“’Cause I just set them up to knock them down.”—3oh3! ft. Katy Perry, Starstrukk
-
“You can go now, Mr. Aimes. Mommy’s waiting outside.” Seorang pria dengan tubuh gempal berkata dengan nada menyebalkan sembari mengisap sebatang rokok yang hanya tersisa setengah. Ia berdiri di belakang sebuah meja tinggi dengan papan panjang bertulis ‘informasi’ di atasnya.
Spencer Aimes, yang pagi ini tampak lebih sehat dari biasanya—yeah, siapa yang berharap dapat hidup lebih sehat ketika kau tinggal dan menghabiskan sebagian besar waktumu di tengah-tengah kumpulan narapidana—berjalan gagah menuju pintu kembar berlapis kaca. Ia melemparkan senyuman kecil ke arah si pria gempal—yang balik menatapnya dengan tatapan mencela.
Spencer bersiul ketika sampai di pintu.
“Aku mengharapkan keramahanmu kalau-kalau dalam rentang waktu dua minggu aku kembali ke sini lagi, Malone,” ujar Spencer, meletakkan sebelah tangannya di daun pintu. Hangat. Pastilah orang yang sebelumnya melewati pintu ini belum berjalan jauh—dan ia ingat kalimat celaan si sipir gempal saat hendak melangkah keluar tadi.
Sylvester Malone, atau yang lebih sering disapa ‘Kue Buah’ oleh hampir setengah jumlah sipir yang bertugas di tempat itu mendesis sebal. “Pergilah dan jangan pernah kembali. Aku bosan mengantarmu bolak-balik menuju sel pengasingan terus,” tukasnya, melempar puntung rokoknya yang tidak memungkinkan lagi untuk ia hisap. “Memangnya kau tidak memiliki teman, atau sekelompok geng di sana yang akan membelamu jika kau terlibat suatu masalah, hah?”
Hening sesaat, dan Spencer mengeluarkan suara seperti menahan tawa.
“Friends?” Spencer mengulangi kata-kata si sipir dengan nada mencela. “Kadang hidup terlalu singkat untuk sekadar memiliki orang-orang yang kaupercaya bernama teman, Bung…” Ia hendak melanjutkan, namun sesuatu menahannya ketika sudut matanya menangkap sesuatu di luar sana, dan ia kembali menolehkan kepalanya kepada si sipir untuk melempar senyuman lain. “Sampai jumpa, Malone. Akan kubawakan kau segelas besar brandy jika nanti aku kembali lagi.”
“Get lost, you maniac.”
Sebelah alis Spencer terangkat begitu pintu tertutup di belakang tubuhnya.
“I heard that, Malone!”
Paparan cahaya matahari yang menyilaukan adalah hal pertama yang menyambutnya begitu kedua kaki jenjangnya melewati dua lapis lain pintu besi tinggi dengan masing-masing penjaga di setiap sisinya. Spencer menarik napas sedalam-dalamnya, membiarkan aura tropis Miami seolah memberikan kehidupan baru untuknya. Yah, walaupun dengan kenyataan bahwa namanya sudah tak asing terlihat dalam daftar arsip Lembaga Permasyarakatan Federeal Miami yang gedungnya berdiri dengan kokoh di belakang tubuhnya kini, Spencer selalu menyukai detik-detik pertama masa kurungannya berakhir—kendati ia akan dengan senang hati untuk kembali lagi nanti.
Untuk sesaat, kilauan berwarna perak di kejauhan menyita perhatiannya—yang sempat membuat lidahnya batal melancarkan kata-kata ketika masih berada di dalam ruangan tadi.
Spencer mengangkat wajah, mendapati siluet tubuh yang familier tengah melambai padanya dengan sekaleng pepsi berukuran medium di tangan kirinya. Caitlyn Jones—atau teman-teman SMA mereka dulu lebih sering menyebutnya sebagai Spencer’s Right Hand, dan terkenal akan akal liciknya soal mengerjai guru untuk mendapat nilai sempurna, atau bahkan bocoran soal ujian.
Senyuman wanita berambut hitam sebahu di hadapannya melebar sewaktu ia berjalan mendekat, menangkap kaleng pepsi yang dilemparkan itu dengan anggun. Spencer memutarnya sekali di udara, dan sepuluh detik kemudian, setengah isinya kini telah berpindah tempat.
“A good day to come back, huh?” Caitlyn menyapa dari balik kacamata gelapnya.
“Yeah, as you see.” Spencer mengangkat bahu, menyandarkan tubuhnya di sisi mobil abu-abu metalik milik Caitlyn. Pandangannya menerawang, dan ia membiarkan wanita itu tenggelam dalam keheningan ini selama beberapa saat. “Jadi, apa yang kauinginkan?”
Caitlyn mengangkat wajah begitu kata-kata Spencer menerjang gendang telinganya. Ia melempar pandangan penuh tanda tanya, yang langsung dibalas oleh cengiran mencela dari lawan bicaranya.
“Cukup dengan omong kosongnya, Caitlyn.” Spencer melanjutkan. “Aku tidak dijadwalkan untuk keluar hari ini, dan aku berani bertaruh kalau ini berhubungan dengan kunjunganmu kemari seminggu yang lalu. Mereka membuatku bekerja di pusat pelayanan masyarakat selama empat hari sebelum akhirnya surat pembebasan itu sampai ke sel-ku kemarin malam.” Caitlyn menolak berkata apapun, sementara Spencer kini memutar tubuhnya menghadap dirinya. “Apa kau merencanakan sesuatu?”
Helaan napas singkat. “Sebaiknya kujelaskan di mobil,” tuturnya, nada bicaranya sedikit merendah saat memberi sinyal pada Spencer untuk mengambil tempat di kursi penumpang.
“Go on.” Spencer mendesak sekali lagi, ketika Caitlyn melarikan mobilnya meninggalkan pelataran parkir.
“Bukan aku yang merencanakannya, tapi Elias.” Spencer menoleh tajam ke arah Caitlyn ketika wanita itu membelokkan mobilnya menyusuri South West 152nd Street yang lengang. “Apakah kau pernah mendengar tentang mutiara La Peregrina?”
Spencer melongo. “La… apa tadi?”
“La Peregrina, Spence. Mutiara kesayangan mendiang Elizabeth Taylor yang beberapa tahun terakhir ini dipajang di sebuah museum besar di Rusia.” Caitlyn memulai penjelasannya. “Sebulan yang lalu mutiara itu dicuri, bersih, dan tanpa bekas. Mereka bahkan mengutus beberapa mata-mata untuk menyelidikinya, dan entah mengapa sebuah rumah lelang di Los Angeles masuk dalam daftar pencarian mereka.”
“Jadi, maksudmu, entah bagaimana mutiara itu dicuri lalu si pencuri ini hendak melelangnya, begitu?” Spencer mengangkat sebelah alisnya, sementara Caitlyn mengangguk. “Lalu apa hubungannya denganku? Kau tahu aku bukan tipe orang yang gemar mengumpulkan barang-barang mahal macam begitu.” Kalau mencurinya, aku suka.
Caitlyn menghela napas. “Justru disitulah masalahnya.” Ia membelok lagi, kali ini memasuki daerah bebas hambatan. “Rekanku, Jaden, mendapatkan informasi bahwa pelelangan ini hanyalah semacam formalitas. Semuanya sudah diatur, dan transaksi sebenarnya akan dilakukan di sebuah bangunan tak terpakai di pinggiran kota. Kami membutuhkanmu untuk menghentikan transaksi itu, Spence. Dan menurut kami, lebih baik menangkap mereka terlebih dahulu di rumah lelang itu.”
“Why me?” Spencer mendesak lagi, terdengar tidak suka.
Maka, dengan pertanyaan Spencer, Caitlyn menginjak pedal gas-nya lumayan dalam, meninggalkan posisi awal mereka dengan derum mobil yang cukup kentara—Spencer sontak mengencangkan pegangannya pada sisi kursi atas tindakan tiba-tiba Caitlyn ini.
“Elias akan menjelaskannya di Los Angeles. Penerbangan kita pukul sebelas.”
-
Spencer Aimes bukanlah penjahat-kacangan-kurang-kerjaan yang gemar menikmati hidupnya keluar masuk arena penjara di kota tempatnya tumbuh, Miami. Yah, walaupun pria itu pernah menyatakan suatu kali pada tangan kanannya—sekaligus satu-satunya orang yang paling ia percaya—Caitlyn, bahwa sebenarnya ia masih dalam proses pencarian jati diri—yang bagian ini dicela habis-habisan oleh Caitlyn. Wanita itu mengatainya bahwa ia benar-benar sudah terlalu tua untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh para remaja yang baru pertama kali mengisap rokok.
Caitlyn yang setelah sekolah menengah atas memutuskan untuk keluar dari Miami dan menuntut ilmu di negara lain, tetiba datang kembali ke kota tropis itu lima tahun kemudian, dengan lencana kepolisian Los Angeles tersemat rapi di dadanya, mengunjungi Spencer yang kala itu mengenakan pakaian oranye tua dan borgol pengaman di kedua tangannya. Caitlyn tak henti-hentinya menghela napas kala itu, mengatakan bahwa seharusnya Spencer mengikuti jejaknya dulu, berkelana ke luar, atau mencari sesuatu yang baru di tempat lain.
Kendati sedikit kecewa dengan keadaan sahabat lamanya, tak dapat dipungkiri bahwa kerja Spencer di jalanan lebih licin daripada penjahat manapun—dan yah, kepulangan Caitlyn ke Miami untuk menemui Spencer juga sedikit banyak atas alasan yang satu itu.
“Kau bilang dia baru keluar dari sel pagi ini?” Elias Martainn bertanya dengan nada mencela pada Caitlyn yang bersedekap di hadapannya. “Tak tahukah kau siapa yang kita hadapi saat ini?”
“Penipu kelas atas—ya, Elias, kau sudah ribuan kali mengingatkanku dan bahkan aku terus bermimpi tentang kedua hal itu empat hari belakangan ini,” desis Caitlyn. Setidaknya sudah genap satu setengah jam wanita itu berada di ruangan Elias, mendiskusikan tentang keterlibatan Spencer Aimes dalam rencana yang satu ini.
“Kupikir ketika kau bilang tentang orang yang kaupercayai yang berasal dari Miami—“
“Well, dia berasal dari Miami, kan? Dan dialah orang yang kupercayai.” Caitlyn memotong.
Elias mendesah di tempatnya. Rasa-rasanya ia ingin memakan meja kayu di hadapannya saat ini juga. “Kau tidak bilang padaku bahwa dia seorang kriminal, demi Tuhan, Caitlyn…”
Wanita di hadapan Elias melempar pandangan tak mau tahu. “Jaden bilang padaku bahwa kau membutuhkan seseorang yang bekerja dengan sangat licin, ya kubawakan dia.” Caitlyn masih teguh akan pendiriannya. “Walaupun catatan kriminalnya banyak, aku tahu dia bisa diandalkan. Kau saja yang tak pernah melihatnya bekerja. Jika penjahat itu melakukan tipu daya transaksi saat pelelangan berlangsung, Spencer pasti akan langsung mengetahuinya.”
Helaan napas panjang dari Elias sebagai pembuka jawaban. “Baiklah-baiklah. Kau menang, Caitlyn.” Elias mengangkat kedua tangannya sebatas dada, membiarkan senyum lebar Caitlyn mencemoohnya. “Aku hanya ingin rencana ini berhasil. Bagaimanapun juga, ini menyangkut barang berharga dari Museum Rusia, dan kita tak boleh menggagalkannya.”
Caitlyn masih bersedekap. “Kau ingin aku memanggil mereka dan memulai persiapannya?” tanyanya tiba-tiba, menghadirkan anggukan pelan dari Elias yang sempat menyeruput kopinya sesaat sebelum tubuh Caitlyn menghilang di balik pintu.
Ruangan Elias yang semula kosong dan terkesan luas dengan hanya Caitlyn yang berdiri di belakang mejanya kini memberikan sensasi berbeda ketika wanita itu mengundang Spencer dan seorang agen pria bertubuh tidak terlalu tinggi masuk. Spencer adalah orang pertama yang mendapatkan tatapan penuh selidik dari Elias, membuatnya harus bertingkah seolah normal sementara Caitlyn memberikan ekspresi diam-saja-kau-tadi-katanya-aku-yang-menang pada atasannya—sejenak melupakan posisinya sendiri saat ini.
Jaden Sterling, yang berdiri sembari memeluk sebuah map berwarna biru gelap membetulkan posisi berdirinya, yang kemudian menangkap tanda dari Elias yang menyilakannya untuk memulai. Maka, dengan beberapa catatan kaki yang telah ia tambahkan sebelum kakinya melangkah masuk ke ruangan ini, ia memulainya.
“Menurut informasi terakhir, pelelangan atas mutiara itu akan dilakukan besok siang pukul dua di sebuah rumah lelang Jullen’s Auctions Beethoven Street, sekitar dua puluh menit dari sini. Karena termasuk barang langka, kemungkinan barang ini tidak akan dikeluarkan di waktu awal pelelangan, dan kita belum bisa melacak siapa pihak-pihak yang akan bermain nanti.” Jaden menjelaskan dengan intonasi pelan.
Caitlyn berdecak. “Oh, ya ampun. Selain merepotkan mereka juga ingin menciptakan permainan kecil ternyata.”
“Tidak, Caitlyn.” Jaden memotong sesudahnya. “Pikirkanlah. Orang-orang ini menunggu agar barang-barang lelang yang lain habis terlebih dahulu, sehingga menguras kantung-kantung para pelelang yang hadir. Mereka telah mengaturnya, agar ketika mutiara itu dikeluarkan di akhir acara, hanya sedikit dari mereka yang akan mengangkat papan dan menawarkan harga.”
“Itu masuk akal.” Elias merespon. “Sekaya apapun aku, setidaknya aku masih akan berpikir sebelum mengangkat papan ketika mutiara itu dikeluarkan mengingat telah ada beberapa barang lain yang telah berpindah tangan atas namaku.”
“Dan aku berani bertaruh, harga yang mereka tawarkan tidak main-main,” tambah Jaden. “Orang-orang itu pastilah telah bekerja sama dengan pihak pemilik rumah lelang.”
“Jadi maksudmu sebaiknya sekarang kita menuju ke sana dan mengadakan perjanjian dengan pemilik rumah lelangnya?” Caitlyn bertanya.
Jaden menggeleng di tempatnya. “Tidak, Caitlyn. Itu akan terlalu berisiko. Lagipula masih ada transaksi lain yang akan mereka lakukan setelahnya.”
Spencer mengangkat wajah tepat setelah Jaden melafalkan kata-katanya. Dia yang selama pembicaraan ini belum sekalipun membuka mulut, kini terlihat lebih berkonsentrasi. Untuk sejenak, pria itu membiarkan indera pendengarannya bekerja secara maksimal.
“…di sebuah dermaga di Norfolk, Virginia. Kemungkinan besar, setelah pelelangan selesai, mereka akan menuju ke sana—“
“Darimana kau mengetahuinya, Mr. Sterling?”
Untuk sesaat, seluruh perhatian di dalam ruangan itu tertuju pada sosok Spencer yang berdiri bersedekap sembari menyandar di pintu. Pria itu mengacuhkan tatapan mata Caitlyn, melangkahkan kakinya lebih dekat ke meja Elias. Ia berhenti tepat dua langkah dari ujung meja.
“Jika kau yakin tidak ada yang menyadap atau memasukkan informasi palsu, Mr. Martainn, silakan kerahkan seluruh anggotamu untuk menuju rumah lelang itu sekarang juga, dan siapkan penjaga di setiap titik untuk memastikan tak ada yang luput dari pengawasanmu…” Spencer mengambil tempat di kursi kosong di hadapan Elias setelahnya, “…sebaliknya, jika kau tak yakin, maka akan bijaksana jika kau menyiapkan tiket untuk penerbangan ke Norfolk sekarang juga.”
“Apa yang—“
“Percayalah, Mr. Martainn, aku sudah sering membantu proses pendistribusian barang terlarang di dermaga Miami, dan prosedur seperti inilah yang mereka lakukan untuk mengelabui polisi.” Spencer melanjutkan, memotong kata-kata Elias yang rasanya tercekat di tenggorokan.
Baik Caitlyn maupun Jaden sama-sama terdiam di tempatnya atas pernyataan Spencer yang tiba-tiba ini, sementara pria itu duduk menunggu di kursi yang sama, mengangkat kedua tangannya ke atas meja dan melipatnya. Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangan, sementara Elias menatapnya lurus-lurus tepat ke manik matanya, mencoba untuk menemukan gurat kebohongan atau aroma penipuan dalam tiap inci ekspresi wajahnya.
Ketika kemudian Elias hendak membuka mulutnya untuk memberikan jawaban, gumaman pelan dari Caitlyn memotongnya—lagi.
“Kau bilang kau telah percaya padanya, El. Dan kita tidak ingin kecurian, kan?”
-
Pagi turun begitu cepat, ketika langkah-langkah kecilnya membawanya keluar melewati pintu raksasa di lobi utama bandara internasional Norfolk. Empat jam perjalanan di udara dari Los Angeles menuju Charlotte, ditambah penerbangan tambahan karena harus melakukan transit menuju Norfolk membuat wanita itu sakit kepala—ia bahkan menghabiskan waktu setengah jam duduk di toilet tanpa melakukan apapun hingga ketukan demi ketukan garang dari para penumpang yang senewen memaksanya keluar.
Dia memberikan gelengan pelan pada seorang pria berseragam yang menawarkan layanan angkutan bandara berupa taksi di pelataran parkir. Bukan karena ia menginapkan mobilnya di sini, namun sebuah lambaian di kejauhan telah lebih dulu menangkap perhatiannya—dan juga karena alasan itulah kemarin sore ia langsung memesan tiket pesawat dan segera bertolak ke tempat ini.
Damian Reese menyambutnya dengan hangat ketika dia berjalan mendekat.
“Apa kau terkena delay?” Damian bertanya sesaat setelah wanita itu menerima sodoran jaket darinya. Salju memang sudah mulai mencair, namun udara dingin masih menyergap di sekitar mereka—dan lagi, ia tahu wanita itu benci bepergian lewat jalan udara.
Tiffany Hart menggeleng pelan. “Lain kali jangan mengadakan pertemuan di luar Los Angeles, Damian. Aku bisa gila jika terus-terusan naik burung besi keparat itu,” jawabnya, kini menyesap cappuccino hangat yang juga ditawarkan pria itu. ”Pukul berapa mereka ingin bertemu?”
“Kau harus belajar mengontrol rasa penasaranmu, Tiff.” Damian tersenyum sembari menyalakan mesin mobilnya, memanaskannya selama beberapa saat. “Perjalanan ke dermaga itu memakan waktu lumayan lama. Kau beristirahatlah.”
Wanita itu menggumam tak jelas di posisinya, merapatkan jaket pemberian Damian di sekeliling tubuhnya. Walaupun pemanasnya dinyalakan, efek dari perjalanannya masih terasa. Bukan pening biasa, dunianya serasa berputar.
“Spill, Damian. Kepada siapa mereka meminta bantuan?” tanya Tiffany sembari memijat keningnya berkali-kali.
“Tiff, tenanglah—“
Tiffany mendesah keras, mengacuhkan gelagat pria itu yang jelas-jelas mengkhawatirkan keadaannya. “Sudah kubilang jangan menerima pekerjaan ini, Damian. Rencana ini menyangkut barang antik yang dilindungi. Oh Tuhan, orang kaya keparat macam apa yang sudah meracuni otakmu, hah?” Helaan napas singkat. “Kalau saja waktu itu aku tidak sedang berada di luar Los Angeles. Aku akan menghentikanmu membuat perjanjian itu, Damian.”
Untuk sesaat, suasana di antara keduanya hening. Baik Tiffany maupun Damian kini sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka sendiri-sendiri, membiarkan si wanita penyiar radio mengumandangkan ramalan cuaca Norfolk hari ini, sekaligus daftar pemenang kuis undian bulanan, serta diskon-diskon menarik di beberapa supermarket besar. Hening, hingga akhirnya suara parau Damian menghentikannya.
“Jangan pernah berpikir bahwa aku tidak tahu alasan kepergianmu ke Miami waktu itu, Tiff.” Pria itu berkata pelan sembari membelokkan mobilnya, menyusuri Kendall St yang dikelilingi pohonan tinggi. Jalanan lengang saat itu, dan lagi ini pagi hari di akhir minggu yang cukup dingin. Hanya akan ada sedikit orang yang beraktivitas di luar ruangan. “Orang kaya keparat yang kau bilang itu menyiapkan ribuan dolar untuk rencana ini.”
Tiffany menghela napas panjang. “You put yourself in danger, Silly,” tukasnya, menahan mati-matian agar suaranya tak terdengar parau. “Walaupun pekerjaan ini sudah melekat padamu selama belasan tahun, tapi untuk yang ini… oh, ya ampun, sebaiknya—“
“I’ll be alright. You too.” Pria itu menghentikan mobilnya di pinggiran jalan. “Kita hanya perlu datang ke sana, menunggu beberapa menit, dan melakukan transaksi. Tidak akan lama, aku janji. Kita tak perlu kembali ke Los Angeles secepatnya, aku tahu kau masih tak enak badan,” tuturnya dengan nada membujuk. “Atau kau ingin kembali ke sana lewat jalan darat?”
“Kau tak mengerti—“
“Tiffany Hart.” Damian memotong kata-kata wanita itu. “Penyamaranku sukses, dan aku berhasil mengelabui kepolisian Los Angeles, oke? Tak ada hal lain yang perlu kau khawatirkan,” katanya, kini meraih sesuatu dari balik jok kemudinya. “Aku yakin kau sudah tak asing dengan benda ini. Lindungi dirimu, oke?”
Dengan Damian yang kembali menyalakan mesin mobil dan mengembalikannya ke jalanan, Tiffany menunduk, menatap dalam-dalam sebuah Glock mengkilat yang diberikan pria itu padanya. Kata-kata Damian semula sempat memengaruhi dirinya, namun tetap saja perasaan tak enak itu kembali menghantuinya. Dan ya, selama sepuluh menit perjalanan ini berlangsung, sesuatu yang muncul di kepalanya secara tiba-tiba menjawab seluruh keraguannya.
Jika memang dibutuhkan, lebih baik mengambil keputusan sinting sekalian.
-
“Jika perhitunganku benar, transaksinya akan dilakukan siang ini.” Spencer menggumam tak jelas dari balik hotdog besarnya yang berangsur dingin. “Dan sepertinya aku juga sedikit melakukan kesalahan perhitungan,” lanjutnya, yang sekonyong-konyong menghadirkan tatapan dari Caitlyn yang duduk di sampingnya.
Wanita berambut sebahu itu mendelik. “Jika kau sampai salah menyebut tempat, aku bersumpah akan melemparmu ke kandang macan, Spence. Dan sebaiknya lupakan juga wanita Los Angeles yang pernah kau ceritakan padaku itu.”
Spencer menoleh tajam dan tersenyum canggung. Iya. Tentu saja Caitlyn Jones akan dengan senang hati mencincang dirinya apabila ia salah menyebut lokasi. Kemarin sore, ia sendiri yang memanas-manasi Caitlyn agar Elias segera mengirim mereka ke Norfolk dan menuju ke sebuah perumahan di dekat dermaga, mengatakan dengan yakin bahwa disitulah tempat transaksinya akan berlangsung—sekaligus mematahkan laporan Jaden Sterling bahwa akan terjadi sesuatu di sebuah rumah lelang di Los Angeles.
Keduanya—termasuk Jaden yang ikut serta—bertolak dari Los Angeles semalam, dengan penerbangan paling terakhir, setelah berkali-kali meyakinkan Elias bahwa pendapat Spencer perlu dibenarkan. Jaden bahkan mendatangi rumah lelang yang dimaksudnya kemarin malam, dan memastikan bahwa tidak akan ada acara lelang apapun hingga dua minggu ke depan. Maka, meski dengan kata-kata kurang setuju, Elias tetap melepas mereka—dengan ancaman akan mengurung Spencer jika rencana ini gagal.
Atas alasan ini pulalah, Jaden ikut menolehkan kepalanya dari bangku depan.
“Siapapun yang melakukan transaksi ini pasti bukan main hartanya. Uhm, menurutku kita akan sedikit kesulitan,” jelas Spencer, sementara matanya menelusuri empat orang penumpang mobil termasuk dirinya dan si pria berseragam kepolisian Norfolk yang duduk di balik kemudi, Kyle Garvin. “Percaya padaku. Mereka pasti akan menyiapkan geng keamanan di sana.”
Wajah Caitlyn yang semula diliputi ketegangan, perlahan membuat ekspresi mencela.
“I didn’t come to Miami for nothing, Idiot,” tukasnya. “Pikirmu, untuk apa aku susah-susah berkeliling selama dua hari di sana untuk mencari keberadaanmu, lalu menentang Elias mati-matian dengan berkata bahwa kau adalah orang yang paling pantas yang harus diikutkan dalam misi ini? Heh. Jika semuanya persis seperti yang kau bilang, maka memang orang bodoh mereka itu, memasukkan Los Angeles dalam daftar.”
Spencer terdiam di tempatnya. Caitlyn benar.
“Ya, aku setuju.” Jaden menambahkan. “Berita tentang hilangnya mutiara itu dari museum sudah merupakan berita utama dan menjadi headline dimana-mana, sudah pasti setiap penjuru dunia akan mendengarnya. Aku yakin siapapun yang melakukan ini tidak berpikir panjang ketika merecoki pihak Rusia. Pada dasarnya ada dua pihak yang ia kerjai di sini.”
“…”
“Dia merecoki pihak museum Rusia untuk memperpanjang masalah sementara membawa mutiara itu dari sana, lalu merecoki pihak Los Angeles dengan segala macam omong kosong rumah lelang itu—“
Spencer tersenyum atas penjelasan Jaden. “Well, tidakkah hal itu terdengar amatir?”
“Jadi kau ingin mengatakan bahwa sebenarnya siapapun yang mencuri mutiara itu, lalu merecoki pihak museum Rusia, mengirim informasi palsu ke kepolisian Los Angeles, dan hari ini akan melakukan transaksi baru saja masuk perangkap tikus?” Caitlyn bertanya, mencoba menyambungkan penjelasan-penjelasan Spencer dan Jaden.
Namun, belum sempat Spencer atau Jaden mengiyakan pertanyaannya, suara Kyle Garvin yang sedikit serak telah lebih dulu memotong. “Atau kita sendiri yang masuk perangkap.”
-
Spencer tidak berbohong ketika ia sempat mengatakan kalau kemungkinan besar tempat dilaksanakannya transaksi siang itu dijaga oleh berlapis-lapis pria bersenjata yang sibuk bersembunyi di sana-sini. Awalnya, setelah memarkir mobil di suatu tempat yang dianggap aman, keempatnya berpencar untuk memasuki sebuah gedung tua tak terpakai yang mungkin dulunya adalah sebuah tempat parkir bertingkat. Spencer menyuruh Kyle untuk menjaga Caitlyn, sementara dia sendiri memeriksa lantai paling dasar, lalu Jaden yang tinggal di dekat mobil untuk penjagaan dan bersiap di telepon kalau-kalau mereka membutuhkan bantuan mendadak.
Belum ada genap sepuluh langkah Kyle dan Caitlyn berjalan dari anak tangga teratas di lantai tiga, sebuah peluru tersasar berdesing melewati telinga Kyle, membuatnya refleks menarik tangan Caitlyn yang bebas untuk bersembunyi. Terengah-engah, Kyle mengeluarkan kotak peluru cadangan miliknya dan membaginya dengan Caitlyn.
“Kita bisa mati sia-sia jika terus begini. Salah satu dari kita harus berada di lantai paling atas.” Kyle menjelaskan dengan sedikit berteriak demi mengalahkan desingan-desingan peluru di sekitarnya, sementara ia dan Caitlyn bersembunyi di balik sebuah mobil tua. “Aku akan menahan mereka. Kau, tetap merunduk sampai ke anak tangga sebelah sana. Mengerti?”
Wanita di hadapan Kyle mengangguk pelan. “Baiklah,” ujarnya pendek.
“Spencer mungkin akan membunuhku nanti.” Kyle tersenyum kecut. “Tetap merunduk dan jangan mengangkat kepalamu sebelum sampai di anak tangga nanti, oke?”
Dengan anggukan Caitlyn, pria itu menghela napasnya keras-keras, memastikan bahwa senjata di tangannya kini berfungsi dengan benar. Di tengah-tengah huru-hara siang hari yang dingin itu, setidaknya ada lima sampai tujuh orang—semoga ia tidak salah menghitung—pria bersenjata yang bersembunyi seperti dirinya. Dia sempat menangkap beberapa siluetnya tadi. Satu orang di belakang jeep hitam tua dengan plat nomor yang hilang, dua orang di dekat tangga dari lantai dua, dan satu orang tengah merangkak di atas pipa besar yang melintang di langit-langit tepat di atas kepalanya.
Tar!
Bruk!
Terlambat sedikit, bocor kepalaku, pria itu mendesah dan kembali membidikkan senjatanya ke arah lain.
Ketika ujung kemeja milik Caitlyn menghilang dari sudut pandangnya, Kyle telah berhasil menjatuhkan tiga dari penyerangnya. Ditambah satu lagi, karena pelurunya meleset mengenai bohlam namun sedetik kemudian terdengar teriakan serak. Satu lagi, dengan lubang yang ia ciptakan di sisi kanan kepala seorang pria bertopi di seberang. Tersisa satu orang, dan kini pelurunya habis.
Pria itu mendecak sebal, lalu menghela napas.
“Hei, Bung, peluruku habis!” teriak Kyle, masih bersembunyi. “Tunjukkan kalau kau bukan pria jadi-jadian. Keluar sekarang juga dan hadapi aku dengan tangan kosong.”
Dengan sedikit motivasi untuk mengangkat dirinya bangkit, pria itu mengantungkan senjatanya yang kini kehabisan peluru, menarik napas dalam-dalam, dan membuangnya dengan khusyuk. Ada dua kemungkinan di sini, tentu saja. Satu, penyerangnya juga kehabisan peluru. Dua, Kyle terlalu bodoh, dan polos, dan tolol, karena ia sendiri yang berteriak bahwa ia kehabisan peluru—mana tahu penyerangnya kini masih menyimpan beberapa butir, dan ia tak mungkin mengemis minta sebagian, kan. Rasanya seperti melumuri dirimu sendiri dengan darah kambing, lalu berjalan dengan sukarela masuk ke dalam kandang t-rex.
Mengintip sejenak dari jendela di samping jok pengemudi, Kyle kembali menemukan keberaniannya. Satu gerakan singkat dan dengan ekspresi wajah yang dirasanya cocok, Kyle menarik tubuhnya bangkit. Gemuruh di dadanya bertambah—selain karena kali ini ia sama sekali tak bersenjata, rompi anti-peluru miliknya pun entah ada di mana.
Dua langkah melewati sisi mobil, dan tiga detik berikutnya rasanya ia ingin berteriak lantang. Tubuh gempal itu terbaring di lantai tak bergerak dengan genangan minyak di sekitarnya. Mungkin pelurunya sempat meleset tadi dan mengenai tanki bensin salah satu mobil—yang beruntung tak menyebabkan ledakan.
Si bodoh terpeleset, batin Kyle, yang diam-diam bersyukur bahwa ia tak perlu benar-benar berkelahi dengan tangan kosong. Hanya sedikit waktunya untuk merayakan keberhasilannya ini, sebelum kemudian ia teringat akan satu hal. Caitlyn!
Dua buah tubuh yang terletak bergelimpangan di dekat anak tangga teratas di lantai atap menyambutnya ketika ia tiba di sana. Sinar matahari yang menembus udara dingin siang itu sedikit menyilaukannya, membuatnya menyipitkan mata setelah tersadar bahwa sedikitnya ada empat sampai enam tubuh ambruk lagi di sekitarnya. Kyle mengarahkan pandangannya pada sosok gemuk yang terkulai tak bergerak di tengah-tengah lantai dengan sebuah koper hitam mengilat tak jauh dari sana. Mungkin itulah si orang kaya yang menunggu di tempat ini untuk melakukan transaksi dan mendapatkan mutiaranya—sialnya, Kyle belum menemukan pihak yang akan menerima bayaran itu.
“Caitlyn!”
Sejenak, sudut matanya menangkap sosok Caitlyn yang tengah berdiri bersandar di tembok bata setinggi pinggang, terengah-engah sembari memegangi lengan atasnya. Wanita itu mengangkat wajahnya sesaat setelah Kyle berjalan mendekatinya.
“Di mana Spencer?” tanya Caitlyn, yang masih mencoba untuk mengatur napas. Pandangannya bergerak liar, ke arah sebuah bangunan tua lain yang terletak tepat di sebelah bangunan tempat mereka berada ini, kembali pada Kyle yang kebingungan di hadapannya, lalu ke arah lain lagi.
“Apa mereka menembakmu?” Kyle bertanya dengan nada khawatir, yang langsung dibalas oleh gelengan pelan wanita itu. Dia menghela napas setelahnya. “Spencer tidak mendatangi posisiku tadi, dan karena baku tembak yang tadi terjadi, mungkin sekarang Jaden tengah memanggil bantuan. Sebaiknya kita menghampirinya lalu mencari Spencer.”
Awalnya Caitlyn hendak mengamini kata-kata Kyle. Awalnya Caitlyn hendak menerima uluran tangan Kyle untuk membantu dirinya berjalan. Awalnya Caitlyn mengira bahwa segalanya telah selesai dengan tumbangnya orang-orang di sekitarnya kini, namun ternyata desingan lain dari arah bangunan tua yang tadi sempat dicurigainya seolah mengingkari.
Rasanya terlalu cepat bagi Kyle, untuk sekadar menyadari bahwa Caitlyn baru saja mendorong tubuhnya lumayan keras ke sisi kanannya, membuat terjerembab dengan wajah menghadap permukaan lantai. Inginnya memijat keningnya yang sempat terantuk, namun debuman berat di belakangnya membuatnya seolah tersadar.
“Tidak, tidak, tidak!” Kyle berdesis di sela-sela napasnya yang terengah, gagal menangkap tubuh Caitlyn yang tumbang begitu saja dengan lubang bernoda merah di tengah dahinya dan deru napasnya yang berhenti seketika.
Sialan, Spencer Aimes, di mana kau!
-
Damian Reese menghela napasnya pelan, menyenderkan rifle-nya ke sisi tembok yang kini dipenuhi bercak kehitaman karena ditinggalkan terlalu lama. Di sana, di lantai atap sebuah bangunan lama lain di wilayah itu, objek yang semula dibidiknya telah tumbang, dan perutnya baru saja mengalami kelejatan perasaan mual dan rasa bersalah yang besar. Seharusnya tidak perlu ada yang mati hari ini.
Sekujur tubuhnya menegang waktu didengarnya debuman halus pintu besi yang tertutup di belakangnya, dan kini ia masih berpikir keras harus menjawab apa jika pertanyaan demi pertanyaan terlontar padanya. Tentang apakah transaksi mereka sudah selesai, atau hal-hal lain—Damian menyuruh Tiffany untuk menunggunya.
“Aku mendengar suara ribut.” Tiffany berkata dengan nada bingung, namun Damian tidak gagal menangkap perubahan air muka wanita itu yang telah ia kenal dengan jelas. “Apa orang-kaya-keparat itu sudah menunggu di sana?”
Dan Tiffany gagal memainkan perannya kali ini.
Untuk beberapa saat, pria itu tertegun. Namun kemudian, seulas senyum tipis merekah di bibirnya. “Kau melihatnya kan, Tiff?”
“What—“
“Kita berada di lantai teratas sebuah gedung tinggi, dan aku menyuruhmu menunggu di mobil karena semula kau yang bilang tidak ingin terlibat apapun di sini.” Damian berkata tajam, melupakan rifle-nya yang kini merosot dari senderan di tembok dan terkulai ke lantai. “Kau bukan tokoh Flash yang bisa berlari secepat itu, aku tahu. Hah. Naik pesawat saja mual, bagaimana berlari-lari ke sini dalam waktu singkat?”
Kini giliran Tiffany yang membiarkan mulutnya terkunci. Tidak satupun hal yang dikatakan Damian salah. Ia memang mengawasi segalanya sejak tadi, bagaimana polisi wanita itu tiba di atap dan menembak habis si orang-kaya-keparat beserta pengawal-pengawalnya, bagaimana desingan peluru yang berasal dari rifle milik Damian menumbangkan si polisi wanita, dan bagaimana rekan sesama polisinya kelimpungan.
Polisi-polisi Los Angeles itu ada di sini, dan ketakutannya sejak pesawat yang ia naiki bertolak dari Los Angeles kemarin sore benar-benar terjadi.
Mungkin rencana Damian tidak sepenuhnya berhasil.
“Ayo, Tiff, kita harus pergi.” Damian melupakan amarahnya yang semula ada, hendak membungkuk untuk meraih senjata miliknya. Namun, suara klik pelan di dekatnya seolah membuatnya beku. “Mereka akan menangkap kita.”
Tiffany menggeleng, masih mempertahankan posisi Glock miliknya yang kini telah mendapat target. “Tidak, kalau kau tak pergi kemana-mana, Damian.”
“Jangan gila, Tiff.” Pria itu mengangkat kedua tangannya sebatas dada kini, hendak mencegah Tiffany dari apapun hal sinting yang akan ia lakukan kemudian. “Kita bisa mengulanginya dari awal, oke? Atau kau ingin aku membuatkan rencana lain untukmu? Kumohon turunkan senjatamu—“
“Tapi kau yang memberikannya padaku, Damian.” Tiffany menggigit bibir bawahnya, menahan mati-matian agar airmata yang memburamkan matanya tidak bergerak kemana-mana. “Kau yang memberikannya padaku untuk melindungi diri, dan aku ingin menggunakannya sekarang, Damian.”
Pria itu mengurungkan niatnya untuk mendekati Tiffany dan merebut senjatanya. Ia tidak mungkin salah menangkap air muka wanita itu yang kini berubah lagi. Takut, bimbang, marah—itu tiga hal yang tergambar dengan jelas sekarang.
“Maafkan aku.”
Dengan senyuman tipis di bibirnya, Damian menghela napas. “Lari yang jauh, Tiff. Berjanjilah padaku.”
-
Spencer mengurungkan niatnya untuk menghentikan pencarian di gedung tua yang terletak tepat di samping gedung tua satunya yang dimasuki Caitlyn dan Kyle tadi begitu didengarnya suara lolosan peluru dan debuman yang agak kentara dari lantai atas. Pria itu tertegun sejenak, mengelus senjata yang tersimpan apik di saku belakang celana jins kumalnya. Menepuk debu yang membekas di jaket hitamnya, Spencer bergerak pelan.
Ketukan sepatu berhak tinggi terdengar dengan jelas kira-kira sepuluh detik setelah didengarnya suara pintu yang tertutup. Degup jantungnya serasa ingin keluar, namun menendang kenyataan bahwa siapapun pemilik ketukan sepatu itu adalah seorang wanita, tetap saja rasa tak nyaman di perutnya terus bergolak.
Dan seolah menjawab rasa mulas yang menyerang Spencer secara tiba-tiba, sosok ramping itu muncul dari balik pilar-pilar tak terurus, dengan sebuah tas hitam kumal di bahu kirinya, dan sebuah senjata yang baru dilempar.
“Katakan jika kau tidak memiliki La Peregrina dalam tasmu.” Spencer berkata tiba-tiba, mengacungkan senjatanya lurus-lurus—ia bahkan terkejut akan suaranya sendiri yang tiba-tiba menggema di dalam ruangan tak bertuan itu.
Wanita di hadapan Spencer tersenyum tipis, memandang tak suka ke arah tas hitam yang dibawanya. “Jadi itu namanya? La Peregrina?” tanyanya, namun tidak mengharap jawaban dari Spencer. “Keparat kecil yang memaksa Damian melakukan hal tolol itu semua.”
“Aku tidak mengenal Damian dan hal tolol apapun yang ia lakukan, Nona.” Spencer berkata jujur. “Tapi jika benar yang ada dalam tasmu adalah mutiara brengsek itu, lebih baik berikan padaku sekarang juga.”
“Aku benar, ternyata. Rencana Damian tidak seluruhnya berhasil.”
“Apa maksudmu?” Spencer mengangkat sebelah alisnya.
“Kau. Kau salah satu orang dari kepolisian Los Angeles, kan? Ya, Damian sempat menyebut-nyebut bahwa ia merecoki pihak museum yang kecurian mutiara ini, lalu memasukkan informasi palsu yang menyangkut sebuah rumah lelang di Los Angeles sementara ia melarikan diri dari Rusia.” Spencer menolak buka mulut, dan ia juga mengamini pernyataan wanita itu yang mengatakan bahwa ia adalah seorang polisi. “Sebenarnya aku tak tahu motifnya membawa-bawa rumah lelang itu, entahlah, dan kenapa harus Los Angeles.”
Spencer berdeham. “Dan pria itu juga merecoki kepolisian Los Angeles agar melakukan penyergapan atas rumah lelang itu? Tidakkah ini terdengar seperti politik adu domba?”
“Kupikir Damian hanya ingin bersenang-senang, menonton orang-orang kelimpungan akibat ulahnya.” Wanita itu berdecak pelan. “Tapi aku sungguh kagum. Kau berhasil membaca rencananya. Soal pengalihan ke rumah lelang itu. Hah, jenius.”
Untuk sesaat, suasana di antara keduanya hening, membiarkan wanita itu berpikir jernih. Spencer membelalakkan kedua matanya begitu tas hitam yang semula bertengger anggun di bahu wanita itu terlempar bebas ke arahnya.
Spencer sempat menangkapnya, menghadirkan suara gemerincing ketika benda itu mendarat di tangannya. Berat. La Peregrina kini berada di tangannya. Untuk sesaat, otaknya terasa sangat lambat untuk mencerna kejadian ini. “Apa-apaan—“
“Mutiara itu milikmu sekarang. Aku sudah tak peduli.” Wanita itu berkata pelan. “Mungkin rencana Damian memang tidak sepenuhnya berhasil, kuulangi lagi, tapi tetap saja ada bagian yang berhasil, bukan?”
Pria itu melongo parah. Mutiara yang diagung-agungkan museum Rusia itu ada di tangannya sekarang. Spencer bahkan dapat mendengar dengan jelas gemerincingan dan menimbang-nimbang beratnya. Tatapannya bergerak liar, antara tas hitam di tangannya, dengan wanita bertubuh semampai yang kini berdiri bersedekap di hadapannya. Well, ia masih memegang teguh kata-katanya sejak dulu, ia tak suka mengoleksi barang-barang berharga yang mahal. Tapi kalau mencurinya, ia suka.
Tar!
Suara ledakan itu menerjang gendang telinganya bahkan sebelum Spencer sempat membuka mulutnya untuk merespon kata-kata terakhir wanita itu. Di hadapannya, tubuh ramping itu terkulai tak bernapas, seolah kejadiannya terlalu cepat setelah tiga detik yang lalu ia sempat melihat secercah cahaya merah membidiknya. Spencer melongo lagi, masih sempat menarik napas namun lupa mengembuskannya ketika seseorang yang memerintah dalam bahasa Rusia yang rumit berteriak di belakangnya.
Spencer membalikkan tubuh, dan ia tidak kaget ketika belasan cahaya merah yang sama kini terarah pada tubuhnya yang tidak ditamengi apapun. Jangankan rompi anti-peluru, mengenakan kaus kaki pun ia lupa.
Kumpulan orang-orang di hadapannya kembali berceloteh dalam bahasa yang sama sekali tidak ia mengerti—ia tahu itu bahasa Rusia, tapi untuk mengerti kalimatnya, ia angkat tangan.
Dan sejenak, Spencer teringat kata-kata wanita itu tadi. Memang benar. Mungkin rencana Damian—oh, semoga ia tidak salah menyebut namanya—tidak sepenuhnya berhasil, namun penyamaran pria itu yang telah menelusup ke dalam pihak Rusia pastilah sukses besar. Dan ya, tak ada lagi hal yang bisa ia lakukan jika sudah terpojok begini, ditambah La Peregrina yang kini ada di tangannya.
Pria itu tersenyum tipis.
“Jangan menjadi pengecut yang hanya membidik, Bung.”
Mungkin hanya perasaannya, tapi apakah suara letusan pistolnya terdengar lebih keras?
***
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Author's Project
