Boredom and Freedom by theboleroo
//
‘Aku kembali sore ini, wait for me x–]’
Jill menatap layar ponsel sembari mengulum sedotan merah mudanya. Tak sampai tiga detik, kedua sudut bibir gadis itu meninggi lantaran senang. Bubble tea rasa vanilla yang tengah mengalir di kerongkongan Jill agaknya kalah menyegarkan ketimbang pesan singkat yang masuk ke ponselnya beberapa menit lalu.
Mmm, Kris akan segera kembali dari Kanada. Setelah kepergiannya menyisakan tanda tanya besar di atas kepala Jill, setidak-tidaknya lelaki itu kembali dalam jangka waktu yang tak terlalu lama. Oh, dia juga mengirim pesan singkat, lengkap dengan emoticon konyol yang seyogianya tak pernah dicantumkan.
//
“Dia tidak bercerita apa-apa pada kami. Aku juga sudah bertanya pada Tao dan Chanyeol, mereka juga tak mendapat informasi apa-apa atas kepergiannya yang mendadak itu. Kris hanya berkata ada keperluan keluarga yang mendadak, ya, tapi ia tak menjelaskan secara terperinci.”
Beberapa waktu lalu, Jill sempat bertemu dengan Suho. Ah, lelaki itu memang sangat baik, ramah, dan menyenangkan. Di tengah-tengah kegiatan EXO yang padat, dengan enteng Suho menerima ajakan Jill dan menyempatkan diri untuk menemuinya. Baiklah, sebetulnya gadis itu tidak memaksa. Bahkan ketika kalimat “Oke, sekarang aku benar-benar merasa tak enak karena sudah mengajakmu bertemu. Kita bisa membicarakannya di telepon, Suho. Serius!” dilontarkan, Suho hanya tertawa dan tetap meyakinkan Jill bahwa ajakannya sama sekali bukan masalah besar.
Jill tak pernah berminat mengemis alasan kepada siapa pun, termasuk kepada Kris yang notebene hanya sebatas kekasihnya. Oke, ia memang selalu enggan menggencarkan sikap mengekang dalam bentuk apapun. Kris berhak menggunakan kebebasannya sebanyak yang ia mau, termasuk untuk tidak menceritakan apa saja yang―barangkali―tak seharusnya diceritakan kepada Jill. Begitu pun dengan Jill yang sangat menghargai itu, jika dirinya memang perlu untuk tahu, maka cepat atau lambat Kris pasti akan bercerita. Sederhana saja.
“Aku harus pulang cepat, maaf karena tidak bisa bergabung bersama kalian. Oke?”
Kim Taehwa—si produser—menghela napas dalam sembari mengetuk-ngetukan pulpen silver-nya di atas meja kaca. “Jadi kau absen ikut karaoke bersama kami?”
Jill mengangguk. “Kalian akan baik-baik saja tanpa aku, benar kan?” gadis itu tertawa sembari meninju bahu lelaki itu pelan, tanpa membuang waktu lebih banyak lagi ia langsung berpamitan dan keluar dari ruangan Taehwa.
Selama perjalanan pulang, Jill sibuk memerhatikan keadaan di luar dari balik jendela dengan kedua telinga yang disumpal sempurna oleh earphones. Ada banyak sekali lagu yang baru saja diisikan ke iPod-nya, dan itu sangat menyenangkan.
Setelah berpesan kepada supir taksi mengenai tempat yang akan dituju, Jill pun memutuskan untuk bersantai sejenak di jok belakang dengan lagu-lagu barunya. Taksi melaju dengan kecepatan sedang, Jill tak suka dibawa mengebut. Itu mengerikan.
//
“Ramai sekali di luar,” komentar Kris di bawah helaan napasnya yang dalam, ia memerhatikan ratusan fans yang sudah menunggunya sejak siang tadi di bandara Incheon. Mobil yang ditumpanginya mulai menjauh, menjauh, hingga akhirnya keluar dari area bandara.
“Ya, mereka sangat merindukanmu. Melihat formasi grup yang kurang lengkap selama beberapa hari ke belakang membuat mata mereka sakit, Wufan,” jawab sang Manajer yang duduk di samping Kris sembari membawa majalah. “Tapi, sukurlah kau sudah kembali.”
Kris hanya menyunggingkan senyum. Semua orang berpikir bahwa kembalinya Kris ke Korea merupakan berita bagus, tapi, apakah mereka pernah berpikir jika dirinya tak merasa demikian?
“Hyung.”
“Mmm?”
“Sepertinya, aku tidak akan langsung kembali ke dorm. Bolehkah aku menemui seseorang terlebih dahulu?”
Lelaki di sampingnya menatap Kris heran, dan bertanya, “Memangnya kau tidak merasa lelah? Kau harus beristirahat, Wufan. Lagipula, ada banyak pekerjaan yang menantimu esok hari.”
“Sebentar saja, aku janji.”
//
“Aku menemui Jill dulu, maaf ya. Bagaimana fansigning-nya? Menyenangkan?”
Kris berjalan di koridor lantai 8 sebuah apartemen dengan ponsel yang menempel di telinga kanan. Ia baru saja menerima telepon dari Chanyeol, sama sekali tak menyangka jika anak itu akan menjadi member pertama yang menghubunginya ketika sampai di Korea.
“Menyenangkan dan melelahkan, seperti biasa.”
Kris hanya tertawa ringan mendengarnya. Ingin rasanya ia mengiyakan ucapan Chanyeol, sambil berteriak kalau perlu. Tak hanya untuk acara fansigning, bahkan segala kegiatan yang belakangan memadati jadwal EXO adalah melelahkan. Dan ketika pintu apartemen Jill dekat, Kris memutuskan untuk mengakhiri percakapannya dengan Chanyeol.
“Cepat kembali ke dorm, kau benar-benar butuh istirahat, Ge.” Itu adalah pesan terakhir dari Chanyeol sebelum sambungan terputus. Baiklah, dalam 1 jam terakhir sudah ada 2 orang yang menyuruhnya untuk beristirahat. Padahal jika boleh jujur, ia sama sekali tak merasa lelah.
Kris menekan bel sebanyak tiga kali dengan interval yang tak terlalu rapat. Ia sempat berpikir bahwa Jill tidak ada di dalam, kemudian ia mengecek ponsel dan melihat percakapannya dengan Jill melalui pesan singkat tadi siang.
Baiklah, intinya ajakan Kris sama sekali tak mengganggu pekerjaan Jill. Sudah dengan jelas dikatakan bahwa Jill free setelah jam 5 sore. Seharusnya, mereka bisa bertemu. Sangat bisa. Kalau pun batal, sudah dipastikan itu adalah pembatalan sepihak dan bukan Kris yang akan melakukannya. Demi Tuhan, ia benar-benar ingin bertemu dengan Jill dan sedang tak berminat untuk membatalkan sesuatu.
“Mr. Wu!”
Saat Kris masih tertunduk lantaran memandangi ponsel dan nyaris tenggelam akibat pemikiran-pemikirannya, pintu apartemen akhirnya terbuka dan gadis itu sedang tersenyum lebar saat Kris mendongak. Melegakan. Tanpa berkata-kata, ia langsung memeluk Jill dengan erat―jenis pelukan yang menjelaskan bahwa dirinya sangat merindukan Jill.
“Lelah?” tanya Jill, ia merasakan lengan lelaki itu kini merangkul bahunya.
Terlihat ia tersenyum saat Jill mendongak, lalu mengangguk. “Lumayan,” katanya.
Jill menawarkan minuman dan makanannya, namun Kris menolak. Ia juga berkata bahwa dirinya sudah mulai mahir membuat beberapa jenis masakan yang diajarkan oleh ibunya dan bersedia memasak jika Kris memang lapar, namun lagi-lagi lelaki itu menolak dengan alasan masih kenyang. Jill tidak keberatan, selain karena ia ragu jika Kris akan menyukai masakannya, Jill juga baru ingat jika ada beberapa jenis bumbu yang sudah habis. Jadi, percuma saja, rasanya pasti akan lain atau barangkali tidak akan enak.
Mereka duduk di meja makan, Kris di kursi sedangkan Jill di meja. Ia benar-benar suka duduk berhadapan dengan lelaki itu seperti ini, memandang wajahnya tersenyum di posisi yang lebih rendah. Kris menyimpan satu tangannya di paha Jill, dan gadis itu menautkan jemarinya di atas tangan Kris.
“Aku benar-benar tidak mengganggumu kan?”
Jill menggeleng. “Tidak. Saat aku mengatakan bahwa aku free setelah jam 5, itu memang sungguh-sungguh. Seminggu terakhir jadwal siaranku lebih sering off air, Seoul sedang banyak event, kau tahu?”
Kris mengangguk, mengerti dan merasa lega. “Baiklah, aku senang mendengarnya, itu artinya aku tidak membuatmu kesal,” candanya sembari tertawa kecil. Benar, ia sedang mengejek Jill secara tidak langsung mengenai hal yang tidak disukainya—diganggu saat bekerja.
“Lalu, apakah kedatanganmu kemari tidak menginterupsi jam istirahatmu?” Jill mengusap pipi kanan Kris, lembut. “Kelihatan sangat lelah.”
Lelaki itu terdiam sejenak, menggeleng. “Tidak, sama sekali tidak. Aku benar-benar ingin bertemu denganmu dulu sebelum pulang ke dorm, besok belum tentu kita bertemu, jadwal kegiatan EXO akhir-akhir ini mengerikan.”
Dan entah mengapa, rasanya Kris ingin mengumpat ketika mengingat serangkaian kegiatan yang tengah menantinya esok, esok, dan esoknya lagi. Satu minggu terbebas dari itu semua dirasa kurang dari cukup. Ia ingin kembali ke Kanada, berkumpul bersama orang tua dan adiknya. Menjalani kehidupan normal dan melakukan kegiatan yang disukainya.
“Ya, sangat padat,” Jill tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya. “Tetap semangat, oke?”
Kris tak memberikan reaksi, ia hanya tertunduk dan menghela napas dalam. Dan di saat itu pula, Jill menyadari bahwa lelaki di hadapannya tak benar-benar sedang merasa baik. Haruskah ia bertanya? Tapi, apakah Kris akan suka jika dirinya melakukan itu?
“Semua akan baik-baik saja.” Entah atas dasar apa Jill mengatakan itu, hanya ingin mungkin.
Dan Kris kembali menatap wajah gadis itu dengan kedua alis yang bertaut samar; seolah bertanya-tanya. Ia memang merasakan sesuatu, sesuatu bahwa Jill menangkap ‘perasaan tak baik’ yang entah mengapa sulit sekali untuk dilawan oleh Kris. Ia tahu benar bahwa menyesal hanyalah sebuah tindakan yang akan membuatnya terlihat bodoh. Tak berguna dan tak akan mengubah apapun. Lalu, opsi yang ditawarkan tetap akan selalu dua; dilanjutkan atau diakhiri.
“Ternyata, semuanya jauh dari apa yang kupikirkan sebelumnya. Ini mengesalkan, aku membenci diriku sendiri selama di pesawat.” Kris menarik tangannya dari genggaman Jill, “Oke, mungkin ini hanya seputar masalah pembiasaan. Tapi, aku lelah. Semua terasa melelahkan dan menjemukan dan… sebuah kesalahan jika aku harus menyesali keputusanku 6 tahun lalu.”
Ini bukan kali pertama Kris nyaris menyerah atas hal yang sama. Gosip mengenai Kris yang menjadi penyebab tertundanya jadwal comeback EXO memang sempat gencar beredar, dan itu adalah benar. Sebuah kesalahan jika ia harus bersikap serupa. Katakanlah Kris bermental lemah lantaran tak bisa menghadapi tekanan hebat menjadi seorang idola, tapi pada kenyataannya adalah: ia hanya merasa benci jika kebebasan atas dirinya diambil alih. Dan tentu saja semua yang ada di hadapannya saat ini dan kedepannya adalah konsekuensi mutlak, dan ia sadar benar akan hal itu. Hanya saja… haruskah secepat ini?
Jill menelan ludah dengan susah payah. Sesungguhnya ia bukan tipe orang yang pandai menenangkan orang lain dengan nasehat atau pun kata-kata bijak. Oke, dia cukup mengerti perasaan Kris, mengerti dalam konteks bahwa dirinya benci jika ada seseorang atau sesuatu yang menyabotase kebebasannya. Tapi, jika masalah mengenai Kris yang menjadi idola, oh, Jill sama sekali tidak mengerti. Idola hanya satu dari sekian profesi yang mengerikan baginya, dan Jill beruntung tidak menjadi bagian dari profesi tersebut.
“Jadi, ceritakan padaku apa saja yang sudah kau lakukan di Kanada.”
Ya, ini memang terkesan egois. Jill egois karena sudah bersikap berpura-pura tidak peduli atas keadaan Kris. Tapi, tidak seperti itu, Jill hanya ingin mengalihkan rasa lelah dan kepenatan lelaki itu. Tangannya tak sadar bergerak untuk menangkup wajah Kris, lalu akhirnya sepasang iris abu-abunya bertemu dengan iris hitam itu.
Nanti, nanti saja, jika Kris sudah merasa lebih baik dan mendapatkan mood-nya kembali, Jill akan kembali membicarakan hal ini―dengan serius kalau perlu.
“Kau,” Kris kehilangan kata-kata, dan perlahan senyumnya mengembang di tengah-tengah kekhawatiran gadis itu.
Ya, pembahasan semacam ini memang seharusnya dihindari, dilupakan kalau perlu. Kris ingat benar, bahwa sehari sebelum ia―kembali―meninggalkan rumah dan keluarganya, ibunya menjadi saksi di mana ia berjanji untuk tidak bersikap payah seperti ini. Kembali memperjuangkan mimpi itu bersama kesebelas temannya, melakukan yang terbaik, dan bersyukur. Ayahnya juga mengajak Kris ke gereja yang dulu sering dikunjunginya untuk berdoa. Oh, tidakkah hal itu seharusnya cukup membuat dirinya menjadi lebih baik?
“Jill, kau harus tahu ini; kau adalah satu-satunya orang di luar keluargaku yang kuberitahu mengenai alasan kepulanganku ke Kanada. Aku tahu kau bisa menjaga rahasia, jangan beritahu siapa-siapa, apalagi Suho. Kami tidak mungkin bertengkar lagi mengenai masalah ini seperti dulu, ia tak pantas mendapatkan tekanan lebih banyak lagi.” Kris mendesah, “Kau tahu? Aku berbohong kepada perusahaan mengenai alasan kepulanganku.”
“Wufan―”
“―Jill. Seharusnya aku tahu bahwa aku lebih dari mampu untuk mengatasi ini semua. Maaf sudah membuatmu khawatir, aku tidak akan melakukannya lagi.” Kris meraih tangan Jill, menggenggamnya erat sambil tersenyum. “Kau pasti tak percaya bahwa selama di Kanada aku memancing ikan sebanyak 3 kali,” lanjutnya yang kemudian direspon oleh picingan manik dari Jill.
Ya, Kris sudah memutuskan untuk menutup pembahasan ini. Lagipula, untuk apa ia membuang waktu untuk mengeluhkan satu sisi buruk sementara ada banyak sisi yang sebetulnya lebih dari sekadar baik? Oh, sial, seharusnya ia memanfaatkan pertemuan ini dengan membicarakan hal menyenangkan.
“Kau bisa memancing?” tanya Jill tak yakin.
Dan Jill bernapas lega, rasa khawatirnya perlahan menguap dan ekspresi Kris yang kembali cerah membuat semua menjadi terasa benar. Kelelahan Kris memang sangat beralasan, kesibukan yang seakan mencekik bukanlah sebuah perkara mudah untuk dihadapi. Rasa bosan dan lelah memang bisa datang kapan saja, tak ada satu pun yang dapat menghidari―siapa pun itu. Di saat bersamaan, hasrat kebebasan dengan mudah akan mendominasi ketika hal tersebut sedang terjadi. Baginya, itu semua masuk akal dan Jill tak akan pernah bisa menyalahkan Kris atas keadaan ini.
“Tentu saja tidak, bahkan Dad memarahiku karena menghabiskan umpannya.” Jawab Kris sambil terkekeh, “Tapi, tak ada hal yang lebih menyenangkan dari mengantar Mom berbelanja ke supermarket. Lalu―ya―tak banyak orang yang mengenaliku di sana, kalau pun ada, demi Tuhan itu tidak terlalu mengangguku. Hidupku nyaris normal, Jill. Aku senang sekali.”
Jill mendekatkan wajahnya sedikit, “Jadi, selama ini kau selalu merasa terganggu oleh tindak-tanduk fans-mu?”
Aura wajah Kris tak secerah beberapa detik lalu, lelaki itu mendesah pelan dan menjawab, “Tidak, Jill. Bukan itu maksudku, kuharap kau mengerti.” Raut bersalah tak terelakkan dari wajahnya, “Tapi, agaknya semua akan lebih mudah jika, kau tahu, jika mereka semua memberiku semacam ruang dan sedikit kebebasan.”
“Dan kau tahu jika hal itu tidak masuk ke dalam daftar konsekuensimu sebagai idola kan?”
“Aku tahu soal itu dan aku mengerti. Ayolah, aku tak ingin mengeluarkan perkataan yang berbau hipokrit. Aku di sini sebagai orang biasa, Jill. Jangan melarangku untuk sedikit mencela mereka, kau mengerti kan maksudku?” Kris nampak berusaha untuk menjelaskan, sepasang matanya menatap mata Jill dengan tegas. “Aku menyayangi mereka, Jill. Sangat. Tapi bukan berarti aku tidak boleh merasa terganggu, kesal, atau pun semacamnya. Oke, ini sedikit rumit. Sudahlah, lupakan.”
Keduanya terdiam sejenak, lalu mengoreksi perkataan mereka masing-masing di dalam percakapan tadi; Jill merasa jika pertanyaannya terlalu memojokkan, sementara Kris yang merasa jika jawabannya egois dan menyebalkan.
Kris menarik sentuhannya lagi, polahnya menjadi terlihat tak nyaman dan ia mulai sedikit gusar. Jill menahan lelaki itu dengan picingan mata, mengajaknya untuk kembali melanjutkan obrolan. Setidaknya sampai persepsi mereka sama, dan tak berakhir di zona kesalahpahaman.
“Tentu aku tidak melupakan hal terpenting itu, Kris. Kau boleh menjadi dirimu yang sebenarnya di hadapanku, lagipula aku memang selalu menatapmu seperti itu sejak dulu. Sebagai Wu Yifan, seorang pria berusia 22 tahun yang bisa menyebalkan kapan saja.” Jill terkekeh pelan setelah mengatakan hal itu, sedetik kemudian wajahnya memerah, karena mendapati seulas senyum yang entah mengapa terlihat begitu indah terlukis di wajah Kris.
“Dan seharusnya malam ini aku karaoke bersama orang-orang gila itu,” lanjut Jill menimpali, bermaksud menutupi kegugupannya. Wajah gadis itu menjauh, tetapi iris mereka masih betah bertukar pandang.
Kris berdeham, ekspresinya kembali normal; datar dan stabil, tak terlihat kesal atau pun berseri-seri. “Jadi kau menyesal menemuiku?”
Jill menggeleng cepat. “Tentu saja tidak,” gadis itu merapikan rambut pirang Kris. Nampak berantakan. Oh, tentu saja, mana mungkin ia sudi pergi ke salon jika bukan untuk keperluan keartisannya? Lalu wajah yang lelah dan—kumis tipis? Ya Tuhan, ini sangat aneh.
“Kau sempat menemui Suho untuk bertanya perihal kepergianku, ya?” pertanyaan itu terlontar tepat ketika tangan Jill tengah membelai lembut kedua sisi wajah Kris dan menangkupnya.
“Ya, tapi informasi darinya tak memuaskan rasa ingin tahuku.”
“Sudah kubilang, aku berbohong kepada mereka semua.”
“Termasuk kepada Tao?”
Kris mendesah, menggenggam tangan Jill. “Jika kubilang semua, maka pengecualian tak berlaku, Jill.”
“Oke, baiklah. Semua,” Jill menarik tangan kanannya, dan dua jarinya membentuk tanda V, “Peace, peace,” lanjutnya dengan tampang konyol.
“Tapi, terima kasih. Aku sangat senang ketika mengetahui kalau kau memedulikanku sampai sejauh itu,” ucapnya dengan intonasi yang sangat tenang dan dalam, sangat pas terdengar di sepasang telinga Jill, entah mengapa. “Ke mana pun aku pergi, rasanya akan ada banyak hal yang akan kurindukan. Ketika aku berada di Korea, aku akan merindukan keluarga dan kehidupan normalku di Kanada. Begitu pun sebaliknya, ketika aku kembali ke Kanada… sial, ternyata ada banyak hal yang kurindukan di sini.”
“Apa saja? Apa aku boleh tahu?”
“Kesebelas temanku, teriakan-teriakan dari fansku, kecerewetan manajerku, dan tentu saja dirimu.”
Kris beranjak dari kursi, menyejajarkan wajahnya dengan gadis itu. Ekspresi Jill selalu mudah terbaca jika dalam keadaan seperti ini, dan Kris hanya tersenyum lalu mendekatkan wajahnya. Sepasang manik Jill terpejam, dan jangan biarkan Kris untuk tak melakukan hal ini lantaran rasa rindu itu sudah mencapai puncaknya.
“Aku merindukanmu,” Kris menempelkan bibirnya singkat dan ringan. “Sangat merindukanmu,” ia mengecupnya lagi, masih seringan sebelumnya. “I miss you,” lantas Jill tersenyum.
Agaknya Jill sedikit tersentak, saat lelaki itu memberikan ciuman yang agak dalam dan lebih panjang dari biasanya. Lengannya melingkar di pinggang ramping Kris, sesekali Jill tersenyum dalam ciumannya, ia membiarkan ‘dirinya yang lain’ membalas. Ini tidak terlalu buruk, sepertinya.
“Kau harus pulang, istirahat.” Jill menarik diri dan menunduk. “Jangan sampai mereka merasa diabaikan karena kau lebih memilih menemuiku lebih dulu. Benar?”
Jill merasakan usapan lembut jemari Kris di permukaan bibirnya, lelaki itu tak menjawab dan hanya mengangguk pelan. “Aku tahu itu, tapi mereka pasti mengerti.” Kris memeluk tubuh Jill dengan erat, menenggelamkan wajahnya di geraian rambut Jill yang beraroma lidah buaya. “I love you,” Kris mendesah pelan, “I love you so much.”
Fin.
Wahaha ini jelas bukan tulisan baru tapi aku harap kalian tetap menikmati cerita ini. Maaf ya mereka nongol lagi :–p anyway, judulnya aku ambil dari judul lagu milik Bottle Smoker.
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: EXO, Jill, Kris Wu
