Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Authors' Project] A Story About Us

$
0
0

Guadalquivir River Roman Bridge Cordoba Spanyol

Some people are meant to fall in love with each other, but not meant to be together.

Aku memejamkan mataku, menikmati terpaan angin yang membelai wajahku. Dadaku bergemuruh, meluapkan kerinduanku akan tempat ini. Roman Bridge beserta segala kenangan yang pernah kuukir di sini bersamanya.

Aku membuka kelopak mataku, menopang tubuhku dengan kedua tangan yang kubiarkan bertumpu pada jembatan yang dibangun pada masa kejayaan romawi ini. Jembatan beton yang cukup lebar, mencapai 10 meter kurasa – entahlah aku belum sempat mengukurnya, dan membentang sepanjang 200 hingga 250 meter – ini juga belum sempat kuukur.

Aku memandang sungai guadalquivir dari atas jembatan yang masih sama indahnya dengan yang terakhir kali aku lihat. Begitu saja, dan potongan-potongan masa lalu itu muncul tanpa sempat kucegah sebelumnya.

Satu alismu terangkat saat melihatku mengerucutkan mulutku. Hari itu cuaca sangat dingin dan aku lupa membawa jaketku, tapi kau malah tertawa mengejekku. Kau mengacak rambutku setelahnya lalu mengangsurkan jaket yang baru saja kau lepas padaku.

Ragu aku mengulurkan tanganku untuk mengambilnya sebelum tanganmu dengan sigap menyampirkannya sempurna di bahuku. “Jangan lama-lama, udara semakin dingin, aku tidak ingin kau sakit.”

Aku tersenyum, salah satu kenangan favoritku. Bagaimana kabarmu? Aku…merindukanmu…

Aku menggosok gosokkan telapak tanganku, menghalau dingin yang menyergap jemariku. Udara sebenarnya tidak bisa dikategorikan dingin menusuk kulit mungkin memang aku saja karena saking gugupnya.

Rutinitas kita seminggu ini mengapa kian hari justru kian mendebarkan? Kita hanya berjalan bersama menyusuri Roman Bridge sembari bertukar cerita. Kau dengan cerita seputar pengalaman traveling-mu selama ini dan aku dengan cerita keluargaku yang tidak pernah membuatku ingin pulang. Kita yang sama-sama memilih untuk hidup berkelana dari satu negara ke negara lain dengan alasan yang berbeda. Kau melakukannya karena kau ingin sementara aku karena aku ingin lari dan berusaha mencari penghiburan.

Satu minggu berlalu tapi kau bilang kau masih enggan meninggalkan Cordoba, sama seperti diriku yang mulai berpikir jika hal itu bukanlah ide yang buruk selama kau berada di sini, bersamaku.

“Aku tidak tahu sejak kapan menyusuri jembatan ini menjadi salah satu ritual wajibku selama di Cordoba. Ini bukan kali pertama aku ke sini tapi kali ini ada yang berbeda.”

“Berbeda?”

Kau mengangguk lalu tersenyum. “Kali ini jembatan ini menawarkan sesuatu yang membuatku tidak sanggup menolaknya.”

“Ummm?”

“Kau.”

Tiga tahun berlalu. Sungguh, aku ingin tahu bagaimana kabarmu. Setelah hari itu, apakah kau pernah kembali ke tempat ini? Aku bahkan tidak sanggup melangkahkan kakiku kemari selama tiga tahun ini. Kau tahu, aku takut aku akan kecewa karena tidak menemukanmu di sini.

Kau tahu aku sudah pulang ke rumahku di Mexico? Kau tahu aku sudah berdamai dengan keluargaku? Aku tahu betapa inginnya aku menceritakan semua ini padamu?

Seberapapun inginnya aku membagikan cerita ini padamu nyatanya aku tidak memiliki akses apa-apa untuk menghubungimu. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Bodoh!

Harusnya aku sadar jika takdir kita sudah ditetapkan dari awal.

“Bisa minta tolong ambilkan gambarku?” tanyaku padamu sembari mengangsurkan sebuah kamera. Kau mengendikkan bahumu sekilas sebelum akhirnya meraih kameraku lalu menyuruhku untuk menjauh.

Kau mengarahkan kameraku, bersiap untuk mengambil gambar. Aku tersenyum lebar usai mendengar aba-aba darimu. Aku mengucapkan terima kasih padamu saat mengambil kembali kameraku.

“Kau… Mau kubantu mengambil gambar juga?”

Kau mendengus. “Aku tidak suka difoto. Terima kasih.”

Aku menahanmu saat kau hendak melangkahkan kakimu, mungkin melanjutkan perjalananmu atau mungkin berburu pemandangan indah – aku tidak tahu.

Aku mengulurkan tanganku. “Callysta. Aku sedang berlibur, bagaimana denganmu?”

Bohong. Aku tidak sedang berlibur sebenarnya. Aku pergi. Aku lari. Aku kabur. Itulah hal yang sebenarnya. Tapi senang rasanya aku menemukan seseorang yang sepertinya sebaya dan sedang melewatkan waktu berlibur di tempat yang sama denganku. Seseorang yang entah mengapa membuatku nekat mengajukan sebuah permintaan.

Kau menjabat tanganku erat. Tipe jabatan tangan yang kusukai. “Noel. Sama sepertimu, aku juga sedang berlibur.”

 “Sepertinya kita sebaya, bagaimana kalau kita melewatkan liburan ini bersama-sama?”

Kedua matamu melebar, kaget dengan tawaranku. “Apa? Kau yakin? Kau bahkan baru saja bertemu denganku, nona. Kau… Tidak takut?”

Aku menggelengkan kepalaku lalu memamerkan senyum lebarku. “Aku percaya padamu. Aku yakin kau orang baik.”

Aku sungguh-sungguh. Melihat dirimu menimbulkan sebuah keyakinan tersendiri. Seolah aku tahu bahwa kau akan melindungi dari apa-apa yang hendak menyakitiku nantinya selama ‘liburan’ berlangsung.

Kau tertawa. “Terima kasih tapi kau harus belajar untuk tidak terlalu cepat percaya pada orang lain, kau harus menjaga dirimu baik-baik. Baiklah, mari kita melewatkan liburan kali ini bersama-sama.”

Aku mengacungkan jempolku padamu.

Takdir kita sudah digariskan. Seharusnya aku tahu itu.

“Dia berasal dari daerah yang sama denganku. Kami sama-sama lahir dan besar di Almere, Belanda. Aku mengenalnya sejak tujuh tahun yang lalu saat aku dan dia sama-sama mengikuti sebuah camp rohani.”

Kau membuka pembicaraan setelah sepuluh menit berlalu hanya dengan memandang sungai guadalquivir dari atas jembatan Roman, jembatan yang selalu menjadi destinasi kita saat menjelang senja.

Aku mencengkeram jembatan lebih erat, menggigit bibir bawahku, ada sakit yang mulai menyerang dadaku saat ia menceritakan gadis itu. Gadis yang begitu beruntung, pikirku.

“Aku dan gadis itu sebenarnya tidak pernah ada kata-kata aku menyukainya atau dia menyukaiku. Kami dekat karena kami sering bersama dan orang tuaku menyukainya. Dan ya, begitulah kami akhirnya memutuskan bersama.”

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Apa kau mencintainya? Ingin sekali aku menanyakannya tapi nyatanya sampai sekarang pertanyaan itu masih tersimpan di dalam hatiku.

“Aku dan gadis itu akan menikah tahun depan.”

Kau menoleh, memandangku dengan tatapan yang tidak kumengerti. Seolah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku.

“Aku tidak tahu sejak kapan, tapi berada di sisimu kini membuatku lupa bahwa aku memiliki seseorang yang akan mengisi hari-hariku di masa depan dan sayangnya seseorang itu bukan dirimu.”

Aku tersenyum separuh, tidak tahu bagaimana aku harus merespon ucapanmu. Haruskah aku mengatakan bahwa aku juga menyukaimu? Haruskah aku memintamu meninggalkan gadis itu demi diriku? Aku hanya tidak sanggup melakukannya.

“Bisakah kita bertemu lagi?”

Pertanyaan itu yang akhirnya malah terucap dari bibirku. Pertanyaan sebagai perwujudan dari keputusasaanku.

Aku mungkin tidak bisa memilikimu, tapi aku ingin bertemu lagi denganmu. Aku ingin melihatmu, mengetahui bahwa kau dan gadis itu berbahagia. Bahwa kau akan baik-baik saja meskipun pendampingmu bukan diriku.

Aku menghembuskan nafasku berat. Harusnya usia pernikahanmu kini menginjak dua tahun bukan? Apa kalian telah memiliki anak? Apa kalian berbahagia?

Harusnya aku telah merelekanmu. Harusnya aku mendoakan kebahagiaan kalian. Harusnya, tapi mengapa aku justru selalu merindukanmu? Mengapa sekarang aku justru berharap dapat bertemu lagi denganmu di sini meski dulu kau mengatakan bahwa kau tidak akan lagi mengunjungi Cordoba? Bahwa kau mengatakan dengan datang ke sini hanya akan membuatmu mengingatku dan semua kenangan kita jadi kau tidak ingin lagi berada di sini, di tempat kenangan kita.

Kau menggeleng lemah.

“Aku akan kembali ke tempat ini suatu hari nanti,” ucapku lirih.

“Aku tidak akan berlibur ke Cordoba lagi. Aku tidak ingin menyakiti hatiku sendiri karena hanya dengan melihat jembataan ini saja, kenangan-kenangan kita akan menyakitiku secara perlahan,” jawabmu tak kalah lirih.

“Kau…yakin?”

Kau menghela nafasmu kasar lalu mengacak rambutmu frustrasi. “Entahlah… Aku sendiri tidak tahu. Apa yang akan terjadi nanti, aku tidak tahu. In case kita tidak bertemu lagi, aku mohon… Jaga dirimu baik-baik, Callysta. Jaga dirimu untukku.”

Begitu saja kau pergi. Begitu saja pertemuan, perjalanan dan perpisahan kita. Sepuluh hari kita menyusuri jembatan ini bersama. Sepuluh hari kita mengukir kenangan bersama sambil berbagi cerita. Sepuluh hari dalam seumur hidup.

Aku mungkin tidak akan pernah bertemu lagi denganmu. Konyol mungkin jika aku mengatakan aku mencintaimu padahal kita hanya sempat menghabiskan waktu bersama hanya sepuluh hari tapi nyatanya hatiku mengatakan demikian. Tapi sepuluh hari pertemuan kita adalah kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan.

Katakan aku terlalu percaya diri karena saat itu aku yakin bahwa kaupun memiliki perasaan yang sama denganku. Sekalipun takdir mengatakan kita tidak terlahir untuk bersatu, tapi aku bersyukur karena bertemu dan mengenalmu, Noel. Aku bersyukur karena berkesempatan melewati sepuluh hari yang sangat indah di hidupku.

Terima kasih, Noel.

“Callysta…,” panggil seseorang lirih tapi masih bisa kudengar dengan jelas.

Aku menolehkan kepalaku, mendapati seseorang tengah berdiri tidak jauh dari tempatku sekarang. Seorang laki-laki tinggi dan sedikit kurus, mengenakan kaos biru dan celana jeans warna senada. Kacamata hitam membingkai wajahnya sempurna. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, tidak percaya dengan apa yang kulihat saat ini.

“Noel?”

Kaukah itu?

Apa kali ini takdir berkata lain? Yeah! Who knows?

.fin.

Fiksi western pertama dan stuck sekali tentang ide cerita. Hanya ini yang terlintas di pikiranku hingga detik-detik terakhir. Semoga kalian suka ya… ^^


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Author's Project


Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles