I do not know all the secrets of your heart
But still I come, you live..
Somewhere between pain and sweetness
But still I come, Still, I follow you
― Celine Dion, Tous Les Secret de Ton Coeur (in translation)
Lee Chaerin
Chaerin sudah hampir bisa menebak apa yang akan dia dengar ketika nama Luhan muncul di layar ponselnya yang berkedip. Setelah semua yang dia saksikan dan dia dengar, dia tidak berharap banyak. Perasaannya jauh berbeda dibanding saat Luhan meneleponnya dulu, meski begitu dadanya tetap saja berdebar saat menatap namanya.
Dia hampir tidak bisa mempercayai matanya sendiri ketika menemukan nama itu di ponselnya sebulan yang lalu. Selama bertahun-tahun hanya bisa memandangi nama dan avatar Luhan di buku kontak ponselnya, Chaerin merasa seperti… entah bagaimana. Jantungnya mulai berdegup kencang. Untuk beberapa saat dia hanya bisa tercengang menatap ponselnya berkedip, saking terkejut dan syok, hampir tidak percaya hal semacam ini akan terjadi.
Saat itu adalah malam sebelum hari terakhir di penghujung tahun 2013, dan Luhan meneleponnya untuk pertama kali.
.
Saat kecil dulu, Chaerin pernah memimpikan sebuah kisah indah antara dirinya dan seorang laki-laki tertentu suatu hari nanti. Di mana orang yang diam-diam dia suka ternyata juga merasakan hal yang sama seperti dirinya, dan melakukan hal-hal romantis dan juga bodoh di hadapan banyak orang hanya untuk menarik perhatiannya—seperti mengakui perasaannya di depan seluruh warga sekolah, atau membuat kejutan di hari ulangtahunnya, segala macam hal seperti itu.
Dia sering mengkhayalkan kisah-kisah picisan yang banyak diimpikan para gadis seumurannya. Tapi saat beranjak dewasa, Chaerin harus mengakui bahwa kehidupan nyata tidak berjalan sesederhana kisah-kisah dalam khayalannya. Atau mungkin, dia hanya bukanlah orang yang terpilih untuk menjalani kisah khayalan itu.
Chaerin menyukai Luhan, itu bukanlah berita baru di kalangan para alumni SMA Woomin seangkatannya. Dia sudah menyukai Luhan sejak tahun pertama dia belajar di sekolah itu, dan tidak pernah berhenti menyukainya hingga tahun-tahun berlalu.
Menjadi seseorang yang juga disukai diam-diam oleh Luhan, adalah hal yang dia impikan sejak gejolak perasaan itu menguasai dirinya di awal kekagumannya pada Luhan—seorang anak laki-laki yang ramah, bersahabat, cerdas, dan sangat manis.
Di sekolahnya dulu dia termasuk dalam jajaran para gadis yang selalu menyebut nama Luhan tiap malam agar lelaki itu bersedia mampir ke dalam mimpinya, dia adalah seseorang mengakui perasaannya terang-terangan. Tapi dalam dunia nyatanya, Luhan tidak pernah membalas perasaannya, atau melakukan hal-hal bodoh untuk menarik perhatiannya.
Tokoh dalam dunia khayalnya diperankan oleh seorang gadis lain bernama Han Jo.
.
Mereka adalah legenda.
Luhan dan Jo, sudah saling mengenal sebelum mereka belajar di SMA yang sama. Mereka telah menjadi teman baik yang sangat dekat karena Jo ternyata adalah seorang penari ballet yang menari di akademi milik ibu Luhan. Mereka yang selalu terlihat berdua, bersama dengan sahabat kentalnya, Kim Minseok, menjadi selebritis dengan pesona dan prestasinya sendiri di kalangan para siswa junior dan senior. Dan seperti kisah-kisah yang selalu Disney ceritakan, anak laki-laki pemilik akademi itu akhirnya jatuh cinta pada sang penari cantik yang telah sekian lama memukau hatinya.
Dan ya, mereka adalah legenda. Karena selama dua tahun terakhir sisa SMA mereka diisi dengan cerita-cerita tentang interaksi keduanya sebagai pasangan remaja, yang bila saja dia tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, sampai selamanya Chaerin hanya percaya hal-hal semacam ini hanya ada di cerita-cerita romansa picisan drama Korea.
Awalnya dimulai dengan Luhan yang memasang fotonya berdua bersama Jo di page Cyworld-nya, kemudian mengumumkan pada dunia bahwa statusnya saat itu tidak lagi ‘sendiri’. Sebuah pengakuan yang meruntuhkan dunia khayal sekian banyak gadis yang mengekori kehidupannya dimanapun dan kapanpun, pengakuan yang membuatnya merasa terkhianati.
Tapi anehnya dia tidak bisa membenci mereka. Dia tidak bisa membenci Han Jo, karena sederhananya, Han Jo bukan gadis yang bisa dibenci.
Chaerin mengenalnya sejak mereka memulai hari pertama SMA. Chaerin masih bisa mengingatnya dengan jelas saat gadis itu menyapanya di gerbang sekolah sebelum upacara penerimaan siswa baru berlangsung, bertanya bila dia juga siswa baru di Woomin. Mereka berjalan bersama sambil mengobrol tentang SMP mereka dulu, dan kenapa mereka masuk ke SMA itu. Hingga sampai di auditorium, gadis itu bergabung bersama dua teman laki-lakinya yang telah sampai terlebih dahulu, mengenalkannya pada dua laki-laki itu. Chaerin tidak pernah melihat seseorang tersenyum begitu menawan seperti salah satu di antara anak laki-laki itu, seseorang yang mengenalkan dirinya dengan nama Cina yang terdengar lucu di telinganya, tapi tetap indah, dan saat itu juga dia jatuh cinta padanya.
Mereka adalah tokoh utama dalam dongeng dari negeri bernama SMA Woomin. Sang Pangeran tampan yang dicintai para rakyatnya, bersama seorang putri jelita yang sama populernya. Mereka begitu pas bersama, dan Chaerin tahu, tidak ada gadis yang cukup ideal untuk bisa dibandingkan dengan putri cantik itu.
Han Jo adalah seorang gadis yang membuatnya terperangah saat pertama kali gadis itu tertangkap sudut matanya. Gadis itu memiliki rupa yang jelita, dengan tubuh yang tinggi dan langsing, kulitnya pucat tapi sehat seperti seseorang yang telah berulang kali menjalani perawatan di Dermatherapis terbaik di pelosok negeri, lipatan matanya dalam, hidungnya mancung, bibir kecil, dengan rambut panjang yang ikal. Jo selalu terlihat cantik tiap saat, bahkan tanpa makeup dan hanya dengan polesan CC cream tipis di wajahnya. Chaerin seperti sedang melihat seorang gadis keturunan campuran dengan elegansi serupa dewi Athena dan kecantikan serupa dewi Aphrodite dalam mitologi Yunani.
Mereka berteman sejak tahun pertama, dan bagi Jo, dia adalah salah satu teman baik gadis itu. Gadis itu tidak berhenti menjadi temannya meski tahu tentang perasaannya pada Luhan, atau ketika gadis itu tahu dia menyatakan perasaannya pada lelaki itu. Dia tidak pernah menjauhkan Luhan darinya ketika mereka telah secara resmi bersama, dan masih mengundangnya untuk bergabung di meja mereka saat makan siang, atau ketika mereka berniat untuk menghabiskan akhir minggu berjalan-jalan bersama.
Jadi tidak, Chaerin tidak bisa membenci Jo karena itu, dan dia tetap menyukai Luhan di dalam hatinya. Dia tetap menyukai Luhan meski lelaki itu tidak pernah benar-benar melihatnya. Dia tetap menyukai Luhan meski jarak terdekat yang bisa dia capai adalah dengan berteman dekat bersama gadis kesayangannya, dan dia tetap menyukai Luhan hingga dia rela untuk mengikutinya ke manapun lelaki itu pergi.
Musim panas sebelum kelulusan mereka, Chaerin mendengar bahwa Luhan akan mendaftar di sekolah Teknik Arsitektur KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology). Dia belajar mati-matian untuk bisa mengimbangi nilai lelaki itu, mendekati para guru sains di sekolah dan juga akademi belajarnya untuk bisa mendapatkan rekomendasi, dan mendaftar di jurusan pada universitas yang sama. Kini dia adalah satu-satunya lulusan Woomin yang bisa belajar di institut teknik dan sains terbaik di Korea Selatan itu bersama Luhan dan Minseok.
Bahkan saat status pelajar mereka telah berubah, Luhan masih menjadi idola di sekolah barunya. Keramahannya membuat laki-laki itu mudah berteman dan disukai oleh orang-orang baru. Banyak gadis yang mendekatinya, tapi Luhan tidak pernah menaruh matanya pada mereka. Meski para gadis itu tahu kisahnya dengan seorang penari ballet yang kini belajar di Institut Woobin di seberang kota, mereka tidak berhenti mengekorinya, tapi sepertinya tidak ada satupun di antara mereka yang berhasil menggoyahkan kesetian sang Pangeran pada Putri cantiknya.
Di mata Chaerin, Luhan dan Jo adalah tokoh dongeng yang hidup di dunia nyata. Dia hanya bisa menjadi pembaca setia yang menikmati tiap kisah yang tertuang dalam baris kata buku bergambar, tapi tidak pernah bisa menjadi bagian yang membuat perubahan di dalamnya. Setidaknya begitulah dia berpikir, hingga suatu hari di akhir tahun 2013, Chaerin memberanikan diri untuk menjadi tokoh utama dalam kisah dongengnya sendiri.
.
Gosip cepat sekali menyebar di dalam grup alumni Woomin. Sebuah berita besar tersebar di grup Kakao Talk tentang berakhirnya hubungan Luhan dan Jo—ya, bahkan hingga setahun berlalu sejak kelulusan, mereka masih terus mengikuti kisah kehidupan sang legenda—suatu saat. Tidak ada yang tahu jelas apa penyebabnya, tapi cukup banyak spekulasi dan kisah-kisah yang simpang siur bersebaran di jendela obrolan grup angkatan itu, dan pembicaraan mereka terus berlanjut tanpa henti sepanjang malam.
Chaerin mencari Luhan sepanjang hari berikutnya. Dia tidak melihat lelaki itu muncul di beberapa kelas sepanjang pagi, hanya ada Minseok yang menjawab dengan enggan saat dia menanyakan perihal kabar yang tersebar di grup. Mereka tidak mengobrol lagi sepanjang sisa kelas pagi itu.
Setelah makan siang Chaerin sengaja berkunjung ke perpustakaan, mencari beberapa sumber bacaan untuk tugas essay satu mata kuliahnya. Dan di sanalah dia menemukan Luhan; terlelap di sudut belakang rak buku yang jarang dilewati, berbantalkan tas punggung dan berselimutkan mantel tebalnya, dengan buku-buku berserakan di sekitarnya dan laptop yang masih dalam keadaan menyala.
Chaerin menempatkan diri di dekatnya, membaca beberapa buku yang dia perlukan tanpa suara agar tidak membangunkan Luhan. Dia duduk di sana sepanjang sore dalam keheningan, sambil menulis poin-poin yang dia perlukan di buku catatannya.
Saat Luhan terbangun sekitar dua jam kemudian, lelaki itu agak terkejut menemukannya di sana. Tapi Chaerin tidak berkata apa-apa, dia juga tidak bertanya kenapa Luhan bisa sampai tertidur di sana—dugaannya anak laki-laki itu pasti menghabiskan malam di sana, menggarap laporan tugas hingga pagi dan tertidur setelah kelelahan—maupun bertanya lagi tentang kabar yang dia dengar. Dia hanya menyodorkan sandwich yang dia simpan di dalam tasnya pada Luhan, dan duduk di sana selama satu jam lagi membahas tentang kelas pagi itu.
Luhan meneleponnya untuk pertama kali setelah empat tahun mereka saling mengenal. Anak laki-laki itu mengajaknya pergi ke Hongdae dan menemaninya minum kopi keesokan harinya.
* * *
Satu bulan ini bisa dibilang adalah satu bulan terindah dalam hidupnya. Saat-saat dia hidup dalam kisah dongengnya sendiri, saat-saat di mana dia bukanlah hanya penonton, tapi adalah sang Putri yang selama ini hanya berakhir di dalam kepalanya saja.
Dia tidak pernah menyangka hari itu akan datang juga, di mana dia bisa berada di posisi yang dulu hanya bisa dia khayalkan di kepalanya, posisi yang dulunya hanya terisi oleh seorang gadis bernama Han Jo.
Chaerin menjadi seseorang yang duduk di hadapan Luhan, di mana seluruh fokus lelaki itu hanya tertuju padanya, tertawa dengannya, bercerita tentang hal-hal yang menarik bagi mereka. Untuk pertama kalinya Chaerin merasa hatinya berbunga, dia seperti melayang karena begitu senang dengan perlakuan yang dia dapatkan dari Luhan.
Saat itu dia benar-benar amat sangat iri pada Jo, karena gadis itu berkesempatan untuk menikmati manis dan pengertian sikap Luhan memperlakukannya. Lelaki itu sangat sopan, dan perhatian, dan Chaerin tidak mengerti kenapa Jo membiarkan lelaki seperti Luhan pergi dari kehidupannya. Karena bila dia menjadi gadis itu, maka dia tidak akan pernah berpikir sekalipun untuk melepaskannya, atau bahkan membiarkannya berinteraksi dengan gadis lain.
Chaerin tahu bahwa sedikit banyak Luhan masih melihat Jo pada dirinya, dari bagaimana lelaki itu memesankan Vanilla Greentea untuknya tanpa bertanya terlebih dulu, dan Chaerin tahu itu adalah favorit dan satu-satunya minuman yang akan Jo pesan saat mereka mengunjungi warung kopi setempat. Lalu dari bagaimana Luhan tidak sengaja meraih tangannya dan menaruhnya di kaitan siku lelaki itu—Chaerin ingat pernah mendengar teman-teman di grup Kakao membahas ini dulu, yang konon merupakan versi Luhan bergandengan tangan, dan bagaimana lelaki itu terlihat sangat melindungi dengan caranya ini—tapi menarik tangannya kembali beberapa saat kemudian sambil menyerukan kata maaf berulang kali.
Tapi satu hal yang tidak pernah Luhan tahu, adalah bahwa Chaerin sama sekali tidak keberatan. Dia tidak keberatan bila Luhan memanggilnya Tiger—dan semua orang tahu untuk siapa nama panggilan itu ditujukan—saat mereka tengah mengobrol, seperti dia yang bahkan tidak keberatan bila Luhan ingin dia menjadi menjadi seorang Han Jo.
Dia suka bila Luhan mengacak rambut di puncak kepalanya, dia sangat suka saat lelaki itu menaruh lengan di bahunya untuk bersandar—meski itu adalah hal-hal yang biasanya dia lakukan untuk Jo, meskipun begitu, selama Luhan ingin dia tetap bersamanya, Chaerin akan memakluminya. Dia tidak keberatan meski Luhan hanya menjadikannya tiang pantul untuk membingkas bola lambungnya.
Setidaknya setelah beberapa minggu Luhan sudah tidak lagi menyebut-nyebut nama Tiger dalam pembicaraan kalian. Lelaki itu memanggilnya dengan nama Chaero, dan Chaerin sangat suka dengan nama panggilan itu. Luhan bisa membuat namanya yang biasa saja terdengar sangat istimewa dengan panggilan yang dia buat seenaknya, dia tidak bisa tidak tertawa tiap kali lelaki itu menyebut nama Chaero dari mulutnya.
Tapi dari semua itu, Chaerin tahu bahwa ini tidak akan lama. Seperti dongeng yang tidak lagi dia percaya setelah beranjak dewasa, mau tidak mau Chaerin harus bangun dari mimpinya dan kembali berhadapan dengan realita. Sebuah kenyataan, bahwa kisah indah ini bukan miliknya, dan dia harus mengembalikan mahkotanya pada putri yang sesungguhnya. Karena sampai kapanpun, seorang penonton hanya akan tetap dan berakhir menjadi penonton, sekuat apapun kerekatan batin seseorang pada kisah yang dia saksikan di layar kaca.
Setelah sebulan menikmati singgasananya sebagai pengganti sementara sang putri yang tengah hiatus dari dunia pertunjukkan, Chaerin harus berhadapan lagi dengan lawan main sesungguhnya dari pemeran utama kisah sang Pangeran. Ketika Luhan mengajaknya untuk menonton pertunjukkan malam amal di Institut Woobin, Chaerin sudah merasakan ini akan menjadi akhir dari babak pertunjukkannya sendiri.
Sudah waktunya dia harus turun panggung.
.
”Kau mahasiswa di KAIST juga?”
Seorang laki-laki yang mengenalkan dirinya bersama Chanyeol bertanya, dan Chaerin menjawabnya dengan anggukkan ringan. Luhan mengenalkannya dengan dua teman lelaki itu. Mereka datang bersama Minseok ke konser ini, dan sepertinya, dari cara para lelaki itu melihat mereka berdua, tidak ada yang menduga bahwa Luhan akan datang—bersamanya.
“Berarti belum lama kau mengenal Luhan Hyung?” Chanyeol bertanya lagi begitu mereka telah duduk di dalam auditorium. Luhan duduk di antara dirinya dan Minseok, sementara di sampingnya duduk Chanyeol, kemudian Baekhyun di samping lain lelaki itu.
Chaerin menggeleng, “Tidak juga. Kami dulu sekolah di SMA yang sama.” jawabnya.
Kedua mata Chanyeol sontak membulat mendengarnya. Begitu Chaerin menyebut almamaternya, Chanyeol mulai menunjukkan ketertarikan yang sebelumnya tidak terlihat dari ekspresi maupun gelagatnya.
“Berarti kau juga bersekolah dengan Jo?” Ya. Tentu saja pertanyaannya akan mengarah ke sana, Chaerin sudah menduganya. “Katakan padaku, apa dia memang sepopuler itu di sekolah dulu?”
“Chanyeol.” Luhan berseru. Nadanya sengaja terdengar sebagai peringatan.
“Ah, wae, Hyung? Aku hanya ingin tahu, kau selalu memamerkan popularitasnya dulu di SMA.” Chanyeol memprotes, kemudian menoleh lagi pada Chaerin. “Jadi Luhan hyung memang berpacaran dengan primadona sekolah?”
“Park Chanyeol!”
Luhan menoleh pada Chanyeol dengan desis peringatan kedua, yang jelas tidak terlalu dihiraukan oleh si jangkung yang duduk di sampingnya. Chaerin mengerti bahwa ini bukan sekedar pertanyaan di mana Chanyeol hanya ingin tahu masa lalu Jo seperti yang dia katakan. Pertanyaan itu berarti jauh lebih dalam, bila ditarik lebih luas lagi jarak pemahamannya, Chaerin tahu benar, bahwa Chanyeol ingin mengingatkan Luhan bahwa Jo tidak akan tergantikan.
Dan tentu saja, Chanyeol tidak mengatakannya secara gamblang, lelaki itu mengungkapnya dengan cara yang jauh lebih halus. Tapi Chaerin tidak bodoh, dan dia sendiri pun tahu diri.
“Ya, dia dulu primadona sekolah, tapi mereka sama-sama populer.” Chaerin akhirnya menjawab, berusaha untuk menjaga ekspresinya agar tak tampak canggung. Tadinya dia pikir pertanyaannya akan berhenti di sana, dia sama sekali tak menduga teman laki-laki Luhan yang lain ternyata juga ikut memberinya pertanyaan, dan yang ini jauh lebih parah lagi.
“Lalu kau sekarang berpacaran dengannya atau bagaimana?”
“Byun Baekhyun!”
Bila sebelumnya Luhan hanya mendesis dengan memberikan tatapan peringatan, sekarang lelaki itu sudah mulai terlihat sangat terganggu. Luhan berdecak, dan mengangkat tangannya siap memukul, tapi Chaerin dan Chanyeol pun siap menahannya. Saat ini jelas bukan waktu yang tepat untuk berkelahi.
“Ah, wae?! Aku hanya ingin tahu kenapa kau tidak pernah bercerita tentang Lee Chaerin, dan kenapa sekarang tiba-tiba saja kau muncul bersamanya saat kita akan bertemu Jo.”
Tepat sekali, Chaerin berpikir.
Kalau saja dia bisa bicara, dia juga ingin menanyakan hal yang sama. Chaerin ingin tahu kenapa Luhan membawanya ke tempat ini, dab dari semua hal yang bisa dia terima apa adanya, Chaerin tidak tahu kenapa Luhan memilih untuk mempertemukannya dengan Jo. Ini seperti sama saja membawanya ke panggung duel di mana semua penonton yang hadir sudah tahu jelas siapa pemenangnya. Karena dari seluruh kepercayaan diri akan kehadirannya di samping Luhan hingga saat itu, Chaerin tidak menghitung saat-saat di mana dia akan berdiri di antara dua legenda ini. Bahkan dia seharusnya tidak berada di sana saat itu.
Luhan menyuruhnya untuk tidak menjawab pertanyaan itu, menyuruhnya agar berpindah duduk di antara dirinya dan Minseok agar Chanyeol dan Baekhyun berhenti merecokinya. Tapi Baekhyun pun tidak menuntut jawaban. Dia tidak perlu, karena lelaki itu telah mengutarakan apa yang sesungguhnya ingin mereka katakan di depan Luhan. Dan kata-kata mereka sepertinya tepat mengenai sasaran.
Karena Chaerin bisa melihatnya dengan jelas, sekeras apapun Luhan berusaha untuk menyembunyikannya, kehadiran Jo di hadapannya sangat mengganggu fokus lelaki itu.
Chaerin tidak pernah tahu apa penyebab sesungguhnya perpisahan mereka, atau berusaha untuk menanyakannya pada yang bersangkutan. Saat mereka bersama, Luhan tidak pernah menyebut nama Jo satu kali pun atau membahas apapun yang berhubungan dengan gadis itu. Tidak ingin membuat Luhan terganggu, Chaerin pun akhirnya tidak pernah membicarakannya juga.
Tapi malam itu sedikit banyak Chaerin mendapatkan kejelasan dari rumor-rumor yang beredar. Tentang seorang laki-laki yang konon menjadi orang ketiga di antara keduanya, dan Chaerin menemukan sosok seorang laki-laki bernama Kim Jongin yang malam itu selalu berada di dekat Jo, seseorang yang sepertinya bagian dari lingkaran pertemanan para laki-laki ini, tapi anehnya adalah satu-satunya orang yang tidak Luhan ajak bicara.
Chaerin meyakinkan diri bahwa di sanalah letak permasalahan mereka. Saat malam itu di pub, Luhan diam-diam mengawasi keabsenan dua orang itu dari keramaian. Luhan mungkin mengira tidak ada orang yang menyadari pandangannya yang liar menyapu seluruh sudut ruangan yang dipenuhi lautan manusia itu, tapi dia tidak tahu, bahwa Chaerin memperhatikannya. Chaerin telah menajamkan inderanya untuk mengekori ke manapun mata Luhan bertuju, dan juga segala ekspresi yang lelaki itu perlihatan tiap kali nama Han Jo terdengar, saat sosok gadis itu muncul di hadapan mereka, saat seorang wanita yang dipanggil Ms. Evreinoff mengumumkan kepergian Jo ke London, atau ketika Baekhyun maupun Chanyeol menggoda gadis itu terang-terangan di depan matanya.
Luhan boleh saja berpura-pura tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya bila itu berkaitan dengan Jo, tapi dia tidak bisa membohongi mata Chaerin. Lelaki itu tidak lagi banyak bicara sekembalinya dia dari toilet—Chaerin yakin dia tengah mencari keberadaan Jo dan Jongin saat itu—dan terlihat agak murung saat Jongin kembali bergabung bersama mereka dan memberitahu Chanyeol (yang sengaja berteriak menanyakan di mana Jo berada) bahwa Jo mengakhiri malam itu terlebih dulu dan kembali ke asramanya karena tidak enak badan.
Lelaki itu pun tidak banyak bicara dalam perjalanan mereka kembali ke Seoul. Saat biasanya Luhan selalu menemukan topik apapun untuk mereka bicarakan dalam kecanggungan, malam itu dia membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan. Satu-satunya kalimat yang dia lontarkan hanyalah permintaan maaf atas nama teman-temannya yang terlalu blak-blakkan, dan Luhan tidak membuang waktu untuk segera pergi setelah menurunkannya di depan rumah.
Jadi kini, setelah delapan jam sejak terakhir kali Chaerin melihat lelaki itu meninggalkannya dengan ucapan selamat malam singkat, dia sudah bisa menduga apa yang akan Luhan katakan.
Chaerin merasa was-was begitu dia sampai di Cafe Benne. Luhan menawarkan diri untuk menjemputnya tadi, tapi Chaerin menolak dan bersikeras untuk pergi sendiri. Dia ingin menyiapkan diri, dan betapa leganya dia saat menemukan Luhan belum ada di sana saat kakinya melangkah memasuki warung kopi favorit lelaki itu.
Dia memesan dua gelas minuman untuknya. Hari ini Kyungsoo tidak bertugas, jadi dia harus mendiktekan pesanannya pada sang kasir racikan Latte yang diinginkannya. Chaerin juga memesankan Americano hangat untuk Luhan.
Dan dia menunggu. Tadi dia sengaja berangkat lebih awal di rumah agar bisa sampai lebih dulu, dan jantungnya berdebar kencang setelah menunggu hampir lima menit, Luhan terlihat memasuki kafe dengan langkah lebar.
Lelaki itu terlihat menawan, meski hanya berbalut jumper Supreme hitamnya dengan jaket musim dingin tebal BWCW berwarna beige. Saat dia muncul dari balik pintu, pandangan para gadis yang berada di dalam kafe ini sontak tertuju padanya, menatapnya dengan sorot penuh kekaguman. Saat Luhan menghampirinya, mereka mulai menatapnya dengan pandangan menilai. Selalu seperti itu.
“Aku tidak mengira kau akan datang lebih dulu. Sudah lama menunggu?” Luhan bertanya dengan ramah. Dia melepas jaketnya dan menyampirkannya di kursi kosong seraya menarik lengan jumper-nya hingga ke bawah siku.
Sebuah cincin berwarna emas kemerahan yang terpasang di jari manis tangan kanan Luhan menarik perhatian Chaerin. Dia tidak pernah melihat lelaki itu memakainya selama sebulan ini, dan begitulah kenyataan itu menghantamnya. Mau tidak mau tidak memang dia harus mulai meyakini bahwa apa yang ditakutkannya memang benar-benar terjadi.
Tidak ingin terlihat syok, Chaerin menggeleng menjawabnya, senyumnya merekah lebar.
“Hanya beberapa menit.” Ujarnya. “Ah, aku memesan Americano untukmu.”
Luhan bersiul rendah menemukan minuman kesukaanya telah tersaji di depan mata. Dia berterima kasih dan tersenyum simpul seraya menyeruput minumannya. Dan lelaki itu tidak merepotkan diri untuk berbasa-basi terlalu lama, entah karena apa. Chaerin menarik napas dalam saat Luhan menegakkan punggungnya dan membuka pembicaraan mereka dengan menatapnya serius.
“Chaero, ada yang ingin kukatakan padamu…”
“Aku tahu apa yang akan kaukatakan.” Chaerin menyelesaikan kalimat itu untuk Luhan. “Kau kembali bersamanya, kan?”
Luhan terlihat terkejut saat Chaerin menebak terlebih dulu apa yang ingin dia katakan. Kedua matanya melebar, dan ekspresi itu meyakinkan Chaerin bahwa tebakannya memang benar.
“Umm, dengar, aku tidak ingin bila kau berpikir bahwa aku—“
“Tidak apa-apa, aku tidak berpikir apapun tentangmu. Kita tidak melakukan apa-apa selain mengobrol dan jalan-jalan. Kau tidak memberiku harapan, aku tahu itu sejak awal, dan aku tahu di mana posisiku berdiri. Jadi jangan merasa bersalah. Sungguh, aku mengerti. Lagipula aku tahu cepat atau lambat kau akan kembali padanya.”
Chaerin tulus mengatakannya. Meski saat ini hatinya terasa tercabik karena sebulan ini adalah saat-saat terindah dalam kisah dongengnya, dan dia sedih karena harus turun dari tahtanya sebagai sang putri sementara. Tapi memang itulah fungsinya seorang substitusi, dia harus siap untuk digantikan kembali kapanpun, dan dia tulus melakukannya.
Luhan menghela napas. Untuk sesaat dia menaruh pandangannya ke atas permukaan meja, menggaruk kepalanya, lalu menyeruput minumannya kembali, entah gestur pertanda apa. Chaerin menduga Luhan merasa sangat bersalah padanya saat ini, karena siapapun tahu bahwa sebulan ini dia hanyalah sebuah bola pantul dalam permainan Luhan. Lelaki itu membutuhkan seseorang untuk mengalihkannya dari rasa patah hati, seseorang yang bisa menjadi teman bicaranya di kala dia membiarkan sahabatnya lebih menemani Jo agar gadis itu tidak merasa ditinggalkan. Dan karena Chaerin menjadikan dirinya umpan yang segar, Luhan tidak keberatan untuk menerima umpan di kail yang dia lemparkan padanya.
Bisa dikatakan ini simbiosis mutualisme. Tidak ada satupun dari mereka yang dirugikan dengan hubungan singkat ini; Luhan mendapatkan teman pengalihnya, sementara Chaerin bisa menikmati hari-harinya bersama seseorang yang telah lama menjadi objek fantasi pribadinya. Bahkan untuk Chaerin, ini seperti mimpi yang jadi kenyataan.
“Dan aku juga ingin minta maaf untuk semalam—“
“Luhan, jangan memikirkannya, tidak apa-apa.”
“Tidak, ini tidak tidak apa-apa, Chaero.” Luhan menyahut sanggahannya setelah Chaerin memotongnya. “Aku tidak seharusnya membiarkan teman-temanku memperlakukanmu seperti itu. Kau tahu, mereka memang sedikit frontal…”
Tidak sedikit, mereka sangat frontal, Chaerin berpikir.
“Ada kalanya Baekhyun dan Chanyeol gagal mengendalikan tali kekang di mulut mereka, dan aku minta maaf bila kata-kata mereka menyinggungmu. Kau mungkin sangat terkejut dengan cara mereka bersikap, tapi sesungguhnya mereka orang-orang yang baik. Dua anak ini hanya tidak tahu bagaimana bersikap sopan terhadap orang baru.”
Ya, orang baru. Di mata mereka dia bukanlah siapa-siapa, bukan seseorang yang bisa mereka terima di pertemuan pertama, dan alasannya tentu saja sudah sangat jelas. Luhan memang tidak salah, sedikit banyak dia merasa tersinggung dengan kefrontalan Baekhyun dan Chanyeol saat bicara dengannya, tapi dia mengerti. Dua lelaki itu hanya ingin melindungi Jo darinya, karena gadis itu telah menjadi bagian dari keluarga mereka, dan dia bukanlah siapa-siapa. Tentu saja dia mengerti, dan dia memaafkannya.
Chaerin mengangguk. Tapi kemudian ada sesuatu yang ingin dia tanyakan, satu hal yang selama sebulan ini dia tahan dan enggan bicarakan, Chaerin ingin menanyakannya.
“Luhan, karena sekarang situasinya berbeda, aku ingin tahu sesuatu. Tidak apa-apa kalau kau tidak ingin menjawabnya, ini hanya sesuatu yang membuatku penasaran.”
Luhan mengangguk. Menjawab pertanyaan sepertinya satu-satunya hal yang bisa lelaki itu lakukan untuknya saat ini.
“Oke. Katakan saja.”
“Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan kalian sehingga bisa seperti ini? Apa yang terjadi?”
Kalau pertanyaan itu tidak terduga dan cukup mengejutkan, Luhan sama sekali tidak menunjukkanya. Lelaki itu memang tidak langsung menjawabnya, Chaerin menunggu dengan sabar ketika Luhan memiringkan kepala, berpikir, seolah sedang menyusun kata terbaik untuk bisa menjawab pertanyaan ini tanpa menimbulkan spekulasi yang tidak diperlukan.
Dia baru mendengar jawabannya hampir semenit kemudian.
“Kami mengawali hubungan ini dengan ketidakjujuran. Seperti hubungan yang mutual, kami berdua mengambil keuntungan dari satu sama lain untuk bisa melindungi satu dan lainnya pula…” Luhan membasahi bibirnya, dada Chaerin kembali berdesir saat melihat lelaki itu melakukannya. “Dan seiring berjalannya waktu, ketika akhirnya kejujuran itu mulai menjadi landasan kebersamaan kami, tetap saja ada beberapa hal yang luput dari pengamatan kami. Aku mendorongnya melakukan sesuatu yang tidak dia harapkan, dan dia, tanpa disadarinya jatuh dalam lubang kugali untuknya. Lalu dia lupa diri, dan aku tidak bisa menerimanya. Itulah yang terjadi, hingga kami mulai berusaha untuk jujur pada diri sendiri dan satu dengan lainnya. Prosesnya memakan waktu yang cukup lama ternyata.”
Kata-katanya terdengar diplomatis, tapi Chaerin bisa menangkap cukup jelas apa sesungguhnya kisah yang tersembunyi di dalamnya. Jadi beberapa rumor yang beredar itu memang benar adanya. Hubungan mereka dicoba dengan kehadiran orang ketiga, tapi pada akhirnya mereka tetap kembali bersama. Indahnya ketika dua orang yang saling menyayangi berusaha untuk saling mengerti, dan menjadikan pengertian itu untuk menyelesaikan gemuruh yang melanda ketenangan mereka.
Iri sekali melihatnya.
Chaerin mengawasi lelaki itu menertawai dirinya sendiri. Ada penyesalan yang terlihat di wajah lelaki itu, tapi juga ada satu hal lain yang lebih menguasai ekspresinya. Kelegaan.
Luhan tampak bahagia. Dan itu adalah ekspresi yang hampir tidak pernah dia lihat selama sebulan ini.
“Jadi bagaimana sekarang? Dia akan pergi ke London bulan depan, apa yang akan kaulakukan?” Chaerin bertanya lagi beberapa saat kemudian.
“Kami sedang membicarakannya.”
“Apa kau juga akan pergi bersamanya?”
“Entahlah, belum ada keputusan yang bisa diambil.” Luhan meneguk Americano-nya kembali, lalu berdecak padanya. “Kalau kau jadi aku, apa yang akan kaulakukan?”
Apa yang akan kulakukan? Kenapa di saat seperti ini kau harus menanyakan pendapatku?
Chaerin mengangkat bahunya, “Kurasa kau harus pergi bersamanya. Lima tahun itu lama sekali, dan kau tidak bisa membiarkannya sendiri di sana selama itu.” ujarnya.
Dan sungguh, rasanya berat sekali saat dia harus mengatakan hal ini. Dia telah belajar dan berjuang mati-matian agar bisa belajar di sekolah yang sama dengan Luhan, agar dia masih bisa melihatnya setiap hari. Chaerin tidak bisa membayangkan bila Luhan benar-benar pergi dan melanjutkan sekolahnya di London, jauh di seberang benua, di mana dia tidak bisa lagi bertemu dengannya hingga begitu lama.
“Begitukah? Jo ingin aku tetap tinggal di sini, tapi entah kenapa aku berpikiran sama denganmu. Inggris adalah dunia baru. Dia tidak punya siapapun di sana, dan kupikir setidaknya aku bisa menemaninya bila aku juga pindah ke London.”
Chaerin bertanya-tanya di dalam kepalanya, bagaimana semua ini bisa terjadi. Hanya dalam delapan jam, mereka berubah dari dua orang yang tampak tidak saling mengenal menjadi sepasang kekasih yang sedang saling jatuh cinta. Dia membuat kemungkinan skenario di dalam kepalanya, menebak-nebak, tapi berakhir tetap saja tidak habis pikir.
Betapa aneh cinta bisa membolak-balikkan hati seorang manusia, tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi sebelum mereka benar-benar mencoba dan menaklukkan misteri masa depan itu sendiri.
Chaerin masih ingin banyak mengobrol dengan Luhan, tapi dia sudah mendengar cukup banyak untuk hari ini. Sang Pangeran telah bertemu kembali dengan sang Putri yang dicintainya, dan dengan begini seharusnya selesai sudah dongeng mereka. Sebagai penonton dia merasa senang—tapi saat ini yang diinginkannya hanyalah pulang ke rumah dan menangis sekeras-kerasnya.
Maka dia berpamitan beberapa saat kemudian.
“Terima kasih, Lee Chaerin, atas seluruh waktu yang kau berikan untukku selama ini.”
Luhan menjulurkan lengan dan meraih tangannya. Lelaki itu menggenggam tangannya, dan memijitnya lembut. Hatinya kembali terkoyak, karena dia mulai berkhayal kembali, bila saja Luhan melakukannya karena dia seseorang yang sangat penting untuk lelaki itu. Chaerin ingin Luhan memijit jari-jarinya untuk menghiburnya, seperti seorang lelaki yang menghibur kekasihnya di kala gadisnya merasa sedih. Dia membutuhkan Luhan seperti ini, tapi tentu saja ini tidak mungkin terjadi.
Chaerin menarik tangannya dengan anggukkan pelan.
“Maaf tidak bisa mengantarmu pulang, aku masih menunggu seseorang di sini.”
“Oh, Han Jo?” Chaerin bertanya, sekedar ingin tahu. Karena bila memang begitu dia harus segera pergi dari tempat ini. Dia tidak ingin bertemu dengan gadis itu, karena dia tidak ingin menangisi kekalahannya dan merasa kecil di hadapan sang Putri.
“Ah, bukan. Seorang teman—“ Luhan mengangkat kepalanya, dan menatap sesuatu dari atas bahu Chaerin seraya tersenyum simpul. “Oh, itu dia.”
Ketika Chaerin menoleh, dia melihat Kim Jongin berjalan ke arah meja mereka. Lelaki itu tidak berhenti untuk menyapanya, ataupun berbasa-basi. Dia langsung duduk di hadapan Luhan, dan melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat Chaerin membelalakkan kedua mata.
“Petugas lobi mengatakan bahwa Jo tidak kembali ke asrama semalam, dan belum kembali hingga pagi ini. Dia bersamamu, iya kan?”
Apa semua teman Luhan memang sefrontal ini? Chaerin berpikir. Jongin bahkan tidak menunggu hingga dia pergi untuk mengatakannya, bersikap seolah dia tidak pernah berada di sana, dan ini membuatnya sedikit merasa terbuang.
Luhan pun sepertinya juga terkejut dengan pertanyaan yang blak-blakkan itu, karena lelaki itu memandangnya sekilas dengan canggung, kemudian kembali pada Jongin. Chaerin jadi ingat, semalam Luhan bahkan bersikap seolah Jongin tidak pernah ada dalam jarak pandang kehidupannya, dan kini mereka bersikap seperti teman lama yang tidak pernah berhenti berseteru.
Apa saja sebenarnya yang terjadi dalam dua belas jam belakangan ini?
“Jongin, ini Lee Chaerin. Chaerin, Jongin.” Luhan mengenalkan mereka berdua secara formal alih-alih menjawab pertanyaan Jongin.
Chaerin menyapa lelaki itu, tapi Jongin tidak menunjukkan gerak-gerik seolah dia peduli dengan kehadirannya. Pandangan masih lekat tertuju pada Luhan, sama sekali tidak menoleh. Dia tahu ini adalah tanda bahwa sudah saatnya dia pergi.
Dalam satu dua kalimat lagi Chaerin menyudahi pembicaraan mereka, menjabat tangan Luhan dan akhirnya beranjak pergi.
“Dia di rumahmu? Dia menemuimu semalam?”
Chaerin mendengar Jongin bicara kembali, sepertinya lelaki itu bukan tipe seseorang yang bisa menahan diri untuk diam sebentar.
“Jongin…”
Dia bisa mendengar Luhan bicara dengan nada rendah. Berbeda dengan Jongin yang blak-blakkan, Luhan seperti ingin menunggu hingga Chaerin pergi meninggalkan mereka. Dan itulah tepatnya yang dia lakukan, mempercepat langkahnya dan keluar dari kafe secepat mungkin.
“Baiklah, mari kita bicarakan ini baik-baik.” Adalah kalimat terakhir yang dia dengar dari mulut Jongin sebelum menutup pintu kafe dan menghilang di tengah keramaian orang-orang yang memenuhi jalanan di Hongdae.
Ini akhir dari kisahnya. Lepas dari segalanya yang telah berakhir, Chaerin merasa senang karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjadi bintang dalam kisah khayalannya.
Luhan adalah bintang terang dalam gelap malam dunia khayalnya. Seperti salju di bulan September, lelaki itu memberinya kesegaran di tengah terik panas dunianya yang membosankan. Luhan memberinya sensasi yang tidak pernah gagal membuat dadanya berdebar, dan meski hanya sesaat, dia tidak menyesal pernah menjadi bagian kecil dalam satu babak kehidupan lelaki impiannya itu.
Dan kini dia harus kembali pada kenyataan yang sesungguhnya, dalam kenyataan di mana Luhan berada di luar jangkauannya. Seseorang yang hanya bisa dia nikmati dari jauh di dunia yang berbeda, mengaguminya seperti seorang anak perempuan yang mengagumi kisah-kisah dongeng sang Pangeran di buku cerita bergambar.
Sebulan ini mengajarkannya banyak hal, bahwa di dunia semacam ini, dongeng masih tetap menjadi sisi bagian dalam realita yang terbentang di hadapannya. Bahwa di dunia semacam ini, masih ada seorang laki-laki yang setia pada seorang gadis dan tidak tergoyahkan oleh hasrat dan godaan di tengah popularitas yang mengitari dunianya.
Dia belajar, bahwa ada kalanya dia harus bisa menahan diri untuk tetap berada pada dunia tempatnya berpijak, dan tidak memaksakan diri untuk terlalu tenggelam pada kehidupan seseorang yang bukan miliknya. Sebesar apapun penghargaan Luhan terhadap kehadirannya selama sebulan ini, sampai kapanpun dia tidak akan pernah menjadi seseorang yang lebih dari sekedar seorang teman yang lelaki itu perlukan saat dia kesepian. Dia hanya seorang pengganti, selamanya orang-orang akan tetap melihatnya seperti itu.
Rasanya gamang saat memikirkannya, tapi dia harus bisa melewatinya. Karena kenyataan bukanlah dunia dongeng, dan Chaerin harus bisa bertahan di saat terberat kenyataan ini, meskipun dia terluka karenanya.
Karena dia tahu, sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa menggantikan posisi seorang legenda di hati Luhan. Dan dia harus bisa menerimanya.
* * *
“There are two different categories of love. The first category is called a fairytale. The second category of love is called just another lesson.”
― Taylor Swift
.
=================================================================================
aku nggak bermaksud untuk bikin Jo atau Luhan sounds so overrated di sini. Ini hanyalah sebuah cerita yang dituturkan oleh seseorang yang sangat mengagumi sosok dua orang itu. Dan menurut dia, they indeed are legendary.
So, LIKE and comments would be gladly accepted.
Gimana menurut kamu cerita Chaero?
Filed under: fan fiction, series Tagged: Byun Baekhyun, Enchanted, Han Jo, Kim Jongin, Kim Minseok, Lee Chaerin, Lu Han, Park Chanyeol
