If I stayed, something inside me would be lost forever—
something I couldn’t afford to lose.
—Haruki Murakami; South of the Border, West of the Sun
-
“Bagaimana—“
“Apa—“
Keane dan Jea—keduanya berbicara pada saat bersamaan membuat apapun yang akan mereka katakan segera terhenti, lalu keduanya tertawa canggung.
Tidak ada yang lebih awkward dari apa yang mereka terjadi sekarang. Mereka dulu adalah sepasang kekasih yang bertahun-tahun tidak berjumpa dan kemudian tiba-tiba saja sebuah kebetulan membuat mereka berakhir duduk berdua di sebuah café.
Keane berdehem. Tatapannya tak sengaja menangkap sebentuk cincin yang melingkar di jari manis kiri gadis di hadapannya. “Aku senang kau telah memiliki seseorang.” katanya. Lelaki itu tidak akan berbohong, sampai detik ini hatinya masih terbebani rasa bersalah terhadap Jea. Bertahun-tahun yang lalu, dialah yang pertama kali memutuskan untuk meninggalkan gadis itu tanpa penjelasan.
“Hm.” Gadis itu tersenyum. “Dan aku juga senang kau telah memiliki seseorang.” Jea bisa melihatnya—Keane juga telah memiliki cincin yang melingkar di jari manisnya.
Keterdiaman kembali meliputi. Tidak ada satupun di antara mereka yang menduga bahwa akan sebegini beratnya mencairkan suasana. Tetapi ada satu pertanyaan yang telah menggantung di pikiran Jea sejak lama dan ia tak ingin pertanyaan itu kembali tertelan dan terkubur dalam keterdiaman.
“Keane, aku tak bermaksud mengungkitnya kembali, hanya saja aku ingin tahu—“ Jea berhenti sejenak. Pertanyaan yang telah ia pikirkan sejak lama, mengapa jadi begitu sulit untuk membuatnya jadi verbal. Gadis itu memainkan jemarinya di pinggiran cangkir. Ia merasa gugup tiba-tiba.
Di mata Keane, Jea tak pernah berubah. Gadis itu masih menjadi gadis yang ia cintai dulu dan bukan perkara sulit bagi lelaki itu untuk tahu apa yang ada di pikiran gadis di depannya. “Kenapa aku dulu meninggalkanmu?” Ia menebak. Dan dari cara Jea melebarkan bola mata saat menatapnya, lelaki itu tahu tebakannya tidak meleset.
Namun Keane tak segera menjawab. Ia melayangkan tatapan ke luar cafe sementara fragmen demi fragmen kenangan mereka datang berkelebatan di dalam benaknya. Ia ingat bagaimana percakapan yang dulu biasa mereka bagi dengan begitu hangat perlahan menjadi dingin dan hambar. Ia ingat bagaimana kecupan yang biasa mereka bagi di pagi hari dengan penuh hasrat perlahan menjadi tak lebih dari rutinitas. Ia ingat bagaimana bagaimana setiap pelukan yang biasa terjadi secara spontan dan natural perlahan menjadi sesuatu yang janggal dan canggung. Pertengkaran demi pertengkaran datang perlahan bahkan kadang tanpa pemicu. Jelas, cinta yang pernah mereka bagi bersama telah hilang tanpa mereka tahu apa alasannya.
Yang Keane tahu, jika mereka memaksakan diri untuk tetap bersama, mereka akan kehilangan banyak hal. Ia tidak tahu sampai kapan ikatan rapuh yang tersisa di antara mereka bisa bertahan. Pertengkaran mungkin saja akan menggeret mereka dari sepasang kekasih menjadi sepasang musuh.
Keane tak ingin membiarkannya. Meski ia tak bisa bersama Jea, lelaki itu ingin tetap mengenang Jea sebagai gadis yang pernah sangat dicintainya. Dan Keane yakin, Jea juga pasti berharap demikian. Jadi jika Jea menanyakan kenapa ia dulu meninggalkannya, maka Keane punya jawabannya sendiri.
“For good, Jea.” bisiknya.
-fin
Filed under: one shot, original fiction
