Previous Chapter – Unavoidable 2
Chanyeol mengadakan pesta di villanya sekaligus untuk merayakan ulang tahun Jo. Dia datang bertiga bersama Luhan dan Minseok. Dan masih dalam usahanya menghindari Jongin, dia merayakan ulangtahunnya bersama teman-teman. Hadiah ulangtahun dibuka, dan hadiah dari Jongin membuat Jo juga Luhan apatis–sebuah kalung dengan pendat berbentuk kristal salju. Kalung yang pernah Jo bicarakan sebelumnya bersama Luhan, dan juga yang Jo sempat pikir adalah pemberian Luhan.
.
It’s everything you wanted, it’s everything you don’t
It’s one door swinging open and one door swinging closed
Some prayers find an answer
Some prayers never know
We’re holding on and letting go
Holding On and Letting Go – Ross Copperman
.
27 Desember 2012
Satu jam hampir berlalu setelah akhir pertunjukkan Swan Lake di teater ballet Perm. Kau berdiri di tengah-tengah panggung, dengan posisi hormat bandamu merendah pada kakimu yang tertekuk, memberi salam dalam encore yang dipersembahkan hanya untukmu. Malam ini kau adalah sang Prima Ballerina muda, dan semua media cetak juga televisi ingin mengabadikan momenmu di konferensi pers.
Kau sudah tidak sabar lagi. Beberapa menit ini direktur ballet foundation pemberi sponsor beasiswa program musim dingin yang kauhadiri menyita seluruh waktumu dan orangtuamu untuk bertemu dengan beberapa orang dari dunia seni Eropa. Seluruh rangkaian acara sudah berakhir, kecuali dengan bagaimana sang direktur sepertinya masih belum puas memamerkanmu—yang menurutnya adalah sang bintang baru—pada banyak orang.
Beberapa kali kau menoleh ke satu sarah di sudut ruang pertemuan besar itu. Kau sudah melihat mereka saat encore tadi, mereka duduk di samping orang tuamu, berbalut suit berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu yang sempat membuatmu menertawakan mereka. Luhan dan Minseok tampak konyol dengan pakaian itu, tapi juga menawan di saat yang sama.
Beberapa kali juga Minseok melambaikan tangannya padamu, saat kau menoleh pada mereka. Kau senang, sangat bahagia, selain karena malam ini adalah salah satu malam besar dalam hidupmu, juga karena kehadiran mereka berdua dalam panggung megahmu. Kau sama sekali tidak menyangka mereka akan datang, orangtuamu tidak mengatakan apapun tentang kehadiran mereka, dan ini adalah sebuah kejutan besar.
Begitu mendapatkan kebebasanmu, kau berikan buket-buket bunga yang kauterima pada ibu dan ayahmu, dan bergegas menghampiri dua laki-laki itu. Kau menarik mereka berdua dalam rengkuhanmu, memeluk mereka erat-erat dengan antusias. Rasanya memang tidak nyaman, kau masih memakai kostummu dengan tutu milik Odele mengembang di pinggul, tapi semua itu tertutup dengan luapan emosi akan kehadiran mereka. Sudah cukup lama mereka menjadi teman baikmu, tapi kau tidak pernah merasa sebahagia ini melihat dua laki-laki itu berdiri di hadapanmu.
“Kalian datang!” serumu dengan wajah berseri-seri. Senyummu terulas lebar, dan Minseok mencubit pipimu dengan gemas.
“Kata orang, menonton pertunjukkan ballet di teater Perm adalah keharusan saat kita berkunjung ke kota ini. Jadi kami datang menonton, dan kebetulan ternyata kau yang menari.” Ujar Luhan kemudian, sengaja meledekmu seolah kedatangan mereka adalah hal yang tidak disengaja. Dan kau menertawainya.
Kau mengobrol dengan mereka selama beberapa saat. Luhan dan Minseok menata rambut mereka dengan gaya hair-back, dan kau memberitahu mereka sejujurnya bahwa gaya rambut ini membuat keduanya tampak maskulin. Kau juga menanyakan bagaimana mereka bisa berada di sini, karena yang kautahu tiket pertunjukkan ini tidak murah dan sangat sulit didapat, apalagi untuk panggung spesial akhir tahun semacam ini.
Minseok yang menjawab pertanyaan itu. Dia memberitahumu bahwa Luhan meminta tolong ibunya bicara dengan direktur yayasan sponsormu bahwa karena hari pertunjukkan ini adalah hari ulangtahunmu, maka dia meminta mereka menyiapkan dua kursi tambahan untuk mendatangkan dua sahabat terbaikmu sebagai kejutan.
Direktur yayasan memang memberitahumu sore ini, bahwa dia telah menyiapkan kejutan sebagai hadiah ulangtahun yang bisa kaulihat setelah pertunjukkan selesai. Kau tidak pernah mengira hadiah kejutan itu adalah kehadiran Luhan dan Minseok. Ditambah lagi, kau masih mengobrol bersama Luhan sore ini ketika sedang bersiap di ruang makeup, dan dia bilang dia sedang menonton siaran ulang Victoria Secret Show bersama Minseok, padahal mereka berada di gedung yang sama.
“Selamat ulangtahun, Jo.” Luhan mengecup pipimu. “Bagaimana kalau kau mengganti kostummu sekarang? Jadi kita bisa pergi dan membuka hadiahmu.”
“Oke, tentu.”
Kau menggenggam tangannya erat sebelum melepaskannya dan berbalik pergi. Tidak ingin membuang waktu, kau segera mengganti konstummu dengan gaun yang sore ini kaugunakan sebelum naik panggung.
Kalian makan malam bersama begitu kembali ke hotel; kau, Luhan, Minseok dan orangtuamu. Makan malam yang sudah cukup terlambat sebenarnya, karena sudah hampir tengah malam dan tersisa tiga puluh menit hingga hari berganti. Sebenarnya kau ingin langsung kembali ke kamarmu, tapi orangtuamu bersikeras untuk merayakan ulangtahunmu di penghujung hari ini dengan duduk bersama di sebuah meja besar yang cukup untuk lima orang. Direktur yayasan ternyata telah menyiapkan meja untuk kalian, dan konon dia pun menyiapkan satu botol sampanye yang dibuka untuk kalian nikmati bersama.
Ini hari yang besar untukmu, dan kau benar-benar tidak bisa menyembunyikan hatimu yang berbunga. Merayakan ulangtahun bersama orang-orang yang kausayang dan menyayangimu, di sebuah kota paling bersejarah di dunia, setelah pertunjukan paling bersejarah dalam hidupmu.
Saat mereka menyuruhmu meniup lilin dari cake yang ayahmu siapkan dari dapur hotel, kau berdoa agar selamanya bisa tetap seperti ini. Kau tahu ini adalah hari yang baru, hari pembuka tahun-tahun kedewasaanmu dengan serangkaian tantangan dan pilihan yang akan terbentang di tiap langkahmu. Hari ini adalah awal, dari mimpi yang lebih besar, juga jalan menuju masa depan yang lebih lebar. Kau berharap orang-orang ini akan selalu ada untuk mendukungmu tiap waktu.
Tidak ada hari yang lebih membahagiakan lagi dari hari ini. Dan kau membiarkan semua orang tahu bagaimana perasaanmu saat ini, pada orangtuamu, pada Minseok maupun Luhan. Kau tidak lagi memerlukan hadiah apapun lagi, karena kehadiran mereka malam ini jauh besar dan berharga dari hadiah semahal apapun yang pernah kauterima di hari ulangtahunmu.
.
“Hei, masuklah.”
Kau baru saja keluar dari kamar mandi saat mendengar pintu kamarmu diketuk. Ini sudah pukul 2 pagi hari berikutnya, dan kau masih belum tidur karena Luhan dan Minseok akan berkunjung setelah makan malam.
Mereka telah mengganti suit formal mereka dengan pakaian tidur saat datang ke kamarmu. Luhan bahkan muncul dengan handuk di atas kepalanya, mengeringkan rambutnya yang masih basah setelah dikeramas.
“Apa itu?” kau bertanya melihat sebuah kotak sebesar album foto di tangan Luhan, dan memanjat naik ke atas tempat tidur.
“Ini adalah…” Luhan naik ke atas pembaringan dan merangkak duduk di sampingmu. Minseok menyusul sesaat kemudian di sisimu yang lain. “Hadiah ulangtahunmu.” Ujarnya.
“Hei, kau pakai shampoo baru?” Luhan bertanya lagi seraya mendekatkan diri mencium wewangian di rambutmu.
“Hum?” Kau menoleh, “Oh, ya. Ini sponsor, wangi ceri.”
“Ceri? Aku suka ceri, baunya enak.”
“Ya, aku juga.”
“Okeeeeeee!”
Pandanganmu teralih saat Minseok menepuk tangannya dan berseru keras untuk menarik perhatian kalian kembali. Dia mengibas-kibaskan tangannya di udara, dan kau baru menyadari bahwa kalian berdua telah membuatnya agak tersingkirkan dengan obrolan singkat itu. Kau menertawainya.
Maka kau mulai membuka hadiah yang Luhan berikan padamu. Kotak itu berisi sebuah buku tebal seukuran 30 centimeter. Covernya terbuat dari kulit sintetis berwarna kecoklatan dengan sabuk yang mengikat kertas-kertas dari kulit kayu yang disatukan dengan dua spiral besar di dalamnya.
Senyum simpul terulas di wajahmu saat kau membaca tulisan yang dicetak dengan lem jelly berwarna-warni di sampulnya. 기억의 첵 – book of memory. Dan saat kau membukanya, sebuah foto yang memperlihatkan kau dan teman-teman sekelasmu berpose di pinggir lapangan sepak bola menyambut di halaman pertama. Kau berseru antusias, dengan nada yang meninggi penuh perangah saat melihatnya.
Foto itu diambil setelah kelasmu dinobatkan sebagai juara umum dalam rangkaian festival olahraga di SMA kalian musim panas lalu. Kalian baru saja memenangkan pertandingan terakhir, lari estafet tim ganda di mana kau tergabung sebagai salah satu anggota pelari, bersama Luhan, Minseok dan tiga anak lainnya.
Di dalam foto itu kau berdiri di tengah-tengah. Teman-teman kelas memberimu kehormatan untuk mengalungi medali karena kau pelari terakhir di pertandingan terakhir itu, dan dengan bangga kau memamerkannya ke arah kamera. Di sampingmu Luhan berdiri, dengan satu lengannya bersandar di bahumu, dan ibu jari teracung tinggi dari tangannya yang lain. Minseok berjongkok tak jauh di depan dan mengangkat piala kejuaraan yang kalian menangkan. Dan di ruang kosong foto itu tertuliskan garis-garis spiral dan melengkung yang berujung dengan nama tiap anak yang berada di dalam kenangan abadi ini.
Senyummu merekah makin lebar saat kau balik halamannya, dan menemukan tulisan-tulisan dari teman-temanmu dalam berbagai warna dan hiasan. Pesan-pesan yang ditulis pribadi dari tiap orang; ucapan selamat ulangtahun, memberi semangat akan kesuksesan panggungmu di Perm, atau celotehan tidak penting yang membuatmu tidak bisa berhenti tertawa membacanya.
Beberapa dari pesan-pesan tulisan itu dilampiri dengan foto-foto polaroid atau cetakan digital yang pernah kalian ambil bersama, beberapa yang lain bahkan menempelkan benda-benda bukti kebersamaan kalian, seperti saat kau menonton Harry Potter bersama Chaerin dan beberapa anak perempuan di akhir minggu, atau stiker yang kalian menangkan saat bermain arcade, atau post-it percakapan rahasia (yang kini semua orang tahu) antara kau dan Minseok, dan lainnya.
Tidak hanya teman-teman sekelasmu saja yang menuliskan pesan mereka di sana, tawamu semakin keras saat menemukan sebuah stik es krim dengan angka 2 tertulis di kepalanya dengan tinta hitam tebal. Sebuah gambar sulur spiral terhubung dari sisi stik itu pada sebuah judul ‘Battle of the Year’ dan ditulis oleh seorang anak laki-laki yang mengaku bernama Byun Baekhyun. Chanyeol pun menempelkan foto polaroidnya bersama Taemin, dengan pesan mereka yang tertulis di kanan kirinya.
“Bagaimana kalian bisa mengumpulkan semua ini. Aku bahkan tidak ingat pernah mengambil beberapa foto di antaranya.” Ujarmu kemudian. “Siapa yang punya ide membuat ini?”
“Kami berdua.” Jawab Luhan dengan senyum lebar. “Minseok yang punya ide awalnya. Aku membantunya mengumpulkan orang-orang yang akan menulis di sini.”
“Ini keren sekali. Bahkan aku punya tulisan dan tanda tangan idol terkenal di sini.” Katamu seraya menunjuk tulisan Taemin.
Halaman demi halaman kau buka dan kau baca dengan seksama. Kata-kata mereka, bukti-bukti kebersamaan teman-temanmu yang terpasang dengan kuat di tiap lembarnya, segalanya membuatmu terharu. Dan kau tidak menyembunyikan rasa senangmu saat tiba-tiba saja air matamu mengalir. Kau mengeringkannya dengan segera, sambil tertawa saat dua laki-laki itu meledekmu. Lalu kau menaruh kedua lenganmu di leher mereka, menarik Luhan dan Minseok ke sisimu, dan mengecup puncak kepala mereka satu-persatu.
“Ah, eoddohke? Apa yang harus kukatakan? Apa terima kasih cukup?”
Buku yang kauterima ini membuatmu bingung. Kau tidak pernah menerima hadiah semacam ini sebelumnya, dan bagaimanapun kejutan ini meninggalkan kesan yang sangat dalam hingga kau tidak bisa mengatakan apa-apa meluapkan isi hatimu.
“Untukku terima kasih cukup, tapi entahlah Luhan. Dia mungkin masih ingin sesuatu.”
“Mwoya.…” Minseok tertawa geli ketika Luhan menatapnya dengan pandangan mencela. Tapi dari sahutan Minseok kau jadi teringat sesuatu. Hal yang sejak tadi kaucari dan tidak kautemukan, tapi lupa untuk kautanyakan. Saat akhirnya teringat, kau mengutarakannya pada mereka. Pada Luhan.
“Ngomong-ngomong, aku tidak menemukan punyamu di sini. Kau tidak menulis sesuatu?”
“Aku…” Luhan menoleh, saling berpandangan dengan Minseok untuk sesaat, lalu mengangkat bahunya. “Kan aku yang membuat buku ini, kau akan selalu ingat itu.”
“Minseok yang punya ide awal buku ini, dan dia masih menulis sesuatu di sini.” Ujarmu lagi. Lembar-lembar di buku itu sebenarnya belum berisi penuh. Dari semua yang telah dikumpulkan Luhan dan Minseok, masih ada setengah buku lagi yang belum terisi. Luhan mengatakan bahwa kau masih bisa mengisinya dengan coretan teman-teman barumu bila kauingin.
Kau membuka halaman tengah di samping tulisan terakhir dari Chanyeol dan memberikannya pada Luhan, agar laki-laki itu menuliskan sesuatu di sana. Tapi Luhan menolak.
“Aku tidak punya ide lagi apa yang harus kukatakan, percayalah. Yang penting kau selalu ingat kami bekerja keras untuk mengumpulkan semua ini, jadi sering dibaca, ya.” Luhan mengembalikan buku itu lagi padamu, dan dari caranya menaruh buku kreasinya itu di pangkuanmu, kau melihat bahwa ini adalah akhir dari perdebatan singkat kalian.
Ada saatnya ketika Luhan tidak bisa maupun bersedia dibantah. Di saat-saat seperti itu, dari yang kauamati, wajahnya akan berubah serius dan intonasi bicaranya akan turun ketika bicara, menekankan maksudnya dalam nada yang rendah. Kau tidak tahu kenapa Luhan bersikeras tidak ingin menulis untukmu, dan penolakannya ini sedikit membuatmu kecewa. Kau tidak ingin menunjukkannya, karena setelah apa yang mereka lakukan untukmu dengan buku memori ini, kau sudah sangat berterima kasih. Ini mungkin salah satu hadiah paling indah yang pernah kauterima di hari ulangtahunmu.
Tanpa kauketahui, Luhan dan Minseok berkomunikasi di belakang punggungmu. Kau terlalu fokus kembali mengulang membaca isi buku itu dari halaman awal dan mendengar sekelebat suara dari belakangmu. Saat kau menoleh pada Luhan, laki-laki itu seketika mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan saat itu juga Minseok tiba-tiba saja berpamitan.
“Baiklah, kurasa aku akan kembali ke kamarku sekarang. Kalian lanjutkan saja, aku akan bergabung lagi besok.” Minseok memberitahumu seraya merangkak turun dari atas tempat tidur.
“Kau menyerah? Tapi aku belum pesan Borsch dan Pierogi yang kuceritakan tadi.”
“Besok malam, bagaimana? Kita kan masih tinggal di sini sampai tahun baru, masih ada tiga malam lagi untuk menikmati makanan-makanan itu. Sampai besok, oke?” Minseok mengangkat ibu jarinya pada kalian berdua—atau tepatnya pada Luhan—dengan senyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya sebelum pergi. Dia menolak untuk diantar, jadi kau hanya duduk diam di posisimu sementara mengawasi punggungnya menghilang dari balik koridor.
Kau tahu ada yang aneh, karena sebelumnya kau mendengar jelas ada suara seolah Luhan memberi sinyal agar Minseok meninggalkan kalian berdua. Dan ketika kau mengonfirmasi dugaanmu pada lelaki itu, dia hanya mengangkat bahu, menyuruhmu untuk memesan hidangan tengah malam yang hampir tiap hari kau nikmati selama hampir tiga minggu tinggal di hotel ini.
Borsch dan Pierogi adalah makan khas Rusia. Borsch, yang sebenarnya adalah makanan khas asal Ukraina, merupakan hidangan semacam sup merah yang terbuat dari buah bit, dengan tambahan sayuran seperti kentang, wortel, kacang polong, juga daging sapi, dan disajikan dengan saos krim yang terbuat dari yoghurt. Sementara Pierogi adalah semacam mandu, atau pangsit dari Polandia yang diisi dengan potongan kentang, Sauerkraut atau kubis yang telah difermentasi, keju, daging giling dan buah-buahan. Pangsit itu biasanya dipanggang dengan butter, dan disajikan dengan bawang bombai cincang.
Dua makanan ini adalah favoritmu selama kau tinggal di sini. Pada awalnya adalah menu yang ditawarkan oleh pemandu yang menemani hari-hari pertamamu di Perm, yang kemudian menjadi dua makanan wajib yang hampir tiap malam kaupesan dan kaunikmati setelah kembali dari latihan ballet.
“Memangnya tidak apa-apa memesan makanan dini hari begini?” Luhan bertanya begitu menghubungi staf dapur. Kau tertawa pelan menjawabnya, agak sedikit geli bila mengingat kebiasanmu yang kautahu cukup merepotkan.
“Kurasa mereka sudah terbiasa sekarang. Latihan biasanya selesai pukul setengah 12 atau bahkan lebih, saat aku kembali ke hotel hari sudah berganti. Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu, tapi perutku sama sekali tidak bisa diajak bekerjasama.”
“Tapi kita kan baru saja makan tadi.”
“Sejak kapan sudah makan menjadi alasanmu untuk tidak makan lagi?”
Kau kembali duduk di sampingnya setelah menaruh gagang telepon kembali ke tempatnya. Biasanya perlu sekitar lima belas menit sebelum pesanan diantarkan, jadi kau berniat untuk mengobrol lagi dengannya sembari menunggu.
“Jadi, apa yang ingin kauberikan padaku?” Kau akhirnya menebak. Ini satu-satunya kemungkinan yang muncul di dalam kepalamu, menjelaskan gelagat aneh yang Luhan dan Minseok tunjukkan sebelumnya.
Luhan menatapmu bingung—entah memang benar-benar bingung, atau hanya pura-pura kau tidak tahu, tapi saat kau menggantungkan tanganmu di udara dengan posisi terbuka, dia memutar bola matanya.
Kau mengawasinya bergerak sedikit, bertumpu pada satu sisi tubuhnya ketika mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Dia lalu menunjukkan sebuah kotak beludru kecil berwarna gelap, sebuah kotak yang sudah bisa kautebak apa isinya sebelum Luhan membukanya.
“Cincin yang kita beli dulu tidak terbuat dari bahan yang tahan lama, dan kata ibuku kuteks tidak bagus untuk kulitmu, jadi aku berpikir untuk membuatnya dengan bahan yang lebih baik.”
Di dalam kotak itu terdapat dua cincin couple dengan dua warna yang berbeda—perak dan emas kemerahan, cincin yang serupa seperti yang terpasang di jari manismu saat ini. Selama delapan bulan ini, kau menyiasati couple-ring seharga lima ribu won yang kalian beli di Hongdae di hari ulangtahun Luhan dengan mengoleskan berlapis-lapis kuteks top coat untuk mempertahankan warnanya agar tidak pudar saat terkena air. Sampai saat ini warnanya memang masih bertahan di jari-jari kalian, tapi kau tidak menyangkal bahwa kadangkala rasanya cukup gatal ketika kau berkeringat dan ini cukup mengganggumu.
Ketika Luhan mengambil yang lebih kecil berwarna perak untukmu, kau baru melihat perbedaannya. Cekungan kecil berisi batu permata berbentuk bulat itu kini dibiarkan kosong, hanya saja bentuknya bersudut-sudut. Kau harus mendekatkan cincin itu ke matamu agar bisa mengenali bentuknya, yang ternyata adalah kristal salju.
“Wuaaahhh…. salju!” kau berseru saat melihatnya.
Senyummu kembali merekah lebar saat Luhan melepas cincin imitasi yang masih melingkar di jari manismu, dan menggantikannya dengan cincin baru yang baru saja dia perlihatkan. Bahannya yang berbeda dan lebih apik sudah bisa kaurasakan ketika cincin itu menyentuh kulit jarimu. Sensasi dingin dari lingkaran logam itu, warnanya yang lebih terang, dan cekungan kristal salju di tengah-tengah lingkaran itu, membuat matamu melebar tak percaya. Terperangah.
Luhan tahu benar kecintaanmu pada kristal beku ini. Kau yang selalu berkata padanya bahwa kau adalah anak salju, karena kau dilahirkan di bulan Desember, di kala hujan saju tengah turun dengan lebatnya. Kau yang selalu antusias tiap kali salju turun untuk pertama kalinya di awal musim dingin, dan bagaimana kau selalu jauh lebih bisa bertahan dengan hawa dingin dibanding ketahananmu terhadap panas.
Kau pecinta salju, dan Luhan memahaminya lebih dari siapapun.
“Eoddohke? Ini pasti mahal, iya kan?” tanyamu ketika Luhan menyodorkan kotak kubus itu, menyuruhmu memasangkan cincin pasangannya di jari lelaki itu.
“Biaya tiket pesawat ke Perm jauh lebih mahal.” adalah satu-satunya jawaban Luhan merespon kalimatmu sebelumnya. Dia tidak bicara apa-apa lagi selain mengajakmu mengambil foto dengan cincin baru kalian—Luhan mengaitkan jari kelingingmu dengannya sebelum mengabadikannya dengan ponselmu. Dia lalu mengirim foto itu pada keempat temannya di Korea dan Austria, untuk pamer.
“Aku harus membeli kalung dengan pendant kristal salju, jadi saat dipakai bisa serasi antara kalung dan cincinnya. Bagaimana menurutmu?” kau berkata lagi dengan antusias. Kedua matamu tidak teralih dari logam mulia di tanganmu. Sambil berbaring, dan mengangkat tinggi tangganmu di atas udara, kau terus memandanginya tanpa merasa bosan.
“Cincin ini cantik sekali.”
“Kalau begitu tunggu sampai tahun depan.” Luhan bicara lagi, kau menoleh padanya dengan alis terangkat tinggi. “Kalung itu, kristal salju. Aku akan mendapatkannya untukmu, tahun depan.”
“Oh. Benarkah?” tanyamu. Dan ketika Luhan mengangguk, kau tersenyum kembali dan menggangguk setuju.
Untuk beberapa saat keheningan menguasai kalian. Kau yang masih terpana dengan cincin yang Luhan berikan—kau benar-benar, amat menyukainya—sementara Luhan menatap cincin di tangannya sendiri sambil memeluk kedua kakinya yang tertekuk.
Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan, kau baru menyadarinya beberapa saat kemudian. Luhan tidak mengatakan apapun, tapi caranya menoleh padamu beberapa kali seperti hendak mengatakan sesuatu, meyakinkanmu bahwa dia sedang menimbang-nimbang.
Kau menegakkan kembali punggungmu, duduk menghadapnya. Dia tidak menatapmu saat kau bertanya ada apa. Mulutnya tertutup rapat, Luhan mengigiti bibirnya—dan kau tahu jelas apa arti gelagat ini. Dia hanya menggigiti bibirnya saat sedang memikirkan sesuatu, dan terakhir kali kau melihatnya seserius ini adalah saat dia memikirkan ide gila tentang perjanjian rahasia yang melibatkanmu dalam kehidupan pribadinya.
“Satu tahun lebih sudah berlalu, iya kan? Sejak kita, kau tahu, sejak pertama kali kita bersepakat…”
“Yeah. 595 hari.” kau menyahut tanpa menunggunya menyelesaikan kalimat.
Luhan mengangguk, “Yeah, cukup lama—wow, kau menghitungnya?” Kedua alisnya terangkat tinggi dengan mata melebar ketika Luhan mengutarakan ketidakpercayaannya. Dia mungkin tidak pernah mengira kau akan tahu hingga sedetil itu, tapi kau sendiri pun tidak pernah mengatakan padanya, bahwa selama ini, tanpa sepengetahuan Luhan kau menghitung hari kebersamaan kalian. Dan ya, hari ini tepat 595 hari sejak saat itu.
Cengiran lebar menghiasi wajahmu, dan kau mengangguk malu-malu menjawabnya sambil menggigit lidah. Ini mungkin terdengar sangat kekanakan, tapi ada kalanya kau merasa hal-hal kecil semacam ini cukup romantis untuk kepuasan pribadimu sendiri. Terutama ketika kalian berdua bukan tipe pasangan yang akan merayakan perayaan semacam hari ke-100, 200, 300 dan kelipatannya. Luhan tidak pernah mengingatnya, dan kau sendiri terlalu gengsi untuk membahasnya.
“Apa kau sudah punya seseorang yang kausukai?”
Pertanyaan Luhan yang satu ini seperti jurus totok tubuh dalam serial pendekar Cina jaman dulu, yang lelaki itu tujukan padamu dan membuatmu seketika membeku, tidak mampu bergerak maupun bicara. Kau terkejut dengan pertanyaannya. Kenapa tiba-tiba Luhan menanyakannya?
Luhan menatapmu beberapa lama, dengan kedua alisnya yang kembali terangkat menunggumu mengatakan sesuatu. Tapi ketika tidak ada jawaban yang keluar dari mulutmu, dia meng-edit pertanyaannya.
“Kau menyukaiku? Jo?” Kali ini pertanyaannya tidak terdengar cukup percaya diri seperti sebelumnya. Ada keraguan saat dia menanyakannya, seolah dia takut kau akan menjawabnya dengan jawaban yang tidak dia ingin dengar.
Yang menjadi masalah adalah kau tidak yakin benar jawaban apa yang ingin dia dengar. Kau tidak tahu jawabanmu nantinya akan menjadi masalah atau tidak untuknya, terutama karena kalian memulai semua ini dengan sebuah perjanjian mutual tanpa disertai dengan latar belakang perasaan yang sama—atau setidaknya kau berpikir seperti itu.
Tapi kau menyukai Luhan. Sejak dulu kau menyukainya, meski perasaan itu hanya sekedar rasa kagum maupun percikan-percikan afeksi seorang remaja di masa puber. Luhan memiliki kepribadian yang disukai banyak orang. Lelaki itu tidak hanya cerdas, tapi juga ramah dan dewasa. Dan kau harus mengakui bahwa tingkat sayangnya semakin tinggi sejak kalian terikat dalam perjanjian itu, dia memperlakukanmu jauh lebih lembut dan perhatian.
“Aku menyukaimu.”
Kau menemukan senyumnya merekah lebar di sudut bibirnya. Luhan mengangguk-anggukkan kepalanya, dan mengatakan hal yang sama.
“Aku juga.”
“Aku juga apa?” kau bertanya.
“Aku juga menyukaimu.” Katanya malu-malu. Luhan membuka mulutnya, menahannya terbuka tanpa ada kata yang keluar dari bibirnya. Kepalanya tertahan di udara, dalam posisi membentuk garis diagonal, dia menatap kosong udara sebelum kembali padamu ketika sepertinya ada pertanyaan baru yang ingin ditanyakannya.
“Seberapa besar, kau menyukaiku?”
Kau tidak langsung menjawabnya. Sedikit banyak kau bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini akan berujung. Kau tidak perlu berpura-pura bodoh untuk mengetahui bahwa Luhan memiliki intensinya sendiri kali ini. Kau menyadarinya, bahwa kalian memiliki perasaan yang sama, dan jauh di dalam dirimu kau merasa senang karena akhirnya kalian membahas hal ini.
“Umm.”
Dan kau teringat akan sebuah kalimat yang pernah Luhan kutip dalam obrolan kalian di Kakao Talk malam tahun baru yang lalu. Dua buah kalimat yang awalnya tidak kaumengerti, tapi semakin hari menjadi sebuah landasan yang meyakinkanmu akan perasaannya.
“Aku menyukaimu, sebesar saat-saat seolah aku bisa merasakan tanganmu memegang hatiku meski kau berada di ribuan kilometer di seberang benua.”
Love is when you can still feel their hand on your heart when they are not near.
Luhan tertawa pelan. Dia ingat kutipan itu, dan karena saat ini kau mengutipnya kembali, dia tidak bisa menahan diri untuk menertawai dirinya sendiri.
Kau tidak ingin berpikir terlalu lama ketika akhirnya kalimat itu terlontar juga. Sebuah pertanyaan yang mengindikasikan sebuah ajakan, penawaran, yang sebelumnya beberapa kali terbersit di dalam kepalamu. Hal yang hanya berani kaubayangkan di dalam kepalamu, tapi tidak pernah kau ungkapkan langsung padanya. Luhan mengatakannya.
“Kita berpacaran saja bagaimana? Kali ini yang sungguhan, dan untuk seterusnya.” Dia memiringkan kepalanya lagi, mencari fokus pandanganmu yang kosong menatap udara.
Saat itu juga kau mulai bisa menebak arti di balik gelagatnya sejak beberapa jam yang lalu. Kenapa tiba-tiba saja ada buku memori yang dibuatnya dengan susah payah, cincin baru seharga sepuluh kali lipat lebih dari cincin imitasi yang kaubeli dulu, dan juga kenapa dia harus mengusir Minseok untuk memberikannya.
“Ah. Jadi karena ini kah kau memberiku buku dan cincin itu? Agar aku merasa tidak enak dan berpikir ulang bila ingin menolakmu?”
“O-ho. Terbaca sekali, ya?” Luhan mengikik pelan mengetahui modusnya terbongkar. Dia jelas tidak bisa membaca apa isi kepalamu, dan melihatnya berharap-harap cemas hingga melakukan semua ini hanya untuk mengajakmu benar-benar berpacaran, membuatmu merasa terhibur.
Dia laki-laki yang manis.
“Baiklah, kalau kau memaksa.”
Kau tahu ini bukan saatnya bermain jual mahal, bahkan Luhan pun protes saat kau mengatakannya. Tapi kau tidak bisa menahan dirimu saat ini, Luhan terlalu manis dan kau tidak bisa menahan diri untuk tidak meledeknya.
Untuk pertama kalinya malam ini kau melihatnya tertawa keras, tergelak melampiaskan kelegaannya. Sepertinya beberapa saat ke belakang dia merasa tegang sendiri akan kecemasan yang disimpannya. Saat dia menggenggam tanganmu, kau merapatkan kaitan jari-jarimu di tangannya sama erat. Rasanya ingin sekali menertawainya, tapi kau menahan diri.
“Daebak. I’m a tiger’s boyfriend.”
“The tiger’s boyfriend is a deer. Daebak.”
Dan kau tahu dia akan mencium bibirmu saat Luhan mendekatkan diri, antara ragu dan tersipu kau hanya diam pada posisimu. Interaksi kalian berdua tidak pernah lebih dari kecupan di pipi sebagai ungkapan rasa sayang di antara kalian berdua—kecuali satu hari itu, saat Luhan berinisitif agar Kris berhenti mengganggumu, jadi kau sedikit bingung respon macam apa yang harus kau berikan padanya saat ini.
Tidak ada yang kaulakukan, tidak ada suara maupun ungkapan yang keluar dari mulutmu. Kau benar-benar membeku saat dia sudah semakin dekat, hidung kalian saling bersentuhan, kemudian—
Ding-Dong!
Berhenti.
Untuk sesaat Luhan tidak bergerak, hanya diam pada tempatnya hingga dia menarik diri. Kali ini kau tidak bisa menahan tawamu, dan kau terkikik geli bersamanya saat suara bel dari luar pintu kamar terdengar lagi.
“Pesanannya datang.” Ujar Luhan sambil mengulum senyumnya, dan kau mengulangi kalimatnya.
“Pesanannya datang.”
Kau sudah bergerak hendak merangkak turun dan membukakan pintu. Tapi sebelum kakimu menyentuh lantai, Luhan menarikmu kembali ke sisinya. Dia mengecupmu di bibir dan tersenyum lebar saat menarik dirinya sesaat kemudian. Begitulah kemudian dia melepaskan tanganmu, dan membiarkanmu meninggalkannya dengan wajah merah padam menyambut staf dapur yang telah menunggumu dengan senyum simpul di balik pintu.
* * *
27 Desember 2013
Kau masih berusaha untuk memahami apa sebenarnya maksud di balik hadiah-hadiah yang para laki-laki itu berikan, sepasang jeans dan sweater, juga pakaian dalam. Ini bukanlah hadiah yang wajar diterima seseorang dari teman-teman laki-lakinya kecuali mereka sedang merencanakan sesuatu.
Dan benar saja, masih dalam usahamu menduga-duga di waktu sempit itu, Chanyeol menarikmu dari Luhan, mengangkat tubuhmu ke atas bahunya dan membawamu pergi. Luhan tidak melawan, maupun terlihat keberatan dengan kegesitan gerak temannya itu. Kau melihatnya tertawa pelan, dan menyuruhmu untuk relaks.
Tapi bagaimana kau bisa relaks bila semua orang kini menyorakimu?! Namamu dan juga Chanyeol adalah dua hal yang kau dengar dari seruan orang-orang di dalam mansion itu, ketika Chanyeol membawamu keluar kamar, setengah berlari menuruni tangga—sungguh, rasanya sangat mengerikan saat dia melakukan ini—dan kau tidak bisa berhenti meneriakinya selama itu.
Kau tidak tahu ke mana Chanyeol akan membawamu saat itu, hingga kau menyadari dia berlari ke arah teras belakang mansion-nya, di mana sebuah kolam renang besar terbentang lebar di belakang villa. Hanya dalam hitungan detik, kau melayang, dan suara debur keras adalah satu-satunya tanda yang menyadarkanmu bahwa Chanyeol telah melemparmu ke dalam kolam.
Kau terhempas.
Byurr!!!
Setidaknya ini berada di luar ekspektasimu. Ketika kau berpikir akan disambut dengan dinginnya air kolam di tengah hawa beku ini, kehangatan menyelimuti seluruh tubuhmu saat kau sepenuhnya berada di dalam air.
Sebelumnya kau berpikir ini hanyalah imajinasimu saja, karena kau terlalu mabuk untuk bisa berpikir jernih. Tapi setelah sekitar dua detik berusaha memahami situasinya, semua ini nyata. Airnya hangat. Thanks God.
Kau gerakkan tanganmu di antara dorongan arus air di bawah kolam. Di dalam sini hanya ada kau sendiri, saat kau menoleh mencari keberadaan orang lain dan tidak menemukan siapapun. Kau mulai pusing kembali, seolah ada ribuan jarum menusuk-nusuk dari hidungmu, hingga ke puncak kepalamu. Kau lupa bahwa kau bukan makhluk berinsang. Kau tidak bernapas di dalam air, dan hidung manusia tidak bekerja untuk menyaring oksigen yang terkandung dalam jutaan partikel dihidrogen monoksida di sekelilingmu saat ini.
Ketika akhirnya kau ingat untuk tidak bernapas dan menghirup banyak air, kau lupa untuk menggerakan kaki dan tanganmu. Seperti batu, kau hanya diam di dalam air. Melayang seperti benda mati di ruang hampa udara, gravitasi tidak bekerja di dalam dunia ini. Kau hanya menatap dua tanganmu yang pucat, jari-jarimu terasa kaku.
Samar-samar bisa kaudengar orang-orang memanggil namamu. Kau mendongak, suaranya datang dari atas sana. Kau ingin menjawab panggilan mereka, tapi yang keluar hanyalah gelembung-gelembung udara dari mulutmu. Tubuhmu tidak bergerak mencapai permukaan, kau tidak sadar ini bukan hal yang baik.
Dan sekali lagi kau lupa, bahwa bernapas adalah cara manusia untuk bisa bertahan hidup. Karena manusia membutuhkan oksigen agar seluruh kegiatan organ di dalam tubuhnya bisa terus bekerja. Setelah entah berapa lama kau menahan napas, kau mulai merasa pengap. Gelembung udara berhamburan saat kau membuka mulutmu, menghela napas, dan hidungmu mulai terasa menusuk lagi saat kaucoba menghirup udara—tapi yang kaurasakan hanyalah air menerobos masuk ke dalam kepalamu.
Pandanganmu mulai gelap. Tubuhmu terhuyung hingga ke dasar kolam saat jauh dari kesadaranmu kaurasakan sebuah tekanan muncul dari atas permukaan kolam. Sebuah tangan menepuk pipimu seolah tengah mengukur tingkat kesadaranmu, tapi kau tidak begitu menyadari apa yang terjadi. Ada yang membawamu naik.
Saat kau sadar seseorang meniupkan udara ke dalam paru-parumu dari mulut. Ada tekanan yang kaurasakan di dadamu dalam interval gerak yang teratur, dan kau terbatuk, memuntahkan banyak air yang telah kautelan. Kautangkap tangan yang memompa jantungmu itu, menggenggamnya erat saat kau mulai panik. Seluruh tubuhmu terasa kaku saat ini, angin dingin bertiup kencang membekukan tubuhmu.
Adalah suara Luhan yang akhirnya membuatmu jauh lebih tenang. Laki-laki itu melibatkan handuk tebal ke seluruh tubuhmu, kemudian menggendongmu di kedua lengannya. Saat itulah genggaman tanganmu terlepas, ternyata bukan tangan Luhan yang kau genggam sejak tadi. Dan ketika kau membuka matamu, samar-samar kau melihat Jongin menatapmu cemas. Dia berlutut di tepi kolam, basah kuyup.
.
Kau tersentak, dan terbangun di jok belakang mobil Minseok. Bagian atas tubuhmu berselimutkan mantel milik Luhan, sementara kau memakai mantelmu sendiri sebagai bantal untuk tidur.
Dari jendela mobil kau bisa melihat bahwa salju sudah berhenti turun. Mobil yang kini Minseok kemudikan berjalan dengan cepat di jalanan besar menuju Institut Woobin, dan di kursi depan dia mengobrol bersama Luhan.
Mereka bicara dengan nada rendah, mungkin karena tidak ingin membangunkanmu dengan suara mereka. Tapi ketika kau mendengarkan apa yang para lelaki itu bicarakan, sepertinya bukan hanya itu alasan kenapa keduanya mengecilkan volume mereka.
“Mungkin hanya kebetulan saja. Mungkin kebetulan kalian memikirkan ide yang sama, hal semacam itu bisa terjadi, kan?” ujar Minseok datar.
“Ya, mungkin saja. Aku sungguh berusaha berpikir semua ini kebetulan, semoga saja begitu.” Luhan menghela napas cepat. “Meski Jongin bukan tipe seperti itu, dia kelihatan seperti sedang berusaha menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang seolah harus kuwaspadai atau semacamnya, dan dia bukan orang seperti itu.”
“Kalau begitu bicaralah dengannya….”
Sebenarnya kau tidak ingin menguping pembicaraan dua laki-laki itu, tapi saat mendengar nama Jongin disebut, kau tidak bisa menahan diri untuk tidak menajamkan telingamu.
Apa yang sedang mereka bicarakan? Apa maksudnya? Apa yang Luhan katakan baru saja ada hubungannya dengan Jongin dan kau? Apa Luhan tahu sesuatu? Lalu apa yang dia maksud dengan kebetulan?
Rangkaian pertanyaan itu berderet di dalam kepalamu sementara kau berkonsentrasi mendengarkan obrolan mereka. Minseok sepertinya sengaja menyalakan radio agar suaranya tercampur dengan siaran musik yang terdengar sayup-sayup dari speaker kabin, dari posisimu saat ini kau tidak bisa mendapatkan akses penuh akan seluruh pembicaraan mereka yang terdengar samar.
“Oh, kau sudah bangun?” Luhan mengatakannya dengan nada yang sepertinya sengaja dia keraskan ketika menoleh dan menemukan kau menatap punggung kursi kemudi dengan pandangan kosong. Saat itu juga Minseok berhenti bicara.
Dalam hatimu kau mengutuk diri sendiri karena tidak berpura-pura tidur saat menguping mereka. Kau tidak berpikir Luhan akan mengecek dan menemukanmu sudah bangun dari tidurmu yang lelap selama dua jam ini.
Kalian dalam perjalanan kembali ke asramamu setelah menginap di villa Chanyeol semalam. Setelah insiden kolam renang yang membuatmu terserang hipothermia ringan, Chanyeol membiarkanmu memakai kamarnya dan tidur di sana. Luhan menemanimu beberapa saat begitu membantumu berganti pakaian, memastikan kau cukup hangat di bawah selimut listrik hingga kau terlelap, dan kau bangun seorang diri di dalam kamar itu pagi ini.
“Di mana kita?” Kau bertanya, menoleh ke luar jendela dan berpura-pura masih dalam keadaan setengah sadar. Pemandangan di pinggir jalan tidak lagi asing di matamu, dan kau tahu kalian akan sampai di kampus dalam beberapa menit.
“Baru saja melewati stasiun Oldo, sebentar lagi kita sampai.” Ujar Minseok menjawab pertanyaanmu.
Luhan sengaja memiringkan duduknya ke arahmu, menyondongkan tubuhnya dan menjulurkan tangan untuk menyentuh sisi wajahmu, bertanya bagaimana perasaanmu pagi ini. Kau memjawabannya dengan kedua alis yang terangkat, dan memberitahunya kalau kau baik-baik saja.
Tak sampai sepuluh menit kemudian Minseok telah membawa mobilnya memasuki area kampus, dan berhenti di depan gedung asramamu. Kau menjejalkan diri ke dalam mantelmu dengan cepat, dan mengembalikan mantel Luhan pada pemiliknya sebelum membuka pintu belakang.
“Sungguh kau akan baik-baik saja?” Luhan bertanya sekali lagi. Lelaki itu hendak melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil mengantarmu hingga ke kamar, tapi kau menghentikannya.
Luhan dan Minseok harus berada di Seoul pagi ini, dan kautahu mereka tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu di sini bila tidak ingin melewatkan latihan pagi tim sepak bola mereka. Jadi sekali lagi kau mengangguk, kali ini lebih dalam, dengan senyum simpul yang meyakinkannya untuk tidak mencemaskanmu.
“Aku hanya akan berbaring sebentar menghilangkan hangover, kemudian muncul di kelas Ms. Evreinoff, dan segalanya akan baik-baik saja.” Ujarmu. Kau mendekatkan diri ke sela di antara kursi dan mengecup Luhan di bibir, “Hati-hati ya, kalian berdua. Jangan ngebut, jalanan licin karena salju.”
Kau menepuk pelan kepala Minseok, dengan begitu kemudian kau turun dari mobil dan berlalu pergi setelah melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal, dan berjanji pada Minseok untuk menyampaikan salamnya pada Seohwa.
Dengan langkah tergopoh-gopoh menahan angin dingin yang bertiup kencang, kau memasuki gedung asrama, menyapa penjaga di lobi dan melangkah cepat menaiki tangga. Kau berpapasan dengan beberapa gadis yang tinggal di lantai dan koridor yang sama denganmu, dan mereka memberitahumu bahwa ada seseorang yang tengah menunggu di depan pintu kamarmu.
Kau tidak bertanya siapa yang mereka maksud, karena dari cara mereka mengatakannya—dengan nada dan tatapan yang menghakimi—telah memberitahumu segalanya. Orang yang mereka maksud adalah Kim Jongin.
“Kau baik-baik saja?” laki-laki itu bertanya saat kau berusaha membuka kunci pintu kamarmu.
Kau tidak menyapanya ketika menemukannya berdiri bersandar di tembok sisi pintu kamar, melewatinya begitu saja seolah tidak melihatnya di sana.
“Hm.” Kaujawab dia dengan gumam pelan.
Jongin mengulurkan tangannya, hendak menyentuh wajahmu tapi kau menepisnya dengan tanganmu. Dengan satu putaran ringan dan suara klik pelan, kau membuka pintu dan begegas masuk ke dalam kamar. Untuk sesaat kau berpikir untuk tidak membiarkan Jongin masuk, tapi ternyata geraknya lebih cepat darimu. Dia sudah menahan pintumu dengan satu tangannya, dan mendorongnya lebar agar dia bisa masuk sebelum kau sempat menutup pintu di depan wajahnya.
“Aku ingin beristirahat, Jongin, dan kau menggangguku.” Katamu seraya berbalik badan dan membiarkannya melakukan apapun yang dia inginkan. Jongin menyusulmu masuk, dan mengayunkan pintu tapi tidak sampai tertutup rapat.
“Kau benar-benar baik-baik saja? Tidak ada hangover?”
“Aku baik-baik saja.” Jawabmu cepat. Kau melepas mantel, juga sepatumu yang kemudian kau taruh sembarangan di sudut kaki meja.
Kau hendak mengendurkan lingkaran syal di lehermu saat kau teringat sesuatu, dan mengurungkan niat melepasnya, membiarkannya tetap terpasang. Pagi ini kau menemukan bekas-bekas berwarna merah tua di beberapa tempat yang membuatmu agak syok saat melihatnya, dan kau tahu itu bukanlah ruam yang muncul karena hawa dingin. Kau ingat jelas apa yang terjadi, dan kau tidak ingin Jongin melihatnya.
“Luhan sudah pergi? Kenapa dia tidak mengantarmu?”
Mendengar nama itu keluar dari mulutnya membuat amarahmu meninggi seketika. Kau tidak suka dengan nada suaranya saat menyebut nama Luhan, seolah Jongin merendahkannya.
Kau bahkan tidak mengerti kenapa Jongin masih peduli apakah Luhan akan mengantarmu atau tidak, atau kenapa dia tidak berada di sini saat ini. Itu bukan urusannya. Apapun yang Jongin katakan tentang Luhan dan kau bukanlah urusannya, dan kau tidak suka bila dia ikut campur dengan urusanmu bersama Luhan. Dan begitulah kau menjawab pertanyaannya.
“Apa yang kauinginkan, Jongin?” Kau menambahkan dengan pertanyaan lain. “Kenapa kau bersikap seperti itu padanya? Kenapa kau melakukan ini padanya? Apa yang kauinginkan? Apa yang ingin kau tunjukkan padanya?”
Ini tentang semua tindakan sembrono yang Jongin lakukan di depan Luhan. Tentang gerak improvisasinya saat kalian menari, tentang hadiah ulangtahunnya, tentang dia yang terjun ke dalam air dan menarikmu keluar dari kolam, semuanya.
Kautahu ada yang salah dengan caramu bicara dengannya. Ini bukan sepenuhnya kesalahan Jongin, karena bagaimanapun juga kau terlibat dalam seluruh aksinya yang blak-blakan. Kau adalah pemicunya, kau sadar benar akan hal ini, tapi saat ini kepalamu penuh dengan kegusaran akan banyak pertanyaan dan penyesalan hingga menyalahkan Jongin adalah satu-satunya yang bisa kaulakukan.
Kau menyalahkannya akan beban berat yang menekan dadamu saat ini.
Jongin tidak menjawab pertanyaanmu untuk beberapa detik setelahnya. Dia hanya menatapmu, dan kau memalingkan wajahmu darinya saat itu juga. Kau takut bila memandangnya akan membuatmu menyerah lagi padanya.
Kemudian dia mendengus. “Kenapa kau menanyakan hal ini sekarang?” Jongin memiringkan kepalanya saat dia menoleh padamu, kemudian dia menarik kepalanya dan mengangguk seperti seseorang yang baru saja mendengar jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan.
“Ah, benar.” Ujarnya. “Kau terlalu sibuk mengabaikanku selama seminggu ini.”
Senyum sinis yang sebelumnya menjadi keutamaan dari ekspresi wajahnya beberapa saat lalu kini berubah menjadi jauh lebih serius. Tatapannya tajam ke arahmu, dan kau mulai berpikir, bila saja tatapan bisa membunuh, kau mungkin sudah bersimbah darah tak bernyawa saat ini.
“Bagaimana rasanya? Berusaha tidak menghiraukanku selama beberapa hari ini? Bagaimana rasanya ingin bicara padaku, tapi kau terlalu menahan diri dan akhirnya memilih meninggalkanku?”
“Jongin, ini bukan saatnya—“
“Kenapa kau tidak membuka diri padaku?” Jongin memotong kalimatmu. “Kenapa kau begitu keras kepala?”
Tidak ada jawaban selain hela napas panjangmu di akhir pertanyaannya. Kau mengerti kenapa Jongin bersikap seperti ini sekarang, kau mulai mengerti kenapa dia melakukan semua ini. Mau tidak mau kau harus mengakui bahwa ini pun tanggungjawabmu, karena kau telah menginjak pedal gas terlalu dalam, dan mendorong laju hasratnya terlalu tinggi.
Kau harus mengakui bahwa kalian memiliki ikatan yang membuatmu tidak bisa lepas darinya. Dia membuatmu terpesona, dan kau ingin memilikinya. Kau pernah berpikir demikian, dan masih memikirkannya. Dan kau menyadari bahwa dia memiliki pikiran yang sama. Jongin menginginkan hal yang sama, tapi kau tidak bisa semudah itu menyerah pada keinginanmu, karena Luhan berada di antara kalian berdua.
Ataukah kau yang sebenarnya berada di antara mereka berdua?
“Kau menyukaiku, Jo. Aku bisa melihatnya dari caramu memandangku.” Jongin melangkah mendekatimu, kau terhuyung mundur.
“Kau juga menyukaiku, karena itu kau membiarkanku menciummu.”
“Jongin, berhenti.”
Tapi dia terus melanjutkan kalimat yang ingin dikatakannya dan mendekatimu, hingga kau terpojok di sisi meja, berhenti di sana. Jongin tidak berhenti bicara.
“Kau juga menyukaiku, karena itu kau tidak menghentikanku. Dan karena kau juga menyukaiku, kau membalas ciumanku, karena kau menginginkan hal yang sama.”
Dia berdiri tepat di hadapanmu, dan merapatkan dirinya semakin dekat untuk menghapus jarak di antara kalian berdua. Tangannya di wajahmu, dan kau menunduk dalam, tidak berani menatapnya.
Yang Jongin katakan tidak salah, itulah yang membuatmu tidak berkutik. Kau menyukainya, ya, dia benar. Kau juga menyukainya, dan untuk itu kau tidak mampu menyangkalnya. Jongin tidak mengatakannya untuk kepentingan dirinya sendiri, kau tahu meski dia seseorang yang tidak banyak bicara mengenai dirinya sendiri, dia bukan seseorang yang menerima pengabaian begitu saja. Dia tidak perlu mengatakannya agar kau tahu.
Kau menjauhinya setelah insiden malam itu terjadi. Setelah kau menciumnya—hal yang kau inginkan, dan tidak dipaksakan—dan memberinya harapan, kau menghempaskannya seperti debu yang menempel di pakaian kotor, tidak mengacuhkannya, menganggapnya tak ada.
“Dia memanfaatkanmu, Demi Tuhan, Jo. Kau memiliki pilihan, dan kenapa kau membiarkan dirimu berada dalam situasi semacam ini bertahun-tahun, sementara kau bisa bebas dan menyukai siapapun yang kauinginkan?”
Awalnya kau tidak mengerti apa yang Jongin bicarakan, hingga sedetik kemudian seolah awan-awan mendung menyingkir dan menerangkan langit benakmu.
Tentu saja dia akan berontak, dan kau mulai mengerti kenapa dia melakukan semua aksi itu di depan Luhan. Jongin berpikir kalian masih dalam situasi perjanjian lama yang didengarnya tidak sengaja dua tahun yang lalu, dan kau terlalu buta akan perasaanmu untuk memberitahunya yang sebenarnya. Kau tidak pernah menyadarinya hingga saat ini.
Kau mengangkat tanganmu, menaruhnya di dada Jongin—memberi jarak agar Jongin bisa mendengarkan apa yang akan kaukatakan dengan jelas. Dia menggenggam tanganmu di dadanya, dan untuk sesaat sentuhan itu membuatmu sedikit terdistraksi. Kau tidak menolak saat dia mendekatkan diri dan menciummu.
Seharusnya tidak begini. Kau ingin menjauh, tapi Jongin tidak memberimu kesempatan untuk melepaskan diri. Demi penguasa bumi dan langit, bila saja kau bisa keluar dari situasi ini kau akan dengan senang hati melakukan apapun agar bisa terbebas dari belenggu ini. Kau benci dirimu sendiri karena tidak mampu menjauhkan dirimu darinya, tapi sangat bersalah saat merasakan bibirnya di mulutmu.
Ini seperti sebuah pembenaran, karena di saat yang sama kau tidak ingin dia melepaskanmu. Karena kau menginginkannya, dan segala tentang Jongin terasa pas untukmu.
Dan ketika dia mulai menguasaimu, bayang-bayang wajah Luhan menyerang benakmu dalam seketika. Seperti sebuah kilat di tengah hujan badai, rasa salah itu membuatmu tersentak. Kau teringat akan kebenaran yang ingin kau katakan, dan kau menarik diri darinya.
“Kau tidak mengerti, Jongin. Tidak seperti itu situasinya.”
Kau memberanikan diri untuk menatapnya. Wajahnya begitu dekat, dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah, meski setidaknya kau bisa mengenali sedikit kehangatan yang memancar dari pandangan matanya.
Dia terlihat seperti anak anjing yang tersesat, menatapmu dengan penuh harap akan sebuah harapan, sebuah jawaban. Dan ini membuatmu seperti seseorang yang paling jahat di dunia. Karena kau tidak memiliki jawaban apapun untuk segala pertanyaannya.
Tidak saat ini.
“Kalau begitu jelaskan padaku. Buat aku mengerti, atau aku akan—“
“Kau akan melakukan apa?”
Suara itu tidak keluar dari mulutmu, dan jelas bukan dari mulut Jongin. Suara itu adalah suara terjelas yang terngiang di telingamu selama beberapa tahun ini, karena terlalu sering kau mendengarnya, dan bahkan merindukannya di dalam kesendirianmu.
Dari atas bahu Jongin kau menemukan pemilik suara itu berdiri di ambang pintu kamarmu, dan kau tidak pernah merasa seterkejut ini dalam hidupmu. Bahkan ketika hantu-hantu berpakaian seram di atraksi Haunted House mengejutkanmu pun rasanya tidak seperti ini.
Kau mendorong Jongin menjauh darimu, membuatnya terhuyung mundur, tapi lelaki itu tidak mengatakan apapun saat melihat Luhan di kamar ini. Kau menutup wajahmu dengan kedua tangan. Syok.
“Seharusnya kalian menutup pintu bila ingin suasana yang lebih privat.” Luhan berkomentar dingin. Kau tidak pernah mendengarnya bicara dengan nada seperti itu, seolah emosinya hilang, seolah dia tengah menahan dengan kuat amarahnya agar tetap di bawah pijakannya.
Luhan melangkah masuk ke dalam kamar, berdiri di antara kalian. Dia menurunkan tanganmu agar bisa melihat wajahmu, genggamannya di tanganmu sangat kuat. Terlalu kuat hingga kau merasa kesakitan, kau menggigit bibirmu menahan nyeri. Kau masih tidak berani menatapnya.
“Keluarlah, aku ingin bicara dengan Jo.” Luhan berujar. Kedua matanya masih menatapmu, tapi siapapun di dalam ruangan ini tahu jelas pada siapa kalimat itu ditujukan.
Dan untuk beberapa saat itu tidak ada tanda-tanda gerakan sama sekali. Luhan tidak mengalihkan tatapannya maupun melepaskan tanganmu, dan Jongin tidak terlihat akan pergi dari ruangan ini. Hingga sekali lagi Luhan harus mengulangi perintahnya dalam satu kata, menyuruh Jongin pergi, tapi yang disuruh menolak melakukannya.
“Tidak.”
Segalanya terjadi begitu cepat. Kau sendiri pun tidak mengira hal semacam itu terjadi, atau respon semacam ini akan pernah muncul dari seseorang seperti Luhan. Kau bahkan tidak mampu berteriak ketika tiba-tiba saja Luhan melepaskan genggaman tangannya dan menyerang Jongin.
Bukk!
Suara itu terdengar cukup keras, dan kau menahan pekikanmu ketika Luhan menyengkeram kerah jaket Jongin dan memojokkan lelaki itu ke tembok. Kau bisa melihat Jongin mengernyit saat kepalanya membentur dinding beton di belakangnya, tapi dia masih menahan wajahnya tetap tidak berekspresi di hadapan Luhan.
Selama sepersekian detik itu kau mengira Luhan akan memukulnya, atau akan terjadi perkelahian di antara dua laki-laki ini di dalam kamarmu.
Kau tidak ingin melihat mereka saling memukul, kau tidak mungkin mampu melihat mereka menyakiti satu yang lain. Kau ingin melerai, tapi tubuhmu tidak bisa bergerak. Kau membeku di kakimu, tangan membekap mulutmu sendiri menahan teriakan sekaligus tangis yang kini terbendung di sudut matamu.
“Kau tidak punya hak untuk menjawabku seperti itu, Kim Jongin. Kalau aku bilang pergi, maka kau pergi!” Luhan berkata dengan suaranya yang rendah di wajah Jongin. Luhan tidak pernah terlihat semarah ini, hingga dia menggertakkan giginya hanya untuk menahan diri untuk tidak memukul Jongin. Dia terlihat menakutkan, dan tubuhmu mulai gemetar melihatnya.
“Luhan…” Kau menyebut namanya, berharap dia akan menoleh padamu, mengalihkan perhatiannya padamu. Tapi sepertinya dia tidak mendengarmu.
Kau tidak pernah merasa lebih lega lagi sepanjang hidupmu ketika saat itu juga Minseok muncul dari luar bersama Seohwa. Gadis itu terlihat sangat terkejut, dan memekik pelan ketika melihat apa yang Luhan lakukan pada Jongin saat ini. Minseok berhambur padanya, menaruh kedua tangannya pada cengkeraman Luhan di jaket Jongin, dan menenangkan temannya itu.
“Lu, lepaskan. Kendalikan dirimu, lepaskan dia.”
Membisikkan beberapa kata lagi pada Luhan, yang tidak begitu kau dengar jelas, Minseok menarik tangan lelaki itu dari Jongin, melepaskannya. Minseok kemudian mengajak Jongin pergi meninggalkan kamar. Awalnya Jongin menolak untuk ikut bersamanya, tapi Minseok memaksa, dan menarik lelaki itu meninggalkan kalian. Kau sendiri tidak pernah tahu bahwa Minseok ternyata cukup kuat, bahkan lebih kuat hingga bisa menarik Jongin pergi bersamanya.
Begitu pintu ditutup dari luar, kau berusaha untuk menenangkan dirimu. Apa yang baru saja kaulihat membuatmu cukup syok hingga kau tidak bisa bernapas teratur. Luhan masih menyandarkan tangannya di tembok, menatap kakinya, sementara kau menarik napas dalam dan menghelanya tanpa suara.
“Maaf. Seharusnya aku bisa mengendalikan diri. Apa aku menakutimu?”
Kepalamu tergeleng menjawab pertanyaan itu. Pandanganmu tertuju pada apapun kecuali matanya. Kau tidak bisa menatapnya, kau merasa tidak pantas. Kau merasa bersalah.
Seluruh fokusnya tertuju padamu kini, hanya padamu. Luhan mendekatkan diri, tapi tidak cukup dekat untuk bisa meraihmu, seolah dia sengaja memberikan jarak di antara kalian.
Kau berharap Luhan baru saja muncul. Kau berharap dia tidak mendengar apa yang Jongin dan kau bicarakan, apalagi melihat apa yang kalian lakukan. Kau sungguh berharap dia tidak tahu apa-apa, Demi Tuhan, semoga dia tidak tahu.
“Lihat aku.” Ujarnya pelan, tapi jauh dari kata lembut. Dan kau mengangkat matamu menatapnya.
Luhan tidak terlihat marah, tidak juga dia menatapmu dengan amarah. Yang membuatmu mencelos saat ini adalah saat kaulihat wajahnya yang terluka, matanya yang merah dan basah, tapi tidak menangis. Tatapan mata itu mengingatkanmu saat tahun lalu dia mengantarmu ke bandara ketika kau akan meninggalkan Korea menuju Rusia. Luhan menatapmu seolah kau bukannya pergi selama beberapa minggu tapi selamanya, seolah kau tidak akan pernah kembali, dan dia akan kehilanganmu. Tatapan itu kini jauh lebih dalam, dan raut wajahnya yang penuh gurat lelah membuat hatimu nyeri. Kau terluka karena melukainya.
“Apakah itu benar?” dia kemudian bertanya. “Apa yang kudengar itu benar, Jo? Dia menciummu, dan kau membalasnya?”
“Luhan, maafkan aku.”
“Apa saja?” dia bertanya lagi. “Apa lagi yang sudah kalian lakukan? Berapa kali?”
Kau menggeleng saat memahami apa maksud pertanyaannya. Luhan berpikir terlalu jauh, dan rasanya sakit sekali saat mendengar dia berpikir sampai ke sana. Ini hanya sekali terjadi—dua kali—dan saat ini kau menyesalinya. Luhan seharusnya tidak melihatnya, dia seharusnya tidak di sini. Kenapa dia bisa di sini?
Kau kembali menggeleng.
“Ini tidak seperti yang kaupikir. Tidak seperti itu.”
“Dan kau pikir aku akan percaya?” dia menyanggahmu, volume suaranya mulai meninggi. “Kau biarkan dia menciummu lagi setelah dia mengatakan bahwa aku memanfaatkanmu, Jo, Demi Tuhan, kau anggap aku ini apa?”
“Maafkan aku.” Itu adalah satu-satunya kalimat yang bisa kau katakan padanya. Tidak ada lagi lainnya, karena kau merasa sangat menyesal dengan apa yang dia dengar dan dia saksikan. Kau menyesal karena dia harus menyaksikanmu bermain api di depan matanya.
“Kau menyukainya?”
Kau tidak menjawab pertanyaan itu.
“Bagaimana denganku?” Luhan mengubah pertanyaannya, dan kau masih tidak menjawabnya. Kedua matamu kembali menghindarinya.
“Kau tidak bisa terus begini, Jo.” Dia berkata lagi setelah beberapa saat. Kau masih diam, dan dia sudah tidak tahan dengan kebisuanmu. Dan ultimatumnya, adalah hal yang tidak pernah kaupikir sama sekali.
“Aku atau Kim Jongin, kau pilih.”
Tidak pernah terbayang di dalam kepalamu bahwa akan benar-benar datang saat ini, di mana kau harus memilih, dan itu bukanlah sekedar Chanyeol atau Baekhyun yang meledek kecanggunganmu. Kali ini Luhan yang menanyakannya, dan kau yakin benar ini bukan sekadar pertanyaan sambil lalu. Luhan serius, dan suaranya yang bergetar saat pertanyaan itu terlontar, membuatmu gemetar.
Kau tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu, karena saat ini kau sangat egois. Karena rasa sayangmu padanya masih tetap bertahan dan sama sekali tidak berkurang sejak dia meresmikan hubunganmu dengannya. Tapi kau juga menyukai Jongin. Kau juga menginginkannya, tapi kau tidak ingin Luhan tahu tentang itu. Kau tidak ingin berbohong padanya.
Kau diam, tidak ingin menjawab. Kau sungguh berharap Luhan akan berhenti menanyaimu, dan kau bisa menjelaskan segalanya, lalu kalian berbaikan. Tapi saat ini kau menyadari, bahwa tidak ada yang bisa dijelaskan dari apapun yang ada dalam kepalamu. Luhan melihat segalanya, dia mendengar hal yang—bila dia tidak ada di sini sekarang—seharusnya tetap menjadi rahasia antara kau dan Jongin.
“Aku tidak tahu, maafkan aku, tapi aku tidak tahu.”
Dia mungkin akan menganggapmu jahat, tidak tahu diri atau semacamnya. Tapi memilih satu di antara mereka berdua adalah hal terakhir yang akan kaulakukan. Kau tidak ingin memilih, kau tidak ingin kehilangan mereka berdua. Kecuali mereka memutuskan untuk pergi darimu, karena itulah yang Luhan lakukan saat ini.
“Baiklah, kalau begitu aku yang akan memilihkannya untukmu. Kau memilihnya, itu sudah jelas.”
Kedua matamu terangkat, menatapnya. Luhan tidak mungkin mengatakan ini, kenapa dia mengatakannya? Tahu apa dia tentang hatimu? Kenapa dia memilih Jongin untukmu?
Luhan menarik napas dalam dan menghelanya dengan cepat. “Kalau kau memilihku, Jo, kalau kau benar-benar menyukaiku, kau tidak akan pernah menyukai Kim Jongin. Kalau kau memilihku, kau akan menjelaskan padanya apa yang terjadi di antara kita, bukannya menyembunyikannya dan membiarkannya salah paham hingga saat ini. Kau memilihnya, karena itulah kau berbohong padaku. Kau menyukainya, karena itulah dia melakukan semua ini. Dan kau menginginkannya, karena itulah kau membiarkannya menciummu.”
Kalimatnya yang panjang membuat tenggorokanmu tercekat. Tidak. Kau tidak seperti itu. Berusaha untuk membela dirimu, kepalamu tergeleng, kau tidak sejahat itu. Kau tidak mau mengakuinya, meski ada setitik bagian dalam dirimu yang mengakui kalimat-kalimat yang baru saja Luhan katakan.
Demi Tuhan, apa yang sudah kulakukan?
Luhan mendengus, tertawa pelan dan mengusap wajahnya dengan satu tangan bersandar kembali di tembok. “Dasar bodoh.” Ujarnya dengan nada menghakimi, seolah dia baru saja menyadari sesuatu yang selama ini tidak pernah dia pikirkan. Dan kau mulai berpikir bahwa kata bodoh yang lelaki itu katakan sepertinya tidak tertuju untukmu.
“Kau sudah memilihnya sejak dulu, dan selama ini aku beranggapan segalanya hanya lelucon. Aku telah mendorongmu untuk memilihnya sejak dulu.” dia tertawa lagi.
Begitukah? Kau sendiri pun tidak yakin. Kapan tepatnya kau mulai menyukai Kim Jongin kau tidak pernah tahu, karena perasaan itu muncul dengan tiba-tiba, tanpa bisa kau kendalikan. Dan saat kau menyadarinya, Jongin sudah sangat membuatmu terpesona.
“Kau bebas, Jo.” Matamu kembali memandangannya. Luhan mengangguk-anggukkan kepalanya seraya bernapas melalui mulutnya yang terbuka, dan setelah memberi jeda kalimatnya hingga beberapa detik, Luhan menjawab pertanyaanmu yang tak terlontar mengenai maksud kalimat sebelumnya.
“Aku pernah mengatakan dulu, bahwa aku akan melepaskanmu kalau kau menemukan seseorang yang kausukai. Maka sekarang aku akan melepaskanmu.” Luhan menarik napasnya lagi, “Karena kau sudah menemukannya.”
Dan kalimat itu ditutup dengan satu anggukkan lagi sebelum Luhan benar-benar mengakhirinya, menepuk pelan lenganmu dan berbalik pergi. Dia berjalan hingga ke ambang pintu saat kemudian berhenti dan berbalik padamu.
Dari saku celananya Luhan mengeluarkan sesuatu, sebuah kotak kubus pipih sebesar telapak tangan. Kotak kubus yang sama seperti kotak kalung yang Jongin berikan padamu sebagai hadiah ulang tahunmu, dengan warna yang sama, dan brand yang sama pula. Dia menaruhnya ke atas meja.
“Tadi aku kembali untuk memberikan ini. Tapi…” Luhan membasahi bibirnya, “Kau boleh membuangnya.” Dan begitu saja dia berbalik pergi, membuka pintu dan menutupnya pelan di belakang punggungnya.
Kini kau sendiri, dan kau merasa… entahlah.
Ada rasa hampa yang kini menguasai sebagian besar ruang benakmu begitu Luhan pergi, seolah dia telah menarik pergi separuh jiwanya yang dulu pernah dia titipkan dalam ruang batinmu. Di saat yang sama kau merasa ringan. Beban berat yang selama ini bertumpu di bahumu sekejap menghilang dan kau seperti melayang karena terlalu ringan.
Ada yang salah dengan situasi ini, tapi di saat yang sama kau merasa segalanya tidak pernah sebenar ini. Seolah inilah yang selama ini ingin kaulihat dan rasakan.
Begini sajakah? Semuanya berakhir? Luhan bilang dia melepaskanmu, dan kau tidak mampu memahami apa yang sebenarnya kaurasakan saat ini. Beginikah rasanya saat seseorang mengakhiri hubungannya setelah bertahun-tahun? Apakah rasanya memang setenang ini, ataukah kau yang sudah mati rasa hingga tidak bisa merasakan nyeri yang seharusnya menusuk dan menombak dadamu hingga kau merasa sesak dan tidak bisa bernapas.
Kau ingin mengejarnya. Saat berlaih ke jendela kamarmu, kau melihat Luhan melangkah keluar dari gedung asramamu dengan langkah cepat menuju ke area parkir. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh, seperti yang biasa dia lakukan tiap kali meninggalkan kamarmu.
Luhan meninggalkanmu di sana, dan kau tidak tahu apakah dia akan kembali, atau berapa lama kau harus menunggunya hingga dia memaafkanmu. Apakah dia akan bicara denganmu lagi? Apakah dia akan baik-baik saja? Karena kau tidak bisa menghilangkan bayang-bayang wajahnya yang merah dengan air mata yang membendung di sudut manik hitamnya tadi.
Kau ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar. Dia terluka, dan kau mati rasa.
Menoleh ke atas meja, kau menatap kotak Tiffany yang Luhan taruh sebelum pergi. Langkahmu pelan menghampirinya, mengambil kotak itu dengan satu tangan dan membukanya dengan tangan yang lain.
Kau menemukan sebuah kalung dengan pendant berbentuk kristal salju di dalamnya. Seketika jari-jari lentikmu meraba dadamu, di mana sebuah kalung yang sama tergantung di sana. Sama persis, kecuali satu hal.
Yang membuatnya berbeda hanyalah huruf ‘LJ’ kecil yang terukir di jantung sudut-sudut kristal salju itu, menunjukkan sebuah inisial dari namamu dan namanya. Kakimu gemetar hebat hingga kau jatuh terduduk di atas lantai.
Beginikah rasanya saat kau dibebaskan? Atau beginikah rasanya saat kau ditinggalkan?
Ini hari ulangtahunmu, dan bukan ini yang kauminta pada tiupan lilin pertama malam lalu. Tapi kenapa begini?
Dadamu terasa nyeri. Tapi kau merasa lega.
* * *
.
.
================================================================================
jadi ini saatnya kamu, Jo, harus mulai berpikir… Luhan atau Jongin?
Pilih salah satu. Atau lepaskan keduanya.
Temans, kasih tahu aku gimana menurut kamu chapter ini, dan gimana aku harus mengakhiri cerita ini??? #sobs
*gerakan kampanye*
#staystronglulu #staystrongjo #staystrongjongin
~xoxo
p.s.
sountrack chapter ini dipersebahkan oleh Ross Copperman – Holding On and Letting Go.
Filed under: fan fiction, series Tagged: Enchanted, Han Jo, Kim Jongin, Kim Minseok, Lu Han
