Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Authors' Project] We Meet Again

$
0
0

large

Stockholm, 25 Desember

4.03 PM

Milyaran butir salju telah bersepakat untuk tidak menjatuhkan diri ke daratan kota Stockholm hari ini dan—yah—Lisbeth Salander cukup senang dengan fakta itu. Sudah sekitar satu jam ia tak beralih dari posisinya, yakni berdiam diri di trotoar sembari memerhatikan sebuah gedung yang berada di seberang jalan sana. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu menghisap pangkal rokok yang terselip di ruas jemarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya mengembuskan asapnya secara perlahan melalui celah hidung dan mulut.

Satu tahun berlalu dengan sangat cepat, kemesraan antara Mikael Blomkvist dan Erika Berger masih terasa begitu segar di sudut ingatannya, pun vinyl Elvis Presley yang kala itu harus berakhir di tong sampah. Yah, tentu semua itu takkan terjadi jika ia tak memedulikan kenaifannya.

Salander menghela napas panjang. Lantas mengingat-ingat bagaimana selama setahun ini ia menahan diri untuk tidak menelanjangi privasi Blomkvist. Dan kenyataan bahwa pria itu tak pernah mencarinya sungguh sangat membantu. Rencananya untuk melupakan segala hal yang pernah terjadi di antara mereka pun berlangsung mulus, paling tidak sejak sebelum tadi malam—ketika rasa ingin tahunya yang menggila telah berhasil merubuhkan tekadnya.

Keingintahuannya lahir dari sebuah rasa rindu—yah—ia merindukan Blomkvist.

Ini sudah rokok keempat namun Blomkvist belum juga menampakan diri.

Well, sejatinya Salander hanya sedang sedikit bermain-main dengan keberuntungan. Ia sama sekali tidak tahu apakah pria itu ada di sana atau tidak  dan ia sungguh tak berminat untuk menemukannya di mana pun kecuali di sana—di gedung redaksi majalah Millenium. Salander merapatkan mantel hitamnya lantas menatap sepasang kaki berbalut Docmart marunnya yang nampak berat selama beberapa saat.

Di rokok kelima, sepasang pintu kaca gedung redaksi pun akhirnya terbuka. Salander menyunggingkan senyum timpang lantas melambaikan tangannya ke arah seorang pria yang hendak meninggalkan gedung.

Mikael Blomkvist menoleh, menunjukkan ekspresi terkejutnya yang masih nampak sama seperti dulu. Tak ada perubahan berarti yang nampak dalam diri pria berusia empat puluh lima tahun itu, setidaknya itu menurut Salander. Blomkvist berjalan tergesa menjauhi pintu lalu menyebrang jalan setelah menengok ke arah kanan dan kiri.

“Sally.” Blomkvist mendekat, nampak hendak memberikan sebuah pelukan.

“Salander,” koreksinya sambil mundur sebanyak dua kali, menghindar.

Keduanya berdiri saling berhadapan dan untuk sejenak kehilangan kata, mereka seolah hanya berinteraksi melalui sepasang mata yang kala itu tengah menampilkan tatapan yang sukar terbaca.

“Mau?” Tawaran itu meluncur tanpa aba-aba, serta-merta Salander menyodorkan rokok yang masih dihisapnya. Blomkvist tak bereaksi dan hanya memandangnya tanpa ekspresi.

Well, seharusnya aku tidak lupa bahwa kau sudah berhenti merokok,” kata Salander. “Dan kurasa kau tidak ingin jika Erika ‘Keparat’ Berger memergokimu tengah menghisap benda tolol ini.”

Salander tidak berubah, ia kerap menyelipkan kata ‘keparat’ di setiap nama orang-orang yang dibencinya. Blokmkvist terkekeh pelan. “Aku merokok,” katanya sambil mengambil alih rokok yang masih menyala itu dari jemari Salander, “tapi kadang-kadang. Karena bagaimana pun juga aku sudah tua.”

Sejak dulu, Mikael Blomkvist seolah tak pernah bosan mengingatkan bahwa dirinya sudah tua. Namun sedetik pun Salander tak pernah peduli terhadap kenyataan itu, terlepas Blomkvist sudah tua atau belum, toh  ia tetap mencintainya. Itu saja.

“Bagaimana hidupmu?”

Kedua alis Blomkvist meninggi selepas mendengar pertanyaan itu. “Seperti yang kauketahui.”

“Aku tidak tahu apa-apa. Tolong jangan berpikir bahwa selama ini aku memonitormu,” katanya dingin.

Blomkvist menghisap rokok itu kurang dari lima kali. Setelah dirasa cukup, cepat-cepat ia menjatuhkannya ke tanah lalu menginjaknya. “Hidupku menyenangkan.”

“Karena?”

Blomkvist membisu sejenak, seolah berpikir. “Aku tak bisa mendikte satu per satu hal yang membuat hidupku terasa menyenangkan,” ucapnya dengan suara rendah. “Tapi, kurasa kesuksesan Millenium adalah salah satunya. Millenium—“

“—sudah semakin bersinar. Terungkapnya kasus pencucian uang yang dilakukan oleh Hans-Erik Wennerström tahun lalu telah berhasil mendobrak popularitas majalah kontroversialmu itu,” sela Salander. “Aku cukup terkejut saat mengetahui jika Millenium telah dinobatkan sebagai majalah terbaik tahun ini.”

Blomkvist terkekeh. “Kau mengikuti perkembangan Millenium?”

“Tidak secara khusus,” katanya. “Bukankah selama setahun terakhir hampir seluruh masyarakat Swedia sudah mengetahui sepak terjang majalah yang selama ini kau besarkan?”

“Tidak hanya aku. Erika, Christer, dan tim yang lain juga ikut bekerja keras dalam membesarkan Millenium dan.. puncak kesuksesan kami tak akan pernah terjadi tanpa bantuan darimu.” Blomkvist tersenyum. “Profesimu sebagai ‘dedemit maya’ memang sebuah kontradiksi.” Salander tak menjawab dan hanya menatapnya lurus-lurus dengan bibir terkatup.

Bagi Blomkvist, Lisbeth Salander adalah berkat. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan nasibnya kalau saja tak menemukan gadis itu.

Salander sudah memberikan bantuan yang begitu banyak untuk hidupnya. Ia sudah membantunya melakukan penyelidikan kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga Vanger di kota Hedestad. Kasus itu begitu rumit, menyita begitu banyak waktu dan energi, pun mempertaruhkan nyawa. Blomkvist tak akan pernah lupa bagaimana dirinya nyaris mati di tangan Martin Vanger—sang pelaku—kalau saja Salander tak datang untuk menyelamatkannya.

Lalu mengenai Hans-Erik Wennerström. Setelah gagal menguak kasus pencucian uang yang dilakukan oleh pria itu, Blomkvist dengan terpaksa harus membiarkan harga dirinya tercabik lantaran kalah di persidangan. Ia jugamendekam di penjara selama beberapa bulan dan membayar denda dalam jumlah besar. Namun, semua itu kini tak ada artinya karena Salander telah membantunya melancarkan aksi balas dendam yang lebih kejam. Gadis itu memiliki akses untuk menyelinap masuk ke dalam zona paling pribadi dan rahasia yang dimiliki oleh Wennerström lantas menyodorkan bukti-bukti terakurat yang pernah ada mengenai kepicikan dan keserakahannya. Dan—yah—semua itu lebih dari cukup untuk menghancurkannya.

Mereka memang sudah melewatkan banyak hal bersama-sama. Blomkvist senang bisa mengenalnya dan ia sangat menyayangkan mengapa selama ini Salander menjauhinya.

“Selamat natal,” kata Salander pada akhirnya. Ia menunduk, memutus kontak mata dengan Blomkvist.

Sesaat kemudian ia merasakan belaian lembut di puncak kepalanya. Ia terdiam, tak berniat untuk menarik diri.

 “Kau tidak memberiku hadiah?” canda Blomkvist setelah belaiannya terhenti.

“Tahun lalu aku berniat memberimu hadiah, namun berakhir di tong sampah.”

“Kenapa?”

Salander tidak menjawab. Ia membenahi beanie abunya lalu mengulum piercing yang tersemat di sudut kanan bibirnya. Ada hal yang ingin ia sampaikan pada pria itu. Tentang bagaimana dirinya selama ini cukup dibuat gila oleh sebuah perasaan yang—demi Tuhan—tak pernah ia percayai keberadaannya; cinta. Tapi, Salander mengurungkan niatnya dan berpikir bahwa akan lebih baik jika pria itu tidak mengetahuinya.

“Kau tak seharusnya menghilang, Sally.”

“Salander,” koreksinya, “dan aku tidak menghilang. Selama ini aku masih berada di Stockholm. Menjalani kehidupan yang sedikit normal di apartemen milik Holgar Palmgren—waliku. Sesekali aku juga menghadiri pertemuan dengan beberapa anggota Hacker Republic di London, dan kadang kala mengisi waktu luang dengan menerima beberapa pekerjaan dari Milton Security untuk melakukan investigasi.” Salander menghela napas panjang. “Pada intinya, kaulah yang tidak pernah mencariku.”

“Aku mencarimu. Aku pernah datang ke Fiskargatan 9 sebanyak dua kali dan kau tak ada di sana.”

“Kurasa kau tidak cukup bodoh untuk melacak keberadaanku,” putus Salander, kecewa. “Tapi, aku tak mempermasalahkannya. Aku menganggap ketidaktahuanmu sebagai keberuntungan untukku. Selama ini aku menahan diri untuk tidak menyentuh kehidupanmu dan—yah—kedatanganku ke sini sebenarnya melenceng dari rencana.”

“Apa rencanamu?”

“Menghilang dari hidupmu untuk selamanya, katakanlah seperti itu,” katanya santai.

“Bukankah kita berteman?”

“Apakah seorang teman tidak berhak menghilang?” Blomkvist tak menjawab. “Aku menyukaimu.”

“Aku juga.”

Salander mengangguk. “Aku mencintaimu.”

Blomkvist tertawa kering. “Bahkan aku—“

“—cukup tua untuk menjadi ayahmu.” Salander lagi-lagi menyela. Ia tak menyangka jika pria itu akan mengucapkan kalimat itu lagi. “Sudah kubilang aku tidak peduli.”

Salander menahan hasratnya untuk berdecak lantaran kecewa. Ia cukup kesal karena pria itu nyatanya tetap berpikir bahwa usia adalah penghalang ulung atas hubungan mereka—oh, sebentar—seharusnya ia tak melupakan fakta penting bahwa satu-satunya wanita yang ia cintai adalah Erika Berger.

“Kupastikan ini adalah kali terakhir di mana kau bisa melihatku,” kata Salander. Kini ekspresi wajahnya lebih dingin dari temperatur udara kota Stockholm pada saat itu. “Aku minta maaf karena sudah menyusup dan membaca catatan-catatan bodohmu.”

“Apa kau mengintip jumlah uang di rekeningku juga?” tanya Blomkvist sambil terkekeh. Ia jadi teringat akan kejadian di mana gadis itu mengintip jumlah uang di rekeningnya dahulu sesaat sebelum meminjam uang padanya untuk pergi ke Zurich.

“Tidak,” jawab Salander pendek. “Aku hanya membaca catatan-catatan harianmu, lantas menemukan sebuah kalimat yang membuatku tak tahan untuk mendatangimu ke sini.”

Blomkvist terdiam. Ia tahu benar kalimat mana yang dimaksud oleh Salander.

Sally, aku merindukanmu. Pria tua ini merindukanmu. Terus saja menghilang.

“Kau tidak mengganti kata sandi komputermu selama setahun terakhir?”

“Lalu apa alasanmu kembali menyentuh kehidupanku?”

Salander berdeham. Melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Manusia asosial sepertiku juga layak mendapatkan hadiah natal.. dan pertemuan ini adalah hadiahnya.”

“Kalimatmu tak menjawab pertanyaanku.”

Salander memalingkan wajah. “Rasa rindu melahirkan rasa ingin tahu. Dan senang rasanya mengetahui dirimu merindukanku juga.”

Blomkvist mendekat, lantas mendekap gadis bertubuh mungil itu dengan erat. Ia bisa merasakan ketidaknyamanan yang ditunjukan Salander, namun ia tak peduli. “Dasar anak bodoh.”

Salander berusaha menarik diri, namun pelukan pria itu terlalu erat, dan membuat candu. Sesaat kemudian ia memilih untuk terdiam, menyentuhkan wajahnya ke dada pria itu, menghisap aroma kayu manis yang begitu familier untuknya. “Sudah cukup. Aku harus pergi.”

Blomkvist menuruti perkataannya. Ia melepaskan pelukan lantas melangkah mundur sebanyak satu kali. “Kupastikan ini bukan yang terakhir,” katanya.

“Terserah apa katamu.” Salander berbalik dan kemudian pergi. Kakinya melangkah dengan kecepatan sedang. Punggungnya terasa hangat—dan ia yakin itu adalah reaksi yang ditimbulkan lantaran pria itu kini tengah menatap kepergiannya.

Kurang dari sepuluh detik, ponsel di dalam saku mantelnya berdering. Ia menghentikan langkah, hendak menerima panggilan tersebut.

Dragan Armansky is calling… CEO dari Milton Security mengubunginya. Well, ada pekerjaan yang tengah menanti. Salander berharap jika pekerjaan yang ditawarkan tidaklah membosankan.

“Ya.”

“Aku hendak memberimu pekerjaan.”

“Aku tahu. Apa itu?”

“Kau pasti tidak lupa dengan kasus keluarga Vanger, kan?”

Oh, mana mungkin ia melupakannya. Ia akan mengingat hal itu selamanya, tentu saja.

Henrik ‘Keparat’ Vanger meminta bantuan Mikael Blomkvist untuk menyelidiki kasus pembunuhan cucunya—Harriet ‘Keparat’ Vanger—yang terjadi empat puluh tahun silam. Namun apa yang terjadi? Segala petunjuk yang hadir malah merujuk pada kasus lain, yakni pembunuhan berantai gadis-gadis keturunan Yahudi yang dilakukan oleh Martin ‘Keparat’ Vanger dan mendiang ayahnya, Gottfried ‘Keparat’ Vanger.

Lalu bagaimana nasib si Harriet ‘Keparat’ Vanger? Yah, wanita itu ternyata selama ini masih hidup dan menetap di Australia.

Salander membuang napas keras. Keluarga Vanger memang keparat. Tak heran mengapa ia begitu membenci mereka.

“Hm. Lalu?”

“Jika dulu, Henrik Vanger yang meminta bantuan untuk menyelidiki kasus pembunuhan Harriet Vanger.. maka, sekarang sebaliknya.”

Kedua alis Salander menyatu. “Tunggu, apa maksudmu?”

“Henrik tewas terbunuh dua jam yang lalu dan Harriet memintamu—dan juga Blomkvist untuk menyelidiki kasus ini secepatnya.”

Salander memutus sambungan telepon. Ia tak percaya jika berita semacam itu akan muncul di hari natal yang—yah—cukup menyenangkan ini. Refleks Salander memutar tubuh, lalu melemparkan tatapan ke tempat di mana tadi ia berbincang dengan Blomkvist.

“Sial,” umpatnya pelan. Pria itu masih berada di sana, menatapnya.

Salander menghela napas berat, meragukan jika ini adalah pertemuan terakhirnya dengan pria itu.

—fin.

 

Fanfic western pertama saya, maaf kalau aneh dan tidak memuaskan. Cast diambil dari novel/film The Girl with the Dragon Tattoo, semoga kalian suka.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Author's Project, Lisbeth Salander, Mikael Blomkvist, The Girl with the Dragon Tattoo

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles