Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Authors' Project] We Are Broken

$
0
0

.

.

.

Inspired by PARAMORE’s WE ARE BROKEN

-

-

-

Janice Florencia Smith, begitu orangtuaku menyematkan nama ketika aku lahir seperempat abad yang lalu. Aku anak pertama dari dua bersaudara, dengan adik laki-laki —yang terkadang bisa sangat menyebalkan—bernama Jaden. Jaden dan aku hanya terpaut usia sekitar 3 tahun, maka tak heran bila kami memiliki hubungan yang terbilang ‘labil’; di suatu kesempatan, kami bisa begitu akur dan lengket seperti kembar dempet, tapi di lain hari, kami tak segan berperang tak ubahnya Israel dan Palestina.

Keluargaku normal, maksudku, aku punya satu ayah, satu ibu, juga satu saudara lelaki yang tadi kuceritakan. Ya, setidaknya begitulah yang akan kalian lihat di foto keluarga berbingkai kayu di ruang keluarga rumah kami.

Ada sesuatu yang kusuka sekaligus begitu kubenci dari foto-foto keluarga kami, baik yang terbingkai di dinding, maupun yang terpajang di beberapa album yang dirawat rapi oleh tangan halus Mommy. Di dalam foto, kami begitu nampak serasi, semacam keluarga harmonis yang biasa dilihat di iklan sereal televise. Sayangnya, semua itu hanya terekam di dalam foto. Karena di kehidupan nyata, kami tak sebahagia yang orang-orang sangka. Oh tidak, coret kata kami, mungkin hanya aku saja yang merasa begitu, kulihat ibu dan adikku baik-baik saja selama ini.

Aku tidak ingat persis kapan segalanya berubah. Seingatku, dulu ayah dan ibu berbagi kadar kasih sayang yang sama untukku dan Jaden. Tapi, semenjak kami beranjak remaja, segalanya berubah. Kami— khususnya aku—merasa bagai kehilangan sosok ayah. Sesosok ayah yang hangat dan penyayang yang dulu sempat kumiliki, kini menghilang ditelan bumi. Bukan secara fisik, bukan. Daddy, Mommy, Jaden dan aku masih tinggal di satu atap yang sama, menjalani 24 jam yang sama, namun tidak lagi ada kasih sayang di sana.

~

Janice, dinner’s ready …” Ibuku bersuara dari bawah.

“Sebentar, Mom …” sahutku sekenanya seraya menarik malas tubuhku dari bawah selimut.

“Kau masih sakit, Honey?”

Aku hanya menggumam pelan sambil menggeleng pelan, mengisyaratkan bahwa keadaanku sudah jauh lebih baik dari tadi pagi demi menenangkan hati Mommy. Setelahnya, ibuku tak lagi bersuara, sibuk menyendokkan menu makan malam ke piringku dan piringnya. Ya, kami hanya makan berdua saja. Selalu begini setiap harinya, karena Daddy dan Jaden baru kembali ke rumah lewat jam 11 malam, bahkan tak pulang semalaman.

Ibuku kelihatannya baik-baik saja dengan kondisi keluargaku yang begini, tapi aku tidak perlu menjadi cenayang untuk tahu bahwa apa yang ibuku tunjukkan di permukaan, berbanding terbalik dengan apa yang berkecamuk di batinnya. Ibuku mungkin bisa mengaku bahwa dirinya adalah wanita kuat atau apapun, tapi sebagai pemilik gen yang sama, aku begitu yakin bahwa beliau lebih dari tersiksa atas keadaan ini.

Mommy baik-baik saja?” tanyaku sambil menggigit bibir seusai menghabiskan suapan terakhir makan malamku, tanpa selera.

“Tentu. Kenapa kau bertanya begitu, Nak?” Ibuku bertanya lembut sambil menatap dalam ke mataku.

“Tidak, hanya saja, Mommy kelihatan pucat akhir-akhir ini …”

Ibuku hanya tersenyum tanpa kata, sama sekali tidak menjawab pertanyaanku yang memang jawabannya sudah jelas kutahu. Sampai di situ, dan makan malam keluarga kami pun berakhir setelahnya. Mommy kembali ke kamar setelah aku mengambil alih tugas membereskan meja makan dan mencuci piring kotor.

~

Sudah dua jam berlalu sejak makan malam dan aku masih terjaga, duduk di balik meja, menatap kosong ke arah jendela. Salju perlahan mulai turun, memutihkan pepohonan dan jalanan. Butiran salju bergerak miring tertiup angin yang embusannya lumayan kencang dan pasti membekukan. Hampir seluruh negara bagian Amerika mengalami musim dingin yang serupa. Kudengar dari berita, saking ekstrimnya perubahan suhu bumi akhir-akhir ini, Niagara—lokasi wisata favorit keluarga kami dulu—membeku. Beku, ah, aku jadi ingat Daddy setiap kali kata itu terlintas di benak. Kalau diumpamakan, ayahku yang sekarang adalah salju yang membekukan dan bisa jadi mematikan, padahal dulu Daddy adalah matahari penghangat keluarga kami.

Mataku terpaku pada salah satu pigura yang terpajang di meja belajarku. Foto yang diambil kira-kira lima belas tahun yang lalu, ketika kami menghabiskan liburan Natal dan akhir tahun di Forks, tempat tinggal kakek dan nenek dari pihak ayahku, karena Mommy terlahir yatim piatu. Di foto itu, kami berpose di dalam rumah kayu dengan latar belakang perapian, setelah sebelumnya menyantap makan malam dan bertukar kado Natal dengan kakek dan nenek. Seketika bulu kudukku meremang mengingat kehangatan yang tercetak di atas foto itu, karena bila tidak salah ingat, itulah kali terakhirnya aku, Jaden dan Mommy merasakan kesayangan Daddy seutuhnya.

Tanpa sadar, tanganku baru saja menjangkau rak buku dan meraih sebuah album kecil berisi foto-fotoku sejak bayi hingga usia belasan. Halaman awal diisi dengan fotoku saat masih berusia sekitar 5 bulan, duduk manis dengan jumpsuit merah di atas pangkuan Daddy. Airmataku nyaris merebak saat menatap foto itu, sungguh aku ingin kembali ke masa itu, masa di mana Daddy begitu mencintai dan menyayangiku sebagai putri pertama yang begitu diidamkannya. Kuputuskan untuk menutup album itu dan menjauhkannya dari jangkauan tanganku. Kuseka pelan airmata yang sudah terlanjur jatuh di pipi kiriku. Tidak, aku tidak mau menangis lagi. Aku sudah terlamapu lelah meratapi keadaan ini.

~

Mei 1999

Tok…Tok…Tok…

Terdengar ketukan keras di pintu depan. Hari sudah lewat tengah malam saat itu, Jaden dan Mommy sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu, hanya aku yang masih terjaga karena sedang menyelesaikan tugas prakarya dari Miss Annabel yang lupa kukerjakan sejak seminggu lalu. Aku menuruni anak tangga dengan hati-hati karena lampu-lampu sudah dimatikan. Ketukan di pintu semakin keras dan cepat. Kubuka kenop dengan perlahan dan nyaris tanpa suara. Setelah pintu terbuka, kulihat Daddy di ambang pintu dalam keadaan terhuyung dipapah seorang wanita semampai berambut pirang yang kuduga sebagai rekan kantornya. Bau alkohol menguar tajam dari tubuh Daddy yang terhuyung nyaris tak sadar. Langkah Daddy terpatah-patah memasuki rumah dan wanita pirang yang tadi bersamanya keluar begitu saja tanpa berkata apa-apa padaku, hanya sekilas menatapku dengan tatapan yang sulit diterjemahkan anak seusiaku. Sejak saat itulah aku kehilangan ayahku.

~

Yang kutahu beberapa waktu setelahnya, wanita pirang itu adalah teman kencannya dan Daddy memutuskan untuk menikahinya sebab wanita itu tengah mengandung calon adik tiriku. Rasanya aku ingin menjambak rambut dan mencakar wajah wanita itu begitu mendengar penuturan Mommy yang dengan tenang menceritakan kembali kata-kata Daddy tentang segala rencananya bersama wanita yang hingga kini tak kuketahui namanya itu. Dadaku sesak menahan kesedihan. Tak sanggup aku membayangkan penderitaan yang akan kami pikul, khususnya Mommy. Meskipun sama sekali tak nampak kesedihan di wajah wanita penyabar itu, aku begitu yakin bahwa batin ibuku pasti sangat terpukul, bahkan mungkin oleng mendapati kenyataan pahit yang harus ditelannya bulat-bulat kini.

Sejak hari itu, aku tak lagi mengagumi ayahku, hilang sudah seluruh rasa hormatku pada pria yang seharusnya menjadi pahlawanku itu. Menguap sudah seluruh rasa cinta dan sayangku, karena ulahnya sendiri. Hanya satu harapanku saat ini, semoga kelak anak-anakku tidak merasakan hal yang sama denganku. Semoga kelak mereka memiliki keluarga yang utuh dan tidak tercerai-berai seperti keluargaku.

.FIN.

 


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Author's Project

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles