-
“Aduh, bagaimana ini…”
Luhan menggaruk kepalanya frustasi. Dia menghela napasnya dengan berat.
Menghitung di dalam kepalanya, sepertinya dia sudah mencoba belasan kali dan masih juga gagal membentuk lingkaran yang sempurna di atas penggorengan.
Beberapa kali sebenarnya dia melihat ibunya membuat pancake, tapi tidak pernah sama sekali bila harus membuatnya sendiri. Sebenarnya dia tidak akan merasa seribet ini bila harus memakan pancake itu untuk dirinya sendiri, tapi permasalahannya adalah bagaimana pagi ini dia tidak menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Ada satu mulut lagi yang agak rewel menunggu di ruang keluarga, dan dia harus memasak untuk mereka berdua.
“Luluuuuu! Aku lapaaar!”
Luhan menggigit bibirnya ketika mendengar seruan itu dari ujung telinganya. Sang tuan puteri sudah mulai tidak sabar, dan ini pertanda bahwa dia harus bergerak cepat, atau kalau tidak, dia harus memasang telinganya sepanjang pagi mendengarkan gadis itu mengomel tidak henti karena ketidaksigapannya.
“Yaaa, lima menit lagi!” ujar Luhan balik, menjawab gadis itu dengan seruan yang tidak kalah keras.
Mengerling pada tumpukan pancake yang tidak jelas bentuknya di samping kompor, hela napasnya kembali terbentuk dari ujung bibirnya, dan begitu saja dia mengangkat bahu memutuskan untuk membuat pancake sebagaimana adanya.
Mereka berdua harus makan, dan tidak ada waktu lagi untuk membuat kue cantik seperti yang diperintahkan, kecuali sang tuan puteri ingin kelaparan hingga berjam-jam ke depan sampai Luhan bisa menyempurnakan buatannya.
Begitu menghabiskan seluruh adonan dan menyelesaikan segalanya lima menit kemudian, tepat seperti yang dia janjikan, Luhan memilih-milih pancake yang masih bisa dimakan—yang tidak gosong dengan bentuk yang terlihat sedikit beradab—dan menaruhnya ke piring yang berbeda sebelum menyajikannya dengan menu lain di atas meja. Dia lalu melepas apron yang menutupi bagian depan tubuhnya, menyampirkannya sembarang di sudut konter dapur dan bergegas memanggil sang tuan puteri.
Di ruang keluarga dengan TV yang masih menayangkan Tweenies, Luhan menemukan gadis itu duduk di atas karpet, mewarnai buku gambarnya dengan krayon yang sudah mulai tumpul karena terlalu sering dipakai sementara satu tangan lainnya menempelkan ponsel di telinganya, tengah bicara dengan seseorang.
Sambil tersenyum lebar, Luhan menekuk lutut dan menelungkupkan tubuhnya di hadapan sang tuan puteri, menyamakan level kedua mata mereka.
“…mommy bilang aku boleh pergi melihat gajah lagi hari ini, Daddy, kau mau lihat bersamaku? Eh? Entahlah.” Sepasang manik mata hitam itu lalu menoleh padanya, “Lulu, kau mau lihat gajah?”
Luhan mengangguk tertarik saat pertanyaan itu tertuju padanya.
“Baiklah, cepat kembali, aku menunggumu… apa? Daddy ingin bicara.”
Luhan mengambil ponselnya dari tangan gadis itu, dan menempelkannya ke telinga,
“Luhan, aku masih di bandara saat ini, penerbanganku ditunda sampai satu jam ke depan karena badai sejak dini hari tadi. Kuharap tidak masalah kalau Lauren tinggal di sana lebih lama,”
“Tidak masalah, Mr. Choi, kau tidak perlu cemas, aku akan menjaganya sampai kau kembali.”
“Baiklah kalau begitu, kuharap mereka tidak akan menunda penerbangan lagi supaya aku bisa kembali ke New York sore ini. Terima kasih banyak, sampai nanti.”
“Sampai nanti, Mr. Choi, semoga beruntung dengan penerbanganmu.”
“Daddy akan segera kembali?”
Luhan kembali menarik bibirnya, membentuk sebuah senyum di sudut wajahnya menjawab pertanyaan gadis cilik itu begitu memutus pembicaraan, dan menaruh ponselnya kembali ke dalam saku celananya.
“Daddy akan sedikit terlambat, sepertinya kita harus bermain lebih lama hari ini.” jawabnya ramah sambil mengusap kepala Lauren, yang hanya tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi kecilnya.
“Tidak apa-apa, aku suka bermain dengan Lulu.”
“Luhan, Lauren—Luhan Gege.” Luhan mengoreksi.
Lauren tidak pernah mengganti panggilannya begitu menemukan sebutan favorit pribadi terhadap dirinya, dan sekali lagi kedua mata gadis itu menghilang dalam lengkungan bulan sabit dalam ulasan senyumnya yang lebar.
“Lulu Gege, aku lapar, kita sudah bisa makan?”
Kalau saja Lauren adalah boneka plushie, Luhan pasti sudah menggigitnya saking gemas melihat lucu dan manisnya gadis cilik itu berulah. Sang tuan puteri bisa menjadi gadis cilik yang sangat sulit disenangkan, dan sangat merepotkan, tapi gadis itu adalah satu-satunya teman dan hiburannya di lingkungan para penghuni apartemen yang sangat individualis ini.
Luhan mencubit pipi Lauren dengan gemas. Saat gadis itu merengek karena kesakitan, dia mendekatkan diri dan mengecup pipinya, lalu menggendong gadis itu di kedua lengannya.
Karena kau sangat manis, Lauren, aku akan memaafkan kalau kau tidak suka dengan pancake yang kubuat, Luhan berkata dalam dirinya. Dan ternyata memang tidak.
“Pancake-nya jelek, aku tidak mau makan.”
Lauren menggembungkan pipinya, memberengut.
Luhan menghela napas.
Dia beranjak untuk menelepon pizzaria terdekat dan meminta layanan pesan antar.
* * *
===================================================================================
cute Lauren for cute Luhan ~♥
Do you like that?
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Lauren Lunde, Lu Han
