by theboleroo
.
“…istilah durhaka telah mengunci mati posisiku; melawan kalian aku berdosa, berdiam diri saja aku sengsara.”
.
‘Menjadi lebih baik darinya’ bukan nama tengahku. Itulah sebabnya kenapa sampai detik ini bapak dan ibuku masih ogah memeta senyum yang menebarkan aroma bangga seperti yang senantiasa mereka lakukan padanya. Kemarin sore aroma itu kembali terendus, begitu wangi dan adiktif walaupun membuat sakit sekujur tubuhku. Bagi mereka aku ini nomor sepuluh, karena urutan kesatu jelas dia sedangkan urutan kedua sampai sembilan adalah aku-aku versi layak yang cuma hidup dalam imaji mereka—maklum, bapak dan ibuku itu delusional, dulu saja profesinya adalah penjual khayalan. Nama yang bertengger di sudut kanan atas salah satu halaman surat kabar adalah sesuatu yang ecek dan cerita bersampul pujian adalah hal biasa. Sampai sekarang karya-karyanya masih terkenang, bahkan masih menjadi bahan diskusi di forum para penikmat sastra.
Hah, alih-alih membanggakan, buatku hal itu tak lebih dari sekadar hinaan telak. Bagaimana, tidak? Di sini aku masih begini-begini saja; berusaha menorehkan hal berguna sambil tertatih, bepikir keras soal eksistensi sambil merintih, dan merutuki semua ‘kesialan’ sambil bersedih. Tapi sudahlah, toh mereka sudah punya penerus yang elok buat dipamerkan, pun empuk untuk dihujani berbagai macam pujian. Kehadiranku, sih, tidak lebih dari visualisasi tak berarti atas sebait nama di urutan terakhir Kartu Keluarga, atau personel tambahan saat sesi foto kalau-kalau ada angle tertentu yang cuma cocok jika diisi oleh empat orang.
“Lihat kakakmu! Dia—“
—tahi, haha. Apa aku harus berteriak di depan hidung mereka kalau jarak pandangku terhadap segala kelebihan yang dia punya adalah lima juta kilometer? Demi Tuhan kalimat itu mesti segera dipensiunkan! Aku takut mati kalau mendengarnya terus, karena jika dibandingkan AIDS tentu kalimat itu jauh lebih mematikan. Gara-garanya hidupku jadi tak keruan dan dibanjiri keresahan, dari bangun tidur sampai tidur lagi perasaanku tak pernah menentu. Yah, mirip tanggal kiamat lah.
Setiap hari aku selalu mempertanyakan bagaimana hidupku nanti, memeriksa perbekalan yang tak jua terkumpul, mengecek persenjataan yang tak mungkin mendadak canggih tanpa usaha lebih, atau memperbaiki kualitas diri yang mentok cuma segini. Dipikir hal itu tak membuatku menderita, apa? Jadi tolonglah wahai orangtua, berhenti membandingkan aku dengannya. Istilah durhaka telah mengunci mati posisiku; melawan kalian aku berdosa, berdiam diri saja aku sengsara. Jangan salahkan bila suatu hari nanti bara-bara kecil yang menyala jauh di dalam hatiku ini berkobar menjadi begitu besar; mengabukan logika, dan memusnahkan kalian semua.
-fin.
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Bara Dalam Sekam
