-
“So, Annie, are you okay?” – Michael Jackson, Smooth Criminal
.
Ada satu hal yang kadang ditunggu-tunggu Serra ketika ia tengah duduk berhadap-hadapan dengan seseorang yang tengah menjadi objek interogasinya di ruangan yang kadang dibilang orang-orang sebagai ruang-tempat-terungkapnya-kenyataan.
Dengan ukuran tempat yang tak terlalu luas, sebuah meja besi di tengah-tengah ruangan, dua buah kursi kayu yang diletakkan berhadapan, dan bahkan untuk menambah kesan dramatis yang ditimbulkan, lampu gantung diletakkan di atas kepala mereka—biasanya sengaja dipilih lampu neon yang agak meredup, agar siapapun officer iseng di ruangan lain dapat memberikan tekanan batin khusus pada tersangka mereka untuk mengaku.
Serra telah memulai wawancara ini dengan baik. Mengucap salam dengan sopan saat ia tadi melangkah masuk, membahas satu-persatu kasus dengan lancar—walaupun kenyataannya ia berbohong jika ia mengatakan wawancara ini menarik, karena sepanjang ia memberikan pernyataan, sang tersangka hanya sekadar menjawabnya dengan gelengan, anggukan, sepatah kata ‘ya’, dan yang lebih parah hanya bahu yang mengangkat tak peduli sebagai jawaban.
Hingga pada akhirnya lelaki berpakaian oranye tua di hadapannya itu sontak menegakkan tubuh dengan gerakan tiba-tiba. Sepasang mata bulat dengan iris berwarna cokelat gelap menatap padanya dengan tatapan intens, senyuman timpang, dan helaan napas yang kemudian disusul dengan derai tawa pelan. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh Serra sebelumnya yang akan mengisi acara wawancara siang ini.
“Kau tidak menanyakan bagaimana runtutan kejadiannya pada dua belas kasus yang telah kita bahas, Nona.”
Serra menelan ludah. Itu adalah kalimat terpanjang yang ia dengar meluncur keluar dari bibir lelaki itu sejak kakinya menapak di ruangan ini. “Aku mulai mengantuk dan kau tidak membantu apapun dengan jawaban-jawaban singkatmu yang tak berarti itu.”
“Ini lucu.” Lelaki itu berbicara lagi. “Di antara puluhan kasus atas namaku, kau memilih satu yang ini untuk kujelaskan lebih rinci. Kau tahu? Ini koleksi favoritku. Perjalanan panjang membuat si tua itu berdeguk dalam darahnya sendiri dan akhirnya jatuh. Kau yakin ingin mendengarkanku memutar ulang rol filmnya?”
Gadis itu tidak berbohong jika ia mengatakan lelaki di hadapannya ini berkata dengan nada sopan namun memikat di saat yang bersamaan. Jika Serra tidak segera tersadar bahwa ia tengah berhadapan dengan seseorang yang bertanggung jawab atas puluhan korban di kamar mayat sana, ia bahkan berpikir bahwa orang ini hanyalah mahasiswa universitas biasa yang gemar bermain rubik dan menonton pertandingan sepak bola semalam suntuk.
“Silakan.” Serra menyanggupi. “Kita memiliki banyak waktu.”
Lelaki itu tersenyum, hangat. Rambut cokelatnya bersinar tertimpa cahaya lampu neon yang menggantung saat ia membenahi posisi duduknya.
“Selasa, 21 Mei 2001. Mr. Wolfe ada di ruangannya, seperti biasa memeriksa berkas kerjanya atau terkadang tugas praktikum para murid yang baru saja sampai di mejanya setelah jam makan siang. Terkadang, ia memanggil salah satu dari kami untuk membantunya, atau setidaknya menemaninya mengobrol di ruangan itu agar ia tidak bosan…”
“…maka aku ada di sana untuk menemaninya memilah tugas praktikum, mengurutkannya dengan hati-hati sesuai huruf depan nama-nama kami. Tentu saja aku harus mendengarkan juga ocehan membosankannya selama itu. Tentang koran pagi yang ia baca, tetangganya yang gemar buang angin sembarangan, atau anjingnya yang kadang terbangun tengah malam.”
Serra mengangkat sebelah alisnya. Heran. “He doesn’t sound like an old-crazy man trying to affect some damage on you. Dia hanya seorang dosen yang membutuhkan seseorang untuk menghiburnya di tengah kepenatannya memeriksa tugas-tugasmu.”
Sang tersangka tersenyum. “He is. He’s the kindest lecturer I’ve ever seen in my life, if you want me to tell you the truth, Miss. Ia menceritakan banyak hal padaku. Mulanya hanya pada sekadar hobi, makanan kesukaan, dan cerita-cerita singkat ketika dirinya seumuranku dan menimba ilmu di universitas yang sama. Tapi kemudian, ia membagi rahasianya denganku—“ suara lelaki itu menipis, “—tentang sebuah obsesi.”
Suara decitan pelan, dan Serra yakin itu berasal dari ujung keempat kaki kursi yang terseret di atas lantai berubin yang jarang disapu maupun terkena lap basah untuk setidaknya mengusir debu. Lelaki itu baru saja menggeser kursinya, membawanya lebih dekat satu ubin dari ujung meja di hadapannya.
“Dia bercerita padaku, bahwa obsesinya kadang membuatnya hilang arah, gelap mata, dan seolah membohongi istrinya yang tengah mengandung anak mereka yang ketiga. Penyakit busuk. Sebuah dorongan semu hawa nafsu yang seketika akan mengecoh jalan pikirannya yang lurus sehingga menikung, setiap kali melintas di hadapannya seorang gadis muda—“ waktu singkat untuk mengambil napas, “—seumuranmu kira-kira, untuk lebih spesifiknya. Entah sudah berapa mahasiswi di kampus yang menjadi korbannya. Kau bisa mengerti kemana arah pembicaraan ini, Nona. Aku tak akan membahasnya lebih jauh. Kau cukup dewasa untuk bisa mencernanya, kupikir.”
Serra masih bungkam.
“Obsesi; gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan.” Lelaki itu melafalkannya dengan lancar, membenahi posisinya lagi sehingga kini ia bisa melipat kedua tangannya di atas meja. “Aku baru mengerti definisi ini dengan baik setelah ia menceritakan panjang lebar seluruh pengalamannya selama ini.”
“That doesn’t make sense, Mr. Lu.” Serra memotong. “Jika ia memang harus mati untuk membayar dosanya, maka kematian itu seharusnya bukan di tanganmu. Gadis-gadis itu yang seharusnya bertindak, atau membalas dendam entah apa namanya. You have no right. You have nothing related with his sick obsession, for God’s sake.”
Lontaran tawa kering dari sang tersangka. “Kau tidak mengerti, Nona,” responnya. “Ketika ia terbaring tanpa nyawa di kakiku, dengan wajah dan pakaian yang perlahan berubah warna karena darahnya sendiri… di saat itulah aku mengerti apa yang menjadi obsesiku. Gangguan jiwaku. Aku baru benar-benar sadar, bahkan setelah aku melakukan hal ini pada lima orang sebelum Mr. Wolfe.”
Decitan kursi kayu lagi, dan dalam jarak pandang sedekat ini, Serra baru benar-benar mengerti akan kenampakan wajah lelaki itu. Kerutan halus yang tidak benar-benar nyata di sudut kedua matanya saat tersenyum tidak simetris, garis rahang yang tegas, dan plester murahan yang menutupi luka entah apa di bawah tulang rahangnya.
Iya. Penampilan yang menipu. Tangannya telah dibasahi darah orang-orang tak bersalah, indera pendengarannya benar-benar telah merekam dengan baik teriakan putus asa dari setiap korbannya, dan jika ada suatu alat yang dapat mengekstrak memori seseorang, maka Serra berani bertaruh, folder yang menyimpan file bersangkutan itu ada di sana dan tersimpan dengan sangat apik.
“Kau gila.”
“Yes, I am.” Aroma mint membubung ke udara saat lelaki itu kembali bersuara. Ia bangkit, berjalan memutari meja, dan berdiri di belakang sosok mungil Serra, bahkan sebelum gadis itu sadar pada apa yang tengah terjadi saat ini. Sang tersangka membungkuk, berbisik di telinga Serra dengan nada yang sama. “And you know what? I can thrill you more than any ghost could ever dare try.”
Congratulation, Serra Huang. Skakmat.
.
.
You’ve been hit by,
You’ve been struck by,
a Smooth Criminal.
***
note: Signed, Sealed, Delivered: original song by Stevie Wonder. Smooth Criminal: original song by Michael Jackson.
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: EXO, EXO-M, Xi Luhan
