Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Enchanted ― Mine

$
0
0

ench-jongin

Even though I’m tryin’ not, try not fallin’
Eventually, love is all around me
― Urban Zakapa, Love is All Around

 .

Kim Jongin

Saat masih kecil dulu, Jongin pernah hampir berkelahi dengan Lee Taemin. Mereka berebut sebuah mainan baru milik Taemin yang dipamerkan pada teman-temannya, sebuah robot-robotan dari serial kartun yang saat itu sangat populer ditayangkan di televisi.

Jongin penasaran, karena dia belum pernah melihat mainan itu sebelumnya. Taemin membawanya ketika mereka bermain di taman tak jauh dari rumah, dan dia juga ingin memainkannya, tapi Taemin tidak mau meminjamkan. Jadi dia merebutnya—badannya lebih besar, jadi tidak sulit bagi Jongin untuk mengambil mainan robot itu dari tangan Taemin dengan paksa. Mereka saling berteriak dan menyerang, dan Jongin tidak mau mengembalikan mainan itu meski Luhan dan Chanyeol sudah berusaha untuk melerai dan membujuknya, hingga para orangtua harus turun tangan untuk menyelesaikan keributan ini.

Malamnya hari itu, Jongin mendapatkan mainan yang sama seperti yang Taemin miliki. Malam itu juga, Jongin duduk dan mendengarkan nasihat pertama yang pernah dia dengar dari ibunya.

“Anak laki-laki harus setia kawan. Anak laki-laki yang baik akan mendengarkan apa kata noona dan hyung, meminta maaf dan mengakui kesalahanmu bila kau berbuat salah. Kau tidak memerangi teman-temanmu, dan merebut sesuatu yang bukan milikmu. Karena anak laki-laki yang sesungguhnya akan menghargai apa yang dimiliki teman-temannya dan melindunginya untuk mereka, bukan sebaliknya.”

Jongin memikirkan kata-kata ibunya itu dengan baik, terus mengingatnya, dan seperti sebuah hipnotis, ini menjadi sebuah nasihat yang sejak malam itu selalu dia lakukan. Dia tidak banyak berubah sebenarnya, selain Jongin kecil yang makin patuh pada apapun orang-orangtua katakan padanya.

Di keluarganya, dia adalah anak bungsu dengan dua kakak perempuan yang umurnya terpaut cukup jauh. Dan dalam teman sepermainannya, dia menganggap Luhan sebagai kakak laki-laki yang dia hormati meski dalam perhitungan orang-orang Korea mereka bisa dibilang seumuran. Bila dulunya dia cenderung selalu ingin mendapatkan apa yang dia inginkan, kata-kata ibunya membuat Jongin lebih sabar dan lebih penurut dibanding sebelumnya.

Jongin tidak pernah lagi berkelahi bersama Taemin sejak itu. Dia memperlakukan teman-temannya yang lebih muda, termasuk Baekhyun dan Chanyeol, seperti seorang kakak laki-laki yang menyayangi adik-adiknya. Dan dia melakukan apapun yang Luhan katakan padanya, tanpa mengeluh.

Tapi mengenai nasihat terakhir yang ibunya sebutkan, ada satu hal yang lupa Jongin tanyakan. Ibunya mengatakan bahwa anak laki-laki yang baik tidak akan pernah merebut sesuatu yang bukan miliknya, dan melindungi apa yang teman-temannya miliki untuk mereka. Dia tidak pernah bertanya, apa yang harus dilakukannya bila yang terjadi adalah sebaliknya? Apa yang harus dia lakukan bila mereka yang merebut sesuatu yang dia klaim sebagai miliknya?

.

Saat mereka mulai masuk SD, selepas sekolah bibi Ming—panggilan kesayangan mereka untuk ibu Luhan—membawa mereka ke kantornya sebelum satu-persatu mereka dijemput oleh orangtua masing-masing. Bibi Ming memiliki sebuah akademi di mana anak-anak kecil hingga orang dewasa menari ballet bersama, tapi dia tidak pernah memperbolehkan mereka mengintip ke dalam kelas. Wanita itu membiarkan mereka bermain di taman belakang akademi, atau di kafetaria hingga seseorang menjemputnya dan anak-anak yang lain pulang ke rumah.

Karena kesibukan orangtuanya, Jongin sering dijemput lebih sore. Di saat itu teman-temannya yang lain sudah pulang, atau sibuk mengikuti kelas tambahan. Awalnya Jongin akan ikut Taemin atau Baekhyun ke rumah mereka dan akan dijemput ayah atau ibunya sebelum makan malam, tapi di tahun kedua sekolahnya, dia lebih suka menunggu di akademi meski harus duduk dan bermain sendiri.

Dia suka memperhatikan anak-anak sebayanya—para gadis—datang dan pergi tiap hari. Jongin bahkan hapal jadwal suatu kelas, dan sengaja duduk di lobi sebelum sesi latihan ballet dimulai, atau bila ibunya belum menjemput dia pun akan duduk saat kelas selesai, karena dia ingin menunggu anak perempuan itu muncul.

Jongin tidak tahu siapa dia, siapa namanya, dan di mana dia bersekolah. Jongin hanya suka memperhatikan anak perempuan itu, karena dia sangat cantik. Seperti putri Cinderella yang ada di buku cerita bergambar.

Anak perempuan itu membuatnya penasaran apa asiknya menari ballet, jadi dia meminta orangtuanya agar mendaftarkan dirinya di dalam akademi itu agar dia bisa belajar tarian yang anak perempuan ini sangat sukai. Jongin mengambil kelas dengan jadwal yang sama, dan sengaja datang dan keluar kelas lebih cepat agar bisa melihatnya lebih dekat.

Jongin mendapati dirinya sangat menikmati menari. Ballet adalah tarian pertama yang dia pelajari, dan lepas dari ketertarikannya karena anak perempuan itu, dia menyukai apa yang dia lakukan.

Selama menari di akademi itu, Jongin semakin menyukai apa yang dilihatnya. Dia anak laki-laki yang sangat pemalu, jadi dia tidak pernah mendekati anak perempuan itu—apalagi berusaha untuk menyapanya. Dia hanya mengawasi dari jauh.

Wajah anak perempuan itu tidak seperti anak perempuan lainnya yang pernah dia lihat; tidak bulat, tidak sipit, dan tidak pendek. Mungkin dia setinggi Baekhyun, Jongin berpikir. Matanya kecil, tapi bulat, seperti angsa. Dahinya cantik, hidungnya mancung, dan rahangnya tirus, wajah yang tidak tampak biasa, tapi itulah yang membuatnya terlihat menonjol di antara teman-temannya.

Jongin mengawasi bagaimana anak perempuan itu bersikap. Dia selalu bertanya bagaimana penampilannya di depan sang ibu tiap kali akan masuk kelas; apakah gelungan rambutnya sudah rapi, apakah kostumnya terlihat berantakan, apakah dia sudah terlihat seperti Barbie?

Dan tiap pertanyaan itu terlontar, Jongin menjawab di dalam hati untuknya. Ya, rambutnya sudah rapi. Ya, penampilannya tampak sempurna. Tidak, kau tidak seperti Barbie, kau terlihat seperti putri.

Jongin mengawasi bagaimana anak perempuan itu selalu ingin mengurai rambutnya setelah latihan selesai, karena dia lebih suka rambut panjangnya yang ikal menjuntai panjang di belakang punggungnya. Dia mengawasi bagaimana anak perempuan itu selalu tersipu malu tiap kali para orangtua—bahkan bibi Ming—menyebutnya si Cantik. Jongin masih belum tahu siapa nama anak perempuan itu, tapi tas boneka harimau yang selalu dipakainya saat ke akademi membuat Jongin memanggilnya dengan nama Taigeo—Tiger.

.

Saat itu adalah tahun keduanya menari ballet di akademi. Suatu hari di akhir musim semi, kelas ballerina sedang berlatih untuk persiapan resital musim panas, dan para Ranger sengaja datang ke akademi untuk bermain bersama Jongin.

Sudah satu jam sejak kelasnya berakhir ketika mereka memutuskan untuk menonton latihan kelas ballerina. Latihan menuju resital biasanya diadakan di auditorium yang terletak di gedung bagian belakang akademi. Luhan memiliki akses untuk keluar masuk belakang panggung, dan dia menyelundupkan teman-temannya untuk agar bisa mengintip latihan dari balkon di lantai dua. Di sana mereka bisa melihat pemandangan panggung lebih jelas, karena sebenarnya latihan ini terbatas hanya untuk para penari saja.

Dan hari itu, Jongin melihat Tiger menari untuk pertama kalinya. Selama dua tahun dia menari di akademi ini, lobi adalah tempat terdekat di mana dia bisa melihat sembari berusaha memahami gadis cilik itu.

Tiger adalah gadis yang selalu ingin tampak cantik. Tiap latihan ballet-nya selesai, dia akan melepas gelungan rambut di kepalanya dan membiarkannya terurai panjang di belakang punggungnya. Dia lalu akan meminta ibunya untuk menyirisi rambutnya, dan memakai bandana berbentuk tiara, kemudian mengecek penampilannya di tembok kaca besar dekat koridor kelas sebelum meninggalkan akademi.

Jongin bahkan ingat di mana gadis itu akan menyimpan kotak kacanya, atau ikat rambutnya, dan juga gelang mutiaranya. Karena itulah, ketika dia akhirnya melihat gadis itu menari, Jongin memutuskan bahwa dia sedang jatuh cinta.

Tidak hanya rambut panjangnya yang terurai yang membuat Tiger tampak cantik, tapi juga keindahan gadis itu saat menarikan koreonya. Jongin tidak bisa menemukan istilah yang tepat untuk mendefinisikan perasaannya, yang jelas, Tiger luar biasa cantik.

“Anak perempuan yang memakai rok pink itu cantik, ya.”

Komentar Luhan menariknya kembali dari dunia lamunannya. Jongin melirik pada kakak laki-lakinya itu sekilas, dan menoleh pada sosok yang ditunjuk. Dia sedang membicarakan Tiger.

“Jongin ah, kenapa cuma dia yang memakai rok pink itu? Yang lainnya berwarna putih.”

“Itu namanya tutu.” Jongin berkomentar sebelum menjawab pertanyaan Baekhyun. “Kelas ini akan menarikan ballet Swan Lake. Mereka adalah para angsa, dan gadis itu ratunya. Semacam itulah.”

Lalu mereka mulai membahas tentang sang ratu angsa ini. Dia hanya diam, mengawasi panggung sementara keempat temannya sibuk saling berebut dan mengklaim Tiger adalah milik mereka, karena mereka menyukainya. Anak-anak itu saling berdebat, mempertahankan argumennya masing-masing mengalahkan yang lainnya, seolah hanya ada satu anak perempuan saja di dunia ini. Padahal di atas panggung sana ada selusin lebih pilihan yang bisa mereka tunjuk kalau saja mereka mau melihat lebih luas.

Ketertarikan mereka pada Tiger membuatnya kesal, dia tidak suka teman-temannya memperebutkan gadis itu seperti barang. Dan itu yang membuatnya akhirnya angkat bicara.

“Kita menyukai gadis yang sama, tapi kita tidak mungkin membaginya jadi lima. Lupakan saja.”

Pertanyaan itu setidaknya membuat keempat temannya hening. Jongin mengira perdebatan itu berakhir di sana, tapi ternyata dia salah. Pertanyaannya memunculkan ide yang kemudian Luhan usulkan.

“Kita suit saja kalau begitu. Siapa yang menang, ratu angsa jadi milikmu.”

Lalu mereka melakukannya.

Batu. Gunting. Kertas.

Luhan yang menang.

.

“Jongin, dia pacar Luhan hyung. Jangan pernah berpikir untuk berdiri di antara mereka, dia bukan milikmu.”

Jongin menutup telinganya saat Taemin mengatakan ini padanya. Dia tidak mau mendengar, dia tidak ingin mengakuinya, karena yang Taemin katakan tidak benar.

Dia milikku. Dan kalimat itu terus terulang di dalam kepalanya selama beberapa tahun ini. Jongin bersikeras bahwa Tiger adalah miliknya. Dia yang menemukan gadis itu pertama kali, dia yang pertama kali melihatnya, dan dia masih tidak bisa menerima fakta bahwa dikalahkan Luhan hanya dengan sebuah suit.

Selama dua tahun menari di akademi, Jongin yakin bahwa suatu hari nanti dia akan bisa bicara dengan Tiger. Dia adalah anak yang pemalu, dan bertukar kata dengan seorang anak perempuan adalah tantangan terberat yang pernah hidup berikan padanya di saat umurnya 9 tahun—memiliki dua kakak perempuan di rumah ternyata sama sekali tidak membantu.

Bahkan hingga hari terakhirnya di akademi, Jongin masih berperang bersama dirinya sendiri, bagaimana caranya dia bisa menyapa Tiger—untuk pertama, dan mungkin terakhir kalinya. Dalam beberapa hari keluarganya akan meninggalkan Korea dan pindah ke Eropa, Jongin tidak ingin pergi tanpa membawa memori apapun tentang Tiger.

Momennya sangat pas. Tiger baru saja keluar dari kelas, dan ibunya belum menjemput. Jongin mengawasi gadis itu mengobrol dengan dua orang temannya di lobi, dan ketika keduanya pergi bersama orangtua mereka, hanya tinggal gadis itu sendiri di sana. Dan dia.

Jantungnya berdebar kencang.

Apa yang harus kukatakan? Jongin bertanya pada dirinya sendiri.

Gadis itu berdiri di depan cermin dan melepas gelungan rambutnya. Jongin menonton Tiger merapikan rambutnya dengan jari-jarinya yang ramping, lalu mengepang rambutnya sendiri di belakang kepalanya. Jongin pernah melihat kakaknya melakukan ini, tapi Tiger jauh terlihat lebih cantik saat melakukannya.

Dia beranjak dari sofa, menghampiri Tiger yang masih belum menyadari keberadaannya. Jongin ingin mengatakan sesuatu, apapun, entah apa. Tiger selesai mengepang rambutnya, dan dia tidak menemukan karet rambut di dalam saku celana maupun tasnya.

Jongin berhenti melangkah. Semakin dekat, dia semakin gugup. Sebuah ikat rambut tergeletak tak jauh dari kakinya terpaku. Dia membungkuk rendah mengambil karet itu, dan kembali melangkah menghampiri Tiger.

Tangannya terulur, menepuk bahu gadis itu.

Tiger memutar tubuhnya. Menoleh padanya. Mengangkat kedua alisnya.

Jongin membeku. Dia tidak pernah berada sedekat ini dengan gadis itu.

Kulitnya pucat, wajahnya oval, dan Tiger memiliki tahi lalat kecil yang tipis di tengah jembatan hidungnya. Jongin terpana.

“Ya?” Gadis itu bicara terlebih dulu. Ekspresinya penuh tanya, dan satu tangannya masih menggenggam ujung kepangan rambutnya.

Dan suaranya merdu.

“Umm.” Jongin menunduk. Dia tidak berani menatap mata gadis itu.

“Kau menjatuhkan ikat rambutmu.” Itu adalah kalimat pertama, dan juga terakhir, yang Jongin lontarkan padanya sebelum dia berbalik pergi dan berlari meninggalkan akademi.

.

Jongin tahu, tidak, dia memahami sepenuhnya akan karisma yang dia miliki, dan bagaimana faktor X ini berpengaruh pada para gadis di sekitarnya. Dia tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi dan kapan segalanya dimulai, tapi sejak gadis-gadis itu tergila-gila padanya, Jongin mulai menyadari bahwa dirinya telah berubah.

Dia tumbuh dewasa. Dia bukan lagi seorang anak laki-laki yang akan menangis saat rindu dengan teman-temannya, anak laki-laki yang meringkuk di bawah selimut dan memeluk kakak perempuannya saat hujan deras dan halilintar menggelegar di atas langit rumahnya, atau anak laki-laki yang sangat menyayangi koleksi robot-robotannya.

Eropa telah mengubahnya menjadi seorang remaja dewasa yang tidak lagi pemalu. Seseorang yang lebih bebas, dan ambisius.

Setidaknya setahun di Eropa telah menghapus cukup banyak memori yang dia tinggalkan di Korea. Selain komunikasinya dengan Taemin dan para Rangers, Jongin tidak memiliki kisah apapun yang akan dia ingat tentang tanah kelahirannya itu. Dia melupakan Tiger, dan menemukan gadis barunya di Wina.

Pacar pertamanya adalah gadis berambut pirang dengan mata biru serupa boneka bernama Zevara Navyoskha. Gadis itu teman sekelas Jongin di sekolah dasar. Mereka belajar di kelas tambahan bahasa Jerman yang sama, karena seperti dia, Zevara pun belum lama pindah ke Wina bersama ibunya.

Bersama Zevara, Jongin belajar bagaimana berkomunikasi dengan anak perempuan yang bukan kakak perempuannya. Gadis itu lucu. Tingkahnya seperti anak laki-laki, yang kadang membuat Jongin teringat akan teman-temannya di Korea, dan mereka berdua sama-sama suka menari. Zevara mengenalkannya pada tari kontemporer, yang beberapa tahun kemudian menjadi spesialisasi tari yang dia pilih sebagai sebuah keseriusan.

Gadis itu banyak berperan dalam proses pertumbuhan karakternya. Zevara mengenalkan Jongin pada orang-orang baru, yang membuatnya menjadi anak laki-laki yang lebih terbuka. Gadis itu membuat Jongin sangat menghargai sebuah persahabatan, tapi dia tidak jatuh cinta padanya. Karena Zevara bukanlah Tiger.

Selama beberapa tahun itu, setidaknya dia berhasil melupakan sosok masa lalu yang pernah membuatnya kecewa pada dirinya sendiri. Sejak mengenal Zevara, Jongin hampir tidak pernah lagi memikirkan Tiger, hingga suatu hari saat umurnya 14 tahun, Luhan mengirimkan fotonya bersama seorang anak perempuan bernama Han Jo.

.

Luhan berkenalan dengan Jo pertama kali di sebuah resital yang akademi ibunya adakan. Di dalam email yang anak laki-laki itu kirimkan pada para Rangers, Luhan bercerita bagaimana ibunya memperkenalkan mereka berdua saat sedang gladi resik, dan Luhan datang bersama Minseok di panggung pertunjukkan resital itu untuk bertemu dengan Jo selepas acara berakhir.

Jantung Jongin berhenti berdetak sesaat ketika melihat foto yang dikirimkan ke emailnya itu. Bahkan setelah lima tahun berlalu, dia masih bisa mengenal gadis itu.

Namanya Han Jo, dan dia tumbuh menjadi seorang gadis yang jauh lebih cantik dibanding dulu. Teman-temannya bertanya apakah dia adalah sang ratu angsa yang pernah mereka perebutkan dulu, dan Luhan mengiyakan. Selama beberapa waktu itu mereka tidak berhenti membahas ini dan menjadikannya lelucon .

Tidak sekalipun Jongin membalas email itu dan ikut mengobrol di dalamnya.

.

Yang Jongin tahu, Luhan mulai terus membicarakan Jo sejak itu. Dia dan Jo pergi ke mana, bertemu siapa, Jo mengikuti audisi apa, menari di mana. Mereka tidak berhenti meledek kakak laki-lakinya itu dan bahkan mulai memanggilnya ‘fanboy’, meski Luhan tidak pernah mau mengakui kekagumannya—yang terlalu kentara—pada Jo.

Tahun terakhirnya di sekolah menengah junior, Jongin mengakhiri hubungannya dengan Zevara. Dia sangat suka menghabiskan hari-hari bersama gadis itu, tapi kelamaan dia mulai menyadari bahwa apa yang mereka miliki tidak pernah lebih dari sebatas pertemanan karena ketertarikan akan banyak hal yang sama. Mereka memutuskan untuk tetap berteman, tapi Zevara hampir tidak pernah lagi menghubunginya, salah satunya karena mereka berdua belajar di SMA yang berbeda.

Jongin mendapati dirinya mulai sering berkunjung ke minihompi milik Jo dan mengikuti kesehariannya di sana. Dari page itu Jongin mendapatkan kesan bahwa Jo sepertinya memiliki banyak teman. Dia pergi ke SMA yang sama dengan Luhan dan Minseok, dan mereka bertiga sepertinya adalah beberapa siswa populer di sana.

Dia juga sering berkunjung ke homepage Luhan, karena tidak jarang lelaki itu akan meng-upload selca-nya bersama Jo—dan tiap kali foto semacam ini beredar, kotak komentarnya akan dibanjiri para penggemar mereka. Jongin tidak pernah bisa habis berpikir tiap kali menemukan pemandangan semacam ini di layar komputernya.

Dari sana Jongin kemudian menemukan sebuah panggilan yang sangat familiar Luhan berikan untuk Jo. Dari caption-nya di beberapa foto bersama Jo, atau saat Luhan sedang membicarakan gadis itu di diary atau buletinnya, dia selalu memanggil Jo dengan nama Tiger.

“Kenapa kau memanggilnya Tiger?” Jongin bertanya suatu hari saat para Rangers sedang mengobrol di grup chat online.

“Jo? Jadi dia punya satu tas ini, yang konon sudah dia pakai sejak dulu. Bentuknya harimau, dan dia masih suka memakainya kalau kami pergi bersama.” Luhan menjawabnya saat itu. “Bisa kau bayangkan? Seorang gadis dewasa menenteng tas harimau ke Myeongdong, dan dia sangat bangga memakainya.”

Teman-temannya menertawakan kisah ini.

Jongin berhenti memakai nama Tiger untuk panggilan pribadinya pada Jo sejak hari itu.

.

“Taemin ah.”

“Oh, Jongin? Yah, apa yang kaulakukan? Cepat kembali, sarapan pagi sudah siap. Ke mana saja kau sejak tadi?”

“Taemin ah. Toko ini menjual satu-satunya coklat yang kauinginkan, tidak ada lagi yang menjualnya di manapun. Dan stoknya hanya tinggal satu. Kau melihatnya terlebih dulu, dan kau sudah akan mengambil ketika ternyata orang lain juga akan membelinya. Apa yang akan kaulakukan?”

“Kau ini bicara apa, sih? Yah, cepat kembali—”

“Jawab saja pertanyaanku.”

Ini adalah pertanyaan yang dia tanyakan pada Jongin suatu hari di akhir bulan Juli tahun 2011. Dia sengaja berjalan-jalan keluar villa, mengobrol bersama kakak perempuannya di taman ketika mendengar Jo dan Luhan mengobrol dari balik benteng tempatnya duduk.

Dia tahu bahwa menguping bukanlah perbuatan terpuji. Dia tahu bahwa dia seharusnya tidak berada di sana, tapi tubuhnya menolak untuk beranjak. Dan tubuhnya seolah membeku saat mendengar sebuah fakta yang tidak hampir tidak bisa dia percaya keluar dari mulut Jo.

Untuk sesaat Jongin berpikir ini hanyalah lelucon, tapi ternyata Luhan mengamininya. Perasaannya jadi tidak karuan ketika tahu rahasia kecil yang dua orang itu simpan dari mereka.

Jongin merasa seperti dibanting dari puncak gedung tinggi saat dia tahu Luhan berpacaran dengan Jo di tahun kedua SMA mereka. Setelah berbulan-bulan dia sangat mengantisipasi liburannya di Korea, Jongin merasa sangat terkhianati ketika membacanya dari upload foto terbaru dari Luhan di minihompi-nya.

Dia patah hati. Dan sesungguhnya Jongin makin tidak tidak mengerti dengan apa yang saat itu dia inginkan. Dia tidak mengerti kenapa mereka melakukannya.

“Orang lain itu perempuan atau laki-laki?”

Jongin memutar bola matanya. “Laki-laki.”

Setidaknya dia perlu menunggu selama hampir sepuluh detik hingga Taemin menjawab pertanyaannya. Dan dia menghela napas cepat saat Taemin mengatakan apa yang ingin dia dengar.

“Aku yang melihat coklat itu lebih dulu, kan? Tentu saja aku yang harus mendapatkannya. Kecuali ada kompromi.”

“Kompromi macam apa?” Jongin bertanya.

“Kompromi seperti, misalnya kenapa dia lebih berhak membeli coklat itu daripada aku. Kalau dia bisa meyakinkanku, mungkin aku akan memberikannya pada orang itu.”

“Katakan saja, orang itu berhasil meyakinkanmu bahwa dia lebih berhak membeli coklat itu daripada kau. Tapi saat dia berada di kasir, ternyata dia berubah pikiran. Permasahalannya adalah kau tidak tahu apakah dia akan membeli coklat itu atau tidak, dan kau tidak punya banyak waktu untuk menunggunya memutuskan.”

“Kalau dia tidak mau membelinya, kenapa dia bersikeras meyakinkanku bahwa dia lebih berhak mendapatkan coklat itu?”

“Itu yang terjadi.”

Jongin harus menunggu sekitar sepuluh detik lagi hingga mendengar jawaban Taemin kembali. “Coklat itu hanya ada satu-satunya? Tidak ada tempat lain yang menjual?”

“Tidak ada.”

“Kalau begitu, karena aku sangat suka coklat, dan coklat itu hanya satu, kurasa aku akan menunggu hingga orang itu memutuskan akan beli atau tidak.” Itu jawaban yang tepat. “Coklat itu pantas untuk diperjuangkan, tidak, menurutmu?”

“Ya. Sangat pantas.”

“Baiklah. Itu jawabannya kalau begitu. Hei, kita ini sedang membicarakan apa sih? Kau tidak berpikir—“

Taemin tahu apa yang dia pikirkan. Taemin adalah satu-satunya yang tahu apa yang terjadi, satu-satunya yang dia ajak bicara dan Taemin tahu jelas apa yang sedang dia bicarakan.

Dan Jongin mengatakan dia akan segera kembali ke villa, tapi Taemin mengatakan satu hal lagi yang tidak akan pernah dia lupa sejak itu, sampai kapanpun.

“Jongin ah, hal yang bukan milikmu tidak akan pernah menjadi milikmu, meski semahal apapun kau ingin membayar coklat itu dari orang ini. Kuharap kau tidak berpikir untuk melakukan sesuatu yang pada akhirnya akan menyakiti dirimu sendiri, dan juga orang lain. Jangan meyakinkan dirimu dengan harapan palsu. Kau tidak akan pernah tahu apa keputusan orang itu setelah sekian lama kau menunggu, bagaimana kalau pada akhirnya dia memutuskan untuk membeli coklat itu?”

Jawaban dari pertanyaan ini sudah jelas. Jongin bahkan tidak perlu berpikir lama untuk memberikan responnya.

Keputusannya bulat. Selama beberapa bulan itu dia berusaha untuk menekan perasaannya, Jo memutuskan untuk bersama Luhan dan itu membuatnya tersingkir dari arena pertandingan. Tapi situasinya ternyata tidak seperti yang dia pikir, dan ini pun membuat segala peraturan dalam permainan mereka berubah.

Ibunya memang pernah memberitahunya untuk tidak merebut sesuatu yang bukan miliknya, tapi Jongin tahu bahwa gadis itu adalah miliknya sejak awal. Dia hanya ingin memperjuangkan kembali apa yang dulu selalu menjadi miliknya. Dan Jongin akan melakukan apa saja untuk itu, meski dia harus melawan sekian banyak orang untuk mendapatkannya.

“Kalau begitu aku tidak akan menunggu.” Katanya sebelum memutus sambungan teleponnya. All is fair in love and war.

.

Dia adalah pengacau. Itu jelas.

Entah sudah berapa banyak prinsip seorang laki-laki yang ibunya tanamkan pada dirinya dulu yang dia langgar untuk meraih apa yang diinginkannya.

Jongin tidak ingin menyerah, karena sejak musim panas itu segalanya berubah. Ibunya ingin dia memperjuangkan apa yang menjadi cita-citanya, dan apa yang dia inginkan, dan sederhananya, Jongin melakukan semua ini dengan sepenuh hati.

Dia tahu kembali ke Korea adalah satu-satunya cara agar dia bisa mendapatkan Jo kembali—dan gadis itu juga menantangnya untuk melakukan hal yang sama. Di tahun terakhir SMA-nya, Jongin mendapatkan dua pilihan beasiswa untuk melanjutkan kelas tarinya di Julliard dan Woobin. Jongin memilih yang ke-dua.

.

Jo memiliki ketertarikan yang sama dengannya, Jongin yakin. Dan dia memanfaatkan kelabilan gadis itu untuk menggoyahkan kesetiannya pada Luhan agar lebih memilih dirinya.

Dia tidak peduli meski Oh Sehun berulangkali memperingatkannya untuk membatasi diri—selama ini Jongin selalu berpikir bahwa Lee Taemin adalah seorang penggerutu terburuk sepanjang masa, tapi setelah bertemu dengan Sehun, lelaki itu ternyata jauh lebih buruk.

Jongin tidak peduli. Jo juga menginginkannya, dan baginya hanya itu yang cukup untuknya. Dia hanya perlu memperkuat perasaan itu karena ternyata cukup sulit meyakinkan Jo akan apa yang mereka miliki. Gadis itu terlalu menjunjung tinggi perjanjian yang dimilikinya dengan Luhan, dan semakin lama Jongin tidak mengerti kenapa mereka berdua semakin bersikeras untuk mempertahankan sandiwara itu, sementara yang terjadi adalah sebaliknya.

Dia tahu sedikit banyak Jo memiliki keterikatan ini dengan Luhan. Mereka sudah berteman cukup lama, dan pastinya lama bentang persahabatan itu telah membangun tembok kesetiaan yang cukup tinggi di antara mereka. Kesepakatan apapun yang mereka punya, adalah lem perekat yang membuat mereka tak terpisahkan.

Tapi Jongin tahu Jo berpikir berbeda. Gadis itu tidak perlu menjelaskannya secara gamblang, karena seluruh tindak tanduknya mengatakan segalanya. Ada bagian dalam diri Jo yang ingin terbebas dari ikatan itu, dan keinginan itu terlihat dari cara gadis itu berinteraksi dengannya. Tatapan mata gadis itu, kata-kata yang dilontarkannya, gerak tubuhnya saat mereka menari bersama.

Dia yakin bahwa Jo juga menyukainya, dan itu membuatnya semakin berambisi untuk merebut gadis itu dari Luhan.

.

Satu hal yang Jongin lewatkan adalah dia lupa bahwa ada perbedaan besar di antara menyukai dan jatuh cinta. Ketika dia berpikir dia telah mendapatkan Jo kembali, apa yang dilakukannya ternyata membawa gadis itu lebih jauh darinya. Ketika Jongin berpikir bahwa dia telah memenangkan pertandingan ini, ternyata yang ada adalah dia sudah kalah sejak awal. Ketika dia berpikir dia adalah lawan yang jauh lebih tangguh dibanding Luhan, ternyata dia sama sekali bukan tandingan laki-laki itu.

Yang terjadi sebenarnya, pertandingan itu bahkan tidak pernah ada. Dan dia melukai salah satu teman terbaiknya untuk sebuah pemandangan yang tidak pernah ingin dia lihat di depan matanya.

Jongin baru mulai menyadari ini saat dia mendengar dua lovebirds itu mengakhiri hubungan mereka. Setelah berminggu-minggu menunggu gadis itu muncul dan menerimanya kembali, Jongin melihat ada yang hilang di percikan yang pernah ada di antara mereka.

Dia tidak lagi melihat bintang-bintang terang di dalam mata gadis itu. Jo tidak lagi menatapnya seperti dulu, dan ini membuatnya frustrasi. Tapi tidak ada lagi yang lebih meyakinkannya saat dia melihat gadis itu di masa terpuruknya. Ketika Jo gagal menunjukkan ketegarannya, gadis itu menyerah dengan kekuatannya yang tak seberapa dan menangisi seseorang yang telah meninggalkannya.

Jo memang menyukainya, tapi gadis itu tidak jatuh cinta padanya. Saat itu, untuk pertama kalinya Jongin mulai mengerti bagaimana dulu perasaan Zevara saat dia mengakhiri hubungan mereka. Pada akhirnya, apapun yang dia lakukan untuk Jo tidak membuat gadis itu kembali padanya. Pada akhirnya dia hanya melukai mereka, dan menyakiti dirinya sendiri.

“Tidak bisakah kau tidak jatuh cinta padanya?” Jongin bertanya pada Jo suatu malam di akhir bulan Januari.

Dia tahu di mana posisinya saat itu, apa arti keberadaannya untuk gadis itu, dan masih saja Jongin berharap keadaannya tidak akan sama bila dulu dia tidak terlalu pemalu dan pengecut untuk menyapa gadis itu di lobi akademi, dan bicara dengannya.

Mungkin obrolan itu hanya berisi tentang percakapan biasa. Jongin akan mengenalkan dirinya, dan menanyakan siapa namanya. Dengan begitu Jo akan mengingatnya sebagai seorang Kim Jongin, bukan seseorang yang dulu pernah menari di akademi yang sama dengannya.

Kalau saja dulu dia melakukannya, mungkin saja, mungkin, cerita hari-harinya akan berjalan di kisah yang berbeda saat ini.

“Aku tidak pernah membayangkan hari saat aku tidak jatuh cinta padanya.”

Atau mungkin tidak.

Karena inilah yang terjadi. Karena menyapanya atau tidak, Jongin akan tetap meninggalkan Korea dan melanjutkan hidup di belahan dunia yang lain. Sementara Luhan dan Jo akan tinggal di tempat yang sama.

Gadis itu tidak pernah menjadi miliknya sejak awal.

Jongin mengangguk mengerti dan melepaskan gadis itu dari dekapannya, sambil menahan dinginnya angin malam di bulan Januari yang membekukan, menatap punggung gadis itu menghilang dari sudut matanya—tidak akan pernah kembali lagi.

Dan dia berdiri di sana hingga beberapa saat kemudian. Mengangkat kepalanya menatap langit yang diterangi remang bulan sabit, dan menghela napas panjang. Dia baru saja akan berbalik saat dari balik punggungnya, pintu belakang bar terbuka dan Luhan muncul dari sana.

Untuk sesaat mereka hanya diam, sama-sama terkejut dengan kemunculan masing-masing di antaranya. Dan saat itu, Jongin berinisiatif untuk memutus keheningan mereka.

“Apa yang kaulakukan di sini?”

Luhan membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi lelaki itu merapatkan bibirnya kembali.

“Di dalam pengap.” Ujarnya.

Jongin mendengus. Yeah.

“Dia baru saja pergi.” Jongin kemudian memberitahu lelaki itu.

Luhan tidak perlu membohonginya, karena dia tahu jelas apa yang dilihatnya selama beberapa waktu ini di dalam sana. Luhan dan Jo sama-sama terganggu dengan keberadaan mereka, saling mencuri pandang dan gelisah, tapi setidaknya Jo berani mengakui itu.

“Dia baik-baik saja?”

“Tidak.” Jongin menjawabnya dengan cepat, menangkap perubahan ekspresi dari wajah Luhan yang dengan cepat menghilang, tersembunyikan. “Dia merasa tidak enak badan, jadi aku membiarkannya pulang.”

“Dan kau membiarkannya pergi sendiri? Malam-malam begini?”

“Sehun mengantarnya kembali ke asrama.”

Jongin tidak tahu kenapa dia berbohong pada Luhan, tapi membiarkan lelaki itu mendengar apa yang perlu dia dengar adalah satu-satunya hal yang ingin dia pastikan saat ini. Dia tidak ingin Luhan tahu apa yang terjadi dengan Jo, karena gadis itu pun menginginkan hal yang sama. Dan cukup kebetulan beberapa saat sebelum ini Sehun memberitahunya bahwa dia harus pergi, ini jawaban yang pas untuknya.

Luhan mengangguk sekilas, lelaki itu menarik napasnya dalam dan menghelanya dengan cepat. “Baiklah.” Ujarnya singkat sebelum berbalik, hendak kembali ke dalam.

Jongin menghentikannya.

“Hei.” Dia memanggil.

Luhan menoleh, kedua alisnya terangkat.

“Aku tidak menyesal dengan apa yang telah kulakukan, tapi aku minta maaf. Seharusnya aku tidak melakukan itu padamu.” Jongin mengutarakan maksudnya. Dan dia bersungguh-sungguh saat mengatakan ini.

Dia meminta maaf karena melukai teman terbaiknya.

“Ya.” Luhan mengangguk. “Jangan terlalu lama berdiri di sini, kau akan kena flu.”

“Dan berhentilah membencinya. Apa yang kaulakukan ini, dengan siapapun perempuan di dalam itu, kau hanya menyakiti dirimu sendiri. Jo berhak untuk memilih, kau tahu? Kau tidak berhak memutuskan segala sesuatu untuknya.”

Luhan memutar tubuhnya, berhadapan dengannya dan merapatkan bibir untuk beberapa saat. Jongin juga tidak tahu kenapa dia mengatakan ini pada Luhan. Sebenarnya dia tidak peduli, dan tidak ingin peduli, tapi melihat Jo terluka karena sikap Luhan membuatnya sangat terganggu.

Seharusnya dia yang disalahkan atas semua ini. Seharusnya Luhan tidak melakukan ini pada Jo, apapun motifnya. Dan dia menunggu Luhan memberinya penjelasan tentang apapun yang sedang lelaki itu lakukan saat ini.

“Yang pertama, Jongin, dia telah memilih. Jo telah menunjukkan dengan jelas siapa yang dia pilih saat dia membiarkanmu menciumnya hari itu—“ Jongin hendak mengatakan sesuatu, tapi Luhan mengangkat tangannya. Sebuah kode agar dia membiarkan lelaki itu menyelesaikan kalimatnya.

“Dan aku tidak membencinya. Demi Tuhan, sampai kapanpun itu adalah hal terakhir yang kuinginkan, dan aku tidak akan pernah bisa membencinya.” Luhan mengusap kepalanya. “Aku hanya sedang berusaha memahaminya.”

Begitu menyelesaikan kalimatnya, Luhan tidak menunggunya untuk merespon atau mengatakan apapun mendebatnya. Lelaki itu berbalik dan kembali ke dalam bar, meninggalkannya sendiri kembali dengan keheningannya.

Sekali lagi Jongin menghela napas. Dia masih belum ingin bergabung kembali dengan keramaian di dalam bar, dan memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Alunan dan degup irama musik Salsa menggema dari dalam pub. Meski tidak cukup keras, dia masih bisa mendengarkannya dengan jelas dari tempatnya berdiri saat ini.

Rasanya sepi. Di dalam keramaian itu Jongin merasa kesepian, dan kini rasanya seperti ada ruang hampa yang sangat besar di dalam dirinya sejak Jo pergi meninggalkannya. Kehangatan yang selama beberapa bulan ini menyelimuti dirinya mendadak entah ke mana, dan dia menggigil kedinginan sejak gadis itu memutuskan untuk pergi dari hidupnya. Dan dia tidak tahu sampai kapan perasaan ini akan terus menggerogotinya.

Dari dalam saku jaket, Jongin mengeluarkan ponselnya. Dia menekan deretan angka sebuah nomor ponsel yang telah diingatnya di luar kepala, lalu menempelkan benda persegi panjang itu ke telinganya, menunggu nada sambung menghubungkan dirinya dengan seseorang di seberang sana.

Jongin?” suara Lee Taemin terdengar di nada sambung ke-tujuh.

“Oh, Taemin ah.”

“Kau di mana?”

“Bar dekat kampus. Orang-orang mengadakan perayaan di sini, hanya kau yang tidak ada.”

Jongin mendengar Taemin tertawa kecil dari seberang telinganya, tapi tidak berkomentar. Mereka sudah membicarakan ini sebelumnya. Taemin tidak bisa datang menonton pertunjukkannya karena jadwal grupnya bersamaan dengan acara ini.

Dia tidak perlu mengatakan apa-apa, sepertinya Taemin pun mungkin mengerti apa tengah terjadi saat ini. Dia tidak akan menelepon bila semuanya baik-baik saja, dan fakta bahwa kini mereka bicara dengan sambungan telepon menjelaskan segala situasinya tanpa dia perlu mengatakannya.

Dan Taemin tidak mengatakan apa-apa. Selama hampir beberapa menit itu mereka hanya diam, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Taemin paling mengerti akan dirinya, dan yang paling dia suka dari sahabatnya itu, adalah bahwa Taemin tidak pernah mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ingin dia dengar.

Saat dia diam, Taemin pun diam, meski saat itu mereka terhubung dalam voice chat di Skype atau sambungan telepon internasional selama entah berapa lama. Jongin bisa mendengar teman-teman grup Taemin saling mengobrol. Sepertinya mereka di dalam mobil, sedang dalam perjalanan entah ke mana. Tapi Taemin tidak ikut mengobrol bersama mereka, karena lelaki itu sedang mengobrol dengannya—dan obrolan itu adalah keheningan.

Hei, Jongin?” Taemin bersuara setelah entah berapa menit obrolan itu berlangsung.

“Ya?”

Jadwalku malam ini sudah selesai. Mau minum bersamaku?”

“Oke.”

“Baiklah. Kutunggu di apartemen?”

“Oke.” Jongin mengangguk setuju dan tersenyum, seolah Taemin bisa melihat setitik rasa senang dalam dirinya ini. Dia sudah akan mengakhiri panggilannya saat mendengar Taemin berkata sesuatu.

Dia mengembalikan permukaan ponsel ke telinganya.

“Ya?” Jongin bertanya.

“Kim Jongin, kau harus tahu, bahwa masih banyak ratu angsa lain di dunia ini. Dan kalau kau mau dan lebih berniat untuk melebarkan pandanganmu, suatu hari kau akan menemukan bahwa coklat itu tidak hanya dijual di satu toko saja.”

“Kapan suatu hari itu?”

“Suatu hari. Kapan-kapan.”

Jongin tergelak. Sekali lagi dia mengangguk.

“Oke, sampai ketemu nanti, Lee Taemin.” Dengan begitu Jongin mengakhiri sambungan teleponnya. Dia mengembalikan ponsel ke dalam saku jaketnya, berbalik, masuk ke dalam bar dan berpamitan pergi.

Sebelum meninggalkan bar, Jongin memberanikan diri untuk menghampiri Luhan. Dia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan lelaki itu, dan memeluknya—di depan semua temannya. Dan dia membisikkan sesuatu di telinga Luhan, satu-satunya hal yang saat ini bisa dia berikan karena mereka berhak mendapatkannya.

Dia ingin memperbaiki kekacauan yang telah dia timbulkan, dan Jongin berhutang satu hal ini pada kakak laki-lakinya itu.

“Dia tidak pernah memilihku. Sejak awal hanya ada kau.”

.

Dia bukan milikku, karena itu kukembalikan dia padamu.

Dan sampai kapanpun, jangan pernah membuatku berpikir untuk merebutnya kembali.

Jagalah dia baik-baik. Jangan buat dia menangis.

* * *

.

.

===================================================================================

 yuhuuu~

jadi, ini adalah chapter terakhir yang bisa aku berikan untuk mengakhiri rangkaian serial Enchanted.

Terima kasih semuanya, karena sudah bersedia untuk menunggu sekian lama sampai yang terakhir ini di-publish.

Ya, ini tentang Jongin. Bagi yang berharap ceritanya adalah kelanjutan tentang apa yang Luhan sama Jongin obrolin di Cafe Benne setelah sama Chaerin itu, well, sorry, it’s not about that. Tapi kalau kamu masih ngotot juga ingin tahu, aku cuma bisa bilang bahwa mereka mungkin membicarakan tentang rencana Jo pindah ke London. Luhan bisa jadi akan pergi, bisa juga nggak. Mungkin argumen Jongin ada pengaruhnya sama keputusannya nanti.

Kalau memang Luhan jadi pergi, dia mungkin baru bisa menyusul saat musim panas tahun itu, sebelum tahun ajaran baru dimulai. Kurasa dia akan ambil double degree di salah satu sister university-nya KAIST di London, atau ngulang tahun pertamanya di sana. Who knows?

Lalu, apa lagi ya?

Chaerin. Ya, dia akan menemukan pangeran dalam dongengnya sendiri suatu saat nanti. I don’t know, kok yang ada di kepalaku, entah kenapa dia bakal berakhir sama Chanyeol nantinya LOL. Entah juga sih XD

Dan yang minta sequel, prequel, side story dan kawan-kawannya yang lain, maaf, aku nggak bisa menuliskannya. Kamu tau kan, I don’t do such thing—anymore. hehehehe. Satu-satunya spinoff yang akan aku tuliskan adalah tentang Sehun. Semoga aja bisa cepat kelar, jadi bisa dipublish nantinya.

Oke, that’s all.

Sampai ketemu lagi, kapan-kapan.

Toodles! ~xoxo.

edited:

oh iya, beberapa di antar kalian menanyakan kenapa jongin keliatan marah dan gak santai sama luhan di Cafe Benne sebelumnya. Jadi gini:

Jongin nggak marah di Cafe Benne itu, yang terjadi saat itu sebenarnya dia sedang panik. Karena Jo belum balik ke asrama, dan Jongin nggak tau semalaman itu dia di mana. Terus tiba-tiba aja Luhan ngajakin ketemuan, dan dari sana dia menebak kalau Jo sama Luhan saat menghilang itu. That’s it. :D

Komentar dan LIKE ditunggu kemunculannya, terima kasih! :D


Filed under: fan fiction, series Tagged: Han Jo, Kim Jongin, Lee Taemin, Lu Han, Oh Sehun

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles