Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Authors' Project] Out of the Blue

$
0
0

1 Out of the Blue Chocokailate Logan Lerman

.

-o-

The ones that love us, never really leave us.

-o-

 .

Ada beberapa orang terpilih di dunia ini yang dianugerahi kekuatan istimewa atau kemampuan khusus. Contohnya, si Gadis Sinar-X dari Rusia, Natasha Demkina, yang punya kemampuan melihat organ tubuh dalam manusia. Yeah, kemampuan-tembus-pandang-yang-sangat-berguna-untuk-bidang-medis semacam itulah.

Tapi aku bukan si Gadis Sinar-X. Sama sekali bukan. Aku gadis Amerika yang normal-normal saja. Aku bangun, sekolah, hangout dengan teman-teman baikku Emma dan Seth, mengerjakan tugas, tidur, dan begitu seterusnya. Tidak ada yang spesial. Aku juga tidak pernah melihat makhluk halus atau punya kemampuan supranatural dan sejenisnya.

Tidak pernah.

Hingga pagi ini, ketika terbangun dari tidurku, tiba-tiba saja aku melihatnya.

Saudara kembarku yang sudah meninggal setahun yang lalu.

.

***

 .

Good morning, Jo!”

Kurasa aku sudah gila, ketika mendapatinya berdiri dan bersandar di tembok kamarku, menyapaku dengan cengiran kuda miliknya. Aku bahkan tidak sempat menjerit saking kagetnya – lagipula aku tidak mau Bibi Jenkins mengira aku cari-cari masalah dengan menjerit-jerit seperti orang gila di pagi hari.

Jadi, aku hanya berdiri diam di samping tempat tidurku. Mematung dan membeku memandanginya.

Jonathan Adrian Meyers.

Saudara kembarku itu, memakai baju yang sama persis ketika kecelakaan setahun yang lalu. Kaus hitam, jaket hitam, dan jeans belel kebanggaannya. Bahkan dengan sepatu Doc Martens kesayangannya.

Mata birunya yang cemerlang mengedip sebelah padaku. “Hei, begitukah caramu menyambut kembali kedatanganku, Jo? Bukankah kau sangat merindukanku? Kau bahkan menyebut-nyebut namaku dalam tidurmu!”

Aku menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menyembur, “TAPI KAU KAN SUDAH MATI!” atau bertanya pertanyaan yang terlintas pertama di benakku, “Jadi kau mengawasi tidurku semalaman?”

Yeah, yang benar saja.

Jadi, aku memutuskan untuk menganggap bahwa otakku mulai tidak waras atau semacamnya karena terlalu merindukannya, menertawakan kegilaanku sendiri, dan bergegas ke kamar mandi.

Aku sempat mendengarnya berteriak, “Otakmu tidak kenapa-napa, Jo. Aku nyata. Kau tidak gila.”

Oke, apa dia juga bisa membaca pikiranku?

“Tentu saja aku bisa!”

Aku membeku mendengar sahutannya.

Ya Tuhan, aku benar-benar sudah gila.

“Kau tidak gila, Jocelyn Adrianna Meyers–

–dan tidak, tenang saja, aku tidak akan mengintipmu.”

 .

***

 .

Masalahnya adalah Jo – yeah, aku juga memanggilnya Jo, sama seperti panggilannya padaku, kami anak kembar, ingat? – masih ada ketika aku keluar dari kamar mandi. Jo terus mengoceh menjawab pikiran-pikiranku sepanjang aku menyisir rambut hitamku yang panjang, mengoleskan lipgloss, dan memeriksa isi tasku.

Bahkan aku tidak perlu mengeluarkan sepatah katapun.

Jo mengekoriku hingga ke ruang tengah, tempat Bibi Jenkins menyiapkan hidangan sarapan – pagi ini menunya telur mata sapi, bacon, dan susu – untukku.

Saudara kembarku – atau hantunya, atau bayangannya, atau apalah itu namanya – terus mengocehkan pertanyaan semacam, “Kenapa sih kau terus-terusan mengabaikanku?” “Bukankah kau sangat merindukanku?” “Jadi, sekarang kau sudah sok melupakan aku?” “Hei, bicaralah padaku!” “Ayolah, kau tidak gila, Jo. Aku benar-benar ada di sini.”

Kulirik Bibi Jenkins yang sedang menyenandungkan lagu favoritnya – jangan tanya padaku apa judulnya, aku bahkan tidak pernah tahu lagu itu eksis di tahun berapa – sambil menyeduh teh. Wajahnya secerah bunga yang menjadi motif apron yang melapisi gaun berenda yang dikenakannya.

Tampaknya Bibi Jenkins baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa Bibi Jenkins menyadari kehadiran Jo. Ha! Benar, kan? Bibi Jenkins saja tidak bisa melihat Jo. Jadi, benar dugaanku – aku bergidik ngeri – ya Tuhan, aku sudah tidak waras.

Karena pilihannya adalah, kalau bukan tiba-tiba aku menjelma jadi seorang Necromancer – kau tahu, kan? Sebutan bagi mereka yang bisa memanggil kembali orang yang sudah mati – berarti aku sudah benar-benar gila.

Jelas aku bukan seorang Necromancer. Yang  benar saja!

Tapi itu berarti, sosok yang sedang mengoceh di sebelahku sekarang ini sudah pasti hanya khayalanku saja.

“Bukan, Jo. Kau bukan Necromancer. Oh, please. Necromancer kan jelek sekali. Kau mau jadi seperti Sauron?”

Kulayangkan tatapan peringatan padanya.

“Kau tidak menghabiskan sarapanmu? Jangan sok diet, sweetheart! Itu enak sekali.”

Aku tak tahan lagi. “SHUT UP!”

Bentakanku yang tak sengaja menyembur keluar itu membuat Bibi Jenkins melonjak di tempatnya. “Jocelyn! Oh dear, kau bilang apa barusan pada bibi?”

Di hadapanku, Jo nyengir kuda sambil mengedikkan bahu, tanpa rasa bersalah.

Oh, sial.

 .

***

 .

Jo masih membuntutiku bahkan hingga ke dalam mobil Seth. Aku tak pernah memintanya, namun Seth merasa berkewajiban dan berbaik hati menjemputku dan Emma setiap hari. Tapi rumah kami memang berdekatan satu sama lain.

Dan seperti yang sudah kuduga, baik Seth maupun Emma tidak ada yang menyadari kehadiran Jo yang sangat berisik di sebelahku.

“Kau baik-baik saja, Joyce? Mukamu pucat sekali.”

Seth menatapku dari balik kaca spion, yang kujawab dengan anggukan singkat sekedarnya.

Tentu saja mukaku akan pucat. Menurutmu, bagaimana keadaanmu jika kau mendapati saudaramu yang sudah meninggal mengekorimu, bisa membaca pikiranmu, dan terus-menerus mengoceh menimpali apa yang kausuarakan di kepalamu?

Tapi aku bahkan tidak bisa menyentuh Jo – yeah, aku sudah mencobanya tadi, dalam rangka memastikan ini semua hanya khayalanku saja atau bukan. Tanganku menembusnya, yang sukses membuat perutku melilit dan mual. Aku merasa aku bisa muntah kapan saja.

Tanganku menembusnya. Jadi dia itu apa? Hantu? Bayangan?

.

Saking sibuknya mengabaikan Jo, sepanjang perjalanan aku tidak memerhatikan apa dibicarakan Emma hingga dia menyebut-nyebut tentang item yang didapatkan dari toko sihir di perjalanannya ke Afrika bulan lalu. “Huh! Percuma kubeli mahal-mahal. Batu tak berguna. Tak satupun permohonanku dikabulkan.”

Seth memutar bola mata. “Tentu saja tidak dikabulkan, kau berdoa pada batu mainan. Memohon itu kepada Tuhan, Em.”

.

Tunggu! Batu itu! Permohonan!

Aku masih ingat benar beberapa hari yang lalu, Emma meminjamkan batu itu sebagai hadiah tambahan untuk ulangtahunku seminggu yang lalu. Dan saat itu, aku memohon…

“Dimana batu itu sekarang?” Aku nyaris menjerit histeris dan melompat ke depan, mengguncang-guncang bahu Emma dari belakang. Emma duduk di bangku depan di samping Seth.

Emma memandangku heran dan mengangkat bahu. “Kurasa Mom sudah membuangnya.”

Perutku terasa anjlok, seolah aku melewatkan satu anak tangga ketika menuruni tangga. Aku tak tahu apakah ini semua gara-gara permohonanku pada batu itu ataukah memang sebuah misteri alam atau apa, tapi aku harus mengetahuinya. Dan harapanku langsung lenyap begitu tahu benda itu sudah dibuang.

“APA? Sudah dibuang?”

.

“Jadi kau memohon pada batu pengabul permohonan itu agar aku kembali?”

Kulayangkan tatapan peringatan pada Jo. “Jangan ikut campur.”

 .

“Kau berbicara pada siapa?” Emma mengerutkan alis, dengan bingung memandangiku. “Joyce, kau aneh sekali hari ini. Kau baik-baik saja?” Tangannya memegang dahiku.

TIDAK. TENTU SAJA AKU TIDAK BAIK-BAIK SAJA. AKU MEMANGGIL SAUDARAKU KEMBALI KE DUNIA INI.

Aku bergidik ngeri menatap Jo, yang balik menatapku dengan tatapan tuh-kan-ini-semua-salahmu.

Kutelan ludah, sambil menoleh ke arah Emma dan Seth bergantian. Seth bahkan sudah menepikan mobilnya, hanya dalam rangka balik badan dan menatapku tajam. Aku tahu mereka berdua akan menganggapku gila, terutama setelah insiden kolam renang di pesta Halloween di hari ulangtahunku beberapa hari yang lalu.

 .

“Baiklah, aku akan jujur pada kalian. Dan aku yakin kalian akan menganggapku gila, berhalusinasi, atau apalah itu. Aku juga tidak peduli kalian mau percaya padaku atau tidak—”

“—Mereka akan menganggapmu gila.”

Kulayangkan tatapan kedua, yang sukses membuat Jo angkat tangan.

Aku mengucapkannya dalam satu tarikan napas. “Jo ada di sini sekarang. Dia ada di sampingku. Aku bisa melihatnya dan dia bisa membaca pikiranku.”

Hening lama, hingga suara Jo memecah keheningan di antara kami dengan sahutannya, “Sudah kubilang, mereka tidak akan percaya padamu.”

Emma dan Seth sama-sama menatapku dengan pandangan yang sama.

Holy crap.

Aku benci dikasihani dan dianggap gila.

 .

“Jo, beritahu aku apa yang mereka pikirkan sekarang. Kau bisa membaca pikiranku, kau juga bisa membaca pikiran mereka, kan?”

Jo mengangkat bahu dan menoleh ke Emma. Kasihan … kurasa Joyce perlu ke dokter. Itu yang dia bilang.”

“Kasihan … kurasa Joyce perlu ke dokter. Begitu kan, Em?” Aku menirukan Jo dan Emma membiarkan rahangnya jatuh terbuka ke bawah sementara mulutnya menganga.

Jo kini ganti menelengkan kepalanya ke arah Seth. Alisnya mengerut. “Dia berpikir … Ah, pasti dia sangat merindukan keluarganya… – dan hei, dia menyukaimu, Jo!”

“Ah, pasti dia sangat merindukan keluarganya… Begitu kan, Seth? Dan —WHAT?” Aku memelototi Jo, yang lagi-lagi nyengir kuda dan mengangkat bahu.

Apa tadi dia bilang?

 .

“Dia menyukaimu, Jo.”

“Jangan main-main, please. Tidak lucu.”

“Aku jujur kok. Memang itu yang dia pikirkan.” Lalu tiba-tiba Jo seperti teringat sesuatu. “Ah, pantas saja!”

“Apanya?”

“Rahasia!”

 .

“Oke, Joyce. Aku tidak bermaksud menyela pembicaraanmu dengan … Jonathan. Aku berusaha percaya padamu. Sungguh. Tapi, harus kuakui, memang aneh melihatmu bicara sendiri dengan udara kosong semacam itu.” Seth menatap ke udara kosong beberapa senti dari telinga Jo.

Oke, ini akan menjadi hari yang sangat, sangat, sangat melelahkan.

 .

***

 .

Kuhempaskan tubuhku di atas kasur empukku. Ya Tuhan, rasanya nikmat sekali…

… kalau saja tidak ada hantu berisik yang mengekoriku sepanjang hari.

Kupalingkan wajahku ke samping. Jo sudah ikut merebahkan diri di kasur – meski dia terlihat seperti melayang. Tangannya menumpu pada siku. Dan dia memandangiku.

“Apa kau marah padaku, Jo?” tanyanya. Lagi-lagi memecahkan keheningan di antara kami.

“Menurutmu?”

Jo memandangku lagi, tatapannya lembut, tidak seperti seharian tadi. “Maaf kalau aku mengganggumu dan membuatmu risih.”

Kali ini pandangannya meredup, ada binar kesedihan di kedua manik matanya. “Aku hanya terlalu bahagia kau bisa melihatku dan berkomunikasi denganku. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku sendiri juga bingung dengan keadaan ini. Tahu-tahu saja, aku sudah ada di sini.”

“Bagaimana kau bisa ada di sini? Bukankah harusnya kau sudah di atas sana bersama Mom dan Dad?”

“Aku tak tahu. Tiba-tiba saja, out of the blue, aku kembali ke sini.”

Perutku kembali bergejolak mual.

“Apa gara-gara aku?”

“Aku tak tahu. Tapi aku bersyukur kau memanggilku. Aku tak tahu ini gara-gara permohonanmu pada batu itu atau bukan. Aku tetap bersyukur. Sebelum ini, tidak ada yang bisa melihatku.”

Dia menggigit bibir. “Rasanya menyakitkan, kau tahu? Terjebak dalam kesendirian. Aku berusaha memanggilmu, aku selalu ada di sini, tapi kau tidak bisa melihatku dan mendengarku. Mengerikan. Kurasa lebih ngeri dari kecupan dementor.”

Aku tertawa kecil. Tapi tiba-tiba saja kerongkonganku tercekat dan mataku terasa panas. Aku tak tahu apa hantu bisa menangis, tapi aku bersumpah melihat mata biru di hadapanku, yang serupa dengan mataku sendiri, berkaca-kaca.

.

“Aku sangat merindukanmu, bodoh.”

“Aku juga.”

Aku ingin sekali melompat memeluknya, namun seluruh persendianku rasanya kaku, seolah sudah tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa lagi merasakan pelukannya.

“Jadi, apa kau akan menghilang lenyap besok pagi? Apa ini hanya ilusiku?”

Jo tersenyum.

“Aku tidak akan kemana-mana.”

.

“Ah, untuk jaga-jaga, seandainya kau akan benar-benar pergi lagi, aku—”

“—Aku tahu, aku tahu. Aku bisa membaca pikiranmu, ingat? Kau tidak berubah ya. Selalu pikun.” Tangannya bergerak seolah ingin mencubit ujung hidungku, namun diurungkannya. Tahu bahwa dia tidak akan bisa menyentuhku. Bahwa tangannya hanya akan menembusku.

Aku tertawa kecil lagi mendengarnya menjulukiku pikun. Kurasakan bulir hangat mengalir di pipiku. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukannya.

Thanks for today, Jo.”

My pleasure. Dia nyengir sangat lebar hingga hatiku langsung menghangat, hanya dengan memandanginya saja.

Aku memandangi wajahnya hingga puas sebelum aku memejamkan mata. Well, jaga-jaga siapa tahu besok tiba-tiba dia lenyap dan ternyata ini semua hanya mimpiku saja.

Baru saja aku akan memejamkan mata, dia memanggilku. “Hei, Jo.”

Kubuka kembali mataku. “Yeah?”

 .

Dia masih menatapku dengan pandangan yang sama, senyuman lebar yang sama, dan berbisik,

I love you, too.”

 .

***

 .

.

.

*kutipan “The ones that love us, never really leave us” milik JK Rowling melalui Sirius Black.

Natasha Demkina, si Gadis Sinar-X,  benar-benar ada. Kalian bisa googling namanya jika ingin tahu lebih banyak.

Aku sengaja memberi warna berbeda pada kutipan milik Jonathan agar kalian tidak bingung ketika Jo dan Jo saling bersahutan. Hihihi.

Semoga kalian suka! ^^

 .


Filed under: one shot, original fiction Tagged: Author's Project

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles