-o-
Kerabat perempuannya yang masih kecil berusia lima tahun pernah bertanya, “Om, pernah lihat bidadari?” Saat itu dirinya tak menjawab. Ibu gadis kecil itu, yang adalah kakak perempuannya yang membalas, “Bidadari hanya ada di surga.” Kemudian sang anak mungil dan cantik itu kembali bertanya, “Surga itu apa?”Ibunya lalu menggendongnya dan berkata “Yuk, kita main di luar.” Saat itu ia merasa sedikit kecewa. Ia sebenarnya begitu ingin menjawab, “Ya, aku pernah melihatnya. Bidadari. Dan tidak di surga.”
Tidak ada yang memercayainya. Seluruh teman dan keluarganya berkata itu hanya khayalan dan seloroh sembrono seorang pria bujang. Tapi ia berani bersumpah, ia melihat bidadari. Bidadari itu berjalan seperti menari. Tidak pernah dan tidak bisa didekati.
Ivan, adalah namanya, bekerja sebagai petugas elevator di sebuah pusat perbelanjaan ternama di ibukota. Setiap hari ia akan membuka dan menutup pintu “ruang tugas”nya, tersenyum manis dan menyapa mereka yang datang dengan nada hangat, tak lupa memakai baju seragam yang bersih dan wangi. Ia hapal nama seluruh konter di setiap lantai sehingga pengunjung mudah bepergian menuju tujuan. Setiap hari ia akan naik dan turun tidak sesuka hati. Ia tidak bisa memilih kapan harus berada di satu lantai tertentu, yang membuatnya sangat tersiksa, jika kebetulan ia melihat sang bidadari itu, seorang wanita tercantik di dunia.
Pertemuan pertamanya kala itu di jam dua siang. Ia begitu mengingatnya karena baru saja berganti shift kerja dengan seorang rekan. Bidadari itu berdiri menatap lekat elevator. Tangan kirinya memegang satu gelas plastik besar. Dari merek di gelasnya, Ivan menduga itu adalah bubble tea. Mulutnya mengerucut karena sedotan bersarang di sana. Mata mereka bertemu. Tetapi elevator harus sudah pergi. Ia kemudian pergi melayang, meninggalkan sang bidadari yang tatapannya terus menatap ke arah naiknya elevator.
Bidadari cantik itu dilihatnya kembali. Ivan tepat di lantai lima, membuka pintu untuk serombongan keluarga, lengkap dengan stroller bayi, dua orang manula, dan dua orang asisten rumah tangga. Jumlah mereka keseluruhan sembilan orang. Ia punya banyak waktu untuk memperhatikan lebih sang bidadari. Hari itu ia memakai baju terusan putih tak berlengan. Lengannya sungguh halus, ia bisa merasakannya dalam khayalan. Tangan kiri sang bidadari menenteng tas teramat besar yang juga berwarna putih. Ia menduga mungkin sayapnya disembunyikan di sana.
Peluh dingin mengalir dari balik seragamnya yang tebal. Sang bidadari berada di dalam elevatornya, bergandengan tangan dengan seorang pria. Ia berusaha keras menyapa mereka dengan nada paling ramah yang ia mampu. Pula berusaha keras berhenti melihat erat jemarinya yang lentik dan cantik miliik sang bidadari. Rasanya ia ingin menarik pria itu, melemparkannya dari lantai tertinggi di lantai ke-tujuh menuju lantai dasar. Pria itu tidak berhak mendekati apalagi menyentuh sang bidadari, ia sendiri pun tidak berhak. Ia takut kulit sang bidadari akan luruh. Ivan merasakan tangannya mengepal keras, di pojok di dalam elevator itu, sang bidadari meletakkan kepalanya di bahu sang lelaki. Di dalam hatinya ia berbicara, mungkinkah bidadari ini terlempar dari surga?
Senja menjelang. Tubuhnya mulai lelah kendati di hari Rabu, tidak banyak pengunjung dan pelanggan yang datang. Itu berarti ia banyak melewatkan lantai kosong penumpang. Ia naik dan turun, membuang waktunya sia-sia. Angka penunjuk lantai berubah merah di lantai tiga. Dengan sedikit enggan, ia merapikan sarung tangan putih dan hiasan kepalanya. Saat itu hari Natal menjelang. Hiasan tanduk rusa yang dipakainya. Seperti biasa, ia menyiapkan senyuman terbaiknya saat membuka pintu. “Lantai berapa…Bu?” kata terakhirnya diucapkan sangat lambat.
Bidadari itu datang. Ia sendiri. Dan ia tersenyum. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. “Halo, tolong lantai tujuh,” katanya.
Ivan tersenyum dengan senyuman terbaik dari senyuman terbaiknya. Suara bidadari itu sangat merdu. Tiada kidung yang mampu diadu. “Baik, langit ke-tujuh,” balasnya. Hari itu hidupnya sempurna sudah.
###
-
-
Judul diambil dari judul lagu milik Indra Lesmana dan Eva Celia : Angels on My Side
Photo taken from signofangels.net
Filed under: one shot, original fiction