Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Overdose

$
0
0

Kai Luhan Overdose by Chocokailate

.

-o-

A wise physician said – The best medicine for human is LOVE.

-o-

 .

“Aku bisa mengajarimu. Biarkan aku membantumu.”

“Tidak perlu.” Tatapan tajam dan nada yang meluncur dari bibir Jongin sanggup membuat nyali siapapun menciut.

Tapi Luhan tidak gentar, malah tersenyum kalem, “Tapi gurumu memberitahu kalau kau tidak lulus ujian kali ini, maka kau—”

“Bukan urusanmu!” desis Jongin, sedingin es.

Senyum tidak juga pupus dari wajah Luhan. Dengan tenang ia berkata, “Urusanku, karena kau adikku.”

Mendengar itu, rahang Jongin mengeras.

“Aku bukan adikmu!”

Pintu kamar terbanting tepat di depan hidung Luhan.

 .

***

 .

Jongin membenci Luhan. Jongin membencinya setengah mati.

Sejak dulu, sejak kali pertama anak itu datang ke rumahnya, dan Jongin kecil mendapati ibunya jatuh hati pada anak itu, Jongin langsung membencinya. Jongin membenci keputusan ibunya menikah dengan ayah Luhan, dan membuat Luhan resmi menjadi kakak tirinya.

Luhan sempurna. Selalu juara kelas, selalu membantu semua orang, kapten sepakbola, penurut, baik hati, ramah, selalu tersenyum, dan semua orang menyukainya.

Berbeda sekali dengan dirinya. Pemalas, ketiduran di kelas, selalu berkelahi, tukang buat onar, galak, lebih suka menyendiri, dan membuat semua orang takut padanya.

Oleh karena itu, Jongin membencinya. Membenci Luhan yang baik hati dan sempurna.

Karena Luhan terlalu sempurna, orang-orang akan selalu membandingkannya dengan Luhan. Jongin membenci limpahan pujian yang selalu dicurahkan pada anak itu. Jongin benci dibanding-bandingkan. Maka dari itu, dia makin menjadi. Semakin tidak peduli. Semakin berantakan agar berkebalikan dari Luhan.

Dan yang paling Jongin benci, sejahat apapun Jongin memusuhinya, Luhan tidak pernah balik memusuhinya. Sebaliknya, Luhan terus-menerus mencoba mendekati Jongin. Mencoba mengambil hatinya dengan melaksanakan semua tugas membersihkan rumah – jadi Jongin tidak perlu membersihkan rumah, membelikan makanan kesukaan Jongin, mengajak Jongin les dance, hingga mencoba membantu Jongin belajar atau apapun sebisanya.

Hal itu justru membuat Jongin muak. Limpahan kasih sayang dari Luhan membuatnya mual.

Jongin sudah mencoba berbagai cara untuk menyakiti Luhan. Jongin dengan sengaja membuat onar agar nama Luhan ikut tercoreng di sekolah, namun Luhan tidak terpengaruh. Jongin dengan sengaja merusakkan Rubik’s Cube — dan berbagai benda kesayangan Luhan — namun Luhan memaafkannya. Jongin bahkan dengan sengaja mengencani perempuan yang jelas-jelas Luhan taksir sejak dulu. Namun, lagi-lagi Luhan memaafkannya.

Jongin benar-benar kehabisan akal untuk membuat Luhan menjauhinya.

Semakin Jongin menjauhinya dan memusuhinya, semakin Luhan mendekatinya dan menyayanginya.

 .

***

 .

Hingga suatu hari, Jongin mendengar Luhan ditangkap oleh gerombolan preman dari sekolah tetangga. Mereka musuh Jongin tentu saja. Musuh yang Jongin hajar habis-habisan minggu sebelumnya. Musuh yang ingin membalas dendam pada Jongin.

Jongin yang tidak pernah takut dan peduli pada apapun, datang ke markas musuh sendirian, tertawa santai dan mencemooh, “Hajar saja dia, aku tak peduli. Dia bukan siapa-siapa bagiku.”

Sang pimpinan preman menyeringai. “Sungguh? Bukankah dia kakakmu?”

“Bukan.”

Preman itu mengangkat bahu. “Baiklah kalau itu maumu.”

 .

Satu kali. Dua kali. Tiga kali.

Jongin bertahan, meski tangannya mengepal. Dia benci Luhan, bukan? Dia ingin Luhan mati saja.

Empat kali. Lima kali. Enam kali.

Tiba-tiba Jongin merasa mual. Memalingkan kepala. Mengalihkan pandangan. Entah kenapa dia tidak bisa melihatnya lagi.

Tujuh kali. Delapan kali. Sembilan kali.

Luhan bahkan tidak terdengar protes sama sekali. Tubuh kecilnya diapit, dihajar, dan dikeroyok oleh mereka.

Sepuluh kali. Sebelas…

Jongin akhirnya menoleh. Luhan sedang menatapnya dengan mata bengkak yang babak belur.

Pandangan mereka bertemu.

 .

Jongin menelan ludah.

Brengsek!

 .

***

 .

“Kukira kau akan membiarkanku mati di sana,” ujar Luhan masih terengah-engah. Mereka berdua sama-sama babak belur, tapi berhasil melarikan diri setelah ada bunyi sirine polisi yang kebetulan lewat. Mungkin kalau tidak ada itu, mereka berdua sudah sama-sama mati tadi.

“Memang itu mauku.”

“Lalu? Mengapa kau berubah pikiran?”

Jongin tidak menjawab.

Mereka berdua membiarkan keheningan malam melingkupi mereka. Duduk di pelataran gang yang sepi dan gelap, tersembunyi di balik bayang-bayang dinding bangunan.

 .

“Kenapa kau begitu membenciku?” tanya Luhan memecah kesunyian.

Jongin tertawa sumbang, menatap Luhan dengan pandangan tak percaya. “Kau masih tanya kenapa?”

Keheningan kembali merambati mereka ketika mereka sama-sama bungkam.

 .

Jongin mendengus. “Kenapa kau tidak menyerah saja? Kenapa kau tidak membenciku juga?”

Luhan mengangkat bahu. “Aku tidak bisa membencimu.”

“Kenapa?”

Luhan terdiam sebentar. “Karena … mungkin karena aku cuma punya dirimu di dunia ini. Setelah…,” ia menelan ludah dengan pahit. “Yah, kau tahu, kejadian itu….”

Jongin tahu. Dan itulah salah satu alasan terbesar Jongin membenci Luhan.

Orangtua mereka meninggal dalam kecelakaan saat akan menghadiri turnamen sepakbola Luhan.

Kalau saja waktu itu mereka perlu tidak datang untuk menonton Luhan. Maka, Jongin tidak akan sebatang kara. Jongin akan masih punya ibu (ayah Jongin sudah meninggal sejak Jongin berumur lima tahun). Jongin tidak akan kesepian dan menyedihkan seperti sekarang ini.

 .

“Maafkan aku.”

Jongin terdiam. Sebenarnya kematian orangtua mereka – dan begitu pun banyak hal lainnya – bukan salah Luhan. Sama sekali bukan. Entah kenapa anak itu malah minta maaf. Seperti barusan ini.

Yang membuat Jongin beribu kali lipat makin membencinya. Tipikal Luhan. Selalu minta maaf padahal bukan salahnya. Dari mereka kecil juga begitu.

.

Jongin masih membisu. Perkataan Luhan tadi menghantam kesadarannya.

Luhan juga sendirian di dunia ini. Sama sepertinya. Dia juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

 .

Entah sudah berapa lama mereka sama-sama membisu seperti itu, hingga akhirnya tiba-tiba Luhan tersenyum dan menepuk bahu Jongin, membuat anak itu sedikit berjengit. “Jadi, apakah sekarang kita sudah oke? Kau sudah tidak membenciku lagi, kan?”

Jongin mengernyit.

“Hanya karena aku menolongmu dan tidak membiarkanmu mati, kau kira aku sudah tidak membencimu lagi?”

 .

Luhan nyengir polos, mengulurkan tangan untuk membantu Jongin berdiri.

Dengan ragu-ragu Jongin menyambutnya.

 .

“Aku masih membencimu.”

“Aku tahu.”

 .

-o-

A wise physician said – The best medicine for human is LOVE.

Someone asked – What if it doesn’t work?

He smiled and answered – Increase the dose.

-o-

 .

By the way, katanya, obat terhebat untuk menyembuhkan manusia itu kasih sayang lho.”

Jongin mendengus, lalu terlihat seolah-olah mau muntah. “Tidak. Itu tak berlaku untukku, Lu.”

Luhan mengangkat bahu. “Berarti aku hanya perlu menambah dosisnya untukmu.”

 .

Luhan tersenyum geli melihat ekspresi Jongin.

Jongin terlihat sangat ngeri.

Urgh, NO! Aku bisa overdosis!” protesnya. Kali ini dia benar-benar menirukan mimik orang muntah.

 .

Luhan tertawa lepas. Mereka berdua berjalan tertatih-tatih sambil berangkulan saling menopang.

Mereka pulang.

 .

 

***

.

.

.

*ditulis dini hari, efek nggak bisa tidur, tiba-tiba aja cerita brotherhood KaiLu ini mendesak di kepala >.<

Semoga suka ^^

.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Jongin, Lu Han

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles