.
Chapter 1
“Kinanti, halo.”
Darma menempatkan diri di sisi meja, duduk di seberang seorang gadis muda. Namanya Kinanti, gadis itu teman seangkatannya di sekolah.
Yang diajak bicara mengangkat kepala, malas-malas melepas earphone saat menemukan siapa yang muncul di hadapannya. Darma lalu tersenyum lebar, katanya sih biar bisa akrab sedikit. Tapi alih-alih senyum sapa yang menawan, senyum yang terlihat malah membuatnya seperti seseorang yang tertangkap basah pup di celana.
“Halo.” Kinanti hanya membalas singkat. Sepasang bola mata gadis itu melirik ke kanan kiri belakang kepalanya, yang Darma artikan bahwa sepertinya kegiatan orang-orang di perpustakaan mulai teralih dengan pemandangan ini.
Dan Darma tahu bahwa ini adalah pandangan yang menarik, karena mereka berdua tidak pernah saling bicara sebelumnya. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang pernah bicara dengan Kinanti seperti ini.
“Kabar baik?” Darma kemudian bertanya.
Kinanti tidak menjawab. Gadis itu hanya mengangkat kedua alis, seolah menertawakan dalam hati pertanyaan basa-basinya yang tidak biasa ini. Tapi segalanya memang tidak biasa hari ini. Darma menyadari—seperti dia yakin Kinanti juga menyadari—bahwa interaksi mereka saat ini sangat kaku dan tidak natural. Tentu saja, kalau bukan karena satu situasi yang mulai mengikat mereka belakangan ini, mereka berdua mungkin tidak akan pernah terlibat dalam perbincangan apapun.
“Eh, pertanyaanya garing ya. Nggak usah dijawab deh.”
Kinanti kini memutar bola matanya. Peringatan pertama buat Darma.
Canggung, Darma mulai mengalihkan tatapan matanya, mengedarkan pandangan ke seluruh aula perpustakaan. Orang-orang yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing kini tampak berhenti untuk menatap mereka. Anak-anak perempuan saling berbisik dan menunjuk-nunjuk ke arah Kinanti, sementara yang dibicarakan terlihat sangat tidak peduli dan hanya duduk diam menunggunya bicara, dagu di pangkuan tangan.
Sesuatu tentang sikap Kinanti sangat membuatnya tidak nyaman, sumpah, bener-bener nggak sopan topang dagu gitu, runtuknya dalam hati.
“Sori. Gue cuma mau nyampein pesen emak gue. Katanya lo punya baju udah jadi, emak udah bikin janji sama penjahitnya supaya lo bisa ngepas gaunnya.” Kata Darma kemudian, mengutarakan tujuan awalnya duduk di “kursi panas” itu.
“Kapan? Di mana tempatnya?”
“Di Sarah Athaya bridal, tempatnya bentar…” Darma mengeluarkan ponsel dari saku celananya untuk mengecek kembali pesan yang ibunya kirimkan pagi ini. Dan sambil mencari pesan yang dimaksud, dia melanjutkan kata-katanya, “Kebetulan ntar gue mau ke sana juga ngepas jas, kalau mau kita barengan aja.”
Saat tidak mendengar jawaban dari makhluk di depannya, Darma mengangkat kepala, hanya untuk menemukan Kinanti sudah kembali sibuk menulis sesuatu di bukunya.
Peringatan kedua buat Darma.
Darma mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja—someone is asking for attention here!—tapi Kinanti tidak merespon. Ada jeda hening di antara mereka. Tidak ada suara selain goresan pensil rumus matematika di atas buku latihan yang tengah Kinanti kerjakan, jadi Darma menunggu.
Kinanti masih belum terlihat tertarik dengan tawarannya, dan keheningan itu membuat Darma makin gugup. Anak perempuan itu tidak seharusnya mendiamkannya seperti ini, Darma merasa seperti orang bodoh.
“Earth to Kinanti?” Darma bertanya kembali setelah hampir sepuluh detik berlalu. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku nggak bisa.” Kinanti kemudian menjawab. “Ada les.”
Selesai.
Darma tahu bahwa dia akan mendengar jawaban semacam ini. Oh, sebentar, coret dulu, maksudnya dia memang sempat memikirkannya, tapi tidak menduga akan benar-benar mendengar penolakan semacam ini, dengan cara seperti ini. Dia tahu bahwa Kinanti bukan tipe orang yang akan pergi bersama seseorang yang tidak dia kenal. Tapi bagaimana pun juga, efek penolakan itu membuat segalanya makin canggung.
“Oh, yaudah deh. Lain kali aja kalau gitu.” Sekali lagi Darma menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian beranjak dari meja. Dia segera pergi begitu berpamitan dan memberitahu gadis itu bahwa alamat bridal salon yang dimaksud akan dikirimkannya lewat whatsapp, secepat kilat Darma menghilang dari tatapan keramaian.
Peringatan ketiga buat Darma.
Tidak ada yang tahu betapa kencang jantungnya berdetak saat itu, tapi dia tidak melakukan apapun selain menahan napas hingga keluar pintu perpustakaan.
“Gimana? Gimana?”
“Apa katanya?”
“Nanti dulu, gue napas dulu.” Darma mengangkat satu tangan, menyuruh teman-temannya berhenti bicara.
Menekuk punggung, kemudian bersandar di lutut, Darma menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Dari sela jendela, dia mengintip ke dalam perpustakaan, menemukan beberapa anak perempuan kini menatap dan berbisik-bisik sambil berulang kali menatap ke arah Kinanti—yang sudah kembali tenggelam di buku-buku latihan yang sedang dia kerjakan. Dia tidak perlu menjadi manusia ajaib pembaca pikiran manusia untuk tahu apa yang mereka bicarakan, anak-anak itu jelas ingin tahu apa urusannya mendatangi Kinanti.
Darma tidak ingin terlalu menunjukkan perasaannya, tapi emosi bukanlah sesuatu yang bisa dia sembunyikan dengan mudah. Tidak seperti beberapa orang di sekolah mereka, dia adalah orang yang sangat ekspresif. Mudah bagi banyak orang untuk melihat bagaimana suasana hatinya saat ini hanya dengan melihat caranya tersenyum atau bertingkah.
Dia selalu tersenyum, di manapun, kapanpun.
Hanya saja untuk satu hal yang satu ini masalahnya sedikit berbeda. Darma sudah menjadi teman sekolah Kinanti selama tiga tahun, dan selama tiga tahun ini dia mendengar banyak hal mengenai gadis itu.
Kinanti Adhiswara selalu menduduki peringkat teratas di sekolah. Gadis itu tidak punya banyak teman karena sangat pemilih.Kinanti terkenal hanya berteman dengan para pencetak medali olimpiade sains, atau mereka yang bicara dalam bahasa asing—sekolah mereka seringkali menjadi tujuan para siswa pertukaran dari Amerika. Dan biasanya gadis itu yang diminta untuk menjadi pemandu orientasi minggu pertama, karena dia salah satu dari sedikit orang yang fasih berbahasa Inggris di sekolah ini. Kinanti menghabiskan masa kanak-kanaknya di Amerika sebelum kembali ke Indonesia empat tahun yang lalu, semua orang tahu itu.
Selain prestasi dan segala keistimewaan yang Kinanti tunjukkan di sekolah, tidak banyak yang orang tahu mengenai kehidupan pribadi gadis itu. Penghuni sekolah hanya tahu bahwa Kinanti diantar jemput dengan sebuah sedan mewah berwarna hitam, tapi tidak ada yang tahu siapa laki-laki berjas hitam yang duduk di belakang kemudi. Gosip mengatakan bahwa Kinanti adalah generasi kedua konglomerat yang cukup berkuasa di Negara ini, tapi tidak ada yang pernah mengonfirmasi kebenarannya. Anak perempuan itu tidak pernah membawa satu pun temannya pulang ke rumah, atau bertemu dengan anggota keluarganya.
Spoiler: cuma Darma yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu saat ini.
Darma merasa beruntung, atau, entahlah. Apapun itu. Dulu dia seperti anak-anak lain di sekolah, yang hanya bisa mengangguk dan ikut berspekulasi bila sedang ngerumpi tentang Kinanti dan kemisteriusannya. Tapi segalanya berubah ketika seminggu yang lalu dia bertemu langsung dengan orangtua gadis itu, atau lebih tepatnya, bertemu dengan sang ayah—yang ternyata adalah sopir misterius berjas hitam yang mengantar jemput Kinanti setiap hari.
Kinanti bukan generasi kedua konglomerat yang berkuasa di Indonesia, tapi latar belakang kehidupan keluarga gadis itu bisa dibilang cukup berada. Ayahnya seorang profesor fisika di Universitas Nasional Indonesia, dan mereka tinggal di apartemen yang lumayan besar di area elit Jakarta—area residental yang terkenal sebagai penghunian para selebritis itu.
Gadis itu bermain piano klasik, konon katanya cukup mahir, karena Kinanti sudah memainkannya sejak sangat kecil. Dan menurut ayahnya, Kinanti itu anak yang bandel karena tidak pernah belajar saat di rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu bermain piano atau bersama seorang abang kenalannya.
Darma ingat dia hampir tidak bisa menahan rahangnya menganga saat mendengar fakta itu. Meski tidak heran, banyak yang bilang bahwa Kinanti selalu mengerjakan tugas-tugas—yang seharusnya dia kerjakan di rumah—di sekolah, di saat anak-anak lainnya sibuk mengenyangkan perut di kantin atau tidur-tiduran di UKS saat jam kosong. Gadis itu pada dasarnya jenius. Orang jenius bebas mau ngapain aja buat hidupnya.
Kinanti Adhiswara adalah segala yang disebut luar biasa oleh semua orang, sementara dia biasa-biasa saja. Darma tidak bisa percaya bahwa gadis itu tidak akan lagi menjadi seseorang yang misterius dalam hidupnya. Sebuah pernikahan akan mengikat hubungan mereka, menghilangkan batas keasingan yang dulu menjadi tembok besar bagi dua dunia mereka yang sangat berbeda.
Dia senang, tentu saja. Tapi sejak awal keputusan ini dibuat, gadis itu tidak menunjukkan keantusiasan yang sama. Darma tidak ingin menjadi satu-satunya yang bahagia akan pernikahan ini. Dia hanya ingin semua pihak menikmati keputusan itu dengan senang hati, seperti yang orangtua mereka inginkan. Perubahan yang melingkupi mereka beberapa bulan ke depan mungkin tidak akan mudah, tapi Darma merasa sangat bahagia, karena ini yang orangtua mereka inginkan. Sebagai seorang anak yang berbakti, juga yang sangat mencintai ibunya, Darma cuma bisa mendukung keputusan mereka meski ini juga akan mengubah jalan kehidupannya.
Semua orang berhak bahagia. Tapi kenapa Kinanti tidak terlihat demikian?
“Eh, Bro, dia bilang apa?” Aditya, si cebol berisik yang tidak bisa berhenti bicara itu membuyarkan lamunan singkatnya dengan mengulangi pertanyaannya yang sama.
“Nggak bilang apa-apa. Nganggep gue ada aja, enggak, dianya.” Ujar Darma menjawab, agak kesal. Kepalanya menoleh lagi ke balik jendela. Kinanti masih duduk tenang di mejanya dengan posisi yang sama saat Darma menghampirinya tadi.
“Dih, sumpah, ngeri banget dia. Jutek abis!”
Darma bergidik. Kedua tangannya terkibas di atas kepala, kemudian berlalu pergi meninggalkan perpustakaan. Knocked out.
* * *
Darma Adhitama adalah salah satu siswa populer di SMA Dirgantara. Anak laki-laki itu bermain gitar, tergabung dalam band sekolah, dan seringkali tampil dalam perhelatan pentas seni antar sekolah di Jakarta. Band-nya digilai banyak anak perempuan dari luar sekolah, dan sepertinya itulah yang membuatnya populer di kalangan mereka.
Kemanapun anak laki-laki itu pergi, seluruh mata pasti tertuju padanya. Bahkan tidak sedikit para siswa pertukaran yang tertarik pada sosok lelaki itu tiap kali mereka berpapasan di koridor.
Kinanti mengakui keindahan itu. Darma adalah anak laki-laki yang… atraktif.
Wajahnya kecil, berbentuk oval dengan mata yang besar, dan badannya pun tinggi. Segala kriteria yang tidak biasa terlihat pada ciri khas ras Melayu yang menguasai sebagian besar keturunan asli bangsa Indonesia, terbentuk sempurna pada sosok yang populer itu. Kinanti memang tidak pernah bergabung dalam obrolan gosip anak-anak perempuan di kelas, tapi bukan berarti dia tidak peduli sama sekali. Darma adalah makhluk yang menarik. Anak laki-laki itu seperti asinan mentimun di sepiring nasi goreng istimewa: segar, dan memperkaya rasa bumbu-bumbu yang hambar.
Meski begitu, Darma bukan seseorang yang akan menarik perhatiannya saat mereka bertemu atau berpapasan. Kinanti bukannya benci, atau tidak menyukainya. Mereka hanya tidak pernah saling bicara, dan dia lebih suka bila hubungan mereka tetap saling menjadi sosok asing di koridor sekolah.
“jadi kamu nggak kenal sama sekali sama Darma ini?”
Kinanti mengangguk menjawab pertanyaan itu.
“Meski kalian belajar di sekolah yang sama selama tiga tahun? Kok bisa?”
Lelaki yang melontarkan pertanyaan itu adalah Dewantara, yang telah dia kenal sejak mereka masih tinggal di Amerika dulu. Bisa dibilang lelaki itu adalah satu-satunya teman lelaki yang paling dia percaya, atau yang lebih sederhana, satu-satunya lelaki yang bisa berlama-lama bicara dengannya.
Kinanti mengangguk lagi. “Ya bisa aja, kenapa enggak? Satu angkatan di sekolah aku itu tiga ratusan anak, aku nggak mungkin kenal mereka satu-satu.” Ujarnya.
“Even the popular ones?” Dewantara masih kekeuh dengan pertanyaan serupa, seolah tidak percaya dengan jawaban-jawaban Kinanti sebelumnya.
“Including the popular ones.”
“You’re weird, you know that?”
Bila sebelumnya Kinanti hanya mengangguk dan menggeleng menjawab pertanyaan Dewantara, kali ini dia tersenyum, kecut. “I know, and that’s why you hang out with me.”
Apa yang Kinanti katakan tidak seluruhnya benar. Tentu saja dia tahu siapa Darma sebelumnya, juga teman-temannya yang populer. Kinanti hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Dan tentu saja dia yakin Dewantara pun tahu hal itu, hanya saja lelaki itu tidak berkomentar, hanya diam, dan menutupi gemasnya dengan senyum meledek—seperti biasa.
“Tapi bagus, kan? Kalau dari ceritamu, Darma ini kelihatannya nyenengin orangnya.” Dewantara bicara lagi, masih membahas hal yang sama sejak mereka duduk di meja makan ini, dan itu sudah lima belas menit berlalu.
Kinanti memasukkan satu potongan roll sushi ke dalam mulutnya, berusaha keras untuk mengunyah sementara bahunya terangkat tinggi merespon kalimat lelaki itu.
“Apanya yang bagus? Pernikahan ini nggak ada bagusnya buat aku. Orang asing bakal tinggal di rumahku, nginvasi area pribadiku. Mereka, yang nggak pernah aku kenal, terus tiba-tiba aja, begitu aja tiba-tiba ada di mana-mana di tiap sudut rumah.”
Dari banyak hal yang Kinanti tidak sukai, dia paling tidak nyaman dengan kehadiran orang asing. Selama beberapa tahun belakangan dia hidup dalam lingkaran kecil orang-orang yang sama. Mereka yang mengenalnya sejak kecil, dan memahami siapa dirinya. Dia bukannya seorang asosial. Sebaliknya, Kinanti anak yang mudah bergaul, dan teman yang baik bagi teman-temannya. Dia hanya tidak suka orang asing, apalagi bila orang itu tiba-tiba saja harus berbagi kehidupan dengannya.
Sejak ibunya meninggal, Kinanti semakin tertutup dengan dunia luar. Ini bukan sesuatu yang sengaja dia lakukan. Segalanya terjadi begitu saja. Kinanti tahu kematian ibunya adalah hal yang juga sangat menyakiti ayahnya, dan karena itulah ayahnya tidak memerlukan begitu banyak pertimbangan saat sebuah tawaran datang dari Universitas Nasional Indonesia, memintanya kembali ke Indonesia untuk mengisi kursi pemimpin dekanat di jajaran rektorat universitas itu.
Inilah salah satu alasan mereka meninggalkan kota Boston di Massachussetts, ayahnya memboyong segala yang dia punya, dan memulai kehidupan baru di kota besar ini menjadi salah satu pengajar tetap di salah satu sekolah tinggi terbaik di Indonesia.
Kinanti berusaha untuk menerima bahwa kehidupannya sudah cukup sulit dengan seluruh perubahan yang ada, dan dia kesulitan bila harus menerima satu perubahan lain yang sangat besar dalam kehidupan masa depannya.
Dan sekali lagi, Kinanti bukannya membenci anak itu, bukan juga berarti dia menyukainya. Darma adalah sebuah komplikasi. Anak laki-laki itu membuatnya tidak bisa tidur karena memikirkan ruang bermainnya akan segera dirombak habis. Anak laki-laki itu adalah orang asing yang hanya dia tahu begitu saja di koridor sekolah. Rasanya aneh.
“Terus gimana bu Anita ini? Katamu kalian sudah pernah ketemu dulu, memangnya dia nggak bilang kalau dia punya anak laki-laki?”
Kinanti menelengkan kepala. Bahunya terangkat. Mencoba berpikir sebentar, dan dia gagal mengingat wanita yang Dewantara sebut itu pernah mengatakan sesuatu tentang anak laki-lakinya. Atau mungkin karena Kinanti terlalu sibuk mencerna kabar mengenai pernikahan ini, dia tidak begitu memedulikan hal lain. Ya, sepertinya memang begitu.
“Aku terlalu syok dengan fakta bahwa ayahku mau nikahin temen lama, yang katanya udah puluhan tahun nggak ketemu, hanya setelah dua bulan mereka bertemu. Apa menurutmu aku peduli dia punya anak atau enggak?” Kinanti mengangkat kedua tangannya tidak habis pikir, “Dewantara, my dad is gone. Sekejap aja ayah pasti akan berubah, terus aku nggak akan kenal lagi karena dia terlalu sibuk sama istri barunya. Semua temanku yang punya ibu tiri nasibnya gitu.”
Belum selesai, Kinanti menambahkan, “And sidenote; Darma itu nggak nyenengin. Dia itu…” Dia mengangkat kedua tangannya lagi, kemudian mengepalkan jari-jarinya saat tidak menemukan kata yang tepat untuk disebutkan. “Aku sampai nggak bisa mikir adjective apa yang tepat buat dia.”
Dewantara tertawa. Kinanti tidak tahu apa yang salah dengan kalimatnya, tapi lelaki itu menertawainya.
“Now you think my life is a joke.” Ujar Kinanti sewot. Jari-jarinya pelan mengetuk permukaan meja, membiarkan lelaki itu memuaskan tawanya.
“Maaf. Ya nggak lah, your life is not a joke, Kinanti.” Lelaki itu kemudian berkata, “Kamu mikir terlalu jauh. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti, besok, atau setahun ke depan. Kamu nggak akan pernah tahu kalau ternyata bu Annita mungkin ibu yang baik, yang bikinin kamu sarapan tiap pagi, akan akan ketuk pintu kamarmu tiap malam cuma untuk bilang selamat tidur…”
Kinanti memutar kedua bola matanya, hal-hal semacam itu terdengar begitu muluk di telinganya.
“Hei, berpikir lah yang positif. Nggak ada bapak yang dorong anaknya ke jurang, ini hal yang baik. Kamu hanya perlu menerimanya dengan lapang.”
Untuk kesekian kalinya Kinanti mengangkat bahu. Dia membuang pandangannya ke luar jendela kafe, menatap para pejalan kaki yang berlewatan di sisi jalanan. Diseruputnya kembali mulberry latte yang sejak awal datang hanya dipegangnya dengan dua tangan—sambil menunggu dingin, dan dengan begitu perbincangan mereka mengenai rencana penyatuan dua keluarga ini resmi dihentikan. Untuk sementara.
“And footnote, kamu nggak perlu menemukan kata sifat yang tepat untuk Darma. Dia akan muncul sendiri tanpa dicari. And when you’re able to define the adjective, that’s when your life changes for the better.”
Kinanti menghela napas panjang. Dia benci harus mengakui Dewantara mengatakan yang hal benar, dan dia makin benci karena lelaki itu selalu saja benar.
Memiliki keluarga baru sudah cukup membuat otaknya belingsatan, terutama, karena dia tidak mengharapkan seorang saudara baru lagi. Dan Tuhan seperti sedang memberinya bonus, saudara laki-laki barunya bernama Darma Adhitama—salah seorang siswa di sekolah tempatnya belajar. Siswa populer yang memiliki banyak penggemar.
Penjajahan privasinya akan segera dimulai.
“Nggak bisa, ya, aku tinggal sama kamu aja?”
* * *
.
.
.
edited version of Forsaken. Hope you love it ❤
Filed under: original fiction, series Tagged: Unspoken
