Kau adalah orang yang sangat berharga untukku. Kau adalah sebuah pilihan.
Tapi terkadang, pilihan datang terlambat.
***
Kebersamaan kita akan berakhir beberapa waktu lagi. Entah sepuluh, lima, atau satu hari lagi. Aku tak tahu, yang pasti, cepat atau lambat, kita tak dapat bersama lagi.
Bertemu dan bercakap denganmu untuk pertama kali rasanya masih seperti kemarin. Begitu membekas diingatan, menempel begitu kuat di saraf otak, seakan memori itu begitu berharga untuk dilewatkan.
Setiap detil kenanganku tentangmu layaknya bermili-mili tinta yang menempel pada secarik perkamen. Kendati dicoba untuk dihapus sedemikian rupa, namun nyatanya kenangan itu tetap ada, hanya tertutupi oleh beberapa coretan.
Suatu hari, matahari menyinari wajahmu. Terlihat sedikit peluh yang menempel di wajahmu. Anak-anak rambutmu yang berwarna hitam juga terlihat basah. Dadamu naik-turun, berusaha untuk memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parumu.
Itu adalah kegiatan harianmu. Setiap pagi, kau bersepeda menyusuri jalan sekitar Hangang yang terkenal begitu sepi itu. Kau akan bersenandung kecil sepanjang perjalananmu, dan senyum selalu terkembang di wajahmu.
Aku selalu berada di sisimu, dan aku tahu bahwa ada yang berbeda dari senyum itu. Tak butuh waktu lama, karena binar matamu mengatakan semuanya. Kau sedang jatuh cinta.
Aku juga tak perlu bertanya-tanya tentang siapa yang menarik perhatianmu akhir-akhir ini. Kau tertarik pada Jung Soojung, tetangga baru kita. Soojung begitu cantik dan baik, ia juga sering berolahraga pagi di sekitar Hangang. Tak perlu kutanya lagi mengapa, karena semuanya sudah jelas terlihat.
Aku yakin, tak lama lagi kau pasti akan mencoba untuk mendekatinya. Sudah bukan rahasia lagi jika kau adalah tipe orang yang begitu ngotot ketika menginginkan sesuatu. Aku ingat saat-saat kita masih bersekolah dulu. Kau adalah orang yang begitu tekun mengerjakan tugas, karena kau selalu ingin mendapatkan predikat peringkat satu di kelas.
Aku mungkin terlihat seperti seorang cenayang yang bisa meramalkan apa yang hendak kaulakukan. Tidak, tentu saja aku bukan cenayang. Namun, aku selalu tahu apa yang pasti kaulakukan. Kau layaknya sebuah buku yang selalu kubaca, dan kuhapalkan tiap detilnya.
Kau meneguk air dari botol minummu. Dalam sekejap, cairan itu masuk ke dalam tubuhmu. Kau seolah tak ingin menyisakan satu tetes pun minumanmu.
Manik matamu mengamati gadis manis berambut panjang yang juga sedang meminum air mineralnya dengan penuh perasaan. Walaupun Soojung berada di seberang jalan, pesonanya seakan mampu memasuki seluruh relung hatimu.
Aku tersenyum miris, sambil menatapmu yang duduk di sebelahku. Ragamu di sini, namun hati dan pikiranmu sedang terbang ke arah gadis yang di seberang jalan itu.
“Joonmyeon. Kau ingin mendekatinya?” tanyaku. Kau kemudian menoleh, kedua manik matamu melebar. Mungkin kau tak menyangka aku dapat membaca gelagatmu begitu mudah.
Tolong jangan katakan iya. Kau menarik napas sejenak, meremas botol minummu, sambil mengamati gadis itu lagi. Senyum mendamba terlukis di wajahmu.
“Dia adalah gadis yang terlihat begitu mempesona,” katamu kemudian. Aku menelan ludahku, lalu mengikuti arah pandangmu. “Jika kau bertanya demikian, tentu saja.”
Aku terdiam sejenak. Harusnya aku gembira, karena kau – sahabatku – berhasil menemukan orang yang baru untuk jatuh cinta. Namun kata hatiku seakan tak setuju dengan pikiran yang ada di otakku. Seakan kecewa karena harapanku barusan tak terkabul.
“Kalau begitu, dekati dia, Joonmyeon. Bukankah itu yang biasanya kaulakukan?” Kata-kata itu meluncur dari mulutku begitu saja. Sesaat kemudian, saraf tubuhku menegang. Rasanya aku ingin memukul kepalaku sendiri karena berkata demikian.
Kau menatapku, lalu menunjukkan senyum paling manis yang pernah kulihat. Senyum yang selalu mencerahkan hariku. Sayang sekali bukan aku penyebab senyum itu.
Jawabanmu selanjutnya tak lagi terdengar di telingaku. Kau kemudian berlari kecil menyeberangi jalan, mendekati gadis cantik itu.
Aku kembali tersenyum miris, lalu menaikkan cagak sepedaku. Aku tak perlu sinyal lain. Aku tahu bahwa aku harus pergi.
Aku kemudian membuat sebuah taruhan pada diriku sendiri. Jika kau berhasil mendapatkan Soojung, aku perlahan akan menjauh dari kehidupanmu. Membiarkanmu menikmati kehidupanmu dengan tenang bersamanya, tanpa ada aku di dalamnya.
Aku tak membencimu, sungguh. Waktu membuat kita begitu dekat layaknya saudara. Aku tak punya alasan untuk menyimpan rasa benci sedikitpun padamu. Kau adalah kombinasi yang baik antara teman, juga kakak laki-laki.
Satu-satunya yang menjadi alasan mengapa aku membuat taruhan itu adalah, aku membenci diriku sendiri. Membenci pribadiku yang tak pernah sadar batasan. Kau adalah sahabatku sejak kecil, dan aku tak berhak meminta apapun lebih dari itu.
Aku benci karena sudah menyakiti hatiku sendiri selama tiga tahun belakangan. Jika taruhan itu berhasil, aku akan berhenti menyiksa diriku. Kini saatnya aku tahu batasan.
***
“Apanya yang tidak apa-apa? Kau jelas menjauhiku,” katamu dengan tatapan tajam. Sesaat kemudian kau meletakkan sumpit yang tadinya kau pakai untuk makan dimsum.
Setelah berminggu-minggu, aku berusaha untuk menghapus semua hal yang berhubungan denganmu. Ponselku bahkan harus berulang kali kumatikan, karena tidak ingin menekan tombol reject berkali-kali, untuk telepon-teleponmu.
Aku akhirnya melakukan taruhanku, lalu merombak semua rutinitasku. Seperti halnya aku yang hapal setiap detil pergerakanmu, kau juga tentu hapal sekali segala aktivitas yang biasanya kulakukan.
Aku senang karena dapat meloloskan diri darimu sekian lama. Namun saking senangnya, tubuhku kembali bergerak melakukan rutinitasku yang dulu mengunjungi restoran dimsum yang biasa kita kunjungi setiap dua minggu sekali.
Dan, di sinilah aku sekarang. Menghadapi sebuah persidangan denganmu. Belum pernah kulihat kau seserius ini. Rasa senang menyusupi hatiku, karena ternyata kau masih sadar bahwa aku menghilang dari kehidupanmu.
“Bagaimana kau dengan Soojung?” Aku bertanya, berpura-pura tenang. Sekujur tubuhku rasanya kaku ketika ditatap seperti itu olehmu.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Ke mana saja kau selama ini?” tembakmu tanpa basa-basi. “Aku berulang kali mengunjungi rumahmu, bertanya pada ibumu ke mana kau pergi. Tapi ibumu seakan enggan menjawab. Apa kau sedang menghindariku?”
Aku terkesiap ketika mendengar penekanan pada pertanyaan terakhirmu. Semua yang kulakukan selama berminggu-minggu jadi terasa salah, karena kau bertanya demikian.
Seakan tak menunggu jawaban, kau kemudian berbicara panjang lebar tentang betapa anehnya kau tanpa diriku. Kau terlihat seperti meracau, berbicara betapa anehnya pekerjaanmu sekarang, sampai bagaimana kau merasa kesepian karena tak lagi mempunyai teman untuk bersepeda di pagi hari. Matamu berbinar hebat ketika menceritakan semua unek-unek yang bersarang di otakmu, membuatku kembali terjerat dalam pesonamu.
Jika aku punya kekuatan cukup, sungguh aku ingin sekali bertanya. Mungkin kau tak akan pernah menyangka bagaimana pertanyaan ini terus menerus menggema di otakku. Sebuah pertanyaan sederhana: mengapa kau selalu menggagalkan usahaku untuk meninggalkanmu?
***
Hidup itu hanya tinggal permasalahan waktu. Kau punya banyak opsi untuk menjalaninya. Dan terkadang, dari sekian opsi yang begitu baik, kau hanya diperbolehkan memilih satu. Hanya satu untuk kelanjutan ceritamu.
Suatu hari, kembali sang mentari menyinari kita. Tak seperti biasanya, wajahmu terlihat mendung. Tak ada senyum yang terlukis di wajahmu. Tak ada lagi binar yang hinggap di matamu, juga tak ada gadis di seberang jalan yang membuat terbit senyummu.
Jemari tanganmu menggenggam erat botol air mineral yang bahkan belum sampai separuh kau minum. Kau terlihat gelisah karena suatu alasan.
Sekali lagi kutegaskan bahwa aku bukanlah seorang cenayang. Waktulah yang membuatku bisa membaca perubahan ekspresimu. Kau pasti sedang mempunyai sebuah masalah, karena semuanya tergambar jelas diwajahmu.
Sekarang, katakanlah aku begitu jahat karena ingin masalah itu karena Soojung. Harusnya, aku ikut sedih karena kau memiliki masalah dengan pujaan hatimu. Aku yakin, jika kau berada di posisiku sekarang, kau pasti dengan sigap akan meminjamkan bahumu untukku menangis.
“Aku ingin bertanya. Jika kau terjebak pada dua pilihan, dan dua pilihan itu sama-sama merugikan jika diambil, pilihan apa yang akan kau pilih?” Pertanyaan itu muncul dari bibir merahmu.
“Misalnya?” tanyaku.
“Misalnya, aku punya pilihan. Pilihan A, dan pilihan B. Dua-duanya adalah pilihan yang begitu berpengaruh untuk hidupku. Jika aku memilih pilihan yang A, maka aku harus kehilangan pilihan yang B, bukan? Mungkin pilihan yang A akan mengganggu sebagian hidupku.
Sebaliknya, jika aku memilih pilihan yang B, efek yang dihasilkan tak akan jauh dari pilihan yang A. Sama-sama akan mengganggu kehidupanku,” jelasmu dengan telaten.
Aku melempar kaleng minumanku ke dalam tong sampah, lalu berpikir. “Pilih saja salah satu, Joonmyeon. Toh, dua-duanya adalah pilihan yang baik, kendati ada sisi buruknya. Siapa tahu kau akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak daripada sebelumnya jika kau memilih salah satu?” Begitu kataku.
Kau terdiam sesaat, lalu menatapku. Lama. Kepalamu kemudian kau gelengkan keras-keras. “Tapi aku tidak bisa memilih.”
Aku mendengus. Kau memang tipikal orang yang perfeksionis. “Hidup itu masalah pilihan Joonmyeon. Jika kau tidak memilih salah satu, maka kau akan kehilangan banyak hal. Terkadang kau memang tak harus memiliki apa yang kau inginkan.” Sejenak aku merasa sedang menohok diriku dengan perkataanku sendiri.
Sepertinya kau juga tertohok dengan perkataanku. Kau tersenyum masam, lalu menimpali, “Ya. Kita memang tak harus memiliki apa yang kita inginkan.”
Andaikan aku memiliki kekuatan untuk membaca pikiran, ingin sekali aku membaca sekelebatan bayangan yang ada diotakmu. Selubung abu itu ingin kutembus. Karena masalahmu terlihat begitu berat.
Sungguh aku akan melakukan apapun untuk menghilangkan selubung itu. Bahkan jika aku harus menerjunkan diriku sendiri ke jurang sekalipun.
Karena terkadang pikiran bisa membunuh, dan aku tak mau kau meninggalkanku hanya karena alasan itu.
***
Debur air laut yang menabrak kakiku membuat perasaan geli yang tak berkesudahan. Kedua manik mataku mengamati semburat cahaya jingga di langit, kemudian menatap wajahmu.
Kerasnya batu karang seakan melembut karena ekspresimu yang begitu manis. Kau hanya diam tanpa kata, sementara kita duduk di atas batu karang yang berlumut. Kau tersenyum kecil.
Kendati senyum itu kembali muncul, entah mengapa aku selalu mempunyai insting yang berbeda. Aku masih mendapati selubung abu itu di wajahmu. Selubung yang berusaha kau sembunyikan sejak kita menginjak pasir pantai. Kau terlihat berusaha sebisa mungkin untuk tenang.
“Mau kola?” Seorang gadis berambut panjang tiba-tiba datang sambil membawa sebungkus plastik berisi minuman kaleng. Soojung pasti baru saja mampir ke mini market.
Aku mengangguk, sementara tangan gadis itu dengan cepat mengambil sebuah kaleng berwarna merah dari plastik yang dibawanya. Tanpa sadar mataku melirikmu yang tersenyum lembut pada gadis itu. Tatapan cinta tak berkesudahan.
“Untukku mana?” tanyamu sambil mengulurkan tangan. Soojung mengambil tempat tepat di sebelahmu, menjadikan dirimu tepat berada di antara kami berdua.
“Kalau kau mau, kau harus membayar dulu. Lima ribu won,” kata perempuan itu cepat. Dengan cuek, ia meletakkan bungkusannya di sisi lain dirinya, menjauhkan bungkusannya darimu.
Kau hanya tersenyum. “Baiklah. Aku tidak akan minum kola kalau begitu. Aku akan minum air laut,” celetukmu pelan, membuat perempuan itu tertawa renyah. Sesaat kemudian tawa kalian berdua menghambur.
Sungguh menyenangkan, ketika melihatmu tertawa. Akhirnya selubung abu yang kau bawa sedikit pudar, kendati keberadaannya masih ada. Soojung adalah gadis yang tepat untuk membuatmu tertawa.
Kemudian kenyataan kembali mengirisku. Selama ini aku selalu menyombongkan diri, berpikir bahwa aku adalah satu-satunya perempuan yang berhasil membuatmu benar-benar tertawa. Akhirnya ada gadis lain yang berhasil membuatmu tertawa.
Aku kemudian ikut tertawa. Tawa getir. Aku sedikit berharap air laut akan menciprati mulutku agar berhenti tertawa, membiarkan rasa asin dari garam yang belum mengkristal melumer di mulutku. Aku berharap ada yang menghentikanku menertawai diriku sendiri.
Saat makan siang, kau mengajakku untuk bermain di pantai. Kau selalu ingat bahwa aku menyukai pantai. Berbagai kata sudah kau rancang dengan rapi agar aku tak dapat menolak.
Sebenarnya kau sudah berkata bahwa Soojung akan ikut denganmu. Perempuan itu ingin mengenalku lebih dekat. Jujur saja, aku tidak pernah bercakap dengannya, kendati aku sering mendengar namanya – dari mulut orang-orang, dan mulutmu, tentu saja.
Awalnya aku ingin menolak, namun melihat wajahmu yang begitu berharap, jawaban ‘iya’ refleks meluncur dari bibirku. Kau tahu aku tak dapat menolak permintaanmu.
Namun katakanlah aku egois sekarang. Aku hanya ingin kita berdua yang berada di pantai ini. Aku ingin kita bercerita tentang hal ini-itu seperti biasanya. Aku ingin kita tertawa bersama seperti biasanya.
Tapi.. Aku menatap Soojung yang tersenyum begitu manis padamu. Gadis itu terlalu baik. Ia lebih baik untukmu, daripada aku. Ia jelas lebih cantik, lebih manis, dan lebih perhatian dibanding diriku.
Hari itu, mungkin adalah hari terakhir aku dapat melihatmu. Entah siapa yang akan bertahan untuk tinggal. Aku, atau dirimu.
***
Ban sepedaku berputar menyusuri jalanan di sekitar Hangang. Suasananya begitu sepi. Yang dapat kulihat hanyalah sungai Han yang tampak begitu jernih.
Aku menarik rem, menghentikan sepedaku di dekat kursi taman yang biasa kita berdua duduki. Mataku menatap matahari yang menyembul. Perasaan sepi menyusupi hatiku.
Bersepeda sendirian tanpa orang yang biasa menemani membuat semuanya terasa hambar. Aku terus bertanya-tanya ke mana kau pergi, sementara tak seorangpun mau menjawab.
Sudah hampir sebulan kau pergi. Aku bertanya pada orang tuamu, dan Soojung ke mana kau pergi. Namun semuanya enggan menjawab. Kini, setelah semua yang kau lakukan untuk membawaku kembali, giliran kau yang menghilang. Apa kau sedang balas dendam padaku?
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan beberapa hari setelah kita bertiga pergi ke pantai, tiba-tiba kau menghilang. Aku sedikit berharap bahwa kau mempelajari trik sulap dari Kris, mencoba untuk menghilangkan dirimu sendiri, lalu tersesat entah di mana. Setidaknya itu masih membuatku tenang, karena tahu kau masih hidup.
Hidup tanpa kabar seperti ini bukanlah tipeku. Aku harus mengetahuinya secara jelas.
Aku menarik napas panjang, lalu menggerakkan kakiku. Perlahan sesuatu menggores hatiku begitu dalam. Mungkinkah kau pergi karena diriku?
***
Berbulan-bulan kau pergi, aku mencarimu ke mana-mana, sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti mencari. Kasus menghilangnya dirimu adalah kasus abu-abu, yang tak pernah bisa kupecahkan.
Sosokmu muncul saat tahun baru, membuatku terkejut setengah mati. Kau malah terlihat santai-santai saja, lalu memasuki rumahku dan menyapa orang tuaku. Kau bertingkah seakan kau tak pernah menghilang.
Serbuan terompet tahun baru membuatku terus terjaga. Aku tersenyum sambil mengamati daging barbeque yang berada di atas panggangan. Malam pergantian tahun seperti ini tak bisa dilewatkan.
Sambil memegang piring penuh daging, kau mengajakku untuk naik ke atas atap. Tempat di mana kita selalu menghabiskan tahun baru, menatap percikan kembang api di langit.
“Maafkan aku karena tiba-tiba menghilang,” katamu dengan tawa.
Aku mendengus. “Lagipula siapa yang mencarimu,” balasku. Sifat percaya dirimu begitu besar.
Kau tertawa lagi, kali ini lebih keras. Seakan ingin seluruh dunia mendengar tawamu. Seakan pita suaramu tidak digunakan untuk tertawa lagi setelah sekian lama.
“Kudengar kau melanjutkan kuliah di Jepang.” Kau bergumam. Berita lama, sebenarnya. Aku sudah berangkat ke Jepang sejak dua tahun yang lalu. Tepat setelah berhentinya aku mencarimu ke mana-mana.
Kau adalah orang yang berharga untukku. Kehilanganmu tentu saja membuatku merasa aneh. Walau separuh hatiku saat itu berkata agar aku terus mencarimu, namun aku tak ingin terus larut dalam kesedihan.
“Masih ingat tentang percakapan kita tentang pilihan?” Kau bertanya. Aku mengangguk lamat-lamat. Dalam hati aku berharap kau akan menceritakan ke mana kau akan pergi.
“Bagaimana akhirnya? Kau memilih pilihan yang A, atau yang B?” tanyaku. Kau tersenyum sekilas padaku. Senyum masam.
“Awalnya aku memutuskan untuk tidak memilih dua-duanya,” katamu. Kau menggantung nadamu, lalu mendengus. “Tapi sepertinya aku terlalu naif. Waktu akhirnya yang memaksaku untuk memilih salah satunya.”
Aku hanya ber oh pelan, bingung harus menimpali bagaimana. Kau tak pernah menjabarkan masalahmu secara signifikan.
“Lalu, Soojung? Kau tidak menghabiskan malam tahun baru bersamanya?” pancingku kemudian. Kau menarik napasmu sejenak, lalu mulai bercerita.
Ternyata selama dua tahun belakangan, kau memutuskan untuk mencoba peruntungan di Busan. Kau mencoba untuk meningkatkan kemampuan aktingmu. Ketertarikanmu pada seni menarikmu ke kota yang begitu dekat dengan laut itu.
Kau kemudian mulai mengoceh tentang bagaimana hubunganmu dengan Soojung. Hubungan kalian berdua jadi naik-turun karena terpisahkan jarak. Soojung bukan tipikal wanita yang bisa menjalani hubungan jarak jauh.
Samar-samar, air matamu merembes membasahi sweater putih yang kau pakai. “Saat itu aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama menahan hubungan yang tak mungkin ini,” katamu. “Soojung jauh lebih baik tanpaku.”
Aku terperangah, tak menyangka luka berpisah sebegitu membekasnya di hatimu. Aku menepuk pundakmu, berusaha menenangkan dirimu.
Tahu betul jatuh bangunnya dirimu saat mengejar perempuan itu membuatku ikut sedih. Dia adalah perempuan yang berhasil kau curi hatinya dengan kerja super keras, dan hanya sekian menit kalian mengambil keputusan untuk berpisah.
Setelah menghapus air matamu, kau menatap langit sambil tersenyum kecil. Sungguh, perubahan ekspresi itu begitu mengejutkanku.
Sesaat kemudian beku menjalari tubuhku. Bukan. Ini bukan karena salju yang mulai berjatuhan lagi. Instingku mulai berkata lagi. Kau sedang jatuh cinta.
“Aku begitu bodoh. Sekian lama aku berusaha untuk mencari seseorang dengan penuh kerja keras, namun aku tak pernah menyadari pilihan yang sebenarnya sudah tersedia di hadapanku.” Kau menatapku dalam. Tubuhku membeku. Perasaan takut mulai menyusupi hatiku.
“Aku sadar bahwa aku tak perlu mencari seseorang yang jauh letaknya, atau bekerja lebih keras untuk menemukan seseorang yang baru. Karena orang yang kubutuhkan sebenarnya ada di depanku. Gadis yang selalu menemaniku selama ini.”
Aku mengalihkan pandang, lalu menatap langit. Jantungku berhenti berdetak selama sepersekian detik. Aku menggigit bibirku sendiri.
Jika kau tanya apa rasa itu masih ada. Tentu. Kau adalah laki-laki paling berharga yang pernah masuk ke dalam kehidupanku. Kau tahu semua kebiasaanku, mengerti watakku dengan baik. Aku masih punya sebuah ruangan khusus untuk dirimu.
Kau kemudian memegang daguku, memaksaku untuk menatapmu. Kau mengamatiku dengan kedua matamu. Tanpa kata, kau mendekatkan wajahmu pada wajahku.
Kini giliran aku yang menangis. Semua ini terlalu tiba-tiba. Akan lebih mudah jika seandainya kau mengungkapkan ini lebih awal.
“Aku harap aku tidak terlambat,” bisikmu setelah melepaskan kecupanmu di bibirku. Aku menggigit bibirku, merasakan cairan hangat menjalari pipiku.
Kau menatapku, menyadari ada sesuatu yang aneh. Sesaat kemudian kau meraih tanganku, lalu mendapati sebuah cincin melingkar di jari manisku.
Kau kemudian tertawa getir dengan suara serak. Tuntas sudah semua misteri yang ada pada diri kita selama bertahun. “Aku.. terlambat.” Begitu katamu di sela tawa.
Ruang untukmu memang selalu tersedia di relung hatiku, namun rasa itu sudah lama menguap sejak kau pergi. Seperti yang sudah kukatakan padamu, hidup adalah pilihan. Satu pilihan akan mengawali sebuah cerita di hidupmu.
Inilah pilihanku. Aku memilih untuk memasukkan semua rasaku dalam sebuah kantung hitam, lalu memasukkannya dalam loker. Aku terlalu percaya bahwa kau dan Soojung akan menjadi pasangan sampai mati.
Seperti seorang penjelajah hutan, aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri. Aku tak ingin mati perlahan karena pikiranku tentangmu.
Dan saat itulah, seorang laki-laki datang ke kehidupanku, menggantikan posisimu di dalam hatiku. Bukan hal yang mudah untuknya, mengingat semua rasa tentangmu masih tersimpan. Namun toh nyatanya ia berhasil.
Andaikan waktu bisa kuputar kembali, aku ingin tetap jatuh cinta padamu seperti dulu. Kau adalah laki-laki yang baik. Aku tak ingin mematahkan hatimu.
Tapi pilihan, tetaplah pilihan. Aku menatap cairan yang mengalir di pipimu. Kau menangis dalam diam.
Aku tak tahu mengapa aku menangis ketika bibirmu menempel di bibirku. Mungkin aku hanya ikut merasakan penderitaanmu, sebagai seorang sahabat. Aku ikut sedih karena kau sedih.
Semua selubung abu ini berhasil kita lepaskan, lengkap dengan semua kenyataan yang terungkap di dalamnya. Kau, laki-laki yang terlambat, sedangkan aku, perempuan yang terlanjur memilih sebuah pilihan.
Tak ada yang salah. Mungkin hanya kita saja yang terlalu terlambat menyadari semuanya.
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Jung Soojung, Kim Jungmyun
