Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Authors' Project] My Lover’s Roommate

$
0
0

my lovers roommate

This fire burns. (Then) I realize that nothing’s as it seems.

—Desert Rose by Sting

summary :

Tiga hari yang lalu, ia adalah seorang gadis dengan hidup serba sempurna.  Sekarang—tiga hari kemudian, ia adalah tersangka utama kasus pembunuhan Liam Payne—kekasihnya sendiri. Lalu… siapa Louis?

rating : 18+ | casts : one direction

-

Apartemen Liam Payne, Lexington Avenue

Sunday, January 26th 2014

05.30 AM

Ramona terbangun di salah satu kamar yang terasa cukup familiar. Gadis itu memutar pandangan dan manyadari kalau ruangan itu adalah salah satu kamar tamu di apartemen milik Liam—kekasihnya. Ironisnya, ia justru dalam pelukan seorang lelaki yang terasa asing.

Ia berada di apartemen Liam, tetapi sayangnya bukan Liam yang memeluknya—melainkan Louis.

Liam tiba-tiba saja mengenalkan Louis kepada Ramona sebagai roommate-nya seminggu yang lalu. Tetapi sejak pertama kali mereka bertemu, Ramona bisa merasakan kalau Louis tertarik padanya. Ia bahkan beberapa kali berusaha mendekati gadis itu saat Liam sedang tidak memerhatikan.

Tidak seharusnya ia jatuh ke dalam jebakan lelaki itu ketika semalam ia datang ke apartemen Liam dan tidak menemukan kekasihnya di sana. Louis memaksa untuk menemaninya menunggu Liam pulang sementara ia terus menerus mengisi gelas Ramona dengan wine setiap kali gadis itu meneguknya habis sampai akhirnya Ramona mabuk dan tak lagi sadarkan diri.

Ramona beringsut, berusaha melepaskan pelukan Louis padanya. Ia harus memeriksa keberadaan Liam. Hubungan mereka akan habis jika Liam melihatnya tidur dalam pelukan Louis begini.

“Kau mau ke mana, Ramona?” Rupanya Louis juga ikut terbangun akibat pergerakannya. Lelaki itu segera mengeratkan pelukannya begitu sadar Ramona hendak beranjak dari tempat tidur. Namun Ramona hanya mendengus dan menepis kasar pelukan Louis. Gadis itu bangkit dengan cepat dan segera keluar dari kamar itu dengan langkah yang sedikit limbung menuju kamar Liam.

Tetapi apa yang ia lihat selanjutnya benar-benar di luar perkiraannya. Ia baru saja membuka knop pintu kamar kekasihnya dan menemukan Liam di sana—namun dengan keadaan mengenaskan dan  sudah tak bernyawa.

-

Kantor Kepolisian Manhattan

Wednesday, January 29th 2014

03.35 PM

Satu lampu kecil tergantung tepat di tengah-tengah ruangan. Selembar alumunium tipis yang dibuat berbentuk kerucut dipasang di pangkal bola lampu—mencegah cahaya lampu merembes ke seluruh sudut ruangan dan hanya tertuju pada satu titik ; sebuah meja kecil yang berada tepat di bawah lampu tergantung.

Seorang gadis duduk pada sebuah kursi kayu yang diletakkan di salah satu sisi meja. Ia duduk merapat ke arah meja, membiarkan lengannya bertumpu di lengan kursi dan mencengkeram erat-erat di sana. Meski posisinya tidak nyaman, tetapi gadis itu tidak bisa bergerak ke mana-mana. Salah satu lengannya terborgol di lengan kursi. Wajahnya diterangi cahaya samar dari bias cahaya lampu yang memantul dari meja di hadapannya. Warna oranye—warna khas seorang tahanan— dari seragam yang ia kenakan tampak terlihat terang ditimpa cahaya lampu.

Ruangan itu tidak terlalu luas. Hanya sekitar empat kali enam meter dengan warna cat yang telah kusam barangkali karena telah dimakan waktu—atau… memang sengaja dicat dengan warna yang kusam sejak awal?

Entah.

Gadis itu tak ingin peduli.

Tidak ada apa-apa di ruangan remang-remang itu—kecuali meja, kursi yang sedang ia duduki dan sebuah kursi kosong lainnya yang diletakkan tepat di sisi meja di seberangnya. Ruangan itu bahkan tak memiliki jendela. Satu-satunya akses keluar masuk di ruangan itu hanyalah sebuah pintu yang kini ia yakin berada dalam keadaan terkunci. Di salah satu sisi dinding ruangan memang dipasang kaca lebar yang memenuhi sebagian bidang atas sisi dinding tersebut. Namun ia tidak bisa melihat apapun di sana kecuali bayangannya sendiri—meski ia tahu di balik kaca itu, pasti ada beberapa orang yang terus menerus mengamati sekecil apapun pergerakannya dan menatapnya penuh kecurigaan.

Beberapa kali gadis itu menoleh ke arah kaca, menatap sayu dan mengharap belas kasih pada orang-orang di balik sana. Tetapi semakin ia menoleh pada kaca tersebut, semakin jelas bayangan dirinya terlihat. Terlihat kacau dengan rambut acak-acakan, kulit wajah kusam dengan mata merah dan sembab. Bahkan ia bisa melihat bagaimana tubuhnya gemetaran di kursi yang ia duduki.

Semua ini pastilah mimpi buruk.

Tiga hari yang lalu, ia—Ramona Quimby—adalah seorang gadis yang nyaris memiliki segalanya. Ia bekerja sebagai editor di majalah New York’s Fashion yang berpusat di Manhattan. Ia punya sebuah apartemen dan mobil pribadi. Ia memiliki fisik menarik dan wajah menawan. Menarik perhatian beberapa lelaki bukan perkara sulit baginya jika sesekali ia merasa bosan dan memutuskan untuk sedikit flirting.

Bullshit jika ada yang mengatakan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Karena untuknya, hidup seorang Ramona Quimby benar-benar sempurna.

Lalu lihat apa yang terjadi padanya sekarang. Hanya dalam hitungan tiga kali dua puluh empat jam hidupnya berantakan. Tak ada yang tersisa dari hidupnya yang sempurna.

Sekarang… tiga hari kemudian, ia—Ramona Quimby—adalah tersangka utama kasus pembunuhan kekasihnya sendiri.

Oh, shit!

-

Apartemen Liam Payne, Lexington Avenue

Sunday, January 26th 2014

05.42 AM

Ramona mengerang frustrasi. Tidak ada tanda-tanda ada orang luar yang menerobos masuk ke dalam apartemen Liam. Tidak mungkin ini sebuah perampokan karena mereka menemukan kondisi apartemen selain di kamar Liam masih dalam keadaan normal. Lalu siapa yang telah membunuh Liam? Karena jelas itu bukanlah bunuh diri.

“Ayolah, Ramona. Kita harus lari.”

Louis merangkul pundak gadis itu, membujuk gadis itu untuk menjauh dari kamar Liam.

“Tidak! Kenapa aku harus lari? Aku tidak membunuh Liam.”

Louis mengerang. “Kau tidak mengerti, Ramona. Kau tidak punya alibi saat ini karena kau berada di sini saat Liam terbunuh. Tidak peduli apa yang kau katakan, mereka akan menuduh kaulah yang membunuh Liam.” Lelaki itu meraih wajah Ramona, mengarahkan mata gadis itu yang memerah untuk menatapnya sementara ia sendiri menatap gadis itu begitu dalam. “Kau tahu? Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertemu. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu. I love you too much, Ramona.

Tatapan Ramona melembut mendengar ucapan lelaki itu. “Lalu… bagaimana denganmu? Bukankah mereka juga akan menuduhmu sebagai pembunuh Liam?”

Louis menggeleng. “Tidak ada yang tahu aku tinggal di sini. Asalkan aku bisa keluar dari sini tanpa terlihat siapapun, aku tidak akan terlibat masalah.” Lelaki itu mengelus permukaan pipi Ramona dan menautkan dahinya dengan dahi gadis itu. “Sekarang semua ini adalah tentangmu, Ramona. Larilah bersamaku, aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri di sini.”

-

Kantor Kepolisian Manhattan

Wednesday, January 29th 2014

03.45 PM

Kau mengaku bahwa kau tidak membunuh kekasihmu, tetapi kau membunuh Louis karena dialah yang membunuh kekasihmu. So Miss Quimby, who is Louis?”

Ramona nyaris mendengus pada lelaki yang bertanya padanya.  Ia adalah seorang lelaki berambut ikal baru saja masuk ke ruangan itu dan kemudian segera mengunci pintunya kembali. Ia meletakkan sekaleng coke di meja, tetapi Ramona sama sekali sedang tidak berminat untuk meminumnya.

Lelaki itu memiliki tubuh yang tegap dan mata berwarna terang. Ia mengenakan kemeja putih yang sudah tampak agak kusut dengan dasi hitam bermotif strip merah. Di sabuk pinggangnya terpasang sebuah lencana berwarna kuning tembaga. Lelaki itu sudah memperkenalkan diri pada Ramona pada kesempatan sebelumnya. Ia bernama Harry Styles—seorang detektif.

Ini adalah ketiga kalinya detektif muda itu masuk ke ruangan dan menanyakan pertanyaan serupa. Pada kesempatan dua kali sebelumnya, Ramona sudah menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang juga serupa. Dan sekarang pun—jawabannya masih tetap sama.

My lover’s roommate.

Louis Tomlinson adalah roommate kekasihnya.

Sepintas gadis itu bisa melihat raut wajah sang detektif tampak mengeras, bibirnya melengkung tak senang mendengar jawabannya. Lelaki itu jelas tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Meski begitu, kali ini Ramona memilih untuk diam tanpa mengatakan apapun. Ia sudah belajar dari dua sesi sebelumnya, penjelasan apapun darinya hanya berujung pada tenggorokannya yang serak dan kucuran air mata sementara sang detektif tidak juga memercayainya. Ia hanya membuat dirinya sendiri tampak konyol.

“Nama kekasihmu Liam Payne, benar?”

Ramona mengangguk.

“Berapa lama kalian berhubungan?”

Gadis itu mencoba mengingat-ingat pesta yang diselenggarakan oleh pihak majalahnya musim panas beberapa tahun silam. Alasan di balik diadakannya pesta itu adalah karena mereka baru saja sukses menangani sebuah proyek besar. Ramona ingat—ia datang sendirian kala itu dengan perasaan gusar setelah lelaki yang menjadi kencannya malam itu menghubunginya di detik-detik akhir bahwa ia tidak bisa hadir bersamanya. Perasaan gusarnya menyeret Ramona untuk menyudut sendirian di tengah keramaian pesta sambil menikmati segelas koktail. Sampai kemudian seorang lelaki menawan datang menghampirinya. Ramona bisa melihatnya dengan jelas—lelaki itu tertarik padanya.

Dalam waktu yang relatif singkat, Ramona segera tahu bahwa lelaki itu bernama Liam Payne—usianya akan genap dua puluh tujuh tahun dalam tempo kurang dari dua bulan lagi. Ia adalah seorang komposer yang bekerja di perusahaan musik yang telah beberapa kali bekerja sama dengan New York’s Fashion dalam pembuatan beberapa iklan komersil majalah mereka. Mereka menikmati obrolan, binar-binar ketertarikan yang terlalu kentara untuk ditutupi dan skinship yang sedikit demi sedikit menjadi semakin lancang dari waktu ke waktu.

Pagi keesokan harinya, tidak mengherankan jika Ramona mendapati dirinya terbangun tanpa busana di tempat tidur Liam di sebuah kompleks apartemen mewah Lexington Avenue. Liam masih tertidur lelap di sampingnya. Tetapi melihat bagaimana posesifnya lengan Liam melingkar di pinggangnya untuk menjaga tubuh mereka agar tetap rapat—entah bagaimana—Ramona seketika itu tahu bahwa apa yang telah terjadi di antara mereka tidak akan berakhir sebagai one night stand semata.

Dan Ramona benar, musim panas dimana pesta itu diadakan sudah lewat lebih dari dua tahun yang lalu dan mereka terus berhubungan sampai tiga hari yang lalu. Sampai di malam Liam ditemukan terbunuh dengan beberapa tusukan dalam di beberapa titik vital tubuhnya di tempat tidur yang sama tempat mereka bercinta untuk pertama kalinya.

Ramona melenguh. Matanya segera basah kembali mengingat bagaimana mengenaskannya kondisi Liam di saat ia menemukan jasad kekasihnya itu.

“Musim panas dua tahun yang lalu.” Gadis itu menjawab dengan suara seperti seseorang yang sedang tersedak. Ia baru saja membiarkan sebuah pertanyaan kecil sang detektif memancing ingatannya terlampau jauh. Detektif Styles masih saja mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap kali ia masuk ke ruangan itu. Barangkali ia tidak tahu Ramona sudah merasa jenuh dengan semua pertanyaan itu.

“Kalian tinggal bersama?”

Ramona menggeleng. “Aku memiliki apartemen sendiri beberapa blok dari apartemen Liam. Tetapi setiap akhir minggu aku akan menginap di apartemennya.”

“Saat kau menginap di apartemen Liam, apakah roommate kekasihmu tidak merasa terganggu? Maksudku—” Detektif berjalan lebih mendekat. Ia mendudukkan dirinya sendiri di pinggiran meja tepat di depan Ramona. Hal itu membuat posisi lelaki itu berada lebih tinggi dari Ramona. Dan gadis itu tidak menyukai bagaimana kemudian lelaki itu menundukkan wajahnya untuk menatap lekat-lekat. “Sepasang kekasih menginap bersama. Aku bisa menebak apa saja yang kalian lakukan dan jika aku menjadi Louis, aku pasti merasa tidak nyaman.”

Detektif Styles akhirnya mengajukan pertanyaan lain yang belum Ramona dengar sebelumnya. Namun ia tetap tidak menyukainya. Karena ia tahu ke mana pertanyaan itu akan berujung.

Gadis itu menghela napas. Ia merasa jengah. “Selama ini Liam tinggal sendirian dan Louis baru saja pindah—“

“Ah, tunggu sebentar Miss Quimby. Kau mengatakan kalau selama ini kekasihmu tinggal sendirian, lalu apa yang membuatnya memutuskan untuk memiliki seorang roommate?”

Ramona dapat merasakan kepalanya berdenyut. Ia tahu kalau setiap butir pertanyaan itu hanya bertujuan untuk membuatnya kian tersudut dan akhirnya karena merasa frustrasi, Ramona terpaksa mengaku kalau dialah yang membunuh Liam.

Tapi itu tidak akan terjadi! Ia tidak pernah membunuh kekasihnya sendiri. Ia hanya membunuh Louis karena lelaki itu pantas mati.

Louis yang membunuh Liam dengan keji. Ramona menembak Louis tepat di dada kirinya hingga semua peluru di pistol yang berhasil dicurinya dari Louis habis. Ia melihat bagaimana Louis terkapar di lantar kamar sebuah rumah kosong di pinggiran Kota Manhattan dan gadis itu puas.

Gadis itu tersenyum licik.

Louis pantas mati. Louis pantas mati. Louis pantas mati.

“Aku tidak tahu. Liam hanya mengatakan kalau Louis sedang memerlukan tempat tinggal.”

“Jika Louis benar roommate kekasihmu, seharusnya ada orang lain yang tahu siapa itu Louis, Miss Quimby. Setidaknya pihak pengelola apartemen pasti memiliki sedikit catatan tentang identitas roommate kekasihmu. Tetapi kenyataannya tidak ada yang tahu siapa itu Louis—tidak para polisi, tidak pihak pengelola apartemen dan bahkan tidak juga para tetangga kekasihmu. Kami semua tidak tahu siapa itu Louis.”

Ramona seketika menatap detektif Styles dengan tatapan nanar. Jadi benar polisi sialan ini menganggap Ramona berbohong. “Well detektif, jika kau ingin tahu siapa Louis, kau bisa menemukan mayatnya di sebuah rumah tua di pinggiran kota. Aku sudah menembaknya tepat di jantungnya.” tantang gadis itu.

Detektif Styles tak bergeming. Ia hanya tampak diam seperti sebuah patung selama beberapa saat. Tetapi tak lama kemudian lelaki itu menarik napas panjang dan berkata, “Tidak ada mayat di rumah itu, Miss Quimby.”

Ramona terbelalak. Tidak! Itu tidak mungkin. Ramona jelas-jelas melihat tubuh Louis yang terkapar di lantai dengan darah yang membasahi kemejanya. Bagaimana mungkin…

Sang detektif terus menatap Ramona lekat-lekat. Ia mengamati setiap perubahan ekspresi Ramona dalam diam. Dan setelah beberapa saat ia melenguh dan bicara, “Cukup untuk hari ini.” Lelaki itu bangkit dan segera bergerak menuju pintu. “Dalam beberapa menit petugas akan datang dan membawamu kembali ke selmu.” ujar detektif itu lagi.

Namun Ramona tidak benar-benar mendengarnya. Gadis itu masih menegang di tempat duduknya.

Louis sudah mati. Louis sudah mati. Louis sudah mati.

“LOUIS SUDAH MATI!! KAU DENGAR DETEKTIF STYLES, LOUIS SUDAH MATI!”

Gadis itu meronta di tempat duduknya, namun tak banyak yang bisa ia lakukan dengan kondisi tangan yang masih terborgol.

-

Rumah tua, 54th street

Monday, January 27th 2014

01.38 PM

Louis dan Ramona awalnya berniat untuk keluar dari Kota Manhattan. Mereka punya beberapa pilihan dari kota-kota terdekat seperti Bronx, Yonkers, Queens atau Brooklyn. Atau bahkan mereka bisa ke New Jersey. Ada banyak tempat untuk bersembunyi di sana.

Tetapi ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan rencana. Ternyata sedang ada patroli di perbatasan kota dan akhirnya Louis membuat keputusan untuk bersembunyi di sebuah rumah tak berpenghuni di perbatasan barat kota.

Siang itu, Ramona bertualang sendiri di rumah tua itu. Ia mulai digerogoti rasa bosan sementara Louis sedang keluar mencari sesuatu untuk mereka makan. Mereka belum makan apapun sejak kemarin dan kini lambung gadis itu mulai  terasa perih.

Ramona memang masih sedikit kesal terhadap Louis, tetapi ia tidak dapat berbohong kalau saat ini sangat bersyukur dengan keberadaan Louis. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika tidak ada lelaki itu bersamanya.

Gadis itu sudah nyaris bertualang ke seluruh sudut rumah ketika hatinya tiba-tiba saja tertarik untuk membuka sebuah pintu. Sebelumnya ia melihat Louis masuk ke sana saat mereka sampai ke rumah itu. Isi kamar itu tidak jauh berbeda dengan kamar-kamar lain di rumah tua tersebut. Hanya ruangan kosong dan berdebu. Ramona segera kehilangan ketertarikannya dan hampir berbalik untuk keluar dari ruangan. Namun matanya tiba-tiba saja menangkap sebuah platik yang terselip di laci meja yang tertutup di sudut ruangan.

Gadis itu terkesiap ketika mendapati di dalam laci ada sebuah pistol dan plastik itu sendiri berisi sebilah pisau dengan sisa-sisa percikan darah yang telah mengering.

Sebuah kesadaran seketika menghempas kesadaran Ramona. Ia memang tidur bersama Louis semalaman di malam kejadian terbunuhnya Liam. Tetapi ia mabuk berat dan ia pasti tidak akan sadar jika Louis menyelinap keluar dan membunuh Liam. Tiba-tiba gadis itu merasa dirinya sangat naïf. Hanya karena ia menemukan Louis ada bersamanya di pagi hari ia menganggap kalau lelaki itu tidak bersalah.

Lalu… siapa Louis sebenarnya? Mengapa Liam bersedia menyembunyikan lelaki itu di apartemennya?

Dengan gemetaran Ramona meraih pistol dari dalam laci. Ia memeriksa isinya dan mendapati ada lima buah peluru. Gadis itu menyimpan pistol itu di balik blusnya.

-

Kantor Kepolisian Manhattan

Wednesday, January 29th 2014

04.20 PM

“Gadis itu gila.”

Harry Styles baru saja masuk ke ruangan yang berada tepat di sebelah ruang interogasi. Ia  segera mendengar bagaimana Zayn berbicara setengah mengumpat dengan perhatian yang masih tertuju pada Ramona Quimby dari balik kaca.

Harry tidak menjawab. Detektif itu melonggarkan dasi yang sudah terasa mencekik lehernya dan kemudian mengambil sebatang rokok milik Zayn yang tergeletak di atas meja. Ia lalu berjalan mendekat pada rekannya itu dan ikut mengamati gerak-gerik Ramona Quimby dari balik kaca.

“Bukan kau atau aku yang akan memutuskan ia gila atau tidak, Zayn.” kata Harry setelah beberapa lama. Ia menoleh pada lelaki yang sejak tadi berdiri diam di samping Zayn—seseorang yang belum pernah ia temui sebelumnya. Sebelum Harry keluar dari ruangan itu untuk menginterogasi Ramona, lelaki itu belum ada di sana. Tetapi melihat jas putih panjang yang dikenakan lelaki itu, tidak sulit untuk menebak siapa dia. Harry seketika langsung menawarkan sebuah jabatan tangan kepada lelaki itu. “Detektif Styles.” Ia menyebutkan namanya. “Terima kasih sudah bersedia datang, Dokter Horan.”

Sehari setelah Ramona Quimby menyerahkan diri dan tidak kunjung memperoleh petunjuk apapun dari sejumlah olah tempat kejadian perkara dan interogasi, pihak kepolisian mengajukan permohonan bantuan kepada pihak rumah sakit untuk membantu penyelidikan kasus tersebut. Pihak rumah sakit bereaksi cepat dengan mengirimkan salah seorang dokternya dan jujur Harry sedikit tidak menyangka mereka akan mengirimkan Niall Horan—dokter terbaik mereka.

Dokter itu membalas jabatan tangan Harry dan tersenyum sekilas. Ia menoleh kembali ke arah kaca dan melihat dua orang petugas telah masuk ke ruangan interogasi. Mereka melepaskan borgol gadis itu dari kursi sebelum kemudian membawa gadis itu kembali ke selnya. “Apa yang telah dilakukan gadis itu?” tanya lelaki itu.

Harry menuntun dokter Horan menjauh dari kaca menuju meja di tengah ruangan dan mempersilakan dokter itu untuk duduk. Lelaki itu kemudian meminta Zayn untuk membawakan berkas penyelidikan.

“Nama lelaki ini Liam Payne. Dua puluh sembilan tahun. Ia meninggal kehabisan darah akibat tiga tusukan di tubuhnya. Abdominal pada kuadran kanan atas, dada kiri dan leher—tepat di daerah pembuluh nadi utama. Mayatnya ditemukan oleh seorang wanita yang bertugas membersihkan apartemennya pada hari Minggu pagi, 08.45 AM. Berdasarkan hasil otopsi ia sudah meninggal sejak tengah malam pada malam sebelumnya.” Harry menyodorkan selembar foto dengan beberapa coretan spidol merah pada dokter Horan. Foto itu memperlihatkan mayat seorang lelaki bersimbah darah terbaring di tempat tidur.

“Meski tidak ada sidik jari yang ditemukan di sekitar mayat kecuali sidik jari Liam sendiri  dan senjata yang digunakan juga raib, tetapi melihat kondisi mayat saat ditemukan, kami menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah pembunuhan terencana. Tersangka tunggalnya adalah kekasih Liam sendiri, Ramona Quimby. Beberapa penghuni apartemen melihatnya datang ke apartemen Liam pada hari Sabtu malam sekitar pukul delapan, tetapi tidak ada yang melihatnya keluar lagi setelah itu. Tidak ada yang tahu keberadaan Ramona saat mayat Liam ditemukan.”

Harry menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah dan kusut—sepertinya kasus ini sudah membuat energinya terkuras habis.

“Hari Senin malam, Ramona Quimby menyerahkan dirinya pada polisi. Tetapi bukan atas kasus pembunuhan Liam melainkan pembunuhan seorang lelaki lain bernama Louis Tomlinson. Ia mengaku telah menembak Louis hingga mati di sebuah rumah tak berpenghuni di 54th street.”

And… who is Louis?” tanya dokter Horan.

Harry tersenyum kecut. “Itu juga yang kami pertanyakan, Dokter.” Lelaki itu mengusap wajahnya. “Penduduk sekitar mendengar beberapa kali mendengar suara tembakan di rumah itu, tetapi tidak ada yang berani masuk. Mereka mengira selama rumah itu kosong dan tidak ada yang melihat kedatangan Ramona bersama lelaki yang dia katakan bernama Louis itu. Setelah Ramona menyerahkan diri, rumah itu segera diperiksa dan tidak ada siapapun di sana—tidak ada mayat Louis di rumah itu.”

See?! Gadis ini membunuh kekasihnya sendiri, tetapi tidak mengakuinya. Dia malah mengaku membunuh lelaki lain yang dia katakan telah membunuh kekasihnya. Tapi sayangnya lelaki itu hanya rekaan dan tidak benar-benar ada. Gadis ini gila, bukankah menurutmu begitu, Dokter?” Zayn menimpali. Sesungguhnya ia mulai gerah dengan kasus ini. Seharusnya kasus ini begitu sederhana, jika saja mereka menemukan sedikit saja bukti bahwa gadis itulah yang membunuh Liam Payne dan gadis itu tidak membawa-bawa nama baru ke dalam kasus itu.

Dokter Horan tampak berpikir panjang dan segera menghela napas berat setelahnya. “Aku belum bisa memutuskan dia gila atau tidak, tetapi beberapa gerak-gerik dan perkataannya jelas menunjukkan ke arah sana.” Dokter itu mengangkat wajahnya dan menatap Harry dan Zayn bergantian. “Apa yang kalian lakukan jika gadis itu benar-benar gila?”

Harry mengangkat bahunya sekilas. “Well… proses hukum tidak bisa dilanjutkan terhadap tersangka yang memiliki masalah kejiwaan berat. Apalagi kita tidak punya bukti kuat bahwa dirinyalah yang membunuh Liam. Satu-satunya hal yang memberatkannya hanyalah ia tidak memiliki alibi. Kurasa jika benar ia gila, proses penyelidikan terhadap gadis ini akan dihentikan dan ia akan menjadi salah satu pasien di rumah sakitmu, Dokter.”

-

Rumah tua, 54th street

Monday, January 27th 2014

02.03 PM

“Kau yang membunuh Liam.”

Ramona menodongkan pistolnya pada lelaki baru saja masuk dengan menenteng sebuah plastik makanan. Tetapi reaksi Louis sama sekali di luar dugaan Ramona. Bukannya terkejut atau membela diri, ia justru terkekeh kecil.

“Ah, akhirnya kau menyadarinya.” kata lelaki itu enteng membuat hati gadis di depannya kian memanas.

“Kenapa kau membunuh Liam? Mengapa ia membawamu tinggal di apartemennya tanpa seorangpun yang tahu?”

Louis masih tersenyum kecil. “Kenapa aku membunuhnya?” Ia mengulang pertanyaan Ramona. “Jelas karena aku ingin memilikimu dan ia hanya jadi pengganggu.”

Lelaki itu meletakkan plastik yang ditentengnya di lantai bergerak maju tetapi langkahnya berhenti ketika Ramona memperat pegangan di pistolnya dan menjerit memintanya untuk tidak bergerak.

“Lalu… mengapa ia bersedia membawaku tinggal bersamanya tanpa seorangpun yang tahu? Ah… ini bagian yang paling lucu. Kau yakin mau mendengarnya?”

Ramona tidak menjawab. Ia hanya menatap lelaki itu nanar, mati-matian menahan diri untuk tidak menembak lelaki itu saat itu juga.

“Kau tahu, Liam Payne was a bi. Ia tidak hanya tertarik padamu, ia juga tertarik padaku.”Lelaki itu benar-benar tertawa kali ini. Ramona mendengus. Kebohongan macam apa lagi itu? Bahkan suara tawa lelaki membuat telinga Ramona sakit. Tetapi lelaki itu tidak berhenti sampai di sana, “Tidak sulit untuk merayunya dan menuruti semua permintaanku dan—“

Ramona tidak lagi ingin mendengar apapun. Ia tidak ingin apapun lagi dari mulut Louis. Lalu pada detik berikutnya yang terdengar hanyalah suara tembakan demi tembakan.

Lalu Ramona melihat Louis tergeletak tak berdaya di lantai.

Oh, gadis itu sangat puas. Louis pantas mati.

-

Kantor Kepolisian Manhattan

Saturday, February 1st 2014

11.25 AM

Harry memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku celananya. Ia tidak bicara namun tatapannya tak beranjak dari sosok Ramona dari balik kaca.

Hari itu sekali lagi ia berada di ruang pengawasan dan Ramona ada di ruang interogasi. Kali ini Zayn yang bertugas di sana. Tetapi tugasnya bukan lagi untuk menginterogasi, melainkan untuk menenangkan gadis itu bersama dua orang petugas yang memegangi kedua lengan gadis itu di masing-masing sisi tubuhnya.

Kondisi gadis itu kian memburuk pasca mengetahui bahwa pihak kepolisian tidak pernah menemukan mayat Louis di rumah 54th street. Gadis itu terus menjerit di dalam selnya memanggil nama Harry atau petugas lainnya dan mengatakan kalau Louis telah mati.

Puncaknya ketika dokter Horan mencoba melakukan pemeriksaan langsung terhadap kondisi kesehatan jiwa Ramona dan gadis itu tiba-tiba saja menyerang dokter muda itu dan memanggilnya sebagai Louis.

“Kau baik-baik saja, Dokter?” Harry menoleh pada dokter di sebelahnya. Penampilan lelaki itu terlihat sedikit kacau setelah Ramona menyerangnya. Gadis itu bahkan menyisakan beberapa bekas cakaran di lengan lelaki itu.

Dokter itu tersenyum kecut. “Dengan berat hati detektif aku mengatakan ini, Detektif, tetapi… gadis ini sudah di luar batas. Aku rasa dia benar-benar harus menjalani perawatan secara intensif di rumah sakit . Jika tidak…..” Dokter Horan mengangkat bahunya sekilas. “Aku cemas dia akan menyakiti orang lain lagi.”

Harry sekali lagi menoleh pada sosok Ramona di balik kaca. Masih ada sedikit kejanggalan di hatinya, namun jika orang yang ahli di bidangnya telah bicara, ia tidak bisa banyak berkomentar.

Detektif itu mengeluarkan tangannya dari saku celana. Perlahan ia membalikkan tubuhnya menuju pintu. “Aku akan menyiapkan berkas-berkasnya.” katanya sambil lalu.

Padahal jika sekali lagi Harry menoleh ke belakang, sebuah senyuman licik yang terpampang di wajah dokter Horan pasti tidak akan luput dari perhatiannya.

-

Rumah Sakit Jiwa Manhattan

Sunday, February 2nd 2014

11.25 AM

Kontras dengan tatapan kebencian yang Ramona berikan padanya, dokter Horan justru tersenyum puas. Ia hanya bermain-main sedikit dengan menyabotase kamera pengawas gedung apartemen, beberapa bahan untuk menghapus bekas sidik jari dan siap sedia dengan sebuah rompi anti peluru. Tetapi dengan semua itu, ia kembali mendapatkan ‘sebuah koleksi baru’ untuk salah satu selnya di rumah sakit.

“Sekarang kau milikku, Ramona. Selamanya kau akan ada di sisiku.” bisiknya puas—sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan buas gadis dari dalam sel rawat yang terus berkomat-kamit menyerapahi lelaki itu. Sembari tertawa ia membalikkan langkah, ia perlahan berjalan menjauhi sel rawat tersebut melewati belasan sel rawat lainnya yang juga dihuni gadis-gadis muda dengan sisa-sisa kecantikan dan kejayaan yang tampak di wajah mereka.

“Terkutuklah kau, Louis!”

Samar-samar Niall mendengar Ramona menjerit. Bersahutan dengan jeritan lain yang juga mengutuk dan memanggilnya dengan berbagai versi nama lainnya.

Nate, William, Chris, Paul dan entahlah—Niall sudah lupa peran apa saja yang pernah dia mainkan.

Lelaki itu selalu mencintai wanita dan kesempurnaan.

Dan dia punya permainannya sendiri untuk membuat kesempurnaan-kesempurnaan itu untuk terus berada di sisinya.

.fin.

Sebuah ide yang baru kepikiran 3 hari menjelang deadline dan aku sedikit merutuk-rutuk tak jelas akibat last minutes panic karena ceritanya tidak kunjung selesai meski aku udah berusaha menulis sehari separagraf. Errrr…. XD

Nama-nama cast di fanfiksi ini meminjam nama para personil One Direction dan untuk nama peran gadisnya aku pinjam dari sebuah film komedi keluarga berjudul Ramona and Beezus.

Semoga kalian suka ^^


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Author's Project, Harry Styles, Liam Payne, Louis Tomlinson, Niall Horan, One Direction, Zayn Malik

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles