-
Previous Chapter
Musim panas 2011, Luhan mengajak Jo ikut serta dalam liburan singkatnya di Ulsan. Di sana dia mengenalkan Jo dengan teman-teman kecilnya; Byun Baekhyun, Park Chanyeol, Lee Taemin dan Kim Jongin.
Jo baru pernah melihat sisi baru dari karakter Luhan bersama teman-temannya yang super jahil dan–apa yang dia sebut dengan–liar. Teman-teman Luhan menyambut Jo dengan antusias dalam dunia persahabatan mereka sekaligus korban kejahilan mereka. Dan dalam permainan favorit lima laki-laki ini, Jo ditantang untuk menari di dance battle ekstrim bersama Kim Jongin. Sebuah panggung kecil yang berhasil mempermalukannya, dan memori yang tidak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun.
-
20 April 2012
“Ya, ya, aku sudah dekat. Kalian jangan bergerak dari sana.”
Kau mempercepat langkahmu begitu memutus sambungan telepon dari Luhan. Kini kau akan menemuinya di kafe Mango6 dekat taman Hongdae seperti yang anak laki-laki itu beritahu padamu di percakapan kalian sebelumnya.
Hari ini Luhan berulangtahun, dan entah kenapa dia ingin merayakan ulangtahunnya biasa saja kali ini. Tiap tahun biasanya teman-teman Luhan maupun Minseok mengadakan kejutan dan perayaan kecil-kecilan dengan cake kecil yang akan dimakan bersama anak-anak seluruh kelas. Tapi Luhan telah mewanti-wanti para gadis ‘penggemar’nya agar tidak membuat event apapun untuknya, jadi tidak seperti tahun sebelumnya, kali ini tidak ada lagi gadis-gadis yang berkerumun di koridor kelas dan anak-anak yang menyanyikan lagu selamat ulang tahun selepas sekolah.
Mungkin juga karena ulang tahunnya bertepatan pada hari Sabtu, jadi tidak ada kegiatan sekolah yang memungkinkan perayaan semacam ini diadakan di dalam kelas mereka.
“Ah, itu dia.”
Kau melambaikan tanganmu tinggi di atas kepala dengan riang merespon seruan Minseok saat melihatmu menghampiri mereka dengan setengah berlari. Kedua laki-laki itu baru saja keluar dari cafe dan kau sengaja menabrakkan diri, dengan dua lenganmu terlentang lebar memeluk mereka berdua.
“Kalian sudah lama?” kau bertanya begitu melepaskan dirimu dari mereka.
“Hum. Kami jalan-jalan dulu tadi selama menunggumu datang.” Luhan menyeruput Americano dari sedotan gelas plastiknya, dan memberimu gelas lain minuman yang telah dia belikan untukmu.
Kau menyeruput minuman panas itu, dan menarik bibirmu dalam bentuk senyum yang dramatis dengan tarikan napas dalam, menghirup wangi tehnya. Vanilla Greentea. Luhan selalu tahu minuman yang kau suka. Kau berterima kasih padanya.
“Apa itu?”
Saat Minseok menunjuk sebuah kotak kecil yang kaubawa, kau langsung memberikan kotak itu pada Luhan. Cepat atau lambat Luhan pasti akan menagih hadiah yang kausiapkan untuknya, jadi sebelum anak laki-laki itu meminta, kau memberinya terlebih dulu.
“Kesukaanmu. Hadiah ulang tahun.”
“Apa ini? Cake?” Luhan membuka kotak cake yang kauberikan, dan ekspresi pertama yang dia tunjukkan adalah bibirnya yang mengerucut.
“Ah, mwoya~ kau bahkan tidak repot membuatnya sendiri.” Anak laki-laki itu memprotes, sementara Minseok tergelak di sampingnya.
Kau menggaruk belakang kepalamu yang tidak gatal. Respon semacam ini sudah bisa diduga saat pertama kali kau berpikir apa yang harus kaubelikan untuknya. Kau tidak punya banyak waktu untuk memilih sebenarnya, bahkan kalau Minseok tidak mengingatkanmu tentang hari ini, kau tidak akan pernah ingat akan ulang tahun Luhan hari ini.
Selama sebulan belakangan ini kau terlalu disibukkan dengan kegiatan sekolah, mengejar materi yang sempat tertinggal karena jadwal latihan balletmu kadang membuatmu harus meninggalkan sekolah. Ditambah lagi kau akan mengakhiri tahun terakhirmu di sekolah lebih cepat untuk persiapan pertunjukkanmu di Rusia, karena itu kau harus menyelesaikan sekian banyak rangkaian tugas untuk beberapa bulan mendatang.
Di waktu yang sempit itu kau tidak sempat berpikir hal lain selain tugas-tugas sekolah yang menumpuk, maupun koreografi rutin latihan ballet, jadi tadi kau menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah toko cake di dekat akademi dan membeli Opera Cake kesukaan Luhan berukuran kecil yang bisa kalian makan bersama.
Seraya menutup kotak cake itu kembali, Luhan kemudian membuka dompetnya, mengeluarkan selembar uang 10,000 Won dan memberikannya pada Minseok yang masih tergelak menertawakan pemandangan ini.
“Kami bertaruh apakah kau akan datang dengan membawa hadiah ulangtahunnya atau tidak. Lihat kan, kau tidak bisa mengandalkan anak perempuan ini dalam situasi sekarang.” ujar Minseok yang menjawab kebingunganmu melihat tingkah mereka.
“Aku membeli cake.” Kau membela diri.
“Cake tidak bisa disebut hadiah ulangtahun, Tiger. Cake itu pelengkap.”
Minseok kembali terbahak makin keras.
“Baiklah, karena ini ulangtahunmu, apa yang kauinginkan? Aku akan belikan.”
“Wow, tawarannya boleh juga.” Ujar minseok berkomentar.
Luhan menoleh padanya, “Begitu?”
“Hum.” Minseok mengiyakan. “Itu berarti dia akan membelikan apapun yang kau inginkan.”
Untuk sesaat dua laki-laki itu saling berpandangan, seperti sedang berkomunikasi dalam diam hingga Luhan kemudian membuka mulutnya membentuk huruf O besar dan mengangguk mengerti. Dia kemudian menoleh padamu.
“Apapun yang kuinginkan?” Anak laki-laki itu kemudian bertanya, memastikan sesuatu.
Kau tahu jelas apa arti ekspresi yang tergambar di wajah Luhan maupun Minseok. Sepertinya mereka menemukan sesuatu sebelum bertemu denganmu sore ini, dan melihat Luhan bertanya seperti ini, kau yakin apapun itu yang ada di kepalanya, pasti tidak jauh dari kata limited edition atau sesuatu yang bermerek MCM. Tapi galeri MCM terdekat di sini berada di Myeongdong, jadi kau mencoret brand mahal ini dari kepalamu.
Fyuh…
“Oke, apapun yang kau kauinginkan.”
“Deal.” Luhan kemudian menjabat tanganmu, meresmikan persetujuan kalian.
Kau hanya bisa berharap Luhan tidak berpikir untuk benar-benar merampokmu hari ini. Tidak seperti bila berdua saja, Luhan berubah dari seorang laki-laki yang manis menjadi setan yang menyebalkan bila sedang bersama Minseok—meski levelnya masih di bawah ketidakwarasan teman-teman kecilnya.
Dan tiba-tiba saja kau teringat sesuatu. Sejak seminggu yang lalu Luhan terserang flu berat. Selama setidaknya beberapa hari ke belakang, dia hampir tidak bisa berhenti bersin dan batuk, yang mengharuskannya memakai masker dan menggantinya tiap beberapa jam sekali.
Kau baru menyadari anak itu terlihat jauh lebih segar hari ini. Dia hanya memakai kaos panjang berbahan tebal, dan celana pendek berwarna terang dengan sneakers MCM kesayangannya. Tidak ada masker, tapi di tangannya tergenggam segelas Americano dingin.
“Bagaimana flumu? Lebih baik?” kau bertanya kemudian, tanganmu di dahinya.
Flu ini sudah seperti tamu tahunan bagi Luhan. Meski dia seorang atlet fulltime di tim sepakbola sekolah, Luhan tidak memiliki daya tahan tubuh setinggi teman-temannya. Hampir tiap pergantian musim, dia selalu terserang flu. Bila staminanya sedang baik, flu itu hanya membuat tubuhnya demam dan pilek selama tiga atau empat hari. Tapi bila sedang tidak fit, flu ini bisa membuat tenggorokannya ikut meradang karena batuk, hingga paling parah membuatnya menginap semalam atau dua malam di rumah sakit.
Luhan sepertinya agak terkejut saat tiba-tiba kau menanyakan keadaannya. Dia hanya mengangkat kedua alisnya tinggi sebelum sebuah senyum kembali muncul di sudut bibirnya seraya menoleh ke arah Minseok. Luhan menaruh tangannya di udara, menerima selembar uang 10,000 yang sebelumnya anak laki-laki itu berikan pada Minseok.
Kau memutar bola matamu melihatnya—mereka pasti menggunakan refleksmu ini menjadi bahan taruhan lagi.
Dan Luhan tertawa kecil sebelum menjawabmu.
“Aku baik-baik saja. Aku dan flu setuju untuk mengadakan gencatan senjata hari ini.” jawabnya, masih dengan tawa geli yang menguasai dirinya karena permainannya bersama Minseok berakhir impas. Kau sungguh tidak ingin tahu apa saja yang sudah mereka bicarakan.
“Karena itu dengan bijaksananya kau memutuskan untuk minum Americano Ice?”
“Tenanglah, Mama. Esnya hanya sedikit, tidak terlalu dingin.” Luhan menjawabmu dengan nada yang tipikal, mengolok-olok perhatianmu bila kau mulai terdengar seperti ibunya.
Kau ingin sekali menjitak kepalanya bila dia sudah bersikap seperti ini, tapi karena ada Minseok, kau menahan diri. Kau tidak ingin menjadi sasaran kejahilan gabungan dua laki-laki itu hari ini, terus terang saja, kau sedikit lelah untuk berperang melawan mereka karena bagaimanapun kekuatanmu tidak akan pernah imbang bila seorang diri saja.
Jadi kau hanya mengangguk, lalu mengaitkan lenganmu di masing-masing siku kanan kiri mereka. Kalian bertukar satu dua pertanyaan lagi hingga Luhan mengajak kalian berputar balik menuju suatu tempat untuk membeli hadiah ulangtahunnya.
Tidak lama kalian berjalan, dan kau sudah tahu ke mana Luhan akan berbelok saat kau melihat galeri Adidas tak jauh di depan. Melihat bagaimana pelayan toko menyapa Luhan dan Minseok, kelihatannya mereka sudah berkunjung ke sana sebelumnya.
Dan jelas saja tebakanmu. Tanpa membuang waktu, Luhan menarikmu ke satu sudut area sepatu sepak bola dan menunjuk salah satu model di bagian limited edition display.
Benar, kan.
“Aku mau itu.” Tunjuknya seraya memberitahumu.
Kau tidak tahu apapun mengenai sepatu sepak bola kecuali harganya yang cukup mahal. Anehnya adalah Luhan mengoleksi banyak sepatu bola di rumahnya. Kau tidak mengerti kenapa anak laki-laki itu bisa memiliki hampir dua puluh pasang sepatu sepak bola, padahal bentuknya sama saja.
Tapi kalau dipikir lagi, Luhan memang seorang kolektor. Selain sepatu sepak bola, kau menemukan banyak koleksi jam tangan, berbagai macam topi dan benie, segala macam produk MCM dari tas punggung hingga dompet. Anak laki-laki itu berbelanja jauh lebih sering daripada kau sendiri.
Untungnya hari ini kau membawa kartu kredit milik ibumu, dan kau belum menggunakan jatah limit bulananmu bulan lalu, jadi kau berpikir untuk menggunakannya saat ini.
Yang kausuka dari Luhan adalah, meskipun anak laki-laki ini hobi sekali belanja, kalian tidak perlu memerlukan waktu lama untuk memilih ini dan itu. Dia tipe seseorang yang akan langsung membeli barang yang dia suka. Kau sudah menyiapkan dompetmu saat Luhan meminta penjaga galeri itu untuk mengambilkan nomor model sepatu yang dia inginkan, ketika ternyata stok nomor sepatu itu—kosong.
Luhan mengerucutkan bibirnya, cemberut.
“Bagaimana kalau kita ke Myeongdong saja?”
Dan inilah yang tidak kausuka dari ambisinya bila sedang berbelanja. Dia seseorang yang tidak akan menyerah bila tidak mendapatkan barang yang diinginkannya, dan akan mengejarnya sampai ke manapun hingga barang itu berada di tangannya. Bahkan Minseok pun menyadarinya, dan dia hanya memandangmu dengan tatapan bertanya.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu dan cari lainnya? Siapa tahu ada yang kausuka di sini. Kalau tidak ada juga, aku akan menemanimu besok ke Myengdong untuk membeli sepatu itu.”
“Tapi tidak ada yang kusuka di sini.” Ujar Luhan masih cemberut.
“Kau pasti akan menemukan sesuatu. Ayolah, kita lihat-lihat dulu.”
Tidak mudah untuk bisa membujuk Luhan tetap tinggal di sana, karena suasana hatinya dirusak oleh stok sepatu yang tidak bisa dia dapatkan. Setidaknya, selama setengah jam kalian kerepotan karena Luhan tidak bisa berhenti bicara tentang sepatu yang diinginkannya itu.
Kau menggeretnya menyusuri shopping street yang ramai dikunjungi para kaula muda. Berhenti dari satu butik ke butik lain, lapak satu ke lapak yang lain agar bisa mengalihkan perhatian Luhan dari sepatu sepak bola itu. Awalnya memang sulit, tapi untungnya ada Minseok di sini bersama kalian. Anak laki-laki itu memang pakarnya bila harus melunakkan laki-laki keras kepala yang satu ini.
Luhan mulai teralihkan saat kau bertanya tentang hadiah ulangtahun dari Minseok. Dengan bersemangat dan senyum lebar Luhan memutar moncong topi snapback-nya dan menunjukkannya padamu. Minseok ternyata membelikan topi itu untuknya sekaligus untuk dirinya sendiri, yang baru kausadari ternyata sama persis seperti yang Minseok pakai saat ini, hanya berbeda corak warna.
Topik pembicaraan kalian kemudian berkembang seputar aneka topi yang dijual di beberapa toko di sepanjang jalan itu. Entah bagaimana caranya Minseok mengubah suasana pahit di hati Luhan menjadi obrolan laki-laki yang hanya mereka berdua yang tahu maksudnya. Jadi kau sibuk sendiri dengan ketertarikanmu pada beberapa penjual asesoris yang kalian lewati.
Hongdae adalah tempat favoritmu bila sedang ingin berjalan-jalan. Butik-butik fesyen gaya remaja dan dewasa muda berdiri berderetan menyediakan berbagai macam produk pakaian, sepatu hingga asesoris untuk seluruh badan dan benda elektronik.
Dalam sekali jalan itu kau membeli gantungan untuk hiasan tas berbentuk boneka bantal yang dibuat dari kain perca dan busa, menjadi berbagai macam model hewan sebesar jari hingga telapak tangan buatan sendiri. Seorang mahasiswa menjualnya di depan pintu butik langgananmu.
Tiap hari Sabtu ada semacam ‘free market’ di mana para pedagang indie—yang sebagian besar adalah mahasiswa universitas Hongik dan Ehwa—menjual hasil karya mereka di sepanjang jalan dekat taman Hongdae. Dan ini adalah salah satu spot favoritmu di sana; memanjakan mata dengan benda-benda unik, sembari menonton para musisi jalanan bermain musik di pinggir taman.
Kau membelikan Luhan dan Minseok hiasan tas itu dengan boneka-boneka yang berbeda, lalu menyimpan dua lagi untuk Baekhyun dan Chanyeol yang akan bergabung bersama kalian nanti. Karena coklat membuat suasana hatinya lebih ceria, kau pun membeli beberapa batang coklat Hem, yang langsung dinikmatinya saat itu juga.
Luhan sudah mulai tenggelam dengan ketertarikannya memilik-milih topi, masih di area free market, di saat yang sama kau juga tertarik dengan beberapa fedora yang tergantung di sana. Minseok sedang membantumu menilai warna dan model yang kauinginkan saat tiba-tiba saja Luhan mendekati kalian dengan sebuah kotak kecil di tangannya.
“Ini bagus, tidak?”
Kalian berdua menoleh saat Luhan menunjukkan barang temuannya. Sepasang cincin setebal 2mm yang sangat sederhana. Kau menyukai cincin itu saat pertama kali melihatnya, yang terlihat sangat elegan meski modelnya biasa saja. Bersamaan, kau dan Minseok mengangkat ibu jari kalian.
“Sepasang 5,000.” Ujar Luhan lagi, dengan senyum lebar. Laki-laki itu lalu menaruh tangannya di udara, menunggumu memberinya uang.
Kau dan Minseok hanya saling berpandangan saat Luhan membayar cincin itu dengan uangmu, masih tidak yakin kenapa anak itu membelinya karena setahumu Luhan tidak pernah terlalu suka memakai cincin sebelumnya. Tapi saat dia kembali dan memasangkan satu cincinnya untukmu, kau mulai mengerti maksudnya.
Couple ring itu untuk kalian berdua.
“Oke! Ini hadiah ulangtahunku!” Luhan kemudian berseru seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kau menatap cincin berwarna perak yang kini terpasang di jari manis kirimu dengan alis terangkat, tidak menduga bahwa akhirnya kau tidak perlu menggesek kartu kreditmu untuk memuaskan keinginan Luhan. Hanya dengan selembar uang 5,000, untuk pertama kalinya kau melihat Luhan sepuas itu.
“Jangan pernah melepaskannya, oke?”
“Oke, tapi kurasa ini tidak akan tahan lama.” Kau berkomentar, seraya mengamati cincin di tanganmu. Tentu saja, apa yang kauharapkan dari cincin seharga 2,000 won?
“Jangan pernah melepaskan cincinnya.” Luhan mengulangi kalimatnya, kemudian tersenyum. “Setidaknya selama cincin ini masih bisa dipakai. Thank you!” Ujarnya seraya menepuk lembut kepalamu.
.
Hari sudah hampir gelap saat kalian sampai di Kongbul. Antrian orang-orang untuk masuk ke restoran itu akan semakin panjang menjelang makan malam. Untungnya kalian tidak perlu menunggu lama untuk masuk, karena Luhan sudah memesan meja sebelumnya.
Baekhyun dan Chanyeol bergabung beberapa menit setelah kalian tak lama duduk mengantri, kau memberi mereka hiasan tas yang kaubeli untuk keduanya dan karena itu Baekhyun akhirnya bersikap manis padamu—setidaknya selama kalian menunggu. Tidak sampai lima menit kemudian seorang pramusaji mengantar kalian ke dua meja di sudut ruangan.
Kalian sudah biasa mengunjungi tempat ini, salah satu restoran yang menunya adalah favorit Minseok dan Luhan, sebuah menu dengan bulgogi, taoge, udon, ddeok, dan keju yang dicampur gochujang dan dimasak di atas wajan datar dengan kuah pedas. Karena kau alergi dengan makanan laut, Luhan memesan sebuah 1 menu kongbul untukmu dan dua set lengkap Ohsamkongbul dengan tambahan potongan cumi-cumi untuk para lelaki.
Kembali bertemu dengan Chanyeol dan Baekhyun berarti dimulainya lagi episode plot kejahilan mereka. Mereka berdua mengulangi lagi cerita favorit yang sepertinya akan selalu menjadi topik yang akan selalu dibicarakan tiap kali kau berada di sekitar mereka. Dan kali ini, mereka menceritakannya untuk Minseok.
Ya, apalagi kalau bukan sehari liburan musim panasmu bersama mereka. Dan kau hanya bisa menutup wajahmu karena malu sementara mereka tanpa bisa berhenti tertawa menjadikanmu topik bulan-bulanan sepanjang obrolan itu.
Kalian menikmati cake yang kaubeli sembari menunggu pramusaji memasakkan pesanan kalian, membuka hadiah dari Baekhyun dan Chanyeol. Dua anak laki-laki itu membeli kamera polaroid—kau yakin ini sebenarnya modus saja. Baekhyun suka sekali mengabadikan momen pribadinya di dalam kamera, dan dia pasti merayu Chanyeol agar mereka membelikan kamera itu untuk Luhan. Dan kalian pada akhirnya menghabiskan dua kotak polaroid selama makan malam itu untuk mengambil berbagai foto dengan beragam pose.
Mereka berdua juga membawa hadiah titipan dari Taemin dan Jongin, tapi sebelum membukanya, Chanyeol sengaja menghubungi dua anak kembar itu dengan ipadnya dan ipad milik Luhan. Suasana reuni kembali menguasai mereka dalam sekejap, meramaikan dua meja yang kalian duduki, sementara Luhan, Chanyeol dan Baekhyun memulai obrolan mereka dengan Taemin dan Jongin melalui Facetime—di saat yang sama Minseok sibuk membantumu menghabiskan kongbul untuk porsi dua orang itu.
Kau menyadari sepenuhnya perhatian para pengunjung yang mulai menaruh kedua mata mereka ke arah kalian tiap saat, selain karena tiga lelaki di hadapanmu ini sangat berisik, mereka berbicara dengan Taemin, seorang selebritis rookie yang ketenarannya melejit tinggi sejak grupnya debut di industri musik.
Anak laki-laki itu menyapamu dengan ramah, dan kau mengenalkan Minseok padanya. Kalian mengobrol beberapa saat. Dia memberitahumu bahwa saat ini grupnya sedang menunggu giliran tampil di panggung musik akhir minggu—ini menjelaskan penampilannya yang full-makeup dan kostum siap unjuk gigi.
Entah kenapa jantungmu mulai berdegup lebih kencang saat mendengar Jongin menjawab panggilan Luhan untuk pertama kali. Ketika Luhan mengarahkan layar ipadnya ke arahmu agar kau menyapanya, kau melihat Jongin tersenyum simpul melambaikan tangannya seraya menyapa dengan ‘annyeong’ pendek.
Kau berusaha untuk mengalihkan perhatianmu dengan mengobrol bersama Minseok di sampingmu dan meneruskan makan, tapi kau tidak bisa menutup telingamu begitu saja, dan tidak mendengarkan apa yang Luhan obrolkan bersama Jongin—terutama saat kau mendengar laki-laki itu tertawa. Kau rindu dengan tawanya yang segar.
Tidak. Kepalamu menggeleng cepat, kau harus melupakan apapun yang baru saja kau pikirkan.
“Minseok ah, suruh mereka campurkan nasinya.”
Minseok melakukan apa yang kauminta, memanggil pramusaji untuk membawakan semangkuk nasi yang kemudian dicampurkannya ke dalam kongbul, menjadi adonan nasi goreng basah yang kausuka. Kau harus benar-benar mengalihkan perhatianmu, dan dengan lebih banyak makan adalah cara terbaik melakukannya.
Saat Luhan membuka hadiah titipan dari Jongin dan Taemin, kau sedikit melonggarkan ketidakacuhanmu karena ingin tahu. Baekhyun dan Chanyeol tidak bilang apa saja yang mereka siapkan untuk Luhan, dan hanya tertawa saat anak laki-laki itu mulai membuka hadiahnya satu persatu. Taemin membelikannya sebuah T-shirt Abel Skull dari John John dengan desain tengkorak grafis berwarna putih.
“Oh, aku pernah melihat Ian Somerhalder memakai kaos ini di artikel berita kemarin.” Kau berkomentar menunjuk kaos yang coraknya sama persis seperti yang pernah kaulikat. Taemin mengiyakan komentarmu, bahwa dia membeli kaos itu lewat internet—atau lebih tepatnya, menitip teman grupnya saat sedang belanja di internet.
Membuka hadiah yang kedua, Jongin, dibantu Baekhyun, menyiapkan lima bengeoppang yang dibungkusnya dalam sebuah kotak kado dengan pita merah. Luhan membagikannya untuk kalian berlima, dengan dahi berkerut tidak mengerti kenapa Jongin memberinya hadiah semacam ini.
“Kau ingat dulu kita sering membeli bungeoppang, kan? Di kedai Hwonbin hyung, di dekat taman belakang rumah Baekhyun itu? Aku sendiri terkejut ternyata dia masih berjualan sampai sekarang, jadi aku menyuruh Baekhyun untuk membelinya supaya kalian ingat kita pernah sangat menikmati kue buatannya. Hingga saat ini.” ujar Jongin menjelaskan saat Luhan menanyakan alasannya memberi kue-kue itu untuknya.
“Cute,” Minseok berkomentar padamu seraya menggigit ekor kue berbentuk ikan itu. Kau mengamini komentarnya dengan anggukan sekilas.
Para lelaki itu saling bicara sambil menikmati dan memamerkan makanan yang mereka makan. Luhan juga tidak lupa memamerkan cincinnya pada dua laki-laki di layar ipad, dan juga couple hat yang Minseok belikan untuknya.
“Jo yang membelikannya untukmu, atau kau memintanya membelikan cincin itu untukmu?” Taemin bertanya setengah tertawa.
“Aku yang minta dia belikan.” Ujar Luhan yang kemudian menertawai jawabannya sendiri, “Bagaimana menurutmu? Bagus, tidak?”
“Hum, gwiyeowo.” Jongin menjawabnya, “Tapi kelihatannya tidak akan tahan lama, warnanya akan berubah kebiruan kalau terus dipakai. Apa tangannya akan baik-baik saja?” Seketika kau menatap cincin di jari tanganmu saat mendengar Jongin menanyakan hal ini. Kau memang tidak memiliki alergi tertentu terhadap logam, tapi mendengar Jongin menanyakanmu, bagaimanapun juga membuatmu tersipu.
Minseok menangkap gelagat ini. Kau menggaruk-garuk pipimu alih-alih menyembunyikan rona merah di sisi wajahmu saat anak laki-laki itu menoleh ke arahmu, dan tersenyum. Kau tidak bisa menebak apa arti di balik senyum itu, dan kau tidak berniat membahasnya pula.
“Tidak apa-apa, kau bisa memesan lagi dengan bahan lebih bagus dan tahan lama.” Taemin kemudian menyahutnya.
Dan obrolan itu berlanjut beberapa saat kemudian hingga Taemin berpamitan karena sudah harus pergi. Taemin mengakhiri komunikasi mereka terlebih dulu, sementara Jongin masih mengobrol selama dua menit sebelum mengakhirinya.
“Katakanlah sesuatu sebelum kau pergi, Jongin.” Suruh Baekhyun, yang kemudian melanjutkan kalimatnya ketika Jongin bertanya dia harus mengatakan apa. “Apapun yang kau inginkan. Oh, masih ada Jo di sini, kau tidak ingin mengatakan sesuatu untuknya?”
Chanyeol tergelak.
“Hentikanlah, kalian berdua.” Kau mendesis dan berdiri seraya mengepalkan tanganmu bersiap memukul, tapi Minseok menahanmu dan menyuruhmu kembali duduk. Ini tidak serius sebenarnya, tapi ada saatnya kadang lelucon mereka terdengar tidak lucu di telingamu, dan itu membuatmu antara kesal dan gemas.
“Jo masih di sana?” Jongin berdengung selama beberapa detik, seperti sedang berpikir apa yang ingin dikatakannya. Layar ipadnya masih tertuju pada Luhan, dan kau bersyukur Luhan membiarkannya tetap begitu, karena kau sendiri tidak yakin bisa berhadapan dengan anak laki-laki itu tanpa benar-benar memperlihatkan betapa kau sekarang sangat salah tingkah karena ledekan Baekhyun dan Chanyeol yang tidak ada habisnya.
Kau mendengar Jongin berseru ‘Ah’ sekitar lima detik kemudian, “Kalau begitu tanyakan padanya. Luhan atau aku, siapa yang dia pilih?”
Great.
Kau tidak yakin apakah Jongin serius atau tidak dengan pertanyaan itu, atau ini hanyalah semacam ledekan yang juga dia lontarkan untuk menggodamu. Kau tidak bisa menahan diri untuk menyembunyikan wajahmu di lengan Minseok saat Baekhyun dan Chanyeol seketika terbahak begitu mendengar pertanyaan itu. Bahkan Minseok pun menertawaimu.
“Yah, aku tidak mau melakukannya. Tentu saja dia akan memilihmu.” Luhan berkomentar dengan desisan gemas menyertai sahutannya.
Kau tidak ingin menjawabnya. Meski kau sudah menetapkan jawabanmu, kau tidak ingin menyuarakannya di depan semua orang karena ini hanya akan mempermalukan salah seorang di antara mereka.
“Jo, pikirkanlah baik-baik. Kalau aku jadi kau, aku akan benar-benar memikirkannya dengan matang. Jongin atau Luhan hyung, tawaran ini tidak akan datang dua kali. Jangan terburu-buru, hei! Pikirkanlah baik-baik!”
Kau berdecak dan melemparkan lap makan ke arah anak laki-laki itu, menyuruhnya diam. Tidak ingin membuang waktu, atau membuat mereka berpikir pertanyaan itu membuatmu bimbang atau semacamnya, kau meminta agar Luhan memutar layar ipadnya ke arahmu.
Kau membeku untuk sepersekian detik ketika kembali berhadapan dengan Jongin. Dia menatapmu dengan senyum yang terkulum dan kedua alis yang terangkat, menunggu jawabanmu. Dan inilah yang kaukatakan padanya.
“Kembalilah ke Korea, baru setelah itu akan kukatakan padamu.”
Seruan ‘ooohh’ yang bersamaan terdengar dari mulut Baekhyun, Chanyeol maupun Minseok, sementara Luhan mengangkat ibu jarinya padamu.
“Jongin ah, dia menantangmu. Apakah kita akan melihat dance battle bagian dua dalam waktu dekat ini?”
Kali ini kau melempar lap makan ke muka Chanyeol.
Begitulah kau mengakhiri pembicaraan kalian. Setidaknya dengan begini kau tidak perlu terus berada di bawah ledekan dua laki-laki setan itu, dan membiarkan pertanyaan itu tidak terjawab hingga entah kapan.
Dan Jongin mengangguk. Itu adalah ekspresi terakhir yang kaulihat darinya sebelum mengembalikan ipad pada Luhan, yang kemudian berkata pada temannya di layar gadget-nya.
“Jangan pernah kembali ke Korea, oke?”
* * *
15 Desember 2013
“Kau janji tidak akan melepaskanku?”
“Janji. Aku janji, Jo, percayalah, kau tidak akan jatuh, aku memegangimu. Dengan erat, lihatlah.”
“Aku hanya memastikan. Terakhir kali aku melakukan koreo semacam ini, aku diserang vertigo selama dua hari karena partnerku tidak bisa menahanku.”
“Jangan samakan aku dengan partnermu yang idiot itu. Bukan salahku kalau dia tidak bisa menari dengan benar, dan aku tahu benar bagaimana cara melakukannya. Percaya padaku.”
Selama hampir setengah jam ini kau berdebat dengan Jongin yang berusaha meyakinkanmu untuk menambahkan satu gerak baru ke dalam koreo tarian kolaborasi kalian. Hasil kerja kalian sudah menampakkan hasil setelah sebulan menghabiskan berjam-jam berdiskusi dan menciptakan koreo untuk pertunjukkan akhir semester ini.
Persiapan kalian sudah mencapai 90%. Kalian hanya perlu memoles beberapa gerak di sana sini, dan memantapkan kolaborasi ini dalam koreo keseluruhan yang utuh. Dan pagi ini, tiba-tiba saja Jongin berpikir untuk menambahkan satu gerak lagi ke dalam koreo. Kau menolak pada awalnya, terutama karena gerak yang diusulkannya adalah satu gerak yang pernah membuatmu trauma dan enggan melakukannya lagi.
Kau harus mengakui bahwa Jongin memiliki kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan gerakan baru dan membuat variasinya untuk koreo kalian berdua. Kau berpikir mungkin ini dikarenakan keahliannya yang menguasai banyak jenis tari dibanding kau sendiri. Dia lebih banyak mengarahkanmu untuk mengikuti geraknya, sementara kau mengepaskannya dengan variasi rutin ballet yang kalian perlukan untuk penilaian standar pertunjukkan.
Kau agak takut sebenarnya, meski yang namanya cidera di mana-mana sudah biasa terjadi di antara penari sepertimu, ada kalanya beberapa gerak tetap saja membuatmu waswas. Jongin entah bagaimana bisa saja meyakinkanmu untuk melakukannya. Kau tidak tahu apa yang membuatmu akhirnya bersedia untuk mencobanya, tapi mungkin karena ini Jongin. Kau tidak mungkin tidak mempercayainya begitu saja tanpa alasan.
“Oke.” Ujarmu seraya memposisikan dirimu di depannya. Jongin mempererat lingkaran lengannya di pinggangmu saat kau berkata lagi sesaat kemudian,
“Oh, ngomong-ngomong namanya Kris, partnerku itu.”
“Kris, whoever, whatever.” Ujarnya tidak acuh.
Dia menaruh tangannya di wajahmu. Dan omong-omong tentang satu geraknya ini, kau mulai berpikir untuk menanyakan hal ini pada Jongin.
Tiap kali lelaki itu menaruh tangannya di wajahmu, dia seperti sedang menyalurkan sesuatu ke dalam dirimu agar kau bisa merasa lebih tenang. Anehnya, ini selalu berhasil. Kau selalu berpikir—entah serius atau tidak kau sendiri tidak yakin—bahwa ini semacam sugesti yang Jongin berikan untuk menenangkanmu, karena kenyataannya, jantungmu memang tidak bisa berhenti bermaraton tiap kali dia berada di dekatmu.
Kau tahu dia juga menyadari hal ini, dan Jongin selalu melakukan hal yang sama sejak awal pertemuan kalian dulu. Kau ingin bertanya apa yang dia telah lakukan padamu, dan bagaimana dia bisa membuat jantungmu jauh lebih tenang begitu lelaki itu melakukannya. Tapi di saat yang sama, kau tidak ingin membuatnya di atas angin karena terlalu memperlihatkan betapa kehadirannya membuatmu jungkir balik tidak karuan.
Dan saat ini kau hanya bisa menarik napas dalam merasakan syaraf jari-jarinya menyentuh beberapa titik sisi wajahmu dengan lembut.
“Fokuslah hanya padaku saat ini, oke?”
“Oke.”
Begitu kau siap, Jongin mengecek posisi kalian di cermin sebelum menghitung mundur dan mengendurkan satu lengannya sementara kau menarik bagian atas tubuhmu ke belakang pelan-pelan. Kedua matanya lekat menatapmu kala kau bergerak, tidak memindahkan pandangan manik hitamnya meski kau mengalihkan matamu ke langit-langit studio.
Kau mendengarkan instruksinya dengan seksama. Kau kembali menarik napas dalam saat dia menyuruhmu bernapas. Kau mengosongkan kepalamu dan membuang beban rasa takut yang menjalar ke seluruh tubuhmu, mempercayakan dirimu padanya saat dia menyuruhmu untuk relaks.
Dia membungkuk mengikuti lengkungan tubuhmu, mengayunkanmu searah jarum jam dengan kedua lenganmu terbuka lebar, menari seperti kepakan sayap kupu-kupu. Dan kau menarik satu pijakan kakimu untuk merendahkan posisi lengkungan tubuhmu, seperti instruksinya, hingga beberapa puluh centi di atas lantai.
Pandanganmu kembali ke kedua matanya, wajahnya hanya terpisah satu telapak tangan denganmu, dan kau bisa merasakan jantungmu mulai berdegup saat jari-jarinya membelai sisi wajahmu dengan lembut. Dengan lengan lainnya yang masih melingkar di pinggangmu, dia menarikmu lebih cepat, dan kau sudah sudah berdiri kembali di hadapannya sesaat kemudian.
“Done.” Jongin berbisik lirih saat kau masih berada entah di mana dalam duniamu sendiri.
“Apa?” matamu berkedip cepat. “Begitu saja?”
“Sudah kubilang hanya satu gerak pendek, kan? Kau saja yang terlalu penakut.”
Kau mengangguk, kali ini kau mengakui penilaiannya.
Jongin melepas lingkaran tangannya di pinggangmu beberapa saat kemudian—kau bahkan tidak menyadarinya, hingga geraknya yang tiba-tiba itu membuatmu sedikit canggung dan melangkah mundur.
“Jadi kita akan menambahkan gerakan ini sebelum penutup. Kita harus memoles koreonya sedikit, mungkin sekali dua kali coba lagi, kau hanya perlu sedikit melemaskan tubuhmu saat aku mengayunkanmu. Jangan terlalu memperlihatkan mereka kalau kau takut, itu lebih baik.” Kau mendengus mendengarnya, tapi mengangguk saat dia memastikan kau cukup mengerti apa yang dia katakan.
“Jadi, apa signifikansinya gerak ini?”
Jongin mengangkat tangannya ke udara, “Karena kau kupu-kupu. Kau indah, dan aku ingin menangkap sayapmu supaya kau tidak lagi terbang—karena aku tidak suka ditinggalkan…”
“Jongin.” Kau berdecak.
“Intinya, begitulah akhirnya kau membuatku terpikat. Dan caramu melakukannya, bukan sesuatu yang mudah untuk kulepaskan. Jadi kau, kupu-kupu, saat kau hendak terbang pergi, aku akan selalu menangkapmu kembali.”
Kau mengangguk mengerti. Selama setengah jam berikutnya, Jongin ingin kalian melatih gerak baru ini dua tiga kali, lalu menari dengan diiringi musik. Koreo kalian bisa dibilang jauh lebih lambat temponya dibanding tari di awal kelas kolaborasi yang kalian pertunjukkan sebulan lalu.
Tari ini memiliki kisah. Kisah tentang seorang manusia dan kupu-kupu yang saling memikat satu yang lain dengan kehadiran masing-masing. Sebuah cerita yang sederhana, tapi kau sangat terpuaskan dengan tiap interaksi gerak yang kalian ciptakan untuk membuat tarian ini mampu bercerita dan menuangkan kisahnya secara tersirat.
Kesannya berbeda dengan koreo yang pernah kau pelajari sebelumnya. Karena tema yang berbeda, dan sepertinya, juga karena secara pribadi Jongin telah membuatmu terpikat dengan caranya sendiri. Hal yang hanya terjadi saat musik ini mengalun, kau tidak menahan diri, atau pun berusaha menyembunyikan sebuah fakta, bahwa menari bersama Jongin membuatmu bahagia. Kau membiarkan Jongin mengetahuinya, dan entah bagaimana, kau yakin dia juga merasakan hal yang sama.
.
Kau mengecek penampilanmu lagi di cermin setinggi badan di sudut kamarmu. Sekali lagi kau menyisir rambutmu dan merapikannya dengan pelembab. Tidak seperti gadis Korea kebanyakan, kau memiliki rambut dengan kontur ikal tanpa harus dibentuk dengan alat pengeriting. Kau selalu menggelungnya di atas kepalamu; selain karena ini peraturan kelas ballet, kau sudah terbiasa meringkasnya agar tidak mengganggu latihanmu. Tapi Jongin mengatakan bahwa dia suka dengan rambutmu, karena itu kau membiarkannya terurai kali ini.
Jongin mengajakmu pergi ke cinema malam nanti. Desolation of Smaug, serial The Hobbits favoritnya sudah diputar di cinema mall Yongin hari ini, dan dia ingin kau pergi menonton bersamanya.
Kau sendiri sebenarnya tidak terlalu mengikuti film serial ini. Kau memang pernah menonton trilogi Lords of the Ring, tapi belum sempat menonton chapter pertama the Hobbits yang diputar tahun lalu. Tapi kau tidak menolak ajakan Jongin meski tidak begitu mengerti jalan cerita film ini, anak laki-laki itu mungkin akan membantumu untuk memahaminya nanti.
Yang menjadi fokusmu saat ini hanyalah bagaimana tampak sempurna di depan Jongin saat dia mengajakmu berkencan.
Tunggu. Kencan?
“Wow. Aku akan berkencan dengan Kim Jongin.” Kau berujar pada dirimu sendiri di depan kaca. Rasanya sedikit aneh saat kau mengatakannya sendiri dengan mulutmu.
Sekali lagi kau mengecek penampilanmu, memastikan tidak ada yang kurang. Kau mengoleskan lipbalm ke bibirmu, dan tersenyum di depan cermin begitu puas dengan dirimu sendiri. Di saat yang sama kau mendengar pintu kamarmu diketuk, dan Seohwa muncul dari baliknya tidak sampai sedetik kemudian.
“Kau sudah siap? Wow, Jo, kita hanya akan menonton sepak bola. Kau benar-benar ingin tampak cantik di depan Luhan, ya?”
Kau menoleh, memberi Seohwa tatapan tanya tanpa bisa mengerti apa yang sedang gadis itu bicarakan, hingga ingatan itu menyerangmu tiba-tiba saja seperti guntur di tengah hujan.
“Shit.” Kau mengumpat sejadi-jadinya, segera beralih dari cermin dan mengecek kalender di ponselmu yang tergeletak di atas nakas.
Kau baru ingat sekarang. Hari ini tim sepak bola kampus Luhan akan bertanding dalam kejuaran antar fakultas di universitasnya. Luhan sudah mengingatkanmu tentang event ini sejak jauh-jauh hari, tapi kau tidak sempat menyimpannya dalam aplikasi pengingat karena terlalu sibuk dengan jadwal latihanmu.
“Oh, tidak. Kau tidak ingat, ya? Kau berdandan seperti ini bukan untuk menonton sepak bola, iya kan?” Seohwa mencecarmu dengan tebakan-tebakan ini seraya mengikuti tiap gerakmu. “Kau akan pergi dengan Kim Jongin. Iya, kan?” Seohwa bertanya lagi saat melihatmu menggeleng menjawab tebakannya, dan kali ini kau mengangguk.
Kau duduk di pinggir pembaringan. Bagaimana ini? Jongin akan menjemputmu dalam setengah jam, kau tidak mungkin membatalkannya begitu saja. Tapi kau pun sudah berjanji pada Luhan untuk datang di pertandingannya. Bagaimana ini?
Bagaimana ini?
“Aish! Kenapa orang-orang ini masih saja bertanding di tengah musim dingin begini, sih?” serumu mulai frustasi karena bingung.
“Kau ini bicara apa, sih.”
Kau berdecak pelan. Berpikir, menimbang. Kau benci bila harus memilih di antara mereka. Kau benci bila harus mengecewakan salah satunya. Ini semua salahmu karena tidak menulis jadwal pertandingan Luhan di dalam jurnalmu, dan kau benci karena kini kau harus membatalkan janjimu dengan salah satu di antara mereka.
Menarik napas panjang, kau berusaha untuk menekan rasa bersalahmu.
Luhan akan mengerti. Kau tahu lelaki itu tidak akan mempermasalahkan ketidakhadiranmu, bila kau bisa memberinya alasan yang bisa dia terima. Kau sibuk. Dia pasti akan mengerti. Kau meyakinkan diri.
“Jadi, kau tidak datang?” Seohwa kembali bertanya, seolah bisa melihat apa keputusanmu setelah lama terdiam. Gadis itu tidak terlihat senang, tapi kau tahu dia pun tidak bisa mengatakan apa-apa mengenai hal ini.
Kau mungkin berteman dekat dengannya, tapi fakta bahwa dia adalah pacar Kim Minseok, sahabat dengan Luhan, tidak lantas membuatnya berhak untuk menghakimi tiap keputusanmu. Seohwa hanya menghela napas cepat saat kau menggangguk menjawabnya.
“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa, aku akan bicara dengan Luhan. Hanya, tolong jangan katakan padanya tentang Jongin, oke?”
Seohwa tidak menjawab. Kau tahu dia menyimpan sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang ingin sekali dia katakan tapi ditahannya dalam-dalam. Gadis itu baru mengangguk menjawabmu ketika kau mengulangi kalimatmu, kemudian mengangkat bahunya.
“Aku tidak akan berkata apapun padanya, ataupun Minseok. Tapi kau tahu kan yang kau lakukan ini tidak benar? Apapun alasan yang kaukatakan pada Luhan nanti, kau meninggalkannya untuk pergi bersama Jongin dan—“ Seohwa menggeleng dan melempar tangannya ke udara, menyerah. “Kau cantik malam ini, Jo. Jangan lupa pakai gloss yang berwarna agar bibirmu tidak terlihat pucat.”
“Oke, thanks—“ Kau menggeleng cepat, menambahkan kalimatmu. “Sorry. Katakan maafku untuk mereka.”
“Kau bisa katakan itu sendiri saat bicara dengannya nanti.” Seohwa tersenyum simpul, lalu berbalik pergi meninggalkan kamarmu dan menutup pintu dari luar.
Kau tidak membuang waktu untuk menghubungi Luhan begitu Seohwa pergi. Jantungmu berdetak kencang karena tidak tahu apa yang harus kaukatakan pada Luhan saat ini. Kau sudah berjanji, tapi kau harus mengingkarinya sendiri karena kebodohanmu.
Dan benar saja, Luhan terdengar tidak senang dengan pemberitahuan mendadakmu ini. Laki-laki itu memang tidak marah, tapi kau bisa mendengar nada kecewanya dengan sangat jelas. Dan ini membuatmu semakin merasa bersalah.
“Maaf, Lu, aku sungguh tidak tahu akan ada latihan ekstra hari ini. Ms. Evreinoff memberitahukan jadwalnya pagi ini, dan aku baru melihatnya satu jam yang lalu.” Kau menutup matamu rapat-rapat tiap satu kebohongan itu keluar dari mulutmu. Sungguh, kau benci sekali bila harus berbohong padanya.
“Hei, kalian akan memenangkan pertandingan ini, dan aku akan datang di pertandinganmu selanjutnya. Bagaimana? Selanjutnya dan yang selanjutnya, sampai final. Aku akan datang. Oke?”
“Aaah, aku benci profesormu itu.” Luhan berkomentar dari seberang telepon setelah terdiam beberapa saat. Kau tertawa mendengarnya—hanya sebuah formalitas untuk menghibur dirimu sendiri.
“Well, profesor yang kaubenci itu adalah promotorku ke panggung Eropa. Segalanya memiliki harga yang harus kaubayar, kan?”
Sekali lagi Luhan berdecak dan menghela napasnya panjang, “Baiklah. Kau janji harus datang ke pertandingan selanjutnya. Tapi kalau kami kalah hari ini, maka ini salahmu.” Ujarnya dengan nada kecewa. Kau bahkan bisa membayangkan wajah cemberutnya saat ini, dan itu membuatmu kembali tertawa.
“Kau tidak akan kalah, Lu. Bersiaplah kalau begitu, telepon aku begitu pertandingan usai, oke?”
“Oke. Semoga institutmu mati lampu, dan latihanmu berjalan sangat membosankan.”
“Lepas dari fenomena mati lampu ini akan mengancam jabatan Menteri Sumber Daya Rumah Tangga bila benar-benar terjadi, amen. I deserve that.”
“Tidak, aku bercanda. Semoga latihanmu menyenangkan, Tiger.” Lalu kau mendengarnya tertawa. Sebuah tawa yang dipaksakan, tapi itu adalah hal terakhir yang kau dengar darinya sebelum Luhan mengakhiri obrolan kalian sore ini.
Untuk kesekian kalinya kau menghela napas panjang. Kau hanya duduk diam di sisi tempat tidur, tidak berpikir apa-apa selama hampir satu menit. Menit berikutnya kau bergegas ke kamar mandi. Kau melepas pakaian yang kau pakai saat ini, menggantinya dengan sweater dan celana jeans biasa. Kau lalu mengikat rambutmu dalam model ekor kuda tanpa merapikannya dengan sisir, lalu kau menghapus makeup-mu seluruhnya dengan air.
Dari pantulan cermin wastafel kau menatap wajahmu. Rasa bersalahmu sedikit berkurang setelah kau melakukan semua ini, setidaknya dengan begini kau tidak akan selalu teringat akan Luhan selama bersama Jongin.
Tidak ingin terlihat berantakan, kau merapikan rambut di kepalamu dengan tangan, kemudian memakai pelembab dan BB-cream agar wajahmu tidak tampak pucat, juga gloss berwarna pink muda yang mewarnai bibirmu kemerahan. Ya. Begini lebih baik.
Masih berdiri di wastafel, kau hendak mengoleskan pelembab di tanganmu saat kau menangkap satu benda itu di jari manis tangan kirimu. Cincin dari Luhan masih terpasang di sana.
Sudah terlanjur, kau berpikir. Kau tahu ini bukan keputusan yang benar, tapi kau sudah terlanjur melakukannya. Terlanjur mengiyakan ajakan Jongin, terlanjur berbohong pada Luhan, terlanjur mengingkari janjimu padanya. Dan untuk hari ini saja, hanya hari ini, karena segalanya sudah terlanjur, maka kau berpikir untuk melupakan saja semua janji yang pernah kauucapkan padanya. Hanya untuk hari ini, kau ingin melupakan Luhan barang sejenak, dan menikmati hari-harimu sesuai dengan keinginan hatimu sendiri.
Ketika akhirnya kau melepas cincin itu dari tanganmu, ada rasa lega yang begitu anehnya menguasai seluruh ruang di dadamu. Seperti ada tangan tak kasat mata yang mengangkat seluruh beban yang kauampu dalam dirimu. Kau merasa ringan.
Kau menaruh cincin itu di dalam kotak kecil di sudut kaca wastafel. Melihat tanganmu kosong dari perhiasan apapun, hanya meninggalkan bekas pucat di tempat cincin itu seharusnya terpasang, tanpa sadar kau tersenyum.
Untuk terakhir kalinya kau merapikan ikatan rambutmu, meratakan krim di wajahmu dan menarik napas dalam saat kau mendengar ketukan lain di pintu dan seseorang yang memanggil namamu dengan suaranya yang rendah.
Tidak ada lagi waktu untuk menyesal dan merasa bersalah. Untuk hari ini saja, kau ingin melupakan segalanya dan menikmati sensasi jantungmu yang bermaraton karena kehadiran seorang Kim Jongin.
“Han Jo.” Jongin menyapamu dengan nada datarnya yang khas begitu kau membukakan pintu untuknya, dan kau membalas sapaannya dengan nada yang sama.
“Kim Jongin.”
Untuk sesaat tidak ada yang bergerak di antara kalian. Dia hanya menatapmu dengan senyumnya yang mengembang di sudut bibirnya, dan kau membiarkannya menilaimu sementara mengamati ekspresi wajahnya yang memesona.
Dan detik itu, beberapa saat kemudian, kau melihat Jongin melebarkan senyumnya. Senyumnya yang selalu menawan. Lelaki itu meraih ikat rambut di belakang kepalamu dan menariknya lepas, membiarkan rambutmu kini terurai panjang.
“Kau terlihat lebih cantik bila begini.”
* * *
Beberapa referensi visual untuk kamu

the couple ring ~♥

boneka bantal hiasan tas di Hongdae. credit to: alvinwkim

HEM chocolate incense di Hongdae. credit to: alvinwkim

ini dia bentuk ohsamkongbul. Kalau kongbulnya sendiri minus cumi-cumi aja
credit to: missbulbul
================================================================================
hello dear Guys,
kalau ada waktu kalian bisa tolong baca ini, aku menulis sesuatu tentang password untuk Enchanted. Aku memang belum mastikan apakah chapter yang selanjutnya digembok nanti akan kunaikkan atau nggak ratingnya, tapi sampai aku menemukan jalan keluar yang sama-sama enak untuk kita tanpa merugikan aku, maupun para pembaca semua, untuk sementara ini, aturan yang tertulis itu dulu yang akan berlaku.
Kalau ada pertanyaan seputar FF atau apapun, kalian bisa berkunjung ke ASK.FMku di sini. Atau silakan tuangkan ide dan pertanyaan kamu di kotak komentar bila ada yang ingin kamu sampaikan mengenai cerita ini.
Ditunggu LIKE dan komentar kamu,,
Happy Saturday Night!
~xoxo
Filed under: fan fiction, series Tagged: Byun Baekhyun, Enchanted, Han Jo, Kim Jongin, Kim Minseok, Lee Taemin, Lu Han, Park Chanyeol
