Sejak kecil Soojung berdoa pada Tuhan agar diberi seorang saudara laki-laki. Dia pernah berpikir Tuhan mengabulkan doanya ketika Luhan datang, lalu pernah membenci Tuhan ketika Luhan pergi meninggalkannya.
Saat ini Soojung sangat berterima kasih pada Tuhan karena menghadirkan Park Chanyeol dalam hidupnya.
Dia tidak pernah merasa seberterimakasih ini pada Tuhan.
Soojung tidak lagi menutup dirinya di hadapan Chanyeol. Sebaliknya, dia mulai bersikap sangat terbuka. Dia tidak lagi menahan diri menunjukkan afeksinya. Dia ingin menunjukkan pada Chanyeol, dan juga membiarkan Chanyeol tahu, bahwa Soojung sayang padanya.
Dan Soojung menyadari, bahwa rasa sayangnya pada Chanyeol kini mulai melebihi batas rasa sayang antara seorang adik pada kakak laki-lakinya. Dan dia tidak peduli.
“Soojung ah, tolong ambilkan pasta cabai di lemari es.” Chanyeol menyuruhnya suatu pagi, tapi Soojung menggeleng.
“Tidak mau.”
“Ayolah, kau yang paling dekat dari situ.”
“Tidak mau.”
Dan jawabannya final.
Chanyeol sedang memasak sarapan pagi. Soojung terbangun dari bau dan suara yang datang dari dapur, jadi begitu dia beranjak dari karpet—mereka tidur bersama Luhan di depan televisi lagi malam itu—Soojung menghampiri Chanyeol di belakang konter dan memeluk punggungnya dengan manja seperti bayi koala.
Soojung tidak melepaskan kaitan lengannya di perut Chanyeol saat laki-laki itu bergerak ke sana kemari. Chanyeol bahkan sengaja menyentak diri dengan posisi tertentu yang membuat Soojung terlempar ke sana kemari, tapi dia hanya merengek ketika mendengar lelaki itu tertawa. Pelukannya makin kencang.
“Bisakah kau menggendong Luhan sebentar? Sepertinya dia sudah bangun.” Chanyeol berkata lagi saat mendengar ceracauan suara Luhan dari kejauhan.
“Tidak mau.”
“Lalu apa yang mau kaulakukan?”
Soojung tidak menjawab. Dia kemudian tertawa.
Chanyeol menyerah.
“Aigoo…” desahnya.
Lelaki itu mengeringkan tangannya dan melangkah ke ruang televisi—Soojung masih menempel di punggungnya—menyapa Luhan yang baru saja bangun, kemudian menggendongnya
“Jadi aku merawat dua bayi sekarang di rumah ini?” katanya lagi kemudian.
“Kurasa begitu.”
Chanyeol mendesis. Dia lalu memutar lengannya ke belakang punggung, meraih kepala Soojung dan memitingnya di bawah ketiak.
“Ah, Oppaaaa!!!”
Chanyeol tidak peduli meski Soojung berteriak-teriak sambil memukuli perut dan punggungnya. Dia hanya tertawa sembari menyeret anak perempuan itu kembali ke dapur—masih dengan Luhan di gendongannya.
Dan ini adalah salah satu pemandangan pagi yang kini hampir terjadi tiap hari. Keintiman persaudaraan yang terjadi hampir tiap saat.
Hanya saja Chanyeol mungkin tidak tahu, Soojung yakin, bahwa tiap kali Chanyeol menaruh tangan atau lengannya di bahu Soojung, Soojung merasa dadanya berdebar sangat kencang. Dan ini bukan karena andrenalin.
Ini adalah debar yang orang rasakan saat mereka merasa gugup ketika berinteraksi langsung dengan seseorang yang mereka sukai.
.
Kini Park Chanyeol menguasai hampir seluruh ruang di dalam kepala Soojung. Saat dia tidur, dia memimpikan Chanyeol. Saat dia duduk di dalam kelas, seolah Chanyeol berdiri di depan ruangan menggantikan sosok pengajar yang memberikan kuliah. Saat dia berada di kampus, Soojung selalu ingin pulang agar bisa bertemu dengan Chanyeol.
Dia terus rindu Park Chanyeol, meski mereka baru berpisah dua atau tiga jam saja. Dia selalu ingin melihat wajah Park Chanyeol, meski dia sudah bersamanya sepanjang pagi. Di tiap istirahat, atau pergantian waktu kelas, Soojung selalu menyempatkan diri untuk menelepon Chanyeol. Menanyakan hal-hal yang tidak penting. Hanya untuk mendengar suaranya.
Rasanya aneh. Bila dulu suara Chanyeol seperti guntur yang selalu saja berusaha merusak gendang telinganya, kini suara lelaki itu seperti alunan musik klasik di indera pendengarannya.
Soojung tidak pernah berhenti tertawa bila mengingat betapa besar perbedaan keadaan mereka saat ini, dibanding setahun yang lalu.
Kini Soojung suka mendengar Chanyeol tertawa. Soojung sangat suka melihat punggung Chanyeol saat sedang menggendong Luhan, dan dia berpikir Chanyeol begitu berkarisma ketika sedang memetik gitarnya.
Soojung tidak akan bosan duduk diam. Kedua matanya mengekori kemanapun Chanyeol pergi, apapun yang Chanyeol kerjakan, kapanpun itu. Hingga Chanyeol mengusap wajahnya, dan menyuruhnya kembali belajar.
Dia akan menaruh matanya ke atas buku-buku yang tengah dia baca hanya beberapa saat, lalu kembali mengekori Chanyeol lagi terang-terangan. Dan tiap kali Soojung melakukannya, Chanyeol hanya tertawa. Lelaki itu tidak pernah marah, maupun merasa terganggu. Chanyeol sepertinya mengira bahwa ini adalah cara Soojung untuk meledeknya.
Tapi Soojung tidak sedang meledek. Soojung hanya suka menatap Park Chanyeol tiap saat.
.
“Oh, Han Soojung, dia menjemputmu lagi.”
Soojung memutar kepalanya ke arah yang temannya tunjuk. Tak jauh dari depan gedung kampusnya, Park Chanyeol bersandar di dekat jendela belakang mobil.
Lelaki itu melambaikan tangannya saat pandangan mereka bertemu. Soojung membalasnya dengan senyum sumringah.
“Dia pacarmu?” tanya temannya lagi tiba-tiba.
Soojung agak terkejut ketika pertanyaan itu terlontar. Kenapa mereka bertanya seperti itu? dia berpikir. Kedua alisnya berkerut, Soojung menggeleng menjawabnya.
“Kau yakin?” temannya yang lain kini bertanya, tampak tidak percaya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Karena raut wajahmu. Senyummu berkata hal yang berbeda.”
Soojung mendengus.
“Namanya Chanyeol. Oppa.” Ujarnya singkat, padat, dan jelas. Dia lalu berpamitan sebelum melangkah pergi menghampiri Chanyeol dan naik ke dalam mobil.
“Sudah kubilang tidak usah menjemputku hari ini, kan? Aku bisa pergi sendiri nanti.” Soojung memberitahu seraya mengencangkan sabuk pengamannya. Dia punya jadwal untuk tes SIM-nya sore ini, dan Soojung sudah memberitahu Chanyeol bahwa dia bisa pergi sendiri. Tapi tampaknya Chanyeol tidak begitu mengerti pesannya.
“Iya, aku tahu. Kau mengatakannya berkali-kali semalam dan sepanjang pagi ini.”
“Lalu kenapa kau masih juga menjemputku?”
“Karena aku ingin melihat Han Soojung menyelesaikan tes terakhir mengemudinya.” Ujar Chanyeol dengan senyum lebar. “Luhan juga ingin melihat noona kesayangannya menyetir mobil seperti batman, kan?”
“Ck.” Soojung mendengus lagi melihat Chanyeol menoleh ke belakangan dan bicara pada Luhan. Tidak ada masalah sebenarnya bila Chanyeol menjemputnya hari ini. Dia hanya sedikit tegang.
Hari ini adalah ujian akhir mengemudinya untuk bisa mendapatkan surat ijin. Sebenarnya Soojung ingin pergi sendiri, karena kehadiran Chanyeol, dan mengetahui lelaki itu mengawasinya membuatnya gugup. Walaupun ada sebagian yang lain dalam dirinya merasa senang juga.
“Tebak apa yang baru saja kudapatkan hari ini.” Chanyeol memberikan ponselnya pada Soojung. Lelaki itu menunjukkan sebuah pesan masuk yang dikirimkan beberapa jam yang lalu, berisi informasi catatan pemindahan sejumlah ke uang ke dalam rekening tabungan Chanyeol.
Soojung menghitung jumlah angka nol, dan membuka mulutnya lebar saat berhenti di angka enam setelah satu digit angka lainnya.
“Wuah! Apa ini?”
“Gaji pertamaku dari Stomp. Keren, ya?”
“Kereeennn!!!!” Soojung berseru antusias. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dibacanya dari pesan itu. Selama beberapa minggu ini Soojung mengakui bahwa Chanyeol memang musisi yang berbakat dalam menciptakan musik baru, tapi dia tidak menyangka bayaran seorang produser lepas akan sebesar ini.
Luar biasa.
“Jadi, sebelum kau berhadapan dengan ujian akhirmu, kau ingin makan sesuatu?”
“Steak!!” Soojung berseru lagi, menjawab tawaran Chanyeol dengan cepat tanpa banyak berpikir.
Chanyeol segera membawa mobilnya menuju sebuah restoran steak&grill yang dulu biasa Soojung datangi bersama ayahnya di Cheongdam.
.
“Teman-temanku mengira kau pacarku saat menjemput tadi.” Soojung bercerita begitu mereka sudah duduk di dalam restoran. Dia mengulurkan tangannya ke dalam kereta bayi, membiarkan Luhan yang didudukkan di dalamnya bermain dengan jari-jarinya.
Chanyeol tersenyum, setengah tertawa tanpa suara sembari membaca deretan makanan di daftar menu.
“Kau suka?”
“Suka apa?”
“Apa kata teman-temanmu itu. Kedengarannya kau bahagia sekali mereka mengira aku pacarmu.”
“Sialan kau.” Soojung melempar Chanyeol dengan lap makan yang tersaji di atas meja, membuat lelaki itu tergelak karena merasa terhibur.
Begitulah kalimat yang keluar dari mulutnya. Tapi sesungguhnya, hatinya berkata berbeda. Iya, aku bahagia. Begitu, dan sayangnya kalimat itu tidak diperdengarkan.
Soojung bukan orang yang bisa mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya melalui kata-kata. Dia lebih ekspresif.
Yoonhan pernah bilang bahwa Soojung adalah buku yang terbuka. Cukup mudah menebak bagaimana suasana hatinya dari raut wajah maupun perilakunya. Bagaimana dia saat sedang sedih, saat sedang marah, saat sedang bahagia, saat sedang… jatuh cinta.
Tiba-tiba saja ini membuat Soojung berpikir. Dia tidak menyangkal bahwa apa yang dirasakannya saat ini cukup familiar. Degup kencang yang muncul tiap kali Chanyeol di dekatnya, debar antusias saat Soojung menyentuh tangan lelaki itu, rasa rindu yang tidak berkesudahan, dan bagaimana dia selalu ingin di dekat Chanyeol, dia pernah merasakan ini sebelumnya. Tapi untuk melabeli perasaannya sendiri dengan kalimat, bahwa dia, Han Soojung, sedang jatuh cinta, pada Park Chanyeol…
Ini mungkin saja terjadi. Soojung tidak ingin menyangkal. Memang perlu waktu cukup lama bagi Soojung untuk menyadarinya, bahwa Park Chanyeol adalah seorang laki-laki yang mudah dicintai.
Park Chanyeol adalah seseorang yang penyayang, dan bukan pemilih dalam membagi rasa sayangnya. Dia, seperti laki-laki kebanyakan, ingin selalu menjadi pahlawan bagi orang-orang yang disayanginya. Jiwa pelindungnya sangat tinggi, kadang cenderung berlebihan, tapi sepertinya pria memang begitu, kan?
Chanyeol membuat Soojung merasa aman dan nyaman. Lelaki itu selalu tahu bagaimana membuat Soojung tertawa, seolah dia tahu di mana celah-celah sempit yang harus dilaluinya untuk menggelitik syaraf humor Soojung dan membuatnya relaks di tengah ketegangan pikiran-pikiran pribadinya.
Chanyeol tahu apa makanan kesukaannya, dan bisa membuatnya dengan rasa yang sempurna seperti yang Soojung inginkan—bahkan lebih enak dibanding bila Soojung membuatnya sendiri.
Chanyeol memainkan gitar dan piano untuk menemaninya belajar. Chanyeol membenarkan posisi selimutnya saat dia kedinginan. Chanyeol menggenggam tangannya dan menyejajari langkahnya supaya dia tidak tertinggal saat berjalan berdampingan. Chanyeol memperbolehkannya tidur bersama Luhan bila tidak ingin sendirian saat malam, kadang mereka tidur bertiga, dan bila insomnianya kambuh, Chanyeol akan selalu menemaninya mengobrol sampai malam larut dan menepuk-nepuk punggungnya hingga dia terlelap.
Chanyeol menciptakan rutinitas baru yang belum pernah dijalaninya dulu. Kini dia mulai terbiasa. Soojung selalu menunggu kehadirannya. Bahkan dia tidak keberatan menunggu Chanyeol pulang kerja hingga tengah malam. Dengan semua yang Chanyeol lakukan padanya, dengan semua yang lelaki itu berikan, bagaimana Soojung tidak terpikat?
Soojung menarik kata-katanya kembali tentang segala hal buruk mengenai Park Chanyeol yang dulu.
Dan memang benar apa kata Yoonhan. Pada akhirnya Soojung harus berterimakasih pada Tuhan akan keadaannya saat ini. Dia tidak akan mungkin bertahan tanpa Chanyeol di sisinya, dan dia sangat berterimakasih karena Tuhan mengirimkan Park Chanyeol sebagai saudara laki-lakinya. Bukan yang lain.
Sudara laki-lakinya. Dan Soojung kini menyimpan perasaan yang jauh lebih besar dari yang seharusnya dia rasakan untuk lelaki itu.
Dan Soojung tidak tahu apakah ini pantas, apakah ini boleh.
Dia tidak mau tahu.
“Iya, aku senang. Masalah untukmu?” ujar Soojung sesaat kemudian. Akhirnya dia memutuskan untuk mengatakan apa yang ada di kepalanya.
Kalau Chanyeol terkejut dengan kalimatnya saat ini, lelaki itu menyembunyikannya dengan sempurna. Soojung sama sekali tidak melihat perubahan ekspresi di wajah Chanyeol, seolah lelaki itu telah menduga kalimat ini terlontar dari mulutnya.
Chanyeol hanya tersenyum, meliriknya dari balik buku menu, kemudian tertawa lagi tanpa suara. Itu saja, tanpa respon lebih lanjut.
Soojung tersinggung karenanya.
“Mwoya? Itu saja? Kau bahkan tidak menyanggahnya atau mengatakan sesuatu.” Soojung memprotes. Dia menaruh buku menunya di atas meja, tidak peduli meski pramusaji kini telah bersiap di sisi mereka untuk mencatat pesanan.
“Aku harus berkata apa? Aku ikut senang kalau kau senang.”
“Itu jawaban macam apa?” Soojung mendengus lagi, entah sudah keberapa kalinya seharian ini. Dia bersedekap dan menarik diri, bersandar di punggung kursi. Agak kesal.
“Kau tidak suka kalau orang menganggapku pacarmu?” dia bertanya lagi, masih kekeuh dengan topik pembicaraannya. “Hei, menurutmu apa kami terlihat seperti kakak adik?” tanyanya kini pada pramusaji di dekatnya.
Lelaki muda yang ditanyainya itu menoleh agak terkejut, dan tertawa pelan agak bingung dengan pertanyaannya—sambil menggaruk belakang kepala.
“Jangan mendengarkannya, dia agak gila.” Chanyeol memberitahu pramusaji itu seraya memutar jari telunjuk di dekat telinganya, lalu menyebutkan pesanannya. Soojung memperhatikan bahwa Chanyeol memesan untuk dua orang. Dia mengira lelaki itu memesankan menu untuknya, tapi tampaknya tidak, karena sesaat kemudian Chanyeol bertanya.
“Kau mau pesan apa?” yang tidak Soojung jawab, jadi Chanyeol memesankan steak domba impor yang dia suka—ya, bahkan Chanyeol tahu mengenai hal ini.
“Serius, Oppa. Kau tidak suka bila orang menganggap kita berpacaran?” Masih penasaran, Soojung bertanya lagi sesaat setelah mendapatkan privasi mereka kembali.
Chanyeol tertawa lagi. “Itu sangat menggiurkan, kau tahu? Tapi terima kasih, Han Soojung. Lebih baik orang menganggapku berpacaran dengan orang-orangan sawah daripada kau.”
“Ish!”
Soojung menendang kaki Chanyeol dari bawah meja. Semua orang di dalam restoran menoleh pada mereka ketika Chanyeol berteriak keras, kesakitan.
Dan yang paling menyebalkan dari semua ini adalah, bahwa Soojung tidak tahu apakah jawaban itu serius atau tidak. Sudah selama ini, dan Soojung masih belum pernah berhasil menebak kapan saat Chanyeol serius, dan kapan saat lelaki itu bercanda di saat-saat tertentu semacam ini.
Dia tidak pernah tahu, karena mereka tidak membahasnya lagi setelah itu.
“Ngomong-ngomong, kulihat kau tadi memesan makanan untuk dua orang.”
“Oh ya. Kuharap kau tidak keberatan, Yerin akan bergabung sebentar lagi. Tadi aku mengajaknya makan bersama.”
Ya, tentu saja.
Soojung seharusnya tidak lupa, bahwa Baek Yerin masih selalu ada di antara mereka berdua.
Bicara tentang gadis itu, Soojung baru menyadari ada satu hal yang berbeda—dia tidak pernah memperhatikan hal ini sebelumnya—bahwa intensitas kontak fisik mereka, antara Chanyeol dan Yerin, terlihat lebih besar.
Soojung sering melihat mereka berpegangan tangan. Dia bahkan pernah menangkap Chanyeol memeluk gadis itu dan bermanja-manja di dapur, saat mereka mengira dia tidak melihat. Juga dari cara mereka saling bicara, nadanya pun berbeda dari yang dulu dia ingat.
Sepertinya mereka kini resmi berpacaran, dua orang itu. Dan Soojung tidak menyukai berita itu.
Tidak, lebih tepatnya fakta, karena Chanyeol maupun Yerin tidak mengatakan apapun padanya mengenai status hubungan mereka. Dan demi Tuhan, Soojung sangat berharap tidak ada satupun di antara mereka yang berpikir untuk memberitahunya, karena dia tidak mau tahu. Dia lebih suka berpikir bahwa Park Chanyeol masih Chanyeol yang dulu. Laki-laki yang bebas dan tidak terikat hubungan apapun, dengan siapapun.
Dan dia tidak peduli meski bila mereka memang berpacaran, karena ini tidak akan menghentikan afeksinya terhadap laki-laki itu. Soojung merasa dia memiliki hak yang lebih atas Chanyeol, karena dia lah saudara perempuannya.
Soojung tidak menyambut Yerin dengan antusias saat gadis itu muncul dan duduk di dekat Chanyeol, di antara mereka. Dia tidak banyak bicara. Lebih banyak bermain dengan Luhan di dalam kereta bayi daripada bergabung dengan topik obrolan Chanyeol dan Yerin.
Meski begitu ada satu hal yang tidak bisa lepas dari perhatiannya sepanjang makan siang ini… Chanyeol menggenggam tangan Yerin sepanjang waktu. Di atas meja. Seolah sengaja menunjukkannya pada dunia.
Soojung benar-benar tidak suka melihatnya.
* * *
Salah satu hal yang paling Soojung benci di dunia ini, adalah saat dia sedang cemburu. Bukan perasaannya sendiri yang dia musuhi, tapi bagaimana pemicu perasaan itu menggerogotinya. Dia benci dibuat cemburu. Dia benci merasa jatuh bangun berhadapan dengan orang tidak peka terhadap perasaannya.
Dan parahnya, Park Chanyeol adalah orang tidak peka terburuk sepanjang masa.
Setidaknya Yoonhan masih merasa perlu membicarakan hal-hal yang mengganggunya ketika waktunya pas, tapi Chanyeol sungguh mengabaikannya—sejelas apapun sikapnya. Menganggap protes-protes tersiratnya seolah tak kasat mata dan hanya kerewelan biasa.
Soojung benar-benar naik darah dibuatnya.
Yerin sering sekali datang ke rumah belakangan ini. Jauh lebih sering daripada biasanya. Dulu dia tidak keberatan bila Yerin berkunjung, tapi sekarang Soojung merasa terganggu. Karena kadang kunjungannya bisa sampai seharian, dan Yerin selalu membuat Chanyeol sibuk bersamanya saat gadis itu ada.
Yang membuat Soojung kesal adalah bagaimana Chanyeol masih tetap memaksanya untuk duduk bersama mereka di kala Yerin berada di rumah; saat mengobrol, saat sedang membuat makanan, saat bermain dengan Luhan, dan yang lainnya.
Chanyeol menyimpan kunci kamar Soojung sejak beberapa bulan lalu, jadi dia tidak pernah lagi bisa mengurung dirinya di kamar. Satu-satunya hal yang bisa Soojung lakukan untuk melarikan diri adalah mengunci dirinya di balkon, karena itu satu-satunya kunci yang terlewat dari sitaan Chanyeol. Tapi Soojung tidak mungkin melakukannya karena hawa beku sudah sangat menusuk menjelang musim dingin ini. Jadi tidak ada yang bisa dia lakukan selain duduk agak jauh, dan menyibukkan diri dengan tugas-tugas kuliahnya. Bahkan Byun Baekhyun yang biasanya bisa sedikit menghiburnya pun gagal mengalihkan rasa ini.
Soojung benci merasa cemburu.
.
Menjelang akhir bulan November, Chanyeol berulangtahun.
Chanyeol memberitahu Soojung bahwa dia berniat untuk mengadakan perayaan kecil bersama teman-temannya—Jaejin dan Minhyuk mendapatkan cuti musim dingin mereka, jadi momennya pas sekali untuk berkumpul dan berpesta.
Lelaki itu mengajak Soojung ikut bergabung bersama mereka, tapi Soojung menolaknya. Dia tidak terlalu menyukai pesta, dan terlebih lagi, dia tidak ingin berada di antara Chanyeol dan Yerin dan menonton mereka bersayang-sayangan seperti orang bodoh.
Soojung sudah berpikir akan menghabiskan malam itu bermain berdua bersama Luhan, dan tidak berniat untuk menunggu Chanyeol pulang. Dia tidak ingin berpikir atau membayangkan apa saja yang akan mereka lakukan untuk merayakan ulangtahun Chanyeol di luar sana, tapi ternyata keputusan berubah sebelum Chanyeol pergi.
Lelaki itu membawa teman-temannya ke rumah, dan merayakannya bersama di sana. Sungguh, ini ide terburuk yang pernah lelaki itu lakukan sepanjang Soojung mengenalnya.
Baiklah, sesi bermain musiknya memang tidak buruk. Mereka duduk melingkar di atas karpet di ruang televisi. Chanyeol, Yerin dan Jaejin memangku gitar akustik masing-masing, Minhyuk memangku timpani, dan Baekhyun membawa harmonikanya serta. Mereka memainkannya bersama menyanyikan lagu-lagu yang pernah mereka mainkan dulu, dan membuat musik-musik baru dengan saling mengiringi satu sama lain.
Sementara mereka bermain musik dan bernyanyi, Soojung duduk di atas sofa memangku Luhan. Dia membuat bayi itu menari. Luhan menggenggam jari telunjuk kanan kirinya dengan dua tangan, lalu bergerak-gerak antusias ketika Soojung menggoyangkan lengannya mengikuti irama musik.
Soojung menikmati semua itu. Hingga Chanyeol dan Yerin saling meledek, dan anak-anak yang lain mulai menggoda mereka.
Mereka, para teman yang dipertemukan setelah lama tidak berkumpul bersama, tenggelam dalam leluconnya masing-masing. Dan Soojung berbeda. Dia tidak mengerti dunia mereka. Pemahaman leluconnya berbeda. Dia tidak tertawa saat mereka tertawa. Dia tidak tahu apa yang lucu. Dan dia merasa tersisihkan di dunia mereka.
Soojung tidak bergabung bersama mereka lagi. Tidak lama kemudian dia berpamitan, alih-alih ingin menidurkan Luhan yang sudah mulai mengantuk. Dia kembali ke kamar, menutup pintunya, dan naik ke atas tempat tidur sambil memeluk Luhan sepanjang waktu. Dia menutup mata dan berpura-pura tidur saat Chanyeol datang untuk mengecek keadaannya. Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi bahunya dan membelai kepalanya sekali sebelum mematikan lampu kamar dan menutup pintu.
Dia tidak tidur hingga beberapa jam berikutnya. Suara tawa orang-orang di lantai pertama membuatnya terjaga. Bahkan hingga suasananya mulai sepi, hingga dia yakin perayaan itu sudah dibubarkan dan orang-orang mulai terlelap dalam dunia mimpi mereka, Soojung masih membuka mata.
Dia tidak tidur hingga matahari mulai beranjak naik ke atas cakrawala. Saat sinarnya mulai mengintip dari sela-sela tirai pintu balkon, Soojung turun dari pembaringannya. Dia pergi keluar kamar, memutari koridor dan pergi ke kamar Chanyeol.
Soojung terkejut. Dia terpaku di ambang pintu menemukan Yerin berada di atas tempat tidur Chanyeol. Tangannya menggenggam erat pegangan pintu. Untuk sesaat dia berpikir di sana, dalam posisinya, apa yang harus dia lakukan. Chanyeol tidak ada di sana. Mungkin sudah bangun, karena dia mendengar suara dari dapur di lantai pertama.
Berbalik, Soojung menuruni tangga dan menemukan tiga anak laki-laki tidur berserakan di atas karpet di ruang televisi. Beberapa gelas dan piring kosong dibiarkan ditaruh di atas meja. Soojung mengambilnya dan membawanya ke dapur, di mana Chanyeol sedang mengeluarkan beberapa makanan dari dalam lemari es. Lelaki itu sepertinya juga baru bangun.
“Hei, kau bangun pagi sekali.” Chanyeol menyapanya.
Soojung diam saja. Dia menyalakan air hangat dari keran, menaruh gelas dan piring ke dalam bak cucian dan membasuh tangannya.
Chanyeol memiringkan badannya, melongok untuk melihat wajahnya.
“Matamu kenapa bengkak begitu? Kau baik-baik saja?”
Soojung menepis tangan Chanyeol ketika lelaki itu hendak menyentuhnya. Dia berbalik, kembali ke ruang televisi dan membersihkan kekacauan di sana.
“Biarkan saja. Anak-anak akan membersihkannya nanti, tidak usah repot-repot.”
Soojung masih diam saja, tidak menghiraukan kata-kata Chanyeol. Dia mengambil bak sampah dari pojok ruangan dan memasukkan kaleng-kaleng bir ke dalamnya, bungkus biskuit dan jajanan yang sudah kosong—sempat menginjak kaki Baekhyun saat melakukannya, tapi lelaki cebol itu hanya mengerang sesaat dan kembali tidur.
Lalu mereka mendengar Luhan menangis dari kamarnya. Soojung berniat untuk tidak menghiraukan, tapi Chanyeol mengambil keranjang sampah yang mulai penuh dari tangannya.
“Biar aku yang membersihkan ini, kau lihat Luhan saja sana.”
Soojung berbalik tanpa berkata apa-apa, melangkah pergi begitu saja hingga Chanyeol menarik lengannya lagi, membuatnya berhenti berjalan.
“Hei, senyum donk.” Lelaki itu berujar, meledeknya.
Soojung menarik tangannya dengan kasar. Kedua alisnya bertaut, sengaja menunjukkan rasa kesalnya. Dia lalu mengambil susu hangat yang sudah dihangatkan di dalam mesin di dapur dan berlari menaiki tangga dengan cepat.
Apa yang Soojung lihat di dalam kamarnya seolah menyempurnakan seluruh kepenatan dan kekesalan yang telah dipendamnya selama berhari-hari ini. Dia paling tidak suka bila ada orang yang menginvasi ruang pribadinya tanpa ijin. Dia benci melihat orang, mereka yang bukan siapa-siapa, masuk ke dalam kamarnya, menyentuh barang-barangnya, merasa bahwa mereka memiliki tempat ini hanya karena dia mengijinkannya memasuki tempat berlindungnya.
Amarahnya memuncak ketika melihat Yerin menimang Luhan di atas tempat tidurnya.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Soojung begitu pemandangan itu tersaji di depan matanya saat masuk kamar. Nadanya penuh sinisme.
“Siapa yang mengijinkanmu masuk ke dalam kamarku?” tanya Soojung lagi sebelum Yerin menjawab pertanyaan pertamanya.
Yerin menoleh padanya dengan enggan. Sepertinya gadis itu tidak menyangka sikap semacam itu padanya, Soojung bisa merasakan ada hawa intimidasi dari tekanan suaranya, tapi dia tidak peduli. Dia sangat marah saat ini.
“Maaf, Soojung. Aku mendengar Luhan menangis, jadi aku cepat datang kemari.” Jawab gadis itu ragu-ragu.
“Dan siapa yang menyuruhmu melakukannya? Kenapa kau berpikir kau bisa masuk ke dalam kamarku tanpa ijinku? Ini rumahku, Baek Yerin. Karena Park Chanyeol membiarkanmu masuk ke rumah ini bukan berarti kau bisa berkeliaran keluar masuk ke manapun seenakmu.”
“Maaf, aku…”
“Keluar kau.” Soojung mengambil Luhan dari Yerin, memindahkan bayi itu dari dekapan Yerin ke lengannya dengan paksa.
“Soojung…”
“Kubilang keluar kau!!”
Luhan mulai menangis.
Soojung menarik Yerin dengan kasar keluar dari kamarnya, dan membanting pintu di depan wajah gadis itu. Keras sekali.
Brakk!!!
Dia tahu cepat atau lambat Chanyeol pasti akan datang. Lelaki itu akan mulai menanyakan banyak hal. Kenapa begini, kenapa begitu, kenapa dia bersikap seperti ini… tapi Soojung sedang tidak ingin bicara. Dia sangat, amat sangat, sangat sangat kesal.
Jadi Soojung berbalik. Dia membungkus Luhan dengan selimut tebal dan pergi keluar balkon. Dia mengunci dirinya di sana. Di tengah angin dingin pagi yang membuatnya menggigil. Dan dia tidak peduli.
“I’m sorry. I’m sorry, okay? Noona tidak akan berteriak lagi, I’m sorry, Lu. Noona tidak marah, tidak pada Luhan. Noona tidak akan berteriak lagi…” Soojung menenangkan adik kecil dalam dekapannya, menciumi wajahnya berulang lagi untuk meyakinkan bayi kecil itu dia tidak sedang marah padanya.
Lalu Soojung mendengar pintu kaca di belakangnya diketuk. Dia menoleh dan mendapati Chanyeol di balik pintu itu.
“Buka pintunya? Ayolah, di luar dingin, Soojung.”
Soojung tidak ingin mendengarkan. Dia menaikkan penutup kepala hoodie-nya dan berjalan menjauh dari pintu. Dia mengabaikan keberadaan Chanyeol di sana, dan hingga beberapa jam setelahnya, dia duduk di ayunan rotan dengan Luhan dalam dekapannya.
Bayi kecil itu kembali terlelap setelah menghabiskan susunya.
.
“Kau mau membicarakan apa yang terjadi pagi ini?”
“Tidak.”
Soojung masih menolak bicara. Rumahnya sudah kembali sepi saat Soojung akhirnya membuka kunci balkon dan keluar dari kamarnya. Segalanya sudah rapi, kembali seperti semula, seolah tidak pernah ada yang berpesta dan mengacak-acaknya seperti malam lalu.
Chanyeol membiarkannya mendiamkan lelaki itu selama beberapa jam, tapi Chanyeol bukan tipe orang yang bisa tahan dengan perlakuan dingin berlama-lama. Menjelang malam, ketika waktunya Soojung mengisi perutnya yang kosong sepanjang hari, Chanyeol mengajaknya bicara setelah makan.
“Soojung ah…” Chanyeol menahan lengan Soojung saat dia hendak berbalik pergi. “Apa yang terjadi?”
Soojung hendak menarik tangannya kembali, tapi Chanyeol menahannya. Dan ini membuat Soojung tertahan di sana, dia tidak punya pilihan selain menjawab karena dia tahu Chanyeol tidak akan melepaskan kalau dia diam saja.
“Kau tahu apa yang terjadi, tidak usah bertanya padaku.” Katanya kemudian.
“Kau tahu, sikapmu pada Yerin pagi ini sedikit berlebihan. Dia hanya ingin membantu.”
“Aku tidak perlu bantuannya. Siapa yang meminta bantuannya? Kau tahu aku tidak suka bila ada orang asing masuk ke dalam kamarku.” Soojung memprotes.
“Yerin bukan orang asing. Aku mengenalnya bertahun-tahun…”
“Dia tidur di tempat tidurmu.” Soojung menimpali kata-katanya dengan cepat.
Dahi Chanyeol berkerut. Lelaki itu tampak sedikit terkejut dengan kalimat Soojung, seolah sedang mencari tahu apa yang dia maksud dengan kata-kata itu.
“Lalu?”
“Kau tidur dengannya?”
“Aku tidur di sofa. Di sana.” Chanyeol menunjuk sofa di ruang televisi. “Bersama anak-anak.”
Lalu hening.
Maupun Soojung dan Chanyeol, tidak ada yang berkata apa-apa. Keduanya sama-sama diam, tenggelam dalam pikiran dan praduganya masing-masing.
Soojung tidak tahu bagaimana merespon jawaban yang baru saja Chanyeol berikan padanya. Chanyeol tidur bersama teman-temannya, ini berarti apa yang dia takutkan hanya terjadi di dalam kepalanya sendiri. Tapi dia tidak tahu apakah ini cukup untuk bisa dirayakan dalam dirinya.
Chanyeol terlihat syok. Pertanyaan Soojung dan jawaban yang terlontar tampaknya membuat lelaki itu terkejut. Soojung tidak tahu apa yang ada di dalam kepala Chanyeol, tapi dia bisa sedikit menebak, bahwa lelaki itu tidak begitu menyukai topik ini, maupun apa yang akan mereka bicarakan setelah ini.
Karena tampaknya kini mereka tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berujung.
Chanyeol terhenyak saat menyadarinya. Soojung membuang wajahnya.
Chanyeol tahu.
Soojung tidak tahu Chanyeol tahu atau tidak sejak sejak awal, apakah lelaki itu menyadarinya atau tidak. Yang dia tahu saat ini adalah waktunya telah tiba. Mereka akan membicarakannya.
Soojung tidak menyangka akan secepat ini.
“Soojung ah…” Nada bicara Chanyeol melembut.
“Kau tahu…” Soojung menarik napasnya. “Apa yang kurasakan saat ini. Semua ini menakutkan. Aku sangat antusias. Aku sangat senang karena kau. Aku merasa seperti…” Dia menggeleng, tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimatnya.
“Kau tahu, karena kau. Aku senang. Tapi aku juga sedih. Aku takut. Apa yang kurasakan padamu membuatku takut.”
Chanyeol menaruh dua tangannya di lengan kanan dan kiri Soojung. Lelaki itu merendahkan tubuhnya, menyamakan level matanya dengan Soojung, meminta perhatiannya.
“Soojung ah, aku kakak laki-lakimu.”
“Tapi bukan kakak laki-laki kandungku. Aku tidak berbagi darah denganmu.”
“Tapi tetap saja, aku kakak laki-lakimu.”
“Tidak bisakah kau melupakannya? Sebentar saja.” Soojung menepis pegangan Chanyeol dari kedua lengannya. Dia menatap manik hitam di hadapannya kini, mencari sesuatu di sana—kejujuran. Apakah Chanyeol benar-benar mengatakannya, ataukah lelaki itu hanya menahan diri saja.
“Apakah kau benar-benar tidak menyukaiku? Apa aku seburuk itu?” dia bertanya lagi, ingin tahu.
“Soojung ah...”
“Berhenti memanggilku dengan nama itu. Kau tahu apa kata mereka ketika kau memanggil seseorang dengan nama yang berbeda?” Dia memberi jeda setelah pertanyaannya, tapi tidak menunggu jawaban. “Mereka bilang itu berarti perasaanmu pun berbeda. Saat kau mengubah caramu memanggilku, kau membuatku berpikir bahwa segalanya berubah.”
“Segalanya berubah karena dokter Kim ingin kita berubah.”
“Karena dokter Kim? Lalu kau?”
Chanyeol tidak menjawab. Dari keheningan itu seharusnya Soojung bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Apa yang Chanyeol maksud, apa arti dari kebisuan ini, segalanya seharusnya bisa terjawab.
Seharusnya. Karena ternyata keadaannya berbeda dengan Park Chanyeol.
Karena Soojung tidak tahu apa yang ada di dalam kepala lelaki itu. Bahkan keheningan lelaki itu pun tidak memberinya tanda ke mana arah jawabannya akan berujung. Park Chanyeol adalah sebuah misteri. Lelaki itu sama sekali tidak terbaca.
Karena itulah, Soojung sama sekali tidak siap mendengar jawaban Chanyeol. Ketika akhirnya lelaki itu menjawabnya, Soojung tidak mau mendengarkan. Dia menutup kedua telinganya, tepat saat Chanyeol membuka mulut.
“Aku kakak laki-lakimu, Han Soojung.”
Seharusnya tidak terdengar. Soojung sudah menutup telinganya rapat-rapat.
Tapi kalimat itu seperti bom nuklir dan diledakkan di dalam gendang telinganya. Tiap huruf dari kata-kata itu tereja sempurna, masuk ke dalam rongga telinganya melalui partikel-partikel kecil gelombang suara yang memekakkan. Suara Chanyeol sangat lembut saat mengatakannya, tapi kalimat lelaki itu serasa membuatnya tuli.
“Dengarkan aku, Han Soojung…”
Chanyeol memegang dua tangan Soojung, memaksanya membuka telinga. Tapi Soojung tidak ingin mendengarkan.
“Tidak mau!”
Dia mendorong dada Chanyeol dengan keras, hingga lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Lalu Soojung berbalik. Dia berlari. Menuju ke depan rumahnya. Membuka pintu, dan keluar.
Chanyeol mengejarnya.
“Han Soojung, kembali ke sini!”
Soojung tidak mendengarkan. Langkahnya semakin lebar berlari. Menyeberangi halaman, menuruni undakan anak tangga, membuka pintu gerbang… entah kemana dia hendak pergi, dia tidak tahu. Dia hanya ingin pergi, dia tidak ingin mendengar Chanyeol mengatakannya lagi, menegaskannya lagi. Dia tidak ingin merasakan nyeri itu lagi di dadanya. Dia tidak mau dengar!
Kemudian dia berhenti. Soojung membeku di kakinya begitu pintu gerbang terbuka.
Karena seseorang menghalangi jalannya keluar.
Yoonhan berdiri tepat di hadapannya.
.
“Hei?” Yoonhan menyapa, agak ragu.
Tampaknya dia juga sedikit terkejut mendapati pintu gerbang yang tiba-tiba terbuka di saat dia hendak menekan bel. Soojung berdiri di hadapannya, dengan napas setengah terengah.
Soojung tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Yoonhan, orang terakhir yang ingin dia lihat saat ini, berdiri di depan matanya. Matanya membelalak, tidak berkedip, dan untuk sesaat waktu serasa berhenti berjalan.
Yoonhan benar-benar pulang. Soojung sudah memberitahu lelaki itu agar tidak menemuinya, tapi lelaki itu kini berdiri di depan gerbang rumahnya. Dan Soojung tidak bisa pergi lagi menghindarinya, karena begitu lelaki itu kini benar-benar di depan matanya, Soojung merasa sangat merindukannya.
Empat bulan lelaki itu pergi, dan hanya sekali Soojung bicara dengannya. Dia benar-benar rindu.
Dan ketika tangan Soojung terangkat untuk menyentuh pipi lelaki itu, ketika Soojung merasakan bahwa lelaki itu nyata, bukan hanya delusinya, maka runtuh sudah pertahanannya.
Soojung menangis, menumpahkan seluruh emosi dan perasaannya yang bercampur aduk di dalam dirinya, sesak di dadanya, di tenggorokannya, getar di kakinya. Segalanya.
Dia memeluk lelaki itu, melingkarkan lengannya ke belakang punggung Yoonhan. Menariknya dekat, sedekat mungkin, sangat dekat. Sangat erat.
Dia menangis.
“Aku pulang.” Yoonhan berkata lembut. Lelaki itu membalas pelukannya, mengurungnya dalam dekapan yang sama erat.
“Kau pulang…”
Lalu Soojung mendengar suara.
“Hyung, senang melihatmu kembali.”
Itu suara Chanyeol. Lelaki itu berdiri tak jauh di belakangnya.
Dan Soojung merasa Yoonhan mengulurkan lengan, merasakannya terayun tegas. Yoonhan menjabat tangan Chanyeol di belakang punggungnya.
“Hei. Kenapa kau membuatnya menangis?” Yoonhan kemudian bertanya.
Lelaki itu tahu Soojung tidak menangis untuknya.
* * *
Filed under: fan fiction, series Tagged: Baek Yerin, Forsaken, Han Soojung, Park Chanyeol, Yoon Han