Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Beyond the Angel’s Arms

$
0
0

-

-

-

“Kurasa, sudah saatnya kita mengakhiri ini. Aku tidak menyayangimu seperti dulu, .. maafkan aku, tapi aku menyukai gadis lain .. aku tidak bisa membohongi perasaanku lagi, dan aku juga tidak ingin menyakitimu. Kita putus saja.”

Ketika kudengar Kibum melontarkan kalimat itu dari bibirnya, setidaknya lebih dari lima belas menit aku berusaha mencerna kata-katanya hingga benar-benar mengerti bahwa dia memang serius mengatakannya. Kupikir tadinya dia hanya bercanda, sementara di dalam kepala aku mengingat-ingat hari apa saat itu; April mop sudah lama berlalu, hari itu bukan ulang tahunku, atau ulang tahunnya hingga dia tidak memiliki alasan untuk mengerjaiku degan segala triknya.

Selama berminggu-minggu aku bertanya pada diriku sendiri.

Apa salahku?

Apa dosa yang telah kuperbuat hingga begitu menyakitinya dan membuatnya begitu saja memalingkan wajahnya setelah begitu lama kami bersama berjalan dengan langkah yang sama. Bahkan semua orang di sekolah pun tahu siapa kami, tidak akan ada Kwon Yuri tanpa Kim Kibum.

Kami seperti Chunhyang dan Mongryeong. Kami adalah pasangan abadi sejak masih di sekolah dasar, semua orang iri melihat kami, .. hingga suatu hari Kibum memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami begitu saja. Lalu seminggu kemudian memulai hubungannya dengan seorang gadis pindahan yang baru saja memulai harinya selama sebulan di sekolah kami. Dia meninggalkanku begitu saja dengan mudahnya, dan aku tidak tahu kenapa.

Orang-orang mengatakan aku terlalu tenang dan dingin dalam menangani masalah ini. Banyak orang yang meyangsikan hal ini, tentu saja, tidak ada yang percaya bahwa hubungan kami telah berakhir, seperti halnya tidak ada yang percaya bahwa Kibum melakukannya untuk seorang gadis lain. Mereka mengatakan tidak seharusnya sediam itu menghadapinya, dan meyakinkanku untuk membalas perbuatannya karena Kibum pantas mendapatkan balasan yang setimpal dengan berbagai macam cara. Tidak sedikit teman kami yang dulu begitu dekat kini berubah menjadi musuh sepihak yang begitu membenci Kibum di belakangnya.

Maksudku, semua orang begitu menyukai Kibum di sekolah. Dia adalah seorang atlet baseball SMA nasional yang berbakat dan sangat pintar. Dia tampan, dan dia memiliki segalanya. Ketika kami bersama, semua orang ingin menjadi teman kami karena menurut orang-orang berteman dengan Kim Kibum akan menaikkan derajat mereka dalam kelas sosial pergaulan di sekolah. Kau hanya perlu terlihat mengobrol sesekali dengannya agar bisa disegani seluruh penjuru sekolah dan itu cukup untuk membuat hidupmu sejahtera hingga kau lulus sekolah.

Jadi setelah kabar berakhirnya hubunganku dengannya bisa dibilang pertemanan ini sedikit bias dan terbagi menjadi dua bagian, .. umm, tiga sebenarnya.

Satu pihak yang membelaku akan sangat menunjukkannya di depan semua orang dan berkoar-koar betapa brengseknya anak laki-laki bernama Kim Kibum itu. Pihak lainnya yang mendukung Kibum akan melakukan hal yang sama, beradu mulut dengan pendukungku di kafetaria atau koridor kelas beradu argumen tentang kenapa Kibum tidak berhak mendapatkan perlakuan seolah dia adalah kriminal kelas berat yang telah membunuh ratusan orang dengan sikap beberapa orang padanya. Sementara satu pihak lain adalah orang-orang yang menghiburku di satu sisi, menghujat nama Kibum dan mengatainya di belakang punggungnya, tidak habis pikir bagaimana bisa ada orang semacam dia yang tega melakukan hal semacam ini padaku. Tapi tanpa sepengetahuanku, di depan Kibum, orang-orang ini menjilatnya seolah dia adalah manusia yang paling berkuasa di seluruh dunia.

Mereka mungkin mengatakan bahwa aku telah berubah menjadi lebih suram atau apapun, tapi pembelaan diriku mengatakan bahwa aku hanya membutuhkan lebih banyak waktu untuk sendiri. Tidak mendengarkan teman-temanku menyalahkanku atas semua yang terjadi, atau menjelek-jelekkan Kibum sehari saja adalah saat-saat yang paling damai dalam hidupku.

Satu-satunya teman bicara yang agak sedikit membuatku merasa lebih nyaman malah seorang anak laki-laki yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Dia muncul begitu saja suatu sore ketika aku mengawasi Kibum dan pacar barunya memakan bekal di pinggir lapangan selepas latihan baseball, membuatku sangat terkejut ketika kupikir seseorang memergokiku menguntit mantan pacarku sendiri dan juga terheran karena aku tidak pernah melihatnya sebelumnya di sekolah.

“Kau bukan siswa sekolah ini, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku begitu dia mengejutkanku dengan ‘sapaan’ isengnya.

Anak itu mengangkat bahunya menjawab pertanyaanku, “Aku harus mengantar sesuatu untuk salah satu guru kalian, .. ayo ikut denganku,”

“Kenapa aku harus ikut denganmu?” kulipat lenganku di depan ada bersikap defensif.

“Karena aku yakin kau tidak ingin tertangkap sedang menguntit mereka,” sahutnya cepat, dan tanpa mendengar jawabanku anak itu menarik tanganku berjalan bersamanya keluar sekolah.

“Kau mau kimbab? Ini buatan ibuku, kau harus mencobanya.” Anak itu merobek aluminium foil yang memperlihatkan gulungan berwarna hijau yang telah dipotong sedemikian rupa, dan menjejalkannya di mulutku sebelum aku menggeleng menolak tawarannya.

“Siapa namamu?” tanyaku begitu kami sampai di taman belakang sekolah, dia memanjat benteng palang hingga ke puncak sementara aku duduk di atas ayunan tak jauh darinya.

Aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini. Biasanya aku cenderung untuk tidak bicara dengan orang asing dan menyimpan segala rasa ingin tau yang tidak perlu dalam diriku sendiril. Tapi saat itu, entah kenapa aku sangat ingin mengenalnya, tanpa alasan, dan kurasa karena aku juga sedikit membutuhkan teman bicara.

“Namaku Lee Jinki. Kau?”

Tawaku meledak begitu mendengar anak itu menyebutkan namanya. Bukannya aku bermaksud kasar, tapi nama itu sangat tidak lazim, dan mendengarnya saja sudah sangat lucu jadi aku agak merasa sedikit bersalah ketika tiba-tiba saja menertawainya begitu saja,

“Jinki? .. Jangan katakan padaku bahwa kau punya saudara bernama Myeonggi,” ujarku kemudian, masih setengah tertawa sambil berusaha berhenti tergelak.

“Yeah, apakah kalian orang-orang tidak bisa mengatakan sesuatu yang lebih original? Aku sudah sering sekali mendengar lelucon semacam ini, hingga tidak lagi terdengar lucu di telingaku.” Katanya datar, tapi meskipun begitu tidak terlihat sama sekali tanda-tanda kalau dia tersinggung dengan kata-kataku, yang mana itu membuatku sedikit lega.

“Maafkan aku,” kataku menyesal, hanya setengah, “Tapi kalau banyak orang mengatakannya, berarti ini memang benar-benar lucu. Dari mana asalmu? Jeollanamdo?”

“Dan orang-orang juga menanyakan hal yang sama,” Jinki menghela nafasnya dan menelan dua potong kimbab sekaligus, mengunyahnya penuh di dalam mulutnya sebelum menjawab pertanyaanku,

“—Aku lahir di Seoul, dan tumbuh di Seoul ..”

Kepalaku mengangguk mengerti. Kami mulai mengisi jeda singkat dalam keheningan begitu menyadari tidak ada lagi yang perlu ditertawakan mengenai asal kelahirannya, ataupun melanjutkan kembali pembicaraan tentang namanya yang aneh. Jinki turun dari atas benteng begitu kimbabnya habis, meneguk air dari botol minuman yang dikeluarkan dari dalam tas punggungnya dan kemudian duduk di sampingku sambil mengayunkan ayunannya jauh ke depan,

“Jadi, anak laki-laki itu tadi, .. kau menyukainya?” Tanya Jinki beberapa menit kemudian setelah keheningan menguasai kami, langit sudah mulai gelap saat itu. Lampu di taman pun mulai menyala menerangi jalan setapak yang mulai sepi pejalan kaki, meninggalkan kami berdua duduk diam di atas ayunan.

“Ya, begitulah.”

“Dan apakah dia tahu kau menyukainya?”

Aku menoleh melihatnya sedang menatapku, mengangkat bahuku, kemudian wajahku menatap langit gelap tanpa bintang.

“Dulu kami saling menyukai,”

Dulu,” Jinki menekankan kata pertama jawabanku, “tapi saat ini dia telah melanjutkan hidupnya sementara kau masih terjebak dalam ratapan karena tidak bisa menerima hubungan kalian telah berakhir?”

Aku menoleh dan menatapnya lagi. Bagaimana mungkin anak laki-laki ini mengatakan hal yang begitu kasar pada pertemuan pertama kami. Mataku memandangya dengan tatapan mencela tidak senang dengan kalimatnya.

Jika saja aku bisa mengatakan apa alasannya, bila saja aku mengerti dengan jelas apa yang membuat Kibum tiba-tiba saja mengakhiri kisah kami. Seandainya saja aku mampu membuatnya meyakinkanku bahwa kami memang tidak lagi bisa melangkah bersama. Tapi semua ini terjadi karena gadis itu, anak baru itu yang merebut Kibum dari sisiku dan aku sangat membencinya.

Aku masih ingat siang itu ketika bertemu dengannya di dalam kamar mandi anak perempuan di sela jam pelajaran. Aku berdiri di salah satu wastafel membasuh tanganku ketika dia keluar dari dalam bilik toilet, terlihat canggung ketika melihatku di sana tapi tetap berdiri di sampingku. Sebenarnya saat itu bila dia tidak menyapaku, aku tidak akan menyadari kehadirannya. Tapi begitu dia membuka mulutnya, aku terpaksa memasang wajahku yang paling datar tanpa menunjukkan sedikitpun ekspresi dan memandangnya.

“Yuri ya, .. hai, sepertinya kita sama sekali belum pernah bicara sebelum ini, .. tapi Kibum banyak bercerita tentangmu.”

Bila saja aku bisa tertawa saat itu, ataupun mendengus sinis untuk meresponnya, pasti sudah kulakukan dengan senang hati. Tapi aku tidak melakukannya, aku masih diam membasuh wajahku tanpa menjawabnya,

“—Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah tau kalian berpacaran sebelum ini, Kibum tidak pernah memberitauku sebelumnya .. Maksudku, kalian pasangan yang sempurna, semua orang di sekolah ini mengatakannya. Dan Kibum menyayangimu, hanya saja … saat ini segalanya berbeda, .. kau tahu, kan? Aku hanya ingin kita berteman, ..”

Berteman?

Yang benar saja. Dia merebut pacarku dan kemudian mengatakan padaku dia ingin berteman? Kurasa ada yang salah dengan otaknya.

Tanpa terburu-buru aku mengeringkan wajah dan tanganku dengan handuk kecil yang kubawa. Kurapikan rambutku dan langsung meninggalkan kamar mandi tanpa lebih banyak mendengarkan Jung Soojung menyelesaikan kalimatnya, aku sudah cukup malas melihat wajahnya hingga tidak tahan lagi berlama-lama berada di sana.

“Umm baiklah, .. senang bicara denganmu!” serunya dari dalam kamar mandi sebelum aku menutup pintu dan kembali ke dalam kelas.

Aku tidak pernah lagi ingin melihat wajah Kibum, meski di waktu yang sama aku sangat merindukannya. Ada saat di mana aku ingin kami kembali seperti dulu. Mengobrol bersama, duduk di halaman rumah mengobrol sambil menikmati buah pear atau coklat hangat, aku rindu saat-saat kami mengobrol di lab biologi, atau saat kami belajar bersama di perpustakaan. Aku rindu dia menceritakan kembali buku-buku fiksi yang baru dibacanya, atau ketika kami membuat kimbab pagi-pagi sekali sebelum dia bertanding baseball.

Aku benci ketika teringat saat-saat itu. Di dalam sepi malamku dia selalu muncul di dalam mimpiku, sementara pagi harinya aku melihatnya tertawa bersama gadis lain. Orang-orang mungkin melihat aku tidak begitu mempermasalahkannya, tapi di dalam hati aku berteriak dan menangis, aku meratapi keegoisannya, dan rasanya begitu menyakitkan hingga aku tidak lagi ingin menyaksikan pemandangan itu di depan mataku lagi. Semakin lama aku semakin menarik diri dari pergaulan dan menolak bicara dengan siapapun yang berhubungan dengannya secara langung.

 * * *

“Kau sedih?”  Tanya Jinki ketika melihatku menangis suatu sore di taman. Hari itu adalah puncak kegetiranku dan aku benci harus mengakui ini, tapi aku senang saat melihatnya muncul di sana setelah menunggu lebih dari dua jam. Beberapa hari ini kami bertemu di sana, tanpa kesepakatan sebelumnya dia hanya muncul, dan kemudian kami akan mengobrol.

Kebanyakan dia akan mendengarkanku bicara. Membiarkanku bercerita apa saja yang kulalui hari itu, siapa saja yang membuatku kesal atau bagaimana aku melarikan diri dari Kibum dan pacarnya tiap kali kami berpapasan di koridor.

“—Apakah anak perempuan harus selalu menangis saat kalian merasa tidak nyaman dan tersakiti? Kenapa tidak kau salurkan saja kesedihanmu melakukan sesuatu yang lebih berguna? .. Itu membuatmu akan terlihat lebih kuat.”

Kuhela napasku. Tanpa berusaha berhenti menangis kuhapus air mata yang mengalir di pipiku menahan sesak yang menekan dadaku, membuat tenggorokanku tercekat,

“Menangis tidak berarti aku sedang sedih. .. Kadang seorang gadis menangis karena dia lelah berpura-pura terlihat lebih kuat.”

“Kalau begitu … kau bisa berhenti berpura-pura dan tunjukkan saja apa yang kau rasakan saat ini. Kau bisa menjadi dirimu sendiri di depanku, aku tidak peduli.”

Kusandarkan kepalaku di lengannya ketika dia duduk di sampingku, membiarkanku menangis beberapa saat sebelum kemudian aku merasa lelah dan berhenti terisak. Rasanya lelah sekali harus seperti ini, sudah berbulan-bulan berlalu tapi aku masih saja belum dapat menerima keadaan ini. Aku benci tiap kali melihat Kibum bersama gadis itu, aku benci melihat mereka tertawa di atas tangisku, aku sangat merindukannya hingga aku begitu lelah berharap dia akan pernah kembali ke sisiku.

Aku putus asa. Dan aku lelah berpura-pura bahwa aku baik-baik saja.

“Namaku Yuri, .. dan bukan tanpa alasan orangtuaku menamaiku dengan nama ini. Ibuku pernah berkata bahwa meskipun aku mudah pecah, tapi aku adalah gelas kaca yang dibakar dengan beribu-ribu derajat Celsius, diproses berulang kali hingga menjadikanku sebuah kaca yang bahkan tidak akan pecah meski peluru mencoba menembus permukaanku. Selama ini aku berpikir bahwa aku bisa selalu sekuat itu tidak peduli seberat apapun orang-orang berusaha menyakitiku. Aku akan selalu bertahan melawan mereka … tapi karena seorang Kim Kibum aku berubah menjadi gelas kaca yang sangat rapuh. Serpihan kepingan jiwaku tercecer berantakan dan mereka menginjak-injaknya memakan habis seluruh sisa harga diri yang kumiliki. Ini sangat memalukan, .. aku lelah, aku menginginkannya kembali, .. aku merindukannya.” Kataku lagi dengan suara yang bergeta dan mata basah.

Jinki menarik nafas dalam dan menghelanya dengan cepat. Dia tidak berkata apapun selama beberapa menit, membiarkan keheningan kembali menguasai kami hingga aku benar-benar dapat menguasai diri dan benar-benar berhenti menangis sebelum dia membuka mulutnya dan bicara sesuatu,

“Yuri, satu hal yang perlu kau mengerti adalah kau bukan satu-satunya orang yang merasakan hal seperti ini. Di luar sana banyak orang yang kehilangan seseorang yang mereka cintai. Mereka tidak bisa lagi mencintai pasangannya karena yang yang mereka cintai telah pergi, meninggalkan dunia ini, .. bukan hanya meninggalkannya untuk gadis lain. Di sudut dunia lain ada yang begitu tersiksa karena harus kehilangan seseorang yang mereka cintai tanpa pernah sempat menyatakan apa yang mereka rasakan. Orang-orang itu menikah dengan orang lain sementara mereka hanya bisa meratapi kehilangannya seorang diri.” Jinki memulai kata-katanya yang panjang dengan pelan dan penekanan yang begitu jelas, membuatku mendengarkannya dengan seksama ingin mengetahui apa yang selanjutnya akan diucapkannya.

“—Kau masih sangatlah muda. Dan masih begitu panjang jalan yang terbentang menunggu di depanmu. Begitu banyak mimpi, begitu banyak orang baru yang akan melintas di jalanmu, .. yang perlu kau ingat adalah bahwa semua ini pasti akan berakhir, entah kapan, cepat atau lambat hanya kau yang bisa memutuskannya.”

Aku menarik kepalaku dari lengannya dan menyandarkan daguku di atas lakukan kakiku. Untuk sejenak aku merenungkan kata-katanya yang terdengar begitu dalam dan penuh dengan kebenaran, meski ada juga bagian diriku yang lain masih belum bisa menerimanya. Bagaimana mungkin dia mengharapkan aku akan melupakan hal ini dengan mudah, setelah bertahun-tahun kenangan yang kumiliki bersama Kibum, dengan segala cerita romansa yang penuh tawa, bagaimana mungkin aku melakukannya …

“—Kim Kibum mungkin orang yang menyenangkan. Kau menyukainya, dia membuatmu tertawa, dia menyayangimu, dia memelukmu, dia menciummu, .. dia membuatmu jatuh cinta. Tapi saat kau benar-benar jatuh, dia tidak pernah berpikir untuk menangkapmu. Lalu dia meninggalkanmu dan melupakan segala hal berharga yang kalian miliki. Kau yakin menginginkan orang seperti dia kembali padamu? Saat ini dia melakukannya padamu, siapa tahu nanti dia akan melakukan hal yang sama pada gadis itu, .. lalu kembali meninggalkanmu lagi bila kalian pernah kembali bersama. Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan berikan padamu untuk menghabiskannya bersama seseorang seperti dia, kau berhak bersama seseorang yang jauh lebih baik.”

Jinki beranjak dari duduknya dan berdiri bersandar pada satu pilar besi di benteng dan duduk di antaranya sementara menatapku yang sedang menatapnya. Ketika beberapa saat mata kami terkait dalam diam, kami lalu tertawa,

“Kau bicara seolah pernah mengalami hal semacam ini ratusan kali,” komentarku seraya melemparnya dengan kulit kerang dari atas pasir.

“Kau tidak pernah tahu, aku memang sangat berpengalaman dalam hal ini .. katakan saja ini memang sudah pekerjaanku,”

Kedua alisku terangkat dan kemudian aku mengangguk berpura-pura mengerti dan mempercayai apa yang dikatakannya,

“Siapa kau sebenarnya kalau begitu? Kenapa kau bisa begitu berpengalaman?”

Jinki kembali mengangkat bahunya, aku baru menyadari bahwa dia sering kali melakukan kebiasaan itu tiap kali mejawab pertanyaan, yang tadinya kupikir bahu terangkat itu pertanda ketidaktahuan ternyata bisa berarti hal yang sangat berbeda baginya,

“Aku adalah seorang malaikat,”

“Ya, tentu saja.” Aku terkekeh mendengar jawabannya. Saat itu keinginanku menangis sudah benar-benar hilang hingga aku terlupa bahwa sebelumnya kegalauan sempat menguasai hatiku sepanjang hari sebelum bertemu dengannya.

Aku menyukai anak ini, entah kenapa. Menyenangkan sekali tiap kali kami mengobrol dan mendengarnya mengatakan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan di dalam kepalaku sebelumnya. Jinki begitu cerdas, dan sensitif. Dan aku nyaman mengobrol dengannya,

“—Jadi, pekerjaan macam apa yang Tuhan berikan padamu, Malaikat? Apakah saat ini kau sedang menjalankan sebuah misi?” tanyaku sekali lagi, merespon leluconnya.

Jinki memiringkan kepalanya, menatapku seolah sedang mempertimbangkan apakah perlu memberitauku rahasianya atau tidak sebelum kemudian tersenyum lebar,

“Mereka menyebutku the Catcher, .. pada dasarnya tugasku adalah menarik kembali bakat-bakat terpendam sepertimu dari dalam jurang kehancuran. Bila aku gagal, dalam beberapa jam kau akan berakhir menggantung dirimu di dalam lemari pakaian, atau mengiris nadimu di dalam bak mandi. Tapi bila aku berhasil, dua puluh tahun dari sekarang kau adalah seorang dokter bedah yang bekerja 80 jam seminggu menyelamatkan nyawa manusia-manusia yang memiliki harapan tinggi untuk tetap hidup di luar sana, dengan dua anak yang kau banggakan, dan seorang suami yang sangat mencintaimu. Dan misiku saat ini adalah kau, .. tugasku sudah hampir selesai sebenarnya, karena dalam hitungan jam kau akan segera memutuskan masa depan macam apa yang akan kau pilih.”

Aku tertegun mendengar kata-katanya, menatapnya tidak percaya hampir mempercayai apa yang baru saja kudengar. Jinki terdengar begitu meyakinkan dengan semua penjelasannya, dan sikapnya selama ini menunjukkan sebuah kestabilan yang tidak dimiliki anak berusia 17 tahun. Meski aku tahu ini tidak mungkin terjadi, sempat juga terbersit di dalam kepalaku bahwa dia serius dengan perkataannya. Dia hanya mencoba untuk menghiburku, dan terus terang saja, inilah yang membuatku menyukainya.

Eish, Lee Jinki, kau membuatku takut,” kataku kemudian kembali tertawa.

Sementara Jinki menarik punggungnya berjalan menghampiriku dan mengulurkan tangannya, “Baiklah, ayo kuantar kau pulang, pembicaraan kita berakhir sampai di sini.” Ujarnya seraya membantuku berdiri dan kemudian dia benar-benar mengantarku pulang hingga ke depan rumah, sebelum kemudian menghilang dari balik tikungan jalan setelah aku masuk ke dalam rumah dan mengawasinya dari jendela kamarku.

* * *

Kata-kata Jinki membuatku merenung sepanjang malam.

Bila aku kembali memikirkannya, semakin besar keputus asaan dan juga kekecewaan yang bercampur menjadi satu. Aku menyukai Kibum sejak kami masih sangat kecil. Kami bersama bertahun-tahun dan kemudian kami berpisah. Rasanya menyakitkan, tapi aku kembali teringat ketika Jinki mengatakan bahwa kami masih sangat muda, dan masih banyak kisah yang akan kujalani selama bertahun-tahun yang terbentar panjang di depan jalanku. Ibuku juga pernah bilang bahwa aku akan menemui banyak pria dan menyukai mereka sebelum benar-benar mencintai seseorang dan memutuskan untuk menyerahkan hidupku padanya, mengabdi dan menjalani hidupku bersamanya. Ini hanyalah sebuah awal, dan sebagai gelas kaca tahan peluru seharusnya aku mampu bertahan. Hidupku terlalu berharga untuk kusia-siakan meratapi seseorang yang tidak benar-benar menghargai keberadaanku, dan kurasa suddah waktunya aku benar-benar melepaskannya.

Aku memikirkan hal ini hingga keesokan harinya. Di atas atap sekolah tempatku biasa merenung dan mengasingkan diri bila ingin menghilang dari keramaian. Kulepas earphone dari kedua telingaku dan mematikan iPodku ketika tersadar waktu istirahat siang hampir selesai, dan hendak kembali ke dalam kelas ketika aku berbalik dan menemukan Kibum berdiri di belakang punggungku. Tidak ingin bicara dengannya kubuang wajahku dan berjalan melewatinya tapi dia menangkap lenganku hingga aku berhenti berjalan dan berbalik menatapnya,

“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Kibum.

Dulu aku begitu menyukai nada itu, yang terdengar begitu hangat tiap kali bicara padaku. Tapi kini aku membencinya, aku bahkan membenci diriku saat ini karena membiarkan Kibum melakukan ini padaku. Harus berdiri di dekatnya, menatapnya dan bicara padanya sedekat ini membuatku sangat membencinya.

“Kenapa kau pikir aku ingin bicara denganmu?” ujarku datar, tanpa ekspresi, tapi mataku menatapnya dalam.

Kibum menghela nafasnya, “Yuri ya, .. aku tahu ini tidak mudah bagimu. Aku sungguh menyesal kau harus mengalami semua ini, denganku dan Soojung ..”

“Jangan salah paham, Kibum, .. aku tidak pernah merasa lebih mudah daripada ini. Kau meninggalkanku untuk gadis itu, aku akan terus mengingat ini selamanya, tapi percayalah .. ini mudah bagiku, dan kau memang harus menyesal karena telah melakukannya.” Kataku menyahut dengan cepat,

“—itu sajakah yang ingin kau katakan? Karena aku harus segera kembali ke dalam kelas kalau kau tidak keberatan. Tidak semua orang akan baik-baik saja tanpa hukuman bila terlambat kembali, kau tahu.”

Kibum mengerutkan dahinya, dari balik kaca matanya kulihat matanya membulat seolah tidak percaya aku bisa mengatakan kata-kata sesinis itu. Hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya padanya. Dia pasti terkejut melihat perubahan sikapku yang begitu berbeda sejak terakhir kali kami bicara,

“Aku, ..” dia berhenti sejenak terlihat ragu-ragu, “Aku ingin kau memberitau teman-temanmu untuk berhenti mengganggu Soojung. Mereka tidak berhenti menjadikannya bulan-bulanan, dan aku tidak bisa membiarkan hal ini terus terjadi .. Anak-anak ini pasti akan mendengarkan kata-katamu, jadi tolonglah..”

Aku mendengus sinis.

Aku tidak salah dengar kan?

Ini sama sekali tidak kedengaran seperti Kibum, sejak kapan dia harus membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya bisa diselesaikannya sendiri. Terlebih lagi ini tentang pacarnya, apa yang membuatnya begitu yakin aku akan membantunya, aku tidak habis pikir.

Belakangan itu aku memang sering mendengar bahwa Jung Soojung sering ‘diculik’ saat istirahat siang. Teman-temanku membawanya entah ke mana. Melakukan apa dan mengembalikannya dalam keadaan babak belur, tidak jarang bahkan aku mendengar mereka mengganggunya di koridor kelas di depan banyak orang tanpa takut guru-guru akan melihatnya. Bahkan sekali aku pernah memergoki mereka memukulinya di dalam kamar mandi anak perempuan di sudut sekolah.

Saat itu aku baru saja keluar dari perpustakaan saat harus ke kamar mandi dan mendengar beberapa orang seperti sedang memukuli seseorang di dalamnya. Aku baru tahu korbannya adalah Jung Soojung ketika mereka menyebut namaku dalam pembelaan mereka. Saat itu aku mengurungkan niatku untuk masuk ke dalam kamar mandi dan berlalu begitu saja tanpa berniat melerai mereka, membiarkan hal ini terjadi dan berpura-pura tidak ada yang terjadi.

“Hei, jangan menyalahkan mereka yang lebih menyukaiku daripada pacarmu. Apa yang terjadi padamu dan gadis itu bukanlah urusanku. Aku tidak akan pernah bersedia ikut campur, dan bila kau ingin mereka berhenti mengganggunya maka selesaikanlah sendiri dengan caramu.”

“Apakah ini caramu untuk membalasku? Kau sengaja melakukannya untuk membuat hari-hari Soojung sengsara di sekolah ini, kan?”

Aku kembali mendengus dan tertawa tidak mempercayai apa yang baru saja kudengar, kepalaku menggeleng tidak habis pikir. Kujentikkan jariku di depan wajahnya,

“Bangunlah, Kim Kibum. Sekali saja cobalah merenung dan menginstrospeksi dirimu. Kau yang melakukan ini padanya, ketika pertama kali kau memutuskan untuk menyukainya, seharusnya kau tahu hal ini akan terjadi. Lebih baik kau tidak berpikir untuk membiarkannya terjatuh dan meninggalkannya begitu kau bosan dengan permainan ini, .. jangan pernah mengaitkanku pada masalah yang timbul dalam hubunganmu. Itu urusanmu, dan aku tidak mau tahu.”

Begitu menyelesaikan kalimatku, aku menarik lenganku dari cengkeraman tangannya dan berlalu secepat mungkin sebelum Kibum menangkapku kembali.

Hari itu aku begitu lega telah mengatakan semuanya sejelas mungkin. Memperjelas apa yang kurasakan dan apa yang kuinginkan saat itu padanya, tanpa aku peduli lagi apa yang dulu pernah terjadi pada kami. Aku telah memutuskan untuk melupakannya dan tetap bertahan melanjutkan kisah hidupku. Aku mungkin akan membencinya untuk beberapa lama, tapi kurasa itu yang terbaik. Kadang memang perlu perlu untuk sedikit mencari sisi jelek seseorang agar lebih mudah melupakannya, dan itu berhasil baik padaku.

Hari itu juga aku pergi ke taman untuk menunggu Jinki, tapi di tidak datang. Besoknya aku kembali lagi, dan Jinki masih tidak muncul, hingga besoknya lagi dan lagi.

Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak itu. Dia tidak pernah muncul tiap kali aku menunggunya hingga sangat malam. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kembali ke taman dari surat yang aku tinggalkan selalu berada di tempat dan posisi yang sama ketika aku kembali. Teringat kembali saat terakhir kali pertemuan kami, Jinki berkata bahwa tugasnya akan berakhir hari itu juga begitu aku memutuskan masa depan yang akan kuambil, lalu teringat juga ketika dia mengatakan bahwa itu adalah akhir dari pembicaraan kami.

Jinki pergi dengan senyum terukir di bibirku sebelum kami berpisah. Dia meninggalkan kenangan yang sangat berharga dalam satu bagian proses pendewasaaan dalam diriku.

Mungkin dia memang seorang malaikat. Mungkin Tuhan memang mengirimkannya untuk mengajarkan padaku betapa hidup ini begitu berharga dan betapa banyak orang di luar sana yang masih menyayangiku, dan untuk menyadarkanku bahwa duniaku tidak hanya berputar di sekitar Kim Kibum.

Lee Jinki membuatku percaya bahwa cinta datang kepada mereka yang masih memiliki harapan, walaupun mereka telah dikecewakan.

Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati.

Kepada mereka yang masih ingin mencintai, meski mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaannya.

Dan seperti apa yang dikatakannya padaku. Suatu saat nanti masa itu akan datang, aku akan memiliki seseorang yang menghargai keberadaanku dan menyayangiku dengan segenap hatinya. Dia menjanjikan masa depan yang begitu indah di depan mataku, dan aku menantinya dengan penuh harapan.

Dia mungkin telah menyelesaikan misinya dan tidak akan lagi menemuiku meski aku dalam masa paling terpurukku. Kurasa dia tahu aku akan tetap bertahan hingga akhir, dan di luar sana dia mengawasiku.

Aku bisa merasakannya.

* * *

-

-

-

Ini adalah sebuah draft yang aku tulis setahun lalu saat sedang berlibur. Ya, aku berlibur dan masih sempet nulis, hahahaha.. dan oneshot ini juga sudah aku publish di beberapa tempat seperti Hallyucafe, wattpad pribadiku, FFindo juga saladbowl sebelah. Jadi kalau kalian ngerasa deja vu sama ff ini, itu wajar, hehehe…

Istilah ‘the Catcher’ aku pakai setelah terinspirasi oleh buku “Catcher in the Rye” – JD Salinger, salah satu novel favoritku, kalian harus baca!

Eniwei, basically, ini bukan fanfiction (as what the category said), kesamaan nama hanya sekedar fiksi, aku hanya meminjam nama mereka tanpa kesamaan karakter. FYI, Kim Kibum —> Super Junior ya, bukan SHINee hehehe *hanya untuk penggambaran lebih jelas* XD

Dan ff ini aku persembahkan untuk kalian semua yang sedang patah hati. Jangan lagi bersedih, masih banyak ikan-ikan *yang jauh lebih enak dan besar badannya* di laut. Hidupmu nggak berakhir dengan hanya kehilangan seseorang yang nggak cukup signifikan untuk kepentingan hidupmu. Tuhan pasti akan memilihkan yang lebih baik untukmu. ^^

xoxo.

June, 2012.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Jung Soojung, Kim Kibum, Kwon Yuri, Lee Jinki

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles