Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

SUPER JUNIOR ONESHOT SERIES – #ZHOUMI

$
0
0

zhoumi

Untitled

Some people come in your life as blessings, others come out as lessons.

 -

When I was just a little girl

I asked my mother, “what will I be?

Will I be pretty?

Will I be rich?”

Here’s what she said to me:

“que sera, sera

Whatever will be, will be;

The future’s not ours to see

Que sera, sera

Whatever will be, will be.”

Seorang guru ketika di SMA pernah berkata kepada kami, suatu hari kalian akan terbangun di pagi hari dengan dua kemungkinan, bersyukur atau menyesal.

Waktu itu, aku bukan jenis orang yang begitu memikirkan apa yang akan kulakukan dalam hidup atau apa tujuanku dalam hidup. Hei, anak usia tujuh belas tahun mana yang akan memikirkan hal-hal kolot seperti itu. Aku bahkan sudah cukup sibuk menghitung kalkulus dan saudara-saudaranya, membedakan antigen dan antibodi, dan memikirkan mengapa benda jatuh ke bawah dan bukannya ke atas? Yang kutahu hari ini dan jika esok datang adalah, aku hanya perlu menjalaninya.

Apa yang terjadi, terjadilah.

Terjadilah apa yang harus terjadi.

Aku hanya ingin seperti itu saja. Karena dengan begitu akan terasa lebih mudah. Orang-orang yang datang dan pergi. Biarkan. Untuk apa-apa yang kita pasrahkan kita tidak tahu apa yang akan dibawanya kembali. Mungkin pemikiran, hidup, teman, atau cinta yang baru.

Dan aku hanya ingin bangun disuatu pagi, dengan mata yang masih mengantuk, tidak menyesal.

 -

The past

“Kau akan belajar dibawah bimbingan Zhoumi. Anggap saja kalian ini kelompok diskusi belajar. Semoga berhasil.” Wali kelasku, Kim seonsaeng-nim—begitu kami memanggilnya—menutup pembicaraan kami dengan tegas. Jelas ini bukan penawaran. Artinya, kritik dan saran apalagi bantahan, ditolak.

Aku meninggalkan ruang guru dengan pasrah. Benar-benar tak tertolong. Itulah yang diucapkan guru-guru yang lain saat mengomentari nilai pelajaranku di hadapan Kim seonsaeng-nim. Mau bagaimana lagi. Sekolah yang kumasuki adalah sekolah lokal. No english of course. Aku yang made in Indonesia asli dan bersuku batak mana mengerti dengan bahasa yang kata-katanya kebanyakan berakhiran-nida itu. Risiko jadi anak diplomat.

Welcome to the jungle. Kupikir pindah ke negara ini sudah merupakan ide paling buruk. Ternyata masih ada yang lebih parah lagi.

-

“Aku akan menjelaskannya sekali jadi perhatikan baik-baik.” Dia akan selalu memulai dengan kata-kata itu. Aku sampai hapal.

Zhoumi, si anak laki-laki asal Cina itu sama denganku. Pindah ke Korea mengikuti ayahnya yang ditugaskan mengisi posisi duta besar di Kedutaan Besar Cina untuk Korea. Hanya saja dia sudah dua tahun lebih dulu di sini. Jadi dia tidak ada kesulitan dengan bahasa Korea. Dan kemampuannya dalam bahasa Inggris menjadi alasan Kim seongsaeng-nim menunjuknya sebagai tutorku.

Ini sudah berjalan tiga bulan. Awalnya kupikir aku akan baik-baik saja. Tapi ya Tuhan, bagaimana bisa ada orang sekaku dan seangkuh dia.

“Aku harap kau sudah paham. Sekarang kerjakan soal-soal ini,” perintahnya dengan nada datar.

“Err… maaf bisa jelaskan sekali lagi?” Dia langsung menatapku tajam. Sungguh aku bukan ingin bermaksud bunuh diri. Tapi lebih baik begini daripada pura-pura tahu tapi akhirnya malah terlihat bodoh. Dia meletakkan sebuah buku yang kupikir adalah buku catatan.

“Kau bisa melihat ini. Aku sudah mencatat semuanya disitu.”

Tapi sebenarnya dia cukup baik juga, selalu membuatkan aku catatan.

Sering bersama tampaknya tak lantas membuat kami berpikir kami adalah teman. Setidaknya mungkin dia berpikir begitu. Saat belajar kami tidak pernah membicarakan hal lain di luar topik yang semestinya dan di sekolah kami nyaris tidak pernah saling bicara. Lagipula itu bukan masalah untukku. Aku juga tidak ada niat untuk menjadi akrab dengannya. Benarkah?

Akhir-akhir ini ada pemahaman baru yang menyelusup masuk ke dalam pikiranku tentangnya.

“Kau bukannya tidak bisa. Kau hanya tidak pernah memberikan usaha terbaikmu. Kau tidak mau. Itu masalahmu.”

“Aku sudah berusaha. Tahu apa kau soal usahaku?”

No, you didn’t.”

Yes, I did.”

Zhoumi meringis.

“Kau beruntung, ada orang yang berusaha untuk mempermudah semuanya untukmu. Aku, aku harus berusaha sendiri untuk diriku sendiri sampai aku ingin muntah karena merasa nyaris gila menghadapi semua ini.”

Itu adalah pertama kali Zhoumi bicara lebih dari satu kalimat di luar matematika, biologi, fisika dan rekan-rekannya.

Dan marah.

Aku terkesiap dan takjub. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk merasa begitu. Tapi tetap saja.

For your information, dia marah karena nilai-nilaiku masih belum lebih baik dari sebelumnya. Kupikir dia tidak akan peduli. Well, harusnya aku sudah tahu kalau dia yang dimintai pertanggungjawabannya oleh Kim seonsaeng-nim.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, akhir-akhir ini ada pemahaman baru yang menelusup masuk ke dalam pikiranku tentangnya.

Bahwa Zhoumi adalah kontradiksi dari diriku. Dan kejadian hari ini semakin menunjukkan betapa bersinarnya dirinya. Dan betapa jauhnya aku dibawah dirinya. Aku selalu berpikir bagaimana bisa ada orang seajaib dia. Segala sesuatu tentang dirinya adalah bakat, prestasi, dan hidup yang terkonsep. And yes, he’s good looking. Everyone admits it.

Dan hari ini, aku membuat pengakuan. Aku iri padanya.

Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Tapi sulit rasanya menahan diri untuk tidak merasa iri ketika setiap kali aku melihatnya, yang aku lihat adalah segala hal yang ingin kumiliki. Ini bukan diriku. Aku adalah seseorang yang santai dalam menjalani hidup. Tapi untuk pertama kalinya aku merasa terintimidasi karena eksistensi seseorang. Dia berhasil memaksaku berpikir tentang pertanyaan ini, lalu bagaimana dengan diriku?

-

Sudah sebulan, sejak terakhir kali aku belajar bersama dengannya. Kontrak kami resmi berakhir karena kemampuan bahasa koreaku sudah cukup untuk membuatku bisa dilepas sendiri. Dan ya, kami tidak tiba-tiba menjadi akrab. Aku rasa juga tidak akan. Hidup terus berjalan. Aku dengan segala pertanyaan yang tiba-tiba bermunculan entah dari mana dan dia dengan hidupnya yang sempurna.

Dititik ini, aku menyadari, iriku telah bermetamorfosis menjadi kagum. Dan pemahamanku tentangnya kian berkembang sehingga bisa melihat yang sesungguhnya bahwa dia berlabel unreachable.

Orang bilang untuk apapun yang tidak kita usahakan, kita tidak layak untuk mengharapkannya. Jadi, aku akan berusaha, sehingga aku layak, paling tidak, untuk sekedar mengharapkannya.

Dan tanpa kusadari aku telah berubah, karena dia. Aku berubah untuk mengimbanginya. Untuk menjadi pantas dengannya. Harusnya aku gunakan saja enam bulan saat bersamanya untuk menggodanya. Aku rasa itu tidak licik.

Salju mulai mencair. Musim dingin segera berakhir. Demikian juga hal lainnya. Papa akan pindah tugas ke London dan aku akan meneruskan kuliah disana. Dan kudengar Zhoumi juga akan kuliah di New York, dia diterima di Columbia University. Itu artinya, kami akan berpisah dan kemungkinan untuk kami bertemu lagi… aku sangat pesimis mengenai hal itu.

Tidak banyak yang pernah kulakukan dalam hidup. Tapi kali ini aku ingin melakukan sesuatu. Setelah gagal dengan misiku untuk mendapatkan Zhoumi karena dia sudah punya pacar dan kenyataan aku terlalu pengecut untuk mendekatinya, setidaknya aku akan mendapatkan ini sebagai hadiah hiburan. Aku akan menemui Zhoumi. Hanya untuk berterima kasih untuk enam bulan yang telah diberikannya untukku. Aku tak pernah melakukannya sebelumnya meski aku punya kesempatan itu. Jadi, sebelum kesempatan itu benar-benar hilang dan karena aku juga tidak yakin akan bisa bertemu lagi di masa depan. Biarkan untuk sekali ini saja, hari ini aku mengucapkan:

“Terima kasih.” Dan…

“Zhoumi, aku rasa aku menyukaimu.”

When I grew up and fell in love,

I asked my sweetheart

“What lies ahead Will we have rainbows Day after day?”

Here’s what my sweetheart said:

“Que sera, sera,

Whatever will be, will be;

The future’s not ours to see.

Que sera, sera,

What will be, will be.”

The present

Aku berjalan meninggalkan Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dengan setengah berlari. Sekilas aku memperbaiki tali tas yang kusampirkan di bahu sebelah kanan. Aku baru saja menyelesaikan liputan pertemuan dua Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina.

Terdengar seseorang yang seperti memanggilku dari arah belakang. Aku berhenti untuk memastikan. Kupikir pasti minus mataku sudah bertambah. Aku pasti salah lihat. Dan orang itu kini berdiri di hadapanku sambil mengatur napas.

“Kau berjalan cepat sekali,” cetusnya. Aku membeku. Bahkan suaranyapun sama.

“Aku kira aku seperti melihatmu diantara wartawan yang meliput di dalam tadi, ternyata benar kau.” Aku masih tidak bergeming. Orang itu jadi salah tingkah.

“Kau Eizel, ‘kan?” tanyanya dengan ragu. Aku mengangguk dengan kaku. “Kau tidak mengenalku?”

“Zhoumi.” lirihku. Zhoumi tertawa kecil.

“Apa kabar?”

-

Aku tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Redakturku sampai memarahiku dan menyuruhku menulis ulang beritanya, lagi. Dan semua itu bermuara pada satu orang.

Zhoumi.

Kami tak sempat bicara banyak tadi. Setelah mengumpulkan seluruh kesadaran yang kumiliki, aku segera pamit kepada Zhoumi. Aku masih harus menyusun berita yang baru kuliput untuk dinaikkan dalam tayangan berita petang hari ini. Sebelum pergi, Zhoumi meminjam ponselku untuk menelepon ke ponselnya sendiri.

Aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu. Nanti aku hubungi. Katanya tadi.

Aku mematikan laptopku, menghela napas, lalu meletakkan keningku di atas meja kerjaku. Orang itu selalu berhasil membuatku galau tingkat rofessional.

Getaran ponsel di samping kepalaku membuatku tersentak. Ada pesan masuk. Aku menswap layar ponselku. Dari Zhoumi.

Apa kau sibuk? Ayo bertemu.

Aku termangu menatap layar ponselku. Meski ingin sekali mengetikkan balasan iya, tapi entah kenapa jemariku serasa enggan bergerak. Setelah membuat pengakuan yang tak bisa disebut pengakuan itu, nyaliku menciut untuk bertemu dengannya.

Tapi lima tahun tak bertemu, aku baru sadar, tadi saat wajah itu tersaji dengan indahnya didepan mata, kerinduanku ternyata sudah berada ditingkat kronis. Parah.

Aku menswap lagi layar ponselku dan mengetikkan sesuatu.

Dimana?

-

Aku pernah membaca disuatu tempat entah dimana suatu saran percintaan yang mengatakan, jatuh cintalah pada orang yang tidak hanya mengaggumkan tapi juga bisa mengubahmu menjadi lebih baik. Well, I did it. Tapi harusnya ditambahkan juga kalau akan sulit untuk mendapatkannya.

Kupikir semua sudah berakhir dan aku akan baik-baik saja. Dan rasakupun sudah tertinggal di pada waktu aku membuat pengakuan itu. Pengakuan yang kusebut pengecut karena aku mengucapkannya dalam bahasa Indonesia yang kuyakini tidak dipahaminya.

Aku bahkan masih bisa merasakan bagaimana gugupnya aku waktu itu. Aku hampir saja memutuskan pulang tapi sayangnya Zhoumi sudah melihatku. Jadi aku menguatkan hatiku, mengumpulkan semua keberanian yang kumiliki, dan menahan sekuat tenaga agar air mataku tidak tumpah. Itu akan sangat memalukan.

Dia di hadapanku, aku di hadapannya. Dia menatapku dan aku tunduk memandangi ujung sepatuku. Kutarik napas dalam-dalam. Kutegakkan kepala dan menatap lurus ke dalam matanya.

“Terima kasih untuk enam bulan kemarin, kau telah bekerja keras membantuku.”

Jantungku berdentam sedemikian kencangnya sampai aku mengira kalau jangan-jangan dia mendengar suaranya.

“Bukan masalah,” sahutnya dingin

Aku diam. Dia diam. Kami diam.

Aku meremas jemariku.

“Dan maaf telah menyusahkanmu,” tambahku setelah menemukan kembali suaraku.

“Hmm.” Hanya itu. Terlalu jelas dan mengintimidasi. Artinya baguslah kau tahu. Aku semakin mengkeret.

“Aku… aku… mengatakannya karena selama ini aku belum pernah mengucapkan terima kasih, dan aku hanya ingin kau tahu kalau aku sangat berterima kasih padamu. Dan jangan salah paham, aku mengatakannya sekarang karena kau tahu kita mugkin tidak akan bertemu lagi, dan mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk menyampaikannya dan… dan….”

Ya Tuhan. Apa yang kukatakan? Aku tidak bisa mengontrol mulutku. Sekarang dia menatapku seakan aku ini makhluk aneh. Bagus sekali, Eizel. Kesan terakhir yang kuberikan padanya benar-benar… unik. Kalau bisa menghaluskan kata yang seharusnya, kacau.

Dan tarik napas yang dalam sekali lagi. Ini kata penutupnya.

“Zhoumi, aku rasa aku menyukaimu.”

Dia menatapku lekat-lekat. Aku tak bisa membaca ekspresinya. Oh, tidak. Apa dia paham apa yang baru saja kukatakan. Jeda panjang.

Aku rasa aku benar-benar akan menangis sekarang. Apapun, tolong kirimkan apa saja untuk menyelamatkanku dari situasi ini. Badai salju atau angin puting beliung juga tidak masalah.

“Apa?” cetusnya, bingung tiba-tiba. Refleks aku menghembuskan napas yang tanpa sadar kutahan sedari tadi. Lega.

“Aku bilang sampai jumpa.” kilahku

“Baiklah, aku pergi.”

Aku mengangguk.

Dan dia berjalan menembus butir-butir salju terakhir yang turun di penghujung Januari. Aku terus menatap punggungnya hingga hilang dari pandangan.

-

Setelah berjuang menembus kemacetan lalu lintas Jakarta, akhirnya aku sampai dua jam kemudian. Aku merapikan blazer pink yang kukenakan, dan mengecek sekilas penampilanku di pintu restoran yang berbahan kaca.

Dia tersenyum melambaikan tangannya padaku. Aku membalas senyumnya dengan canggung.

“Jadi, kau jurnalis sekarang,” ujarnya setelah basa-basi yang menegangkan bagiku.

“Dan kau calon diplomat. Mungkin dalam rentang waktu sepuluh tahun kau sudah jadi diplomat.”

“Aku harap.” Itu dia. Zhoumi dan optimismenya. Masih sama.

“Buah benar-benar tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya ya?”

“Tidak juga. Kau contohnya.”

Aku tersenyum. Mengangkat cangkir kopiku.

“Sudah ada kakakku yang melakukannya.”

“Begitu ya?”

“Aku kesulitan menemukanmu.”

“Kau mencariku?” Nada terkejut terdengar begitu jelas dalam suaraku. Ini terlalu di luar dugaan.

“Kenapa?”

“Aku kira kita tidak sedekat itu.” Kata-kata yang langsung kusesali detik itu juga. Tapi memang benar kan?

Raut wajahnya berubah kaku dan sedikit tidak nyaman.

“Aku tahu,” timpalnya. “Kau berubah.” Dia mengalihkan topik.

Itu berkat dirimu.

“Semua berubah, Zhoumi.”

Kami terlibat dalam perbincangan—yang tak kusangka—bisa dikatakan akrab. Aku tersenyum saat dia dengan semangat bercerita tentang pekerjaannya. Dia berkomentar betapa hubungan diplomatik dua negara itu lebih sensitif dari pasangan kekasih.

Dia juga mengatakan kalau dia sekarang ditugaskan di pos diplomatik di Indonesia. Artinya, kami bisa bertemu lagi lain kali. Yang kupikir tidak bertemu lagi ternyata justru semakin bertemu. Masa depan memang sangat tricky.

Zhoumi, baik sepuluh tahun lalu maupun sekarang, ataupun di masa yang akan datang, aku tak pernah, tak pernah bisa memilikimu, tapi meskipun begitu, senang bisa menyukaimu.

Aku tetap pengecut yang tak berani mengungkapkan perasaanku. Biarlah. Mungkin lain kali. Untuk apa-apa yang tak bisa dipaksakan bukankah lebih baik dipasrahkan saja?

Satu jam berlalu dengan cepat. Dia melirik jam dipergelangan tangannya.

“Mungkin lain kali kita bisa minum kopi bersama lagi,” ujarnya. Dia menatapku seakan meminta tanggapanku. Sejak kapan Zhoumi jadi orang yang tidak percaya diri begini.

“Ya, mungkin,” putusku.

Kami berpisah di depan restoran menuju kendaraan masing-masing.

Mungkin lain kali saat kami bertemu lagi untuk minum kopi bersama, aku akan mengatakan kepadanya bahwa karena dia, seorang gadis telah berubah. Bahwa seorang gadis berhasil menemukan tujuannya berkat dirinya. Dan bahwa dirinya adalah sebuah inspirasi.

-

The future

Whatever will be, will be

(Pagi ini, aku terbangun dengan mata yang masih mengantuk, tidak menyesal, dan bersyukur)


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Zhou Mi

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles