.
Orang-orang berkata bahwa Kematian selalu datang tak terduga. Dia tidak mengenal gender, tidak mengenal baik atau jahat, tua atau muda, maupun status sosial seseorang. Saat dia datang, semuanya terjadi begitu saja. Saat dia datang, kau tidak akan pernah bisa menghindar.
Chanyeol pernah berpapasan dengan Kematian saat umurnya tujuh tahun. Saat itu tidak begitu mengerti apa artinya sebuah Kematian, dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan seseorang. Yang dia tahu Kematian mampu membuat seseorang berhenti bernapas, dan meninggalkan dunia tanpa pernah lagi kembali.
Kematian pertama yang dilaluinya adalah saat dia harus melepas kepergian ayah angkatnya. Chanyeol tidak mengerti bagaimana Kematian merenggut ayahnya begitu cepat. Pagi itu mereka masih tertawa dan mengobrol bersama sebelum dia berangkat sekolah, dan malamnya ayahnya terbaring dengan banyak kabel dan selang yang terpasang di tubuhnya. Malam itu juga dia menyaksikan Kematian menjemput ayahnya.
Tidak sopan. Chanyeol saat itu berpikir. Bagaimana Kematian itu memasuki ruang steril ayahnya berbaring tanpa terasa, terdengar, maupun terlihat. Tanpa pernah mengucapkan salam maupun menyapanya, dan membawa pergi ayahnya begitu saja. Sejak itu dia mendeklarasikan perang dinginnya terhadap Kematian. Sampai kapanpun dia bersumpah tidak ingin lagi bertemu dengannya, dan melindungi semua orang yang dicintainya agar tidak perlu berhadapan dengan pengecut yang tidak pernah menampakkan dirinya itu.
Pemahamannya mulai berubah seiring waktu membuatnya beranjak dewasa. Chanyeol masih melantangkan perangnya terhadap Kematian. Tapi tentu saja, dia sangat menyadari bahwa kekuatan itu jauh lebih agung dibanding kebenciannya. Determinasinya terhadap peperangan itu tidak menghentikan Kematian untuk tetap datang dan kembali mengunjunginya.
.
Saat mengecek ponselnya selepas latihan, Chanyeol menemukan belasan panggilan tak terjawab dari sebuah nomor asing dan juga nomor rumahnya. Dia baru saja hendak menelepon kembali ke rumah saat sebuah panggilan masuk di saat yang sama.
Nama Yoonhan muncul di layar ponselnya.
“Chanyeol, kecelakaan besar baru saja terjadi. Datanglah ke Rumah Sakit Gwanghwamun sekarang juga.” Adalah kalimat pertama yang pria itu katakan padanya begitu dia menjawab panggilannya.
Sosok Soojung muncul begitu saja di dalam kepalanya.
“Soojung? Dia baik-baik saja?” Chanyeol bertanya panik.
“Soojung baik-baik saja. Dia hanya syok, dokter sedang merawatnya saat ini. Tapi bukan Soojung, Chanyeol. Datang saja ke rumah sakit, kita bertemu di sini.”
Chanyeol mengusap kepalanya. Bila bukan Soojung, ini berarti…
Apakah belasan panggilan tak terjawab dari nomor asing itu berusaha untuk mengabarkan ini padanya sejak tadi?
Oh Tuhan, profesor Han dan eomma. Mereka bersama Luhan juga….
“Oke, Hyung, aku ke sana sekarang juga.”
“Hati-hati di jalan. Memutarlah lewat Ttukseom, oke? Jangan lewat Banpo, di sana macet panjang.”
“Aku mengerti.”
Siaran televisi yang memberitahu dia segalanya. Sebuah kecelakaan beruntun di persimpangan besar Namdaemun terjadi sekitar satu jam yang lalu dan menyebabkan kemacetan panjang di area Myeongdong hingga sepanjang jembatan Banpo ke arah selatan.
Konon penyebabnya adalah sopir sebuah bus pariwisata yang mengalami serangan jantung saat sedang menyetir. Laju kendaraan yang sedang tinggi mengakibatkannya menabrak mobil-mobil yang sedang berhenti di lampu merah, terseret dan tabrakan dari kanan kiri perempatan besar pun tidak dapat dihindari.
Chanyeol tidak bisa berpikir. Laju mobilnya kencang karena ingin cepat sampai di rumah sakit. Benar saja apa kata Yoonhan. Karena macet total di jembatan Banpo, lalu lintas dari dan ke arah distrik Gwanak dan Gangnam dialihkan melalui jembatan Dongho dan Seongsu. Lalu lintas sangat ramai karena beberapa jalanan ditutup untuk dipakai sarana evakuasi korban.
Pandangannya terbelah antara jalanan di hadapannya dan siaran berita ekslusif yang kini melaporkan secara langsung dari tempat kejadian.
“Busnya terbakar,” Chanyeol bergumam, bicara pada dirinya sendiri. Dadanya mencelos, tubuhnya langsung lemas melihat video coverage yang diambil dari helikopter. Pasti parah sekali, dia berpikir.
Dia berpikir tentang ibunya, profesor Han, dan juga adik kecilnya. Dia teringat pagi ini ibu mengomelinya karena tidak tidur semalaman, padahal dia harus berlatih sepanjang hari sejak pagi-pagi sekali. Luhan menangis terus sepanjang malam, saat hendak tidur dia masih mendengar suara bayi kecil itu meraung di dalam kamarnya, karena itulah dia tidak bisa menutup matanya.
Dan siang tadi dia masih bicara dengan ibunya, yang tengah berada di rumah sakit untuk memeriksakan si maknae. Luhan demam tinggi, gejala campak. Mungkin malam lalu kepalanya pusing, karena itulah dia tidak berhenti menangis.
Chanyeol berharap mereka semua baik-baik saja. Ibunya, ayah Soojung, dan juga adiknya. Soojung mungkin hanya terlalu syok karena menerima kabar buruk, keadaan gadis itu saat ini sangat dia mengerti. Kalau dia berada di posisi Soojung, yang telah kehilangan ibu dan juga saudara laki-lakinya, dia sendiri mungkin pun akan merespon dengan reaksi yang sama.
Dimatikannya siaran berita yang suaranya memenuhi kabin dalam mobil. Chanyeol tidak ingin mendengar lebih banyak lagi, karena semakin dia mendengar, semakin ngeri situasi yang terbayang di kepalanya. Dan dia tidak ingin membayangkan yang tidak-tidak.
Rumah Sakit Gwanghwamun adalah salah satu rumah sakit umum terbesar di Seoul. Letaknya di tengah kota, yang konon memiliki pusat trauma terbaik di pelosok negeri. Korban-korban kecelakaan yang terjadi di daerah utara Seoul selalu dirujuk ke sana, karena itulah Chanyeol tidak heran saat rumah sakit itu sangat ramai oleh pengunjung yang hiruk pikuk. Dia yakin kebanyakan dari mereka adalah para keluarga yang datang untuk mencari kabar tentang korban kecelakaan di Namdaemun.
Chanyeol segera menuju ke area bedah sentral. Yoonhan memberitahu untuk menemuinya di sana. Seseorang sedang dioperasi, dia yakin itu, tapi Yoonhan tidak bersedia memberitahu situasinya hingga dia berada di sana.
Koridor area ruang-ruang tunggu operasi ini mungkin satu-satunya tempat yang tidak dipadati banyak pengunjung. Beberapa orang terlihat berlalu-lalang, tapi kebanyakan dari mereka memakai jubah steril, atau keluarga pasien yang menunggu dalam keheningan.
Langkahnya semakin cepat menyusuri koridor itu. Dia tidak pernah menyukai rumah sakit. Chanyeol tidak suka suasananya, baunya, maupun kesan yang tercipta dari frase itu sendiri. Kenangan tentang ayahnya sudah membuatnya sangat sakit hati dengan tempat ini, karena itu dia tidak begitu senang dengan keberadaannya di sana.
Dan dia melihat Yoonhan, duduk di satu sofa di salah satu sudut ruang tunggu bersama seseorang laki-laki memakai jas snelli. Laki-laki tidak dikenal itu—Chanyeol menduga dia adalah salah satu dokter di rumah sakit ini—sedang menjelaskan sesuatu, dan Yoonhan mendengarkannya dengan seksama.
Tidak ada Soojung di sana, dan langkah Chanyeol semakin cepat berlari.
Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya saat Yoonhan menyambutnya dengan sebuah pelukan simpati, dan tepuk pelan di bahunya. Kelegaan yang tersirat di wajah lelaki itu, gurat lelah seolah sudah berhari-hari dia tidak tidur, juga nada bicaranya yang datar, seolah menyampaikan sesuatu yang lain.
Kabar buruk.
Chanyeol tahu bahwa dia tidak akan mendengar kabar baik saat lelaki itu mengenalkannya pada pria lain di antara mereka. Namanya Lee Donghae, dan dia adalah dokter yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat saat kiriman korban kecelakaan beruntun di Namdaemun berdatangan.
“Siapa yang ada di dalam?” Itu adalah pertanyaan dan juga kalimat pertama yang dia lontarkan begitu sampai di rumah sakit ini.
Yoonhan dan dokter Lee saling berpandangan untuk sesaat, lalu sang dokter merangkul bahunya dan mempersilakannya duduk.
“Chanyeol ssi, mobil yang orangtuamu kendarai termasuk salah satu yang terkena dampak paling parah dari kecelakaan besar ini. Mereka tepat berada di depan bus yang terbakar saat insiden ini terjadi.”
Chanyeol menarik napasnya dalam. Dokter Lee berhenti sebentar, menilai ekspresinya, kemudian melanjutkan begitu Chanyeol mengangguk mengerti.
“Profesor Han sedang menjalani operasi saat ini, karena perdarahan dalam yang cukup besar di dalam abdomennya. Beliau juga mengalami benturan keras di kepalanya. Di dalam ada dokter bedah umum, neuro dan cardio kami, dan mereka sedang berusaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi karena trauma fisiknya.”
Chanyeol mengangguk kembali. Dia mendengarkan dengan seksama, dengan sabar, tanpa ada pertanyaan. Dan untuk kedua kalinya dokter Lee memberi jeda penjelasannya selama beberapa detik, membiarkan Chanyeol menarik napas lagi, dan membuka mulutnya lagi tak lama kemudian.
“Mengenai nyonya Lee Deokhwa…” Dokter Lee menahan kata-katanya sesaat. “Keadaannya sudah sangat parah di tempat kejadian. Petugas paramedis sempat kesulitan mengeluarkannya dari—“
“Dia tidak baik-baik saja, iya kan?”
Dokter Lee tidak langsung menjawabnya. Chanyeol sudah tahu jawabannya dari keheningan singkat yang tercipta di antara mereka saat itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya gerak refleks yang Chanyeol lakukan saat itu hanyalah mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dia baru menyadari matanya basah.
“Nyonya Lee Deokhwa meninggal dunia di dalam perjalanan ke rumah sakit ini. Aku turut berduka, Chanyeol ssi.” Lelaki itu menyampaikan pesan yang harus diketahuinya, lalu menepuk bahunya pelan, menyaratkan rasa duka yang mendalam.
Chanyeol tersentak saat tiba-tiba teringat akan sesuatu.
“Bagaimana dengan Luhan? Di mana Soojung?” Dia bertanya lagi, pada sang dokter dan Yoonhan bergantian. Dia mengusap air matanya, mengeringkan wajahnya dengan jari-jarinya yang panjang.
“Bayinya baik-baik saja. Luhan tidak di dalam mobil saat kecelakaan itu terjadi. Hari ini profesor Han dan nyonya Lee datang ke rumah sakit untuk memeriksakan Luhan, dan dokternya meminta mereka untuk meninggalkan Luhan di sini untuk observasi karena demamnya yang tinggi. Soojung sedang bersamanya sekarang di ruang perawatan bayi.” Dokter Lee menjawab dua pertanyaannya sekaligus.
Chanyeol menutup wajahnya, membisikkan kata terima kasih entah pada siapa.
Setelah menyampaikan berita yang perlu dia dengar, dokter Lee mengutarakan bela sungkawanya sekali lagi. Lelaki itu kemudian beranjak dan berpamitan pergi, masih banyak pasien yang harus ditanganinya. Chanyeol mengucapkan terima kasih dengan suara yang lirih saat lelaki itu menepuk bahunya sebelum meninggalkan mereka.
Kekosongan kembali menguasainya saat itu juga. Yoonhan tidak berkata apa-apa, membiarkannya tenggelam dalam dukanya. Kedua sikunya bersandar di atas paha, kepalanya tertunduk dalam, menatap lantai.
Eomma telah pergi.
Ibunya… Wanita yang selama hampir 20 tahun ini selalu bersamanya, seseorang yang sangat dia hormati, teman terbaiknya, kini meninggalkannya.
Dia tidak menyangka akan kembali berpapasan dengan Kematian secepat ini. Yang lebih tidak dia sangka, Kematian itu merenggut kembali seseorang yang paling berarti dalam hidupnya. Kenapa harus ibunya? Demi Tuhan, wanita itu sedang sangat bahagia! Setelah belasan tahun berjuang untuk mereka berdua, kini dia tengah bahagia akan kelahiran putranya, tidak bolehkah dia menikmatinya lebih lama?
Memikirkannya lagi, ibunya benar-benar pergi. Seperti ayahnya dulu, dia tidak akan pernah melihatnya kembali—dalam keadaan hidup, bernafas, tersenyum, tertawa, bahkan mencela. Lalu apa yang akan terjadi setelah ini? Apa yang akan terjadi dengan keluarganya?
“Apa Soojung tahu tentang ibu? Bagaimana dia menghadapinya?” Chanyeol bertanya, setelah kebisuan menguasai mereka selama beberapa saat, dia menoleh pada Yoonhan.
“Dia syok. Aku meninggalkannya bersama Luhan agar suasana hatinya lebih baik.”
“Itu tidak akan terjadi, kau tahu itu, kan?”
“Ya.” Yoonhan mengangguk pelan. “Tapi setidaknya bersama Luhan dia akan lebih tenang.”
Chanyeol menarik napasnya lagi, mengigiti bibirnya, dan menahan air matanya. Dia menangis. Sejak dulu dia selalu berusaha untuk menahan diri dari satu kata itu. Seorang laki-laki tidak boleh menangis—itu adalah satu prinsip yang selalu dia pegang teguh. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air dam yang telah membendung di sudut matanya. Wajahnya basah, tenggorokannya tercekat, dadanya terasa berat.
Yoonhan menepuk bahunya dengan lembut, dan Chanyeol membiarkan serangan banjir bandang ini menguasai dirinya beberapa lama. Hingga akhirnya merasa cukup, dia menghapus air matanya, dan mengeringkan wajahnya dengan kedua tangan.
Dia tidak boleh menangis. Untuk Soojung, untuk profesor Han, dan untuk Luhan, dia harus menjadi kakak laki-laki yang tegar. Karena sampai ayah mereka keluar dari ruang operasi, dia adalah kepala keluarga mereka saat ini.
“Aku baik-baik saja.” Katanya pada Yoonhan kemudian.
* * *
Soojung menyanyikan lullaby. Selama hampir dua jam ini dia berusaha untuk menidurkan Luhan dengan berbagai cara, tapi bayi kecil itu tidak juga menutup matanya. Dengan seijin perawat jaga Soojung menggendong bayi itu di lengannya, merespon dengan lembut saat Luhan mendekut dan mengerang lirik.
Luhan tidak melepaskan tatapan matanya pada Soojung, mengangkat tangannya ke udara seperti ingin meraih wajahnya, dan Soojung menggenggam tangan kecil itu sambil bermain dengan jari-jari nya yang mungil.
Makhluk kecil itu baru berumur sekitar sebulan. Tubuhnya terlihat jauh lebih besar dan kuat dibanding saat baru lahir dulu, dan kini wajahnya sudah mulai terbentuk sedikit-sedikit, meski belum sempurna.
Luhan memiliki mata ayahnya yang kecil, dengan lipatan yang dalam yang indah. Dia tidak melihat kemiripan Luhan dengan dirinya, tapi Soojong yakin, begitu Luhan dewasa dia akan menjadi anak laki-laki yang tampan.
Air matanya mengalir lagi, dan Soojung menghapusnya dengan punggung tangannya yang terbebas. Haruskah seperti ini kisah mereka? Luhan masih sangat kecil, tapi dia sudah kehilangan ibunya. Rasanya pahit saat membayangkan bayi mungil ini tumbuh tanpa kehadiran seorang ibu, yang mungkin tidak akan pernah dia ingat saat beranjak besar.
Soojung tahu bagaimana rasanya melewati hari-harinya tanpa ibu, dan kini adiknya juga akan mengalami hal yang sama. Bahkan di umurnya yang masih sangat muda.
Pikirannya kosong. Soojung tidak yakin apa yang ada di dalam dirinya saat ini karena sepertinya dia mati rasa. Saat menerima kabar ini, yang ada di dalam kepalanya hanya Chanyeol. Apa yang harus dikatakannya pada anak laki-laki itu, bagaimana mereka bisa bertahan, dan apa yang harus mereka lakukan.
Soojung tahu bahwa kematian bukanlah sesuatu yang bisa manusia atur seperti layaknya jadwal kegiatan sehari-hari, atau sebuah pertemuan yang masih bisa dinegoisasi. Dia memahami sepenuhnya konsep hidup dan mati, surga dan neraka, juga kebahagiaan dunia dan setelah mati. Karena itulah Soojung berusaha untuk menerima keputusan yang Tuhan berikan pada keluarganya. Kematian demi kematian yang merenggut nyawa orang-orang yang dikasihinya, mungkin memang itu yang terbaik untuk mereka. Juga dirinya.
Mengubah posisi gendongannya pada Luhan, Soojung menaruh bayi kecil itu di dadanya, menyandarkan kepala Luhan di bahunya. Dengan tepukan yang lembut di punggung bayi itu, dia menggumamkan kembali lullaby yang biasa ibunya perdengarkan tiap kali menidurkan adik bayinya ini.
Tangan kecil bayi itu bermain di mulutnya. Tampaknya dia heran dengan masker berwarna pink yang kini menutupi setengah wajahnya dan ingin Soojung melepaskannya. Dia sebenarnya juga tidak ingin memakai masker itu, tapi di dalam ruang perawatan ini seluruh pengunjung diharuskan untuk menyeterilkan dirinya. Mereka tidak ingin kuman penyakit menyerang tubuh ringkih di bahunya ini.
Luhan mulai mengantuk. Beberapa kali bayi kecil itu menguap, dan tidak sampai satu menit kemudian dia menutup mata. Soojung semakin tidak bisa mengalihkan matanya dari wajah damai adik mungilnya itu. Dia membelai pipi kecil Luhan dengan lembut, mengusap kepalanya yang ditutupi topi rajut, dan menepuk-nepuk punggungnya dengan irama yang teratur.
Setidaknya untuk beberapa saat ini dia merasa tenang. Meski sesak di dalam dadanya masih belum hilang akan kematian ibunya, dan juga keadaan ayahnya di dalam ruang operasi saat ini. Luhan membuatnya sedikit melupakan apa yang terjadi di luar sana, dan Soojung memeluknya semakin erat.
Perhatiannya teralihkan saat dia melihat Chanyeol di balik dinding kaca bersama Yoonhan. Lullaby-nya berhenti tergumamkan ketika sosok yang menjulang tinggi itu menghampirinya, dan mengaitkan lengan ke belakang punggungnya.
“Dia baru saja tidur.” Soojung memberitahu. “Dan kau tahu? Dia terus tersenyum begitu matanya tertutup, sepertinya dia bermimpi indah.”
“Sepertinya begitu.”
Suara berat Chanyeol terdengar pelan di telinganya. Bahkan dari wajahnya yang tertutup masker saat ini, Soojung bisa melihat lelaki itu tersenyum, sambil membelai pipi Luhan dengan kelembutan yang sama dengannya.
“Soojung, ada yang ingin kukatakan. Ayo kita keluar sebentar.”
“Luhan belum lama terlelap, dia akan bangun lagi kalau aku membaringkannya.”
“Aku akan menggendongnya.” Yoonhan muncul di dekatnya, kedua tangan sudah hendak mengambil Luhan darinya. “Tidak apa-apa, aku janji tidak akan membangunkannya.”
Yoonhan meyakinkan Soojung untuk melepaskan Luhan, dan menyuruhnya untuk ikut bersama Chanyeol. Tapi Soojung tidak ingin pergi. Dia takut.
Bila Luhan diambil darinya, maka ketenangannya pun akan ikut pergi meninggalkannya. Rasa takut itu akan datang kembali, rasa cemas itu akan menyerangnya lagi, karena itulah dia tidak mau memberikan Luhan pada Yoonhan.
Dan Chanyeol tahu, Yoonhan tidak akan berani memaksa bila Soojung tidak bersedia melepaskan Luhan saat itu. Tanpa menunggu lebih lama, Chanyeol mengambil Luhan dari Soojung dan memberikannya ke Yoonhan. Soojung hendak ingin mengambil bayi kecil itu lagi saat mendengar si bayi merengek begitu lepas darinya, tapi di saat yang sama Chanyeol sudah menariknya keluar.
Dia terus mengawasi Yoonhan menidurkan Luhan lagi dalam pelukannya.
“Kau baik-baik saja?”
Soojung baru memberikan perhatiannya pada Chanyeol saat didengarnya lelaki itu bicara. Chanyeol melepas baju sterilnya dengan masker yang menutupi setengah wajahnya, dan melihat ini, Soojung melakukan hal yang sama.
Dia tidak menjawab pertanyaan itu, karena fokusnya kini teralih pada wajah Chanyeol tampak pucat. Kedua mata mata Chanyeol bengkak seperti habis menangis, saat itu dia pun yakin matanya juga dalam keadaan yang sama. Soojung ingin sekali memeluk kakaknya itu, mengutarakan rasa dukanya atas kepergian ibu mereka. Saat tatapan mereka bertemu, terlihat sekali keduanya sama-sama saling menahan diri untuk tidak lagi menangis.
Lalu Soojung menatap jam tangannya. Dia menyadari sesuatu.
“Kenapa kau ada di sini?” Tiga jam baru berlalu sejak pertama kali ayahnya di bawa ke dalam ruang operasi. “Operasinya sudah selesai?”
Chanyeol mengangguk.
Tapi ini terlalu cepat, Soojung berpikir. Dia tahu selama apa seharusnya operasi pembedahan yang harus dijalani seorang pasien dengan kasus seperti ayahnya. Ibunya dan Luhan pernah berada di dalam ruangan itu, dan mereka menghabiskan waktu lebih dari lima jam di sana. Dan ini hanya tiga jam, seharusnya tidak sebentar ini.
Soojung tahu ada yang salah. Kedua matanya bertanya, Chanyeol tidak menjawab. Dan saat kedua tangan lelaki itu di bahunya, Soojung baru menyadari apa yang akan dia dengar tidak akan menjadi berita baik.
“Kurasa…”
“Tidak, jangan katakan.” Soojung menggeleng. Kepalanya menunduk dalam, wajahnya tertutup kedua tangan.
Tidak. Jangan ayahnya. Mereka sudah kehilangan ibu, dia meminta pada Tuhan untuk tidak mengambil ayahnya juga.
Soojung menangis.
“Soojung…” Chanyeol menarik kedua tangannya, dan menyuruhnya untuk menatap lelaki itu. “Kurasa kau harus memberitahu keluargamu.”
“Cukup. Aku tidak mau mendengar.”
Suara Chanyeol bergetar saat bicara, seolah lelaki itu pun tengah mengumpulkan kekuatan untuk memberitahunya. Tapi Soojung tidak ingin mendengar. Dia menutup kedua telinganya.
“Soojung, dengar. Kau harus dengarkan aku.”
Tanpa memedulikan penolakannya, Chanyeol menarik kedua tangannya yang menutupi telinga, dan menegakkan tubuhnya. Dengan satu sentakan lelaki itu menyita perhatiannya kembali.
Soojung tidak pernah melihat Chanyeol menangis. Dulu Chanyeol selalu mengatakan betapa lelaki itu adalah makhluk yang kuat, dan menangis adalah sebuah pantangan yang tidak boleh dilakukan.
Tapi mereka pun tahu, bahwa laki-laki pun adalah manusia. Makhluk lemah yang memiliki emosi, dan akan selalu dikuasai oleh kemurnian hati nurani. Saat hati berduka, bahkan manusia terkuat pun akan menyerah dengan gejolak air mata yang menenggelamkannya. Hari ini adalah pertama kalinya Soojung melihat Chanyeol dikalahkan oleh prinsipnya sendiri. Dan melihatnya menangis, membuat Soojung makin tidak mampu menguasai dirinya sendiri.
“Apa yang terjadi?” Dia bertanya dalam tangisnya.
“Beliau, mengalami serangan jantung.” Chanyeol menjawabnya dengan berat. “Mereka telah berusaha yang terbaik untuk membawanya kembali…”
“Oh, Tuhan.”
Chanyeol menangkap tubuhnya saat dia merasa lemas dan limbung. Lelaki itu memeluknya, dan Soojung menangis di dadanya.
Dia ingin berteriak. Soojung ingin melampiaskan seluruh emosi dan amarahnya dengan memukul sesuatu, membanting apapun, tapi Chanyeol mengurung tubuhnya di dalam dekapan lelaki itu, dan semakin erat saat dia mencoba melepaskan diri.
Demi Tuhan, kenapa Kau melakukan ini? Soojung bertanya dalam dirinya. Tidak cukupkah Kau mengambil ibuku? Mengambil saudara laki-lakiku? Dan kini kau mengambil ayahku, dan istrinya yang baru saja dia nikahi.
Dia hanya bisa menggeram.
Mereka sedang berbahagia, Demi Tuhan, kenapa Kau melakukannya? Luhan masih sangat kecil. Dia bahkan masih belum benar-benar mengenali mereka. Dan saat dia dewasa nanti, Luhan tidak akan pernah memiliki kenangan akan sosok orangtuanya.
“Bagaimana dengan Luhan?” Soojung mengangkat kepalanya, “Apa yang harus kulakukan?”
“Kau tidak sendiri, Han Soojung.” Chanyeol menarik ingusnya lagi, “Kita akan membesarkannya. Kau dengar? Aku tidak akan membiarkannya terlantar.”
Hanya akan ada mereka berdua saja setelah ini. Soojung tidak pernah berpikir ini akan benar-benar terjadi. Sungguh ironis, saat mereka menjadi orangtua muda dulu pernah beberapa kali menjadi bahan lelucon keduanya, dan kini bayangan itu tidak hanya lagi sebatas bahan canda. Ini benar-benar terjadi. Dan ini bukan lelucon.
Hanya akan ada mereka berdua saja setelah ini. Dan mereka harus menjadi tim yang solid agar Luhan bisa dibesarkan tanpa kekurangan kasih sayang. Bayi kecil itu tidak lagi memiliki kedua orangtua yang akan menemani hari-harinya, Soojung tidak bisa membayangkan bagaimana mereka akan menjalani semua ini bertiga.
Tidak. Bayangan masa depan itu terlalu meyakitkan baginya. Soojung tidak berani memikirkannya. Dari tempatnya yang sama, Soojung menoleh mencari Yoonhan, yang kini berdiri di sisi jendela dengan Luhan yang meringkuk dalam lelap di dekapnya.
Kedua tangannya kini melingar ke belakang punggung Chanyeol. Dengan erat dia memeluk lelaki itu, dan menyandarkan dahi di dadanya. Dia menangis lagi, dan makin keras saat Chanyeol mengusap punggungnya dengan lembut.
.
Dua hari itu terasa bagai neraka bagi Soojung. Dia hampir terus terjaga selama jenazah orangtuanya disemayamkan, dan menolak beristirahat meski Yoonhan dan Chanyeol memaksanya untuk menutup mata. Dia tidak bisa tidur. Dia sama sekali tidak merasa ngantuk walaupun seluruh tubuhnya terasa sangat lelah bahkan hanya untuk menggerakkan tangannya.
Begitu menyelesaikan upacara pemakaman ibu, Soojung segera terbang ke Amerika untuk mengantarkan jenazah ayahnya kembali ke keluarganya. Chanyeol tidak ikut bersamanya, karena selain lelaki itu tidak memiliki visa, dia pun harus menjemput Luhan yang selama beberapa hari itu dititipkan di rumah sakit sementara mereka disibukkan dengan prosesi pernghormatan terakhir orangtua mereka.
Yoonhan terus menemaninya selama itu. Dia yang memberitahu keluarga besar Soojung di Amerika, menjadi wali saat bertemu dengan para tamu di persemayaman ayah dan ibunya, dan menemaninya pergi ke Boston untuk mengantarkan jenazah ayahnya.
Dan selama itu juga Soojung tidak bicara dengannya. Dia masih marah dengan keputusan Yoonhan untuk pergi ke Inggris, dan dia tidak peduli akan segala bentuk komunikasi yang lelaki itu inisiatifkan. Untungnya Yoonhan tidak pernah membahas tentang kepergiannya lagi di situasi saat ini, Soojung mungkin saja tidak akan menahan dirinya lagi untuk berteriak di wajahnya bila hal semacam ini terjadi.
Selama 9 jam perjalanan ke Los Angeles, Soojung terus terjaga. Dia berdiri di tepi dinding kaca besar ruang boarding saat transit menunggu pesawatnya terbang ke Boston, hampir menangis saat melihat kereta barang mengangkut peti jenazah ayahnya dari dalam gedung bandara, dan memasukkannya ke dalam bagasi pesawat.
Dia baru terlelap begitu burung besi itu tinggal landas, setelah Yoonhan memberinya teh hangat yang pramugari berikan begitu makan siang dibagikan—Soojung curiga lelaki itu menyuruh seorang pramugari menyampurkan obat tidur ke dalam tehnya. Dia terbangun empat jam kemudian di dada Yoonhan, saat pesawat hendak mendarat. Langit sudah sangat gelap malam itu.
Dan dua hari selanjutnya dijalaninya dengan cepat. Soojung tidak begitu menyadari apa yang terjadi. Segalanya seperti mimpi; saat dia mencium Yoonhan, saat dia di rumah sakit, perjalanan udaranya, persemayaman ayahnya, dekapan nenek dan paman bibinya, dan seikat bunga mawar putih yang dia lepaskan ketika peti jenazah ayahnya diturunkan ke dalam liang kubur.
Soojung tidak ingin kembali ke rumah neneknya, dan bertemu dengan orang-orang yang memenuhi rumah kecil wanita tuanya itu untuk berbela sungkawa. Dia menghabiskan sisa hari pemakaman itu dengan duduk di depan makam ibunya dan Luhan yang bersebelahan, tepat di samping makan ayahnya yang masih baru.
Dengan dua ikat mawar putih dan anyelir, Soojung menghiasi makam ibu dan saudara laki-lakinya dengan bunga-bunga yang dia bawa. Dan selama seharian itu dia menangis, memanggil nama Luhan dan kedua orangtuanya. Kerinduannya akan kehadiran mereka terasa sangat kuat begitu dia duduk di hadapan mereka.
Kau tidak sendiri, Han Soojung. Kita akan menjadi tim yang kuat bersama.
Kata-kata Chanyeol sebelum dia pergi terus terngiang di kepalanya, saat dia menangisi orang-orang yang telah pergi meninggalkannya. Dia tidak sendiri, dan dia tahu itu. Soojung yakin Chanyeol tidak akan meninggalkannya setelah ini, tapi bagaimanapun juga Chanyeol bukanlah keluarga kandungnya. Mereka tidak berbagi darah, dan ikatan kekeluargaan mereka tidak cukup kuat untuk menghibur kesepiannya.
Chanyeol berbeda, tapi Soojung tidak bisa menyalahkannya.
Saat mulai merasa lelah, dia berbaring di atas rerumputan, di antara makan ibunya dan Luhan. Matanya terpejam, berharap segalanya akan jauh lebih baik saat dia membuka mata. Soojung berharap dadanya tidak lagi terasa sesak. Dia berharap rasa rindunya terlampiaskan, dia ingin tangisnya berakhir.
Saat dia membuka mata, Soojung terbangun dalam perjalanannya kembali ke Korea. Kedua lengan Yoonhan melingkar dan menghangatkan tubuhnya dalam dekap yang erat. Dan saat menyadari jauhnya jarak yang terbentang memisahkan dirinya dengan keluarganya, Soojung kembali menangis dalam diam.
.
I’m alone now.
I’m forsaken.
* * *
.
.
==================================================================================
hello there.
Update terbaru Forsaken untuk kamu yang sudah sangat sabar menunggu cukup lama. Komentar dan LIKE sangat ditunggu, terima kasih banyak
.xoxo.
Filed under: fan fiction, series Tagged: Forsaken, Han Soojung, Park Chanyeol, Yoon Han
