Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[SPECIAL PROJECT] Di Balik Jendela Andrea

$
0
0
original image source: favim.com

original image source: favim.com

-

“Home, is where your heart is.”

Lebaran 1998

Aku Andrea. Andrea Naraya Rahadian, lebih lengkapnya.

Jadi, Mom memberikanku buku kecil ini, bergambar beruang yang memangku bola warna-warni di sampul depannya. Katanya, buku ini adalah hadiah untuk ulang tahunku yang kelima. Mom juga bilang aku jenius. Aku sudah pintar membaca dan menulis sekarang, makanya Mom menginginkanku untuk menulis seluruh ceritaku dalam buku ini.

Uhm. Mikaela sedang sibuk di kamarnya, memasukkan sebagian besar bajunya ke dalam koper, uh, dia tidak akan kabur dari rumah, kan? Karena aku juga melihat dua kakak laki-lakiku yang lain tadi berkeliling sepanjang rumah dengan ransel, berlari-lari menuju Dad yang terlihat sibuk di garasi dengan mobil kami. Iya. Mobil kami luas sekali. Bahkan aku dan Raditya masih bisa bertarung menggunakan pedang-pedangan kami.

Oh, itu Mom memanggil. Baru saja.

Dia menyuruhku naik ke tempat tidur sekarang juga, tidak lupa untuk menggosok gigi dan mencuci kakiku. Dia mengirim Mikaela kali ini, katanya Mom terlalu sibuk dengan barang-barang ini, yang besok pagi harus muat masuk ke dalam mobil.

“Mika, memangnya kita akan kemana besok?”

“Perjalanan panjang, Dre.” Mika menjawabku sambil menggiringku keluar kamar mandi, mendudukkanku di atas tempat tidur, dan membantuku menyisiri rambut panjang sepunggungku. Itu kegiatan favoritnya, omong-omong. “Sudah shalat isya? Kamu makan terlalu banyak waktu buka puasa tadi. Nggak sakit perut?”

Aku mengangguk. “Sudah. Uhm, nggak. Tapi… kita akan kemana? Kenapa Dad daritadi sibuk di garasi?”

Mikaela tidak menjawabku. Ia hanya tersenyum sembari menarik selimutku naik sebatas dada, mematikan lampu kamar, dan mengingatkanku supaya tidak sulit dibangunkan keesokan harinya.

“Tidur nyenyak ya, Dre. Besok aku bangunkan.”

-

Lebaran 2000

Aku ingat saat pertama kali Dad mengajak kami melakukan perjalanan panjang ke Surabaya, kota asal Dad katanya. Adrian dan Julian yang menceritakannya padaku, katanya aku adalah satu-satunya yang tidak menderita mabuk perjalanan. Mikaela terus menggenggam kantung plastik di tangannya, Mom menjaga Adrian dan Julian tetap duduk dan tidak banyak bergerak, sementara Raditya, sama denganku duduk manis di baris kedua tapi tetap saja, Raditya berkali-kali muntah dan aku tidak.

“Dre, minta kue nastar-nya!”

“Ian, jangan buka jendelanya terlalu lebar, ‘nak! Nanti masuk angin.”

Mom, aku nggak buka-buka jendela! Aku baca buku cerita, Mom.

“Ya ampun, bukan kamu, Adrian. Maksud Mom, Julian!”

Mom, Dad, aku mau ke toilet…”

Cuaca panas, dan lagi sepanjang yang kutahu, Kota Semarang bukan salah satu kota yang ada di dataran tinggi macam Bandung atau Lembang. Kami baru meneruskan perjalanan pukul lima pagi ini, bertolak dari Tegal, setelah menginap semalam di rumah teman Dad—dia yang bergantian menyetir dengan Dad dari Jakarta.

Belum sempat Dad membelokkan mobilnya ke pom bensin, Raditya sudah lebih dulu melompat ke arah Mom. Dia melempar sebungkus permen yang semula menjadi objek saling-rebut kami padaku.

Mom! Julian mabuk lagi!”

Dan kejadian selanjutnya akan berlanjut seperti biasanya. Dad akan memarkir mobilnya, kami semua turun, Mom membersihkan Julian, Dad mengurusi mobil, lalu Mikaela akan menjaga kami bertiga di pinggiran toko swalayan. Oh. Terkadang Dad memberikan kami sejumlah uang untuk dibelanjakan, dan itulah bagian yang paling menyenangkan.

“Belikan kue nastar lagi, Mika!”

“Mika, aku mau susu cokelat.”

“Aku! Belikan biskuit yang berselai stroberi untukku dan cokelat untuk Julian!”

-

Lebaran 2003

Aku terus-terusan bersembunyi di balik tubuh Raditya semenjak tamu-tamu mulai berdatangan. Kami baru saja tiba di rumah tak lebih dari satu setengah jam yang lalu, menaruh segala perlengkapan solat, dan melakukan acara sungkeman, seperti yang sering dilakukan setiap hari raya secara turun-temurun.

Adrian dan Julian berkali-kali meninggalkan piring mereka di meja makan karena suara ribut paman dan bibi kami bergantian memanggil dari ruang tamu—Dad anak paling kecil, jadi beliau lebih banyak diam, apalagi Mom.

“Ini Mikaela, Julian, Adrian, Raditya, dan Andrea. Semuanya anak Herman yang tinggal di Jakarta.” Bibi Nana memulai penjelasan sebagai anak tertua. Tiga adiknya yang lain, termasuk Dad sama-sama memasang  senyuman di wajah. “Iya, itu istrinya, Laura. Dari Ohio, iya benar…”

“…sudah mualaf, kok, tadi ikut solat. Cuma masih menolak ganti nama indonesia aja. Nama anak-anaknya aja masih ada unsur amerikanya.”

Aku membiarkan kedua telingaku siap pada posisi siaga, mendengarkan setiap baris kalimat yang dilontarkan Bibi Nana pada setiap tamu. Ini sudah rombongan ketiga yang mendatangi rumah nenek, dan dia masih membawa-bawa topik yang sama. Apa salahnya dengan nama yang diberikan Mom dan Dad?

“Kami tinggal di Ohio delapan tahun.” Dad buka suara, menjawab lontaran pertanyaan dari pria berambut putih yang kelihatannya seumuran dengannya. “Baru balik ke Indonesia waktu Laura melahirkan Raditya. Tepat seminggu kami tinggal di rumah yang sekarang, Radit lahir. Makanya nama Radit yang paling kental unsur indonesianya—“

“Tapi tetap aja anak-anakmu manggil kamu Mom, Dad. Sek nggak ada panggilan lain.”

Aku mendengus. Bibi Nana, dengan logat jawanya yang kental namun menyebalkan, masih sempat-sempatnya membuat Dad dan Mom menunduk di depan rombongan tamu.

Aku meninggalkan pembatas kayu yang membatasi ruang tamu dengan ruang makan dengan hentakan kaki, membuat Julian yang masih sibuk dengan opor ayamnya mengekoriku yang berjalan menuju taman belakang.

“Kenapa, Dre?” Raditya mendatangiku. Dua gelas berisi sirup ada di tangannya dan ia memberikanku salah satunya.

Aku menghela napas. “Bibi Nana ngomong yang aneh-aneh lagi. Kamu nggak dengar tadi?”

“Dengar, kok. Suara dia gede, Dre,” jawabnya, menggelindingkan bola yang kabur dari kaki sepupuku yang masih kecil, Lynneta. “Udahlah, nggak usah kamu pikirkan. Dia itu orangnya memang begitu.”

“Kasihan Mom sama Dad. Aku malas pulang ke Surabaya kalau harus ketemu Bibi Nana tiap tahun begini. Lebih baik lebaran di Jakarta aja…

Raditya terbahak. “Lho… kalau kita lebaran di Jakarta, kita nggak mudik lagi dong? Katanya kamu suka mudik apalagi berangkat malam? Ayolah… yang sebal juga bukan kamu aja, kok. Mika juga…”

“Kita juga!” Iya. Adrian dan Julian pasti selalu ikut-ikutan.

-

Lebaran 2006

“Dre, bajunya ya, jangan lupa.”

Aku mengangguk lesu. Baju sudah, alat solat sudah, semua sudah dan kopernya juga sekarang sedang digeret Adrian ke lantai bawah supaya Dad bisa menyusunnya di mobil.

Sewaktu kembali dari ujung tangga untuk memberikan koperku pada Adrian, aku sengaja melewati kamar Mikaela. Pintunya tertutup. Rapat. Mungkin hanya dibuka tiga hari sekali saat Mbak Rani, pembantu kami di rumah, membersihkannya agar tidak berdebu selama ditinggal sang pemilik.

“Dre, aku pinjam charger kamu ya.”

“Di meja.”

Di mulut pintu, Raditya menghentikan langkah. Dia sudah membawa serta barang yang semula dicarinya, mengantunginya, namun kemudian dia malah menghampiriku yang duduk dengan kaki menggantung di tempat tidur.

“Kamu kenapa, Dre? Julian iseng lagi?” Iya. Semakin ke sini, sifatnya bertolak belakang dengan Adrian yang cenderung pendiam. Uh.

Aku menggeleng. “Mika beneran nggak ikut kita pulang ke Surabaya?”

“Ikut, mungkin. Aku kemarin dengar Mom dan Dad mengobrol,” jelas Radit, memain-mainkan boneka doraemon kepunyaanku, menarik-narik kumis buatannya. “Mika pasti ke Surabaya, Dre, cuma dia nggak semobil sama kita. Mungkin menyusul.”

Nah. Itu masalahnya.

“Oh.”

Raditya menghela napas, mendorongku di dahi cukup keras hingga membuatku berbaring. “Sana tidur. Jangan lupa pasang alarm, ya.”

Biasanya, kan, Mika yang akan membangunkanku pagi-pagi.

-

Lebaran 2008

“Mau buka puasa di mana kita?” Dad bertanya sembari menepikan mobilnya, hendak mengisi bahan bakar.

Mom yang kini ganti membalikkan badan. “Mau makan apa kalian, Sayang? Mau soto ayam? Asal jangan minta makanan sunda aja, ya. Kita di daerah Lamongan, nggak akan ada urab atau ikan asin sambal terasi kesukaan kamu, Dit.”

Aku tidak bergeming, membuat Mom harus mengalihkan pandangan matanya dari sosokku ke sosok Raditya yang duduk tepat di sebelahku. Raditya, yang sadar diperhatikan buru-buru mengangkat wajahnya dari layar ponsel yang ditekuninya sejak tadi, menyenggol lenganku lumayan keras.

“Apa aja, Mom. Aku lapar banget, ya kan, Dre?” jawab Raditya pada Mom, sekaligus menanyakan persetujuanku.

Jadi, aku tak punya pilihan lain. “Iya.”

Aku berhasil menangkap perubahan gelagat Mom walaupun hanya sekilas sebelum beliau kembali memutar posisinya, memberitahu sebuah nama tempat makan pada Dad. Dad mengangguk pelan, kembali menyalakan mesin mobil dan melaju keluar area pengisian bahan bakar.

Alunan lagu Home milik Michael Bublé‎  mengisi ruang hening di udara kemudian, membiarkan masing-masing dari kami tenggelam sendiri-sendiri. Sampai tiba akhirnya Mom meminta Dad untuk menghentikan mobil di depan rumah makan yang dimaksud.

Aku baru akan meraih gagang pintuku ketika Raditya lebih dulu menahan tangan kiriku. “Kenapa kamu, Dre?”

Nggak apa-apa.”

Raditya menghela napas. “Terus tadi maksudnya apa?”

“Bingung. Biasanya kan Adrian dan Julian yang bakal ribut minta makan. Sekarang mereka nggak ada, aku nggak tahu harus jawab mau makan di mana.”

-

Lebaran 2011

Biasanya, selesai kami melakukan acara ‘sungkeman’ yang kata Bibi Nana adalah sebuah acara tradisi keluarga, Raditya atau Mikaela akan menarikku ke taman belakang, membawa serta piring berisi makanan khas di hari raya, lalu menghabiskan hampir setengah hari di sana. Selanjutnya, Julian dan Adrian akan menyusul kemudian, dengan sebongkah besar makanan kecil yang entah mereka dapatkan darimana.

Lalu, sore harinya, Julian adalah orang pertama yang akan memprovokasi Adrian untuk meminjam mobil Dad, berkeliling menyusuri jalanan besar di Surabaya, memborong sejumlah besar jenis petasan entah apa saja namanya. Petasan banting, roket, oh dan kembang api untuk sepupu-sepupu kami yang mereka rasa masih belum cukup umur membakar petasan—dasar kakak sepupu sesat.

Dan demi apapun jenis petasan yang selalu mereka beli, aku merindukan masa-masa itu.

“Radit mana, Mom? Katanya mau menyusul langsung ke Surabaya?”

Mom menghela napas. Dia meletakkan sekotak kecil kue nastar yang dibawa-bawanya sedari tadi, menyusunnya sedemikian rupa di meja rendah di ruang tamu, dan membetulkan letak kotak tisu di sebelahnya.

“Pesawat Radit delay, Sayang. Cuaca di Munich nggak begitu bagus katanya… nggak apa-apa kan? Setelah itu Radit masih punya libur dua minggu, kok. Dia bisa ikut lagi sama kita ke Jakarta sebelum kembali ke sana, ya?”

Aku mendengus. “Mikaela? Kapan dia menyusul dari Bandung? Terus Julian sama Adrian juga, katanya akan datang hari ini? Mereka dapat jadwal keberangkatan pukul berapa?”

“Sayang… Mika harus ada di Bandung dulu sebelum menyusul ke Surabaya. Seperti Mom yang harus ikut Dad, oke? Julian dan Adrian masih di kereta, mungkin nanti sore sampai. Mereka harusnya berangkat kemarin siang, tapi ada kecelakaan kecil di stasiun.” Mom menjawab dengan detil tiap pertanyaanku. “Sabar sebentar, ya? Istirahat dulu, nanti Mom bangunkan kalau mereka sampai.”

Aku menuruti Mom yang kemudian menggiringku ke arah kamar tamu, membukakan pintunya tepat di saat suara ketukan dari pintu depan terdengar nyaring. Rombongan tamu lagi. Entah sudah yang keberapa hari ini. Oh ya, dan seperti biasa teriakan Bibi Nana menyusul kemudian.

Mom mendorongku halus, menutup pintunya perlahan, seolah ia mengerti kalau aku malas menemui siapapun tamu yang berkunjung kali ini. Biarlah. Mom biasanya paling jenius kalau berurusan dengan alasan.

Ponselku bergetar sebelum aku mencapai tempat tidur. Pesan singkat dari Raditya.

Got delayed. But will be there in a flash, I promise. ^^’

-

Lebaran 2013

“Dre… bajunya, Sayang…”

“Iya Mom…

Perjalanan jauh ke Surabaya lagi seperti biasa. Rencana Dad tiap tahun dan tidak pernah berubah, berangkat dari rumah setelah sahur, menepi ke penginapan apapun setelah makan malam, dan melanjutkan kembali esok paginya. Sejak buka puasa tadi, Dad sudah sibuk di garasi, seperti biasa mengatur letak-letak koper, peralatan mandi, oleh-oleh, segala macam.

Mom ada di dapur, sibuk mempersiapkan bekal. Biasanya Dad malas memakan makanan dari hotel untuk sahur berikutnya, jadi Mom harus repot membawa-bawa makanan yang mudah dibawa.

“Koper kamu, Andrea…”

Aku masih ingat betul suara Adrian ketika ia mengetuk pintuku. Adrian adalah tangan kanan Dad dalam urusan mengatur letak koper di mobil, sementara Julian yang bertugas memeriksa keadaan mesin, ban, dan segala macamnya. Tidak salah kalau sejak dulu Julian tergila-gila dengan hal berbau otomotif.

“Ayo tidur, Dre. Besok aku bangunkan.”

Mikaela. Hanya dengan guncangan kecil dari Mikaela dan aku tidak akan terbangun layaknya seseorang yang dikejar mimpi buruk. Jujur saja, semenjak Mikaela melanjutkan studinya di luar kota, Adrian atau Julian-lah yang bertugas membangunkanku—iya, aku memang sulit dibangunkan—dan aku tak bisa bilang kalau cara mereka membangunkanku itu, uhm, tidak sedikit dilengkapi perilaku anarkis. Tidak jarang dengan teriakan kalau ada kebakaran atau gempa bumi.

Lalu, Raditya. Dia hanya berbeda tiga tahun dariku, dan karena sejak dulu kami adalah objek bully paling empuk milik Julian, tak heran ia adalah orang yang paling dekat denganku. Aku ingat dulu Raditya pernah membawaku demi bersembunyi dari keusilan Julian. Ke kamar kosong selain gudang di bagian belakang rumah, hanya karena saat itu Julian baru saja memiliki mainan baru—boneka karet berbentuk tokek. Dan aku benci tokek.

Senyumku terulas begitu saja.

Ini kali pertama rengekanku untuk berangkat ke Surabaya bersama, didengar. Mikaela akan kembali membangunkanku nanti—yah, walaupun rumah ini akan dipenuhi tangisan bayi selama beberapa jam ke depan, like mother like daughter. Adrian dan Julian akan menjadi asisten pribadi Dad lagi—oh, sebentar, sepertinya pintuku diketuk.

“Dre, aku pinjam charger kamu, ya…”

.

***

.

note: didedikasikan untuk Andrea (nama seluruhnya disamarkan), my long, looong best friend yang selalu excited nyeritain seluruh perjalanan mudiknya tiap habis lebaran sampai mulutnya berbusa. ini semua tentang dia. Dre, kalo kamu baca, good luck there yaa! jangan lupa pulang ke Indonesia lagi xD


Filed under: one shot, original fiction

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles