa amat konyol. Setidaknya ia berbicara dengan makhluk hidup, bukan selembar foto yang jelas-jelas mati. Hachiko bahkan menggerakkan kakinya, jadi Kangin berpikir bahwa ia sama sekali tidak sekonyol yang ia pikirkan. Ia menambahkan kalimat selanjutnya, terlebih kepada diri sendiri. “Tapi sebenarnya kau sudah gemuk. Seharusnya kau diet seperti aku.”

Tapi ia sudah pernah mengatakan bahwa suaranya sama kali tak dirancang untuk berbisik, bukan?

Kangin tersentak ke belakang dengan cepat, tepat ketika ia berniat membungkukkan badannya untuk meletakkan mangkuk berisi makanan milik anjing tersebut di lantai tadi. Hachiko melakukan pergerakan tiba-tiba yang cukup mengejutkannya, walaupun masih berada dalam tahap aman yang wajar. Anjing berbulu putih lebat itu menggerakkan badannya selama sesaat sebelum akhirnya beralih ke posisi duduk di atas kedua kakinya, kedua kaki depannya tertumpu di depan kedua kaki belakangnya. Pandangannya masih malas, hanya saja kali ini pandangan itu jelas tertuju ke arah Kangin. Hachiko memiringkan kepalanya ke kiri, melanjutkan tatapan malasnya.

Sial. Bisa-bisa aku terkena stroke jika seperti ini terus.

“Hachiko? Diam, oke? Aku tahu kau bosan berbaring tapi tolong duduk diam di tempatmu, oke?” Kangin lagi-lagi tersenyum, ragu dan terlihat aneh di wajahnya sendiri. Ia memutar bola matanya cepat. “Kau tidak gendut… Aku yang gendut, oke? Jadi tolong jangan bergerak. Mengerti?”

Hachiko tetap diam. Dan Kangin tidak tahu kenapa ia bisa berfantasi liar tentang bagaimana peliharaan kekasihnya itu menganggukkan kepalanya dan mengucapkan ya padanya melalui pandangan matanya. Mungkin pengaruh keterkejutannya tadi sehingga ia otaknya berpikir bahkan tanpa bisa ia bedakan apakah pikiran tersebut fantasi atau kenyataan.

Astaga. Tentu saja pikirannya itu fantasi. Benar, kan?

“Anjing baik. Tetap diam seperti itu― Nah, ya. Seperti itu!” Lelaki itu lagi-lagi menundukkan punggungnya, mengulurkan tangannya jauh ke depan hingga jangkauan terluas dari tangannya. Kepalanya, secara tanpa sadar, ia tarik ke belakang seiring dengan tangannya yang akhirnya meletakkan mangkuk makanan Hachiko di hadapan anjing tersebut. Ia lagi-lagi tersenyum ragu. “Makanlah, pintar… Aku akan menambahkannya lagi jika kau tetap diam di sana seperti sekarang.”

Kangin menelan ludahnya sendiri ketika menyadari arti perkataannya sendiri.

Awalnya Hachiko masih memandanginya dengan kepala yang miring ke kiri, sebelum akhirnya beberapa detik kemudian, kepala tersebut mulai tertunduk ke bawah. Ia mendekatkan moncongnya ke mangkuk, mengendusnya selama beberapa saat sebelum kemudian kembali mengangkat kepalanya. Mungkin hanya perasaannya, tapi Kangin merasa pandangan malas itu rasanya semakin bertambah beberapa kali lipat.

Ia pasti benar-benar kurang tidur. Fantasinya parah sekali.

“Kenapa?” Kangin menelan ludahnya lagi. Ia berpikir selama beberapa detik, akhirnya memutuskan untuk berjongkok tepat di hadapan anjing tersebut dengan pandangan yang tertuju ke arah mangkuk makanannya. Kaki kanannya tanpa sadar mundur selangkah ke belakang, menambah jarak antara ia dan Hachiko. “Kau masih kenyang? Atau kau tidak suka makanannya?”

Kangin menggigit bibir bawahnya pelan, menunggu reaksi makhluk berbulu lebat di hadapannya ini selama beberapa detik. Ia, tentu saja, merasa gelisah. Bagaimanapun ia sudah mengerahkan segala niatannya untuk berada sedekat ini dengan spesies yang bisa membuat Kangin bergidik hanya dalam beberapa detik ini. Jika boleh jujur, punggung belakangnya bahkan rasanya berkeringat saat ini. Selama beberapa detik, yang terdengar hanyalah suara televisi yang berbunyi samar-samar di kamarnya. Hachiko diam di tempatnya, memandang Kangin. Kali ini dengan kepala yang tegak.

“Hachiko? Makanlah…” Aku serius soal Cheonsa akan membunuhku jika kau bertambah kurus saat ia kembali nanti, tambahnya frustrasi dalam hati. Kangin lagi-lagi menelan ludahnya ketika mendapati Hachiko akhirnya bergerak lagi.

Bagaimanapun Kangin seorang lelaki, dan ia yakin tidak akan ada yang lebih konyol jika ia berteriak melengking seperti seorang perempuan hanya karena ada anjing yang berjalan mendekatinya. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa anjing tersebut sama sekali tak menggeram marah atau menggonggong padanya, menunjukkan bahwa makhluk tersebut sama sekali tak terkesan berbahaya. Tapi ini Kangin, Lelaki penderita cynophobia yang mungkin paling parah di dataran Korea.

Diam, Kangin. Diam. Diam dan jangan bergerak. Diam.

Kangin menarik nafasnya dalam, menahannya di dalam paru-paru hingga rasanya paru-parunya bisa terluka kapan saja. Ia berpura-pura sedang berada di dalam air, dengan mata terpejam dan nafas yang sengaja ia tahan. Rasanya baju bagian belakangnya kali ini sudah benar-benar basah, dan ia sama sekali tak bisa melakukan hal apapun untuk menghentikan hal tersebut. Benar-benar keputusan yang salah untuk tidak memberitahukan Cheonsa tentang phobia konyol ini.

Kangin menolak untuk membuka matanya. Ia bahkan sudah menutup matanya ketika Hachiko mulai melangkahkan keempat kakinya ke arahnya. Keputusan Cheonsa untuk membiarkan tali kekang anjing tersebut longgar ternyata berdampak teramat buruk bagi Kangin, Hachiko bahkan terlihat nyaris bebas bergerak ke manapun. Dan Kangin bahkan nyaris yakin jika dengan tubuh raksasanya itu, Hachiko bisa saja menarik meja makannya ke mana ia ingin pergi.

Lelaki itu memejamkan matanya semakin erat, yakin jika setiap orang yang melihat wajahnya saat ini pasti akan meledak dalam tawa mengingat betapa konyolnya wajahnya saat ini. Ia yakin itu. Keningnya berkerut dalam ketika merasakan permukaan halus tersebut menyentuh telapak tangannya, sementara bau bedak anjing yang baru saja diberikan Cheonsa pada Hachiko tadi pagi juga akhirnya menyeruak masuk ke indera penciumannya. Anjing ini ―tak bisa dipungkiri lagi― pasti sedang berada di hadapannya. Ia merasakan bulu halus tersebut tetap berada bawah permukaan tangannya, dan untuk beberapa saat ia nyaris merasa akan pingsan.

Hanya saja, ia memang tak pernah pingsan.

Guk.”

Kangin menelan ludahnya lagi, merasakan ludahnya sendiri terasa asam di permukaan lidahnya. Keringat mengucur di dahinya, dan ia benar-benar serius saat mengatakan bahwa ia benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka matanya kira-kira sepuluh detik kemudian. Itu sudah waktu tercepat yang bisa ia lakukan, ia rasa. Lelaki itu mengerjap pelan, perlahan memandang ke bawah sambil mengangkat sebelah tangannya yang lain ke depan matanya. Hanya sekedar jaga-jaga.

Guk.”

Kangin sedikit terhenyak ketika mendengar anjing di hadapannya ini lagi-lagi menggonggong singkat. Tubuh besar Hachiko memang berada tepat di hadapannya, dan Kangin tidak tahu harus menangis atau terharu ketika mendapati si bulu lebat itu tampak menggoyangkan kepalanya dengan nyaman di bawah permukaan telapak tangannya.

Dan Kangin akhirnya hanya memutuskan untuk berdiam diri dengan pemandangan tersebut.

―ᴥᴥᴥ―

Kangin tidak tahu apa yang membuatnya memutuskan untuk mendudukkan dirinya sendiri di depan meja komputer yang berada di kamarnya, berakhir dengan menghidupkan seperangkat komputer yang sudah tak pernah ia sentuh lagi sejak kira-kira dua bulan terakhir itu. Ia menekan tombol power,  menunggu beberapa saat hingga benda tersebut benar-benar siap ia gunakan lagi.

Langit sudah berwarna hitam kelam ketika akhirnya ia berhasil menyambungkan komputernya ke jaringan internet dan membuka Naver sesaat kemudian. Ia melirik ke sudut ruangan, memastikan bahwa acara pertandingan renang yang ia tunggu di televisi belum memulai siaran langsungnya, sebelum kemudian akhirnya kembali memfokuskan pandangannya ke arah layar komputernya. Tangannya ia letakkan di atas papan keyboard, sementara keningnya sedikit berkerut halus.

“Jadi. Apa kata kuncinya?”

Laki-laki itu berdiam diri selama beberapa saat, mencari ide tentang kata apa yang harus ia ketikkan di dalam kotak pencarian untuk saat ini. Ia menghembuskan nafasnya cepat sebelum kemudian akhirnya menekan tuts keyboard miliknya dengan cepat. Ia menekan enter, menunggu beberapa saat hingga situs tersebut menampilkan hasil pencariannya di layar.

Dulu sekali, Cheonsa pernah memberitahukan bahwa Hachiko adalah jenis anjing Jepang yang ia dapat sebagi hadiah ulang tahunnya yang ke-19. Kangin memerlukan waktu beberapa detik, menghitung dengan jarinya untuk memastikan berapa umur anjing itu sesungguhnya. Cheonsa sudah berusia 25 tahun saat ini, dan itu berarti Hachiko telah menemaninya selama enam tahun terakhir, dua tahun lebih awal dari kehadirannya di kehidupan gadis itu. Seharusnya satu jika ia memasukkan masa pendekatannya dengan Cheonsa dulu. Tapi mari lupakan hal itu untuk beberapa saat.

Ahn Cheonsa adalah seorang gadis keturunan Korea – Jepang. Ia menghabiskan sepuluh tahun kehidupan mudanya di Jepang, sebelum kemudian akhirnya pindah ke Korea saat ia berumur sebelas tahun. Orang tuanya pindah kembali ke Jepang sekitar tiga tahun lalu, memulai bisnis kedai ramen di sana dan meninggalkan Cheonsa sendirian di Korea untuk melanjutkan kuliahnya yang sudah terlanjur berlangsung setengah jalan. Cheonsa sudah berumur 22 tahun waktu itu, dan orang tuanya beranggapan bahwa mereka bisa mempercayakan satu-satunya putri mereka itu pada Kangin, mengingat mereka juga sudah mengenal Kangin hampir dua tahun waktu itu. Ibunya seorang warga negara Jepang asli, sementara ayahnya dulu adalah mantan pensiunan seseorang yang pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan Korea.

Akita inu?

Kangin mengernyitkan keningnya ketika membaca tulisan yang tertera di layar komputernya dengan lebih serius. Ia sudah meneliti gambar-gambar jenis anjing peliharaan keturunan Jepang yang terpampang di layar komputer miliknya, dan Kangin teramat yakin jika perkiraannya tidak meleset sama sekali kali ini. Anjing yang satu ini jelas terlihat memiliki ciri-ciri yang sama dengan Hachiko. Menurut website tersebut, Hachiko adalah jenis anjing pemburu (Kangin menelan ludah saat membaca yang satu ini) yang beberapa belas tahun terakhir banyak dijadikan anjing peliharaan. Ciri-ciri yang disebutkan di sana benar-benar persis sama dengan yang dimiliki Hachiko. Telinga berbentuk segitiga, tubuh kekar, mata sipit yang tajam dan hampir berbentuk segitiga. Persis.

Merasa penasaran, Kangin membuka jendela baru, mengetikkan kata Akita Inu di kotak pencarian hingga hasil pencarian kali ini kembali muncul.

Lelaki itu menelusuri permukaan layar komputer, memilah-milah tautan mana yang harus ia klik untuk saat ini. Ia menggeser layarnya ke bawah dengan mouse, meletakkan sebelah tangannya di bawah dagu sementara matanya masih setia memperhatikan layar. Ia sudah nyaris mengklik sebuah tautan ketika matanya tanpa sengaja mendapati satu tautan lain yang berada di hasil pencarian paling bawah. Ia mengernyitkan keningnya.

Death of Hachiko, Legendary Japanese Dog, Explained.

Tanpa bisa ia sendiri kendalikan, jarinya menekan klik di mouse miliknya pada tautan tersebut. Ia menunggu selama beberapa detik, merasakan jantungnya bekerja sedikit lebih cepat dari biasanya saat akhirnya layar tersebut menampilkan tampilan dari tautan yang tadi ia klik. Detik itu juga ia merasakan jantungnya benar-benar berhenti selama beberapa detik.

Di layar komputernya, tepat di hadapan matanya, terpampang foto seekor anjing yang amat ia kenali. Hachiko.

Kangin menelusuri jendela tersebut dengan membaca cepat, nyaris tak melewatkan satu kata pun yang terpampang di sana. Ia tahu ia sedang bersikap konyol saat ini. Bagaimanapun setiap anjing memang mempunyai rupa yang nyaris sama. Tapi entah karena apa, Kangin nyaris yakin jika anjing yang ada di layar komputernya saat ini benar-benar mirip dengan Hachiko yang saat ini sedang berada di dapur apartemennya. Persis.

Kenapa bisa semirip ini?

Kangin menghembuskan nafasnya panjang, menyadarkan dirinya sendiri bahwa ia sudah nyaris menghentikan salah satu kegiatan wajibnya selain berkedip itu dalam setengah menit terakhir. Matanya sudah mencapai akhir paragraf jendela tersebut sebelum kemudian tanpa ia sadari jarinya lagi-lagi menggeser layar komputernya ke tengah. Matanya memperhatikan tulisan di layar tersebut dengan seksama, mengulangnya seperti seorang siswa yang harus menghafal setiap kata-kata dalam text-book miliknya untuk menghadapi ujian.

For years, Hachiko used to wait at Shibuya train station for its master, a professor at the University of Tokyo. Even after the professor died, the dog went to the station to wait for his master every afternoon for a decade until he finally died.

Tokyo residents were so moved that they built a statue of Hachiko at the station, which remains a popular rendezvous spot for Japanese today. He was also the hero of Japanese children’s books.

Delivery pizza untuk Tuan Kim Young Woon?

Kangin tersentak di tempat duduknya, mengerjapkan matanya beberapa kali saat akhirnya ia memundurkan tubuhnya dan membenturkan punggungnya ke sandaran kursi lagi. Ia memandang sekitarnya, menyadari bahwa tanpa ia sendiri sadari tadi ia sudah menempatkan dirinya terlalu dekat dengan layar komputer. Matanya melirik ke arah televisi, mendapati bahwa tayangan yang sedari tadi ia tunggu ternyata sudah mulai. Ia bahkan tak mendengar suaranya, pikirnya sambil mengeluarkan umpatan kecil dalam hati.

Laki-laki itu setengah berlari ke arah pintu, meneriakkan beberapa kata yang berisi perintah agar tukang antar pizza itu menunggu sebentar sementara ia mengambil uang miliknya. Ia melangkahkan diri ke dapur, melangkah ke arah konter sambil berusaha tetap menghindarkan pandangannya dari Hachiko yang masih terikat di tempat awalnya dengan tubuh yang berbaring malas. Bagaimanapun bayangan tentang apa yang baru saja dibacanya membuatnya lumayan merinding, apalagi ditambah dengan fakta bahwa anjing di layar komputernya terlihat seperti kembar siam dengan Hachiko yang sedang berbaring nyaman di lantai keramik dapurnya saat ini.

Lelaki itu memang memesan sekotak pizza tadi. Awalnya ia berniat membuat popcorn untuk dirinya menikmati malam begadangnya hari ini. Tapi tampaknya tadi ia benar-benar menyampingkan fakta bahwa ia benar-benar seseorang yang hanya memiliki bakat untuk memasak ramen instan di dalam dapur, bukan memasak popcorn atau hal lainnya. Popcorn karamel yang tadi ia coba buat berakhir dengan bau gosong menyengat dan penampilan yang sama sekali tak menggugah selera. Jadi ia akhirnya memilih untuk menyenangkan dirinya sendiri dengan sekotak pizza hangat di tengah musim dingin bersalju seperti ini.

Lelaki itu melangkah ke arah konter, berhenti di sana sebentar sambil menjelajahi dapurnya dengan tatapan yang seolah menyortir setiap sudut dapurnya. Senyumnya terkembang begitu saja ketika mata sipitnya akhirnya mendapati permukaan dompet kulitnya yang berwarna hitam terlihat tergeletak di atas lemari yang terletak di sudut dapurnya. Lelaki itu berlari, mengabaikan fakta bahwa ia membuang bungkus mentega yang tadi ia pakai untuk membuat popcorn gagal miliknya tepat tiga langkah di depan kakinya.

Saat ia akhirnya menyadarinya, ia sudah terlalu terlambat bahkan untuk sekedar mengerem langkahnya barang sedikit.

―ᴥᴥᴥ―

 “Yah… Kangin oppa. Jangan bercanda, oke? Cepat bangun sekarang!

“Oppa! Aku menyesal meninggalkanmu bersama dengan Hachiko… Aku minta maaf, oke? Jangan main-main lagi… Ayo buka matamu sekarang!”

Kangin mengernyitkan keningnya kebingungan. Ia mendengar suara Cheonsa, dan saat ini ia yakin ia pasti sedang bermimpi. Gadis itu sedang berada di Jepang, dan ia baru mengantarkannya ke bandara pagi tadi. Ia juga sudah mengatakan bahwa ia akan kembali dalam lima hari, tidak mungkin gadis itu sedang berada di sini, kan?

Oppa!

Oke. Kelihatannya ia terlalu merindukan gadis itu saat ini.

Kangin membuka matanya perlahan, berusaha menyesuaikan cahaya terang yang memasuki matanya dengan cara sedikit menyipitkan matanya. Segera saja ketika ia akhirnya mengernyitkan keningnya lagi, ia merasakan sesuatu yang aneh di dahinya. Ia diam selama beberapa saat, merasakan rasa pusing hebat yang melanda kepalanya selama beberapa detik sebelum akhirnya ia bisa menyadarkan dirinya sendiri. Ia masih merasa mengalami disorientasi, tetapi ia jelas mengenali apa yang berada di seputar kepalanya saat itu.

Siapa pun tolong jelaskan bagaimana bisa ada perban di atas kepalanya?

Oppa? Kau sudah bangun? Oppa! Astaga! Tunggu sebentar! Biar aku panggilkan dokter!”

Oh. Ternyata ia tidak bermimpi soal Cheonsa yang berada di sampingnya saat ini.

Kangin mengerjapkan matanya pelan ketika mendapati Cheonsa yang tadi berada di sampingnya kali ini telah berlari dengan langkah cepat ke arah pintu. Ia bahkan tak sempat menanyakan apapun pada gadis itu karena ia sudah terlanjur menutup pintu kamarnya dengan keras ketika Kangin berniat membuka mulutnya. Lelaki itu lantas mengernyitkan keningnya ketika menyadari bahwa ia sama sekali tak berada di kamar tidurnya saat ini. Ia bertambah bingung ketika akhirnya menyadari bahwa ia bahkan sama sekali tak ingat kapan ia jatuh tertidur. Matanya menjelajahi ruangan bernuansa putih tempat ia berada sekarang dengan pandangan heran setengah linglung. Otaknya bekerja dengan cukup lambat, tapi ia teramat yakin jika sekarang ini ia pasti sedang berada di salah satu kamar rumah sakit. Bau desinfektan yang menusuk sudah cukup membuktikan hal tersebut.

Dan ketika ia memejamkan matanya, berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi, suara pintu yang kembali terbuka lagi-lagi membuyarkan konsentrasinya. Tapi setidaknya sekarang ia sudah berhasil mengingat detik-detik terakhir menjelang pingsannya ia di dapurnya sendiri setelah terpeleset bungkus mentega miliknya. Ia mengerjapkan matanya horor ketika mendapati sesosok lelaki paruh baya dengan jas putih yang saat ini sudah berada di hadapannya. Cheonsa berdiri di sampingnya, menggigit bibirnya dengan panik, salah satu kebiasaan yang selalu ia lakukan jika ia sedang gelisah.

Tetapi Kangin bahkan tak memberikan waktu barang sedetik pun pada dokter tersebut untuk berbicara. Karena detik berikutnya, suaranya sudah kembali terdengar. Kerongkongannya terasa aneh, seolah belum tersiram air selama beberapa hari.

“Di mana Hachiko sekarang?”

―ᴥᴥᴥ―

“Kau terjatuh tepat di dekat permukaan ujung konter dapurmu. Kepalamu nyaris terkena ujung sudut konter, hanya selisih beberapa sentimeter dari posisi jatuhmu. Kau terkena gegar otak ringan dan sedikit luka robek di dahi karena membentur keramik.  Tapi tenang saja.  Aku sudah melakukan pertolongan yang diperlukan agar pendarahannya tidak berlanjut dan kakimu juga terkilir… Kuharap kau tidak melakukan olahraga berat selama lebih kurang dua bulan. Mungkin terasa lebih sakit dari terkilir yang biasa karena kau juga nyaris membuat tulang telapak kakimu menembus permukaan kulitmu sendiri. Ada pertanyaan?”

Ada. Apakah sekarang ia sedang bermimpi?

Kangin mengatupkan bibirnya erat, membiarkan Cheonsa yang berada di sampingnya mengambil alih segala hal yang seharusnya ia katakan sekarang. Ia hanya menganggukkan kepalanya sebagai balasan formal pada dokter yang tadi memeriksanya selama setengah jam ketika lelaki itu mengatakan bahwa ia masih memiliki beberapa janji dengan pasiennya dan akan kembali dalam waktu dua jam dari sekarang. Lelaki paruh baya itu mengatakan banyak hal yang mengejutkan padanya selama setengah jam yang terasa amat lama tadi, salah satunya adalah fakta bahwa Kangin sudah nyaris tertidur selama tiga hari penuh. Hal itu sangat menjelaskan kenapa kerongkongannya terasa amat kering tadi.

Dan masih banyak hal lain yang makin terasa tak masuk akal baginya sekarang. Semakin ia memikirkannya, semakin terasa absurd hal-hal itu baginya saat ini.

“Katakan padaku kalau aku sedang bermimpi sekarang, Ahn Cheonsa.”

Kangin memiringkan sedikit kepalanya ketika ia mendapati Cheonsa menatapnya dengan pandangan tajam sambil menghembuskan nafasnya panjang. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya di samping tempat tidur sebelum akhirnya melangkah lebih dekat ke arah Kangin. Tangan mungil gadis itu menaikkan selimut milik Kangin, membuat Kangin mengernyitkan keningnya ketika mendapati bagian bawah mata gadis itu terlihat menghitam dan berkantung.

“Kau tidak bermimpi, oppa. Sekarang tidurlah. Jika kau ingin bermimpi maka tidur saja sekarang.” Gadis itu menghentikan gerakannya di dada Kangin, memasang senyum tipis sementara ia menepuk-nepuk permukaan dada lelaki itu dengan pelan. “Istirahatlah…”

Tapi Kangin sangat sadar bahwa ada yang salah saat ini. Jadi ia bahkan tidak bisa menutup matanya barang sedetik. Bahkan tak peduli seberapa inginnya ia bermimpi sekarang. Ia menaikkan arah pandangannya, menatap Cheonsa tetap di manik mata sementara mulutnya kali ini mengambil tindakan sendiri tanpa kontrol sepenuhnya dari Kangin sendiri. Pertanyaan itu terluncur begitu saja, dan ia yakin jika gadis itu sedikit menegang ketika akhirnya ia menyelesaikan pertanyaannya.

“Di mana Hachiko?”

Kangin sejujurnya tak siap mendengar apapun, tapi rasa penasarannya benar-benar mengambil alih segalanya saat ini. Ingatannya kembali melayang ke beberapa malam lalu, ketika ia merasakan kepalanya dilanda pusing hebat beberapa detik setelah ia tertelungkup di lantai. Ia bahkan bisa merasakan darahnya sendiri hampir mencapai kelopak matanya saat ia mendapati gonggongan yang berangsur semakin dekat ke arahnya. Sejujurnya waktu itu ia tak berharap banyak. Ia sendiri yang menyarankan agar Cheonsa mengikat Hachiko di meja makannya, jadi ia tak berharap banyak jika anjing itu benar-benar menghampirinya.

Tapi segalanya memang terjadi begitu saja. Ia masih ingat bagaimana ia melebarkan matanya selama beberapa detik ketika mendapati sosok berbulu putih lebat itu berdiri tepat di atas pandangannya. Permukaan lehernya yang seharusnya berwarna putih saat itu terlihat menggelap. Jika ia tak salah lihat, maka seharusnya permukaan berwarna gelap tersebut berasal dari cairan berwarna merah. Dan Kangin yakin seyakin-yakinnya jika cairan merah pekat tersebut sama sekali bukan berasal dari darahnya. Beberapa bagian dari bulunya yang semula terlihat halus dan terawat waktu itu terlihat mengerikan, acak-acakan dan terlihat menyedihkan dengan bercak-bercak lebar darah milik hewan itu sendiri. Kaitan di kekangannya terbuat dari besi, dan entah karena anjing itu terlalu kuat menarik atau apa, ujung besi dari kaitannya terlihat sedikit menembus permukaan kulitnya, menancap di sana dan menarik goresan memanjang seiring dengan langkahnya menarik meja kayu berat yang menjadi tiang pengikatnya.

Kangin bahkan tak berani membayangkan bagaimana cara Hachiko mencapai pintu depan dan menyuruh tukang pizza yang masih berada di sana untuk mengecek keadaan Kangin saat itu.

“Apa yang kau harapkan untuk kukatakan sekarang, oppa?”

Nada suara Cheonsa membuat Kangin tanpa sadar merinding. Ia mengalihkan pandangannya selama sesaat sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah Cheonsa. Gadis itu terlihat lelah, dan seolah itu belum cukup, kali ini Kangin mendapati permukaan bening bola mata gadis itu berkilat. Ia menangis.

“Ia baik-baik saja, bukan?”

Kangin berdeham, berusaha menghilangkan efek pecah dari suaranya yang muncul begitu saja ketika ia berbicara tadi. Bayangan seekor anjing dengan tatapan malas dan tingkahnya yang sama malasnya mendadak memasuki pikirannya, termasuk tentang bagaimana Hachiko seolah tak memedulikan bagaimana sikap Kangin padanya selama ini dan masih menghendaki Kangin mengusap kepalanya saat Kangin memberinya makan waktu itu. Kangin bahkan memasang wajah ngeri saat itu. Selama lima tahun terakhir, setiap saat ia berkunjung ke apartemen Cheonsa dan selalu menghindari berada terlalu dekat dengan anjing tersebut. Ia tahu anjing memang selalu menganggap orang yang memberinya makan adalah Tuhan baginya. Tapi tetap saja. Hachiko terlalu bodoh untuk bisa menyadari bahwa Kangin sudah membencinya secara tanpa sadar selama beberapa tahun belakangan ini.

Bahkan tak peduli sebodoh-bodohnya seekor anjing, seharusnya Hachiko tak pernah menolongnya saat itu.

Kangin tersentak ketika merasakan kepalan tinju ringan menghantam dadanya. Ia mengerjapkan matanya, memandangi Cheonsa yang saat itu memandanginya dengan tatapan tajam namun juga sekaligus sedih.

“Bagaimana bisa kau membiarkan kau terjatuh hanya karena bungkus mentega konyol itu, hah? Kau benar-benar bodoh atau apa, sih?!”

Kangin lagi-lagi tersentak, merasakan satu lagi kepalan tinju lemah yang menyerang permukaan dadanya. Sama sekali tidak sakit, tapi Kangin bisa merasakan betapa sakitnya hati gadis itu saat ini. Kangin kali ini menelan ludahnya, tak lagi berbicara karena ia bisa merasakan jika saat ini Cheonsa benar-benar ingin berbicara cukup banyak padanya.

“Kau benar-benar harus menerima hukuman yang layak, oppa!” Kangin menghembuskan nafasnya pelan. Benar. Ia memang harus dihukum. “Bagaimana bisa kau membuat Hachiko seperti itu, hah?”

Saat ini Kangin merasa matanya memanas, dan ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tetap menahan tetes bening itu agar tak mengalir di pipinya.

“Aku menghabiskan banyak sekali uang untuk membuat bulunya seperti itu! Dan sekarang mereka mencukurnya karena luka konyol dari kekangan talimu itu! Aku sungguh benar-benar ingin membunuhmu, oppa!”

Buliran bening itu sudah nyaris jatuh ke permukaan pipinya ketika Kangin akhirnya menyadari sesuatu. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke samping, memandangi Cheonsa yang tampak sibuk terisak di tempatnya, mengumpati bagaimana rupa Hachiko sekarang terlihat amat menyakiti hatinya. Gadis itu terisak semakin keras, mengatakan bahwa permukaan leher Hachiko sekarang akan terlihat botak karena kebodohan Kangin. Dan Kangin merasakan air matanya mengering secara tiba-tiba, menghilang tanpa bekas seiring dengan senyumnya yang mengembang tipis.

Cheonsa mungkin akan benar-benar membunuhnya jika tahu bahwa Kangin tersenyum layaknya idiot ketika mendengar berita ini.

Tapi sesungguhnya Kangin tidak terlalu peduli akan hal itu. Kali ini otaknya sudah kembali terisi dengan berbagai hal yang dulu bahkan tak pernah ia bayangkan akan ia lakukan dengan seekor anjing, apalagi dengan Hachiko. Ia sudah bertekad dalam hati bahwa mulai sekarang ia akan memperlakukan peliharaan kekasihnya itu lebih baik lagi, bahkan tak peduli jika ia menderita cynophobia paling parah sedunia. Ini terdengar hiperbola, tapi biarkan saja. Ia sudah teramat senang dengan fakta bahwa Hachiko hanya menderita sedikit kebotakan di lehernya, bukan hal yang teramat parah. Lagi pula bulu masih bisa tumbuh lagi, kan?

YAH! KIM YOUNG WOON! APA KAU SEDANG TERSENYUM, HAH? KAU MAU MATI, YA?”

Nah, kan. Benar apa katanya.

―ᴥᴥᴥ―

“Dogs are minor angels, and I don’t mean that facetiously. They love unconditionally, forgive immediately, are the truest of friends, willing to do anything that makes us happy, etcetera. If we attributed some of those qualities to a person we would say they are special. If they had ALL of them, we would call them angelic. But because it’s “only” a dog, we dismiss them as sweet or funny but little more. However when you think about it, what are the things that we most like in another human being? Many times those qualities are seen in our dogs every single day– we’re just so used to them that we pay no attention.” 

― Jonathan Caroll


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Youngwoon

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles