by theboleroo
.
“Aku pengin jadi manusia rendah hati dan dicintai oleh mbak-mbak lucu kayak kamu,” kataku ultra jujur sebelum tinjuan malu-malu yang kepalang kencang itu pun akhirnya mendarat.
.
“Aduh!”
Seharusnya aku tidak mengaduh hari ini. Apalagi kalau aduhannya disertai usapan lembut di bahu kiri, tak lupa juga dibubuhi segaris ekspresi sok kesakitan yang pada akhirnya membuat wanita bersurai arang sepunggung itu minggat ke dapur untuk mengaduk panci berisi didihan air, potongan sayur, dan kombinasi bumbu-bumbu yang rumitnya melebihi rumus-rumus di ilmu sains. Aku ingin memukul balik dia, sebetulnya. Tentu dengan cara yang lebih romantis yakni menggunakan bibirku, tepat di pipi kanannya yang tengah merona. Aku meliriknya secara terang-terangan setelah itu, dia yang sadar tengah ditatap cuma merespon dengan seulas raut yang selurus penggaris sebelum akhirnya membuang muka.
Kalian harus tahu, saat itu dia sedang memasak sayur asam; makanan kesukaanku yang merangkap sebagai media yang entah kenapa selalu membuat pria bujang berusia dua puluh enam tahun ini merasa kembali mendiami ruang dan waktu yang serupa dengan ibunya. Ah, kampret. Aku paling benci kalau sudah melankolis begini.
Baiklah, kembali ke soal wanita itu. Jadi sebetulnya bukan tanpa sebab dia memasakanku sayur asam. Kendati ini bukan pertama dan bukan pula yang terakhir, tetap saja kata ‘spesial’ harus disematkan di nama belakang makanan tersebut.
Sayur Asam Spesial.
Tanya, dong, kenapa spesial? Iya, karena sayur itu dibuat atas permintaan khusus dariku. Aku sedang berlagak sok manja hari ini. Maklum, sedang ulang tahun. Dia benci penindasan bentuk apa pun, sebetulnya. Termasuk disuruh masak. Mungkin karena dia sadar kalau masakannya enak, makanya dia jual mahal dan suka sedikit menyebalkan kalau merasa dibutuhkan. Tapi tak apa-apa, sih. Buatku dia tetap wanita paling greget yang pernah kutahu.
Sebut saja kami berteman meskipun terkadang terlalu intim. Sungguh, ini semua bukan keinginan kami. Semua bergulir begitu saja dan… memangnya apa yang bisa kami lakukan selain menikmatinya bersama-sama? Kadang-kadang aku butuh dia, kadang-kadang aku ingin selalu ketemu dia, kadang-kadang aku ingin melakukan segala hal dengannya, kadang-kadang aku tak bisa jauh darinya, dan vice versa.
“Tiup, lilinnya. Cepetan.”
Aku hanya cengo ketika melihat tumpukan gorengan ubi ditata dengan sedemikian rupa di atas piring dan tengahnya diberi satu buah lilin putih yang biasa dipakai untuk menerangi rumah di kala mati lampu. “Fuh!” dan aku pun nurut saja sambil berpikir bahwa lilin itu ukurannya terlalu sadis buat sekadar perayaan ulang tahun.
“Make a wish, dong. Biar kayak orang-orang. Ha-ha-ha.” Dia tertawa garing, aku pun ikutan.
Ya, kami bukan pecinta perayaan ulang tahun. Daripada merayakan ulang tahun, kami lebih suka merayakan kemenangan Real Madrid atas Barcelona beberapa waktu lalu. “Ah, suka alay, deh.”
“Ya biarin lah. Sekali-kali. Kapan lagi kita kayak gini?”
Aku mengela napas pendek, lalu memejamkan mata beberapa detik sebelum mengucap ‘aamiin’ dengan setengah berbisik.
“Udah?”
“Ya, udah. Memang harus gimana?”
Keningnya berkerut, lalu dengan rasa penasaran yang meluber dia pun bertanya, “Harapan kamu apa, kalau boleh tahu?”
Mata kami bersirobok. Aku terdiam sejenak, menikmati momen-momen di mana aku tersesat di dalam matanya yang seteduh langit sore. “Yah, nanti nggak terwujud, dong?”
“Lho? Emangnya kamu pengin wish-nya terwujud? Kupikir perayaan ini nggak seserius itu?”
Aku tersenyum geli, lantas dengan pedenya menjawab, “Aku pengin jadi manusia rendah hati dan dicintai oleh mbak-mbak lucu kayak kamu,” kataku ultra jujur sebelum tinjuan malu-malu yang kepalang kencang itu pun akhirnya mendarat.
“Aduh!”
Ya, aku mengaduh, dan aku sudah membagi alasan mengapa aku mengaduh di hari yang agak spesial ini. Terima kasih.
-fin.
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Mengaduh di hari yang agak spesial