Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] A Lady Intuition

$
0
0

lomography.com

-

“Aku akan menikah,”

Kata-kata itu terus saja terngiang di telingaku. Hingga rasanya aku terlalu muak untuk berpikir, hanya supaya aku tidak perlu lagi mendengar kalimat itu kembali terputar dalam piringan rekaman memoriku.

Dia mengucapkannya dengan nada yang begitu ringan, seolah di pundaknya segala beban selama berbulan-bulan ini telah hilang begitu saja, dan terganti dengan senyum sumringah yang tidak pernah kulihat selama kami tinggal bersama.

Aku masih bisa mengingat sikapku saat itu. Antara terkejut dan kecewa. Dan di saat bersamaan, aku berusaha untuk menyembunyikan segala macam ekspresi agar tak menunjukkan dengan jelas ketidakpercayaan itu.

Saat ini aku hanya bisa merasa bodoh, sekaligus meruntuki diri sendiri karena tidak bisa mengatakan apapun untuk memberinya selamat. Sebagai teman yang beberapa bulan ini dekat dengannya, seharusnya aku memberinya dukungan, setidaknya dengan tersenyum, untuk menunjukkan empatiku… tapi mulutku terkunci rapat begitu Sanghyun memberitahukan berita ini.

Sebuah keputusan yang datangnya begitu tiba-tiba dan terlalu cepat.

Kurasa aku tidak bisa menyalahkannya juga. Kami sudah cukup lama mencari sosok gadis bernama Lucida Lunde ini, dan setelah akhirnya menemukan wanita itu, bertemu dengan sosok nyata ibu kandung bayi yang tinggal bersama kami selama ini, Sanghyun pasti punya banyak hal yang ingin dikatakannya pada wanita itu.

Seharusnya aku pun sudah bisa menduga bahwa hal semacam ini akan terjadi.

Bahwa pada akhirnya mereka akan kembali bersama.

Bagaimanapun juga Lucida adalah ibu kandung Lauren, dan gadis manis itu berhak melanjutkan hidup bersama dengan keluarganya. Apa yang ada di dalam kepalaku, hingga berpikir memiliki kesempatan untuk merawat bayi itu?

“Di mana aku harus menaruh kardus ini?”

Suara Seungho membuyarkan lamunanku seketika. Aku menoleh cepat menjawab pertanyaannya dengan menunjuk satu sudut di ruang TV, memintanya menaruh dua kardus yang dibawanya di manapun di sana.

“Sudah semuanya?” tanyaku dengan senyum lebar, seraya berdiri di belakang punggungnya. Sengaja kupukul-mukul bahunya dengan kepalan tangan, berniat untuk memijitnya setelah berulang kali naik turun apartemen mengangkat barang-barangku.

Sebenarnya aku ingin ikut mengangkat barang juga supaya cepat, tapi dia menolak melihatku membantunya, jadi yang kulakukan akhirnya mengelap beberapa perabotan baru dan membongkar beberapa kardus sementara pria itu menyelesaikan tugas kulinya.

Seungho menghitung pelan seluruh kardus tanpa suara dan mengangguk pelan mengiyakan pertanyaanku.

“Tadi kuhitung ada 18 kardus dan 3 koper, yak, tidak ada yang terlewat. Semuanya seratus lima puluh ribu won, kau akan membayar tunai atau dengan kartu kredit?” Ujarnya menggoda, membuatku harus mendaratkan satu kali tinju lagi ke belakang bahunya.

Di saat seperti ini dia masih saja bisa membuatku tertawa, benar-benar pria yang sangat menghibur.

“Kau mau minum sesuatu? Aku membeli makanan kecil tadi kalau kau mau sesuatu untuk mengisi perutmu, aku belum sempat belanja jadi sepertinya kau harus menunggu beberapa jam untuk makan besar.” kataku kemudian, teringat dia belum makan apapun sejak siang, aku yakin itu.

Dia telah bersiap sejak pagi, menungguku selesai mengepak barang dari apartemen Sanghyun sebelum membantuku membawa barang dan mengurus kepindahanku ke apartemen baru ini. Aku sungguh tidak bisa membuat pahlawanku ini kelaparan setelah seharian bekerja dengan hanya duduk-duduk santai menunggu.

Ketika aku beranjak untuk bersiap ke mini market di dekat apartemen, Seungho menarik tanganku kembali duduk di sofa di sampingnya. Dia tidak berkata apa-apa.

“Aku sudah memesan jajangmyeon di bawah tadi. Pekerjaan kita masih banyak hari ini, jadi kupikir kalau kau memasak juga, aku takut kalau kau tidak akan bisa bertahan dan pingsan di tengah membersihkan apartemen. Aku tidak ingin mengambil resiko itu.” katanya, masih dengan nada menggoda tapi diucapkannya lebih serius.

“Aku akan mengambil minumanku sendiri, kau simpan saja kesopananmu pada tamu lain yang membutuhkan. Aku akan menganggap apartemenmu seperti rumahku sendiri, jangan khawatir.” Katanya lagi melanjutkan, seraya beranjak dan berjalan ke dapur untuk menuangkan minumannya sendiri setelah membongkar satu kardus berisi peralatan dapur.

Masih di sofa tempatku duduk, aku mendengus dan menggeleng geli.

Kata-kata itu seharusnya keluar dari mulutku. Memintanya untuk menganggap tempat ini seperti rumahnya sendiri sebagai bentuk sopan santun pada para tamu yang begitu dekat hubungan kekeluargaannya. Tapi memang begitulah Yang Seungho, dia tidak pernah tidak bersikap terus terang dan blak-blakkan, salah satu ciri khas yang membuatku dengan mudah bisa menaruh kenyamananku di sampingnya.

Aku tidak tau bila dia bersikap seperti ini juga dengan para gadis lainnya, bersikap begitu melindungi dan perhatian seperti seorang pria yang selalu ingin menjaga dan membuat seorang perempuan aman selama berada di sisinya. Ketika kata-katanya saat melamarku kembali menari di dalam kepalaku, saat-saat seperti inilah yang membuatku trenyuh, kembali bimbang bila aku memang perlu menerima lamaran itu.

Permasalahannya, adalah bila aku tidak tiba-tiba saja terjebak dalam dilema di antara Sanghyun dan Lauren, mungkin saat ini aku tengah mengurus pernikahanku bersama dengan Seungho.

Aku yakin, perempuan manapun di dunia ini akan menyukainya. Caranya memperlakukan seorang wanita dan selalu memastikan dia merasa senyaman mungkin tiap kali berada bersamanya, membuatnya tidak terelakkan. Andai saja kami bertemu sejak lama tanpa perantara kasus Lauren, aku tidak perlu merasa segalau ini memikirkan segalanya. Tapi meski begitu aku pun tidak bisa begitu saja melupakan bahwa bagaimanapun juga Lauren dan Sanghyun yang mempertemukan kami berdua. Seungho adalah seorang pria dan teman yang baik. Dia pantas mendapat kejelasan yang lebih baik daripada ini.

Aku beranjak dan membuka satu kardus yang Seungho taruh di samping meja TV, berisi beberapa barang pribadi untuk kamar tidurku. Kukeluarkan sebuah foto berpigura yang memperlihatkan fotoku bersama Sanghyun dan Lauren, yang kami ambil saat mengunjungi kebun binatang beberapa bulan yang lalu.

“Aku berniat untuk melamarnya nanti malam. Meski kelihatannya buru-buru, aku sudah lama ingin melakukan ini. Jadi saat ini aku hanya bisa berharap dia tidak akan terlalu syok dan menolakku nanti.”

Untuk kesekian kalinya kata-kata Sanghyun kembali terulang di dalam benakku, menghilangkan seluruh senyum yang sebelumnya menghiasi wajahku dan menggantikannya dengan bibir yang tertekuk kecewa.

Sampai kapan aku akan terus merasa seperti ini? Aku bertanya-tanya dalam hati. Meski aku bisa menduga bahwa rasa duka—kenyataan bahwa pria yang kucintai ternyata lebih memilih untuk memulai hidup barunya bersama wanita lain—ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama bersemayam di dalam dadaku, di fase awal ini saja aku sudah merasa sangat lelah.

Bagian lain dalam diriku ingin sekali bisa melupakan Sanghyun karena tidak ingin tersakiti lebih lama. Tapi apakah mungkin itu terjadi? Karena pastinya kami akan sering bertemu nanti, kecuali mereka bisa membuat Lauren melupakanku dengan cepat hingga tidak perlu lagi mencariku bila gadis kecil itu mendadak rewel di tengah malam.

Jadi, malam ini… saat mungkin aku sedang begitu sibuk membereskan apartemenku, Sanghyun akan melamar wanita itu untuk membiarkannya secara resmi menjadi ayah yang sah bagi Lauren.

Membayangkannya saja dadakku terasa begitu sesak. Aku sungguh tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi bila Seungho tidak ada di sini saat ini. Kurasa aku bisa saja menangisi kemalanganku semalaman dan mengasiani diri selama berhari-hari ke depan karena merasa tidak berguna lagi. Sungguh menyedihkan. Setelah keluargaku sendiri membuangku ke jalanan, kini Sanghyun pun tidak menatapku sama sekali setelah hari-hari penuh kenangan yang kami lewati bersama.

“Kau tahu, aku sedang bertanya-tanya sendiri, kira-kira apa yang ada di dalam kepalamu saat ini ketika menatap foto itu,”

Aku menaruh foto itu kembali ke dalam kardus dan menutupnya kembali. Seungho berdiri bersandar di tembok, menatapku tenggelam dalam lamunan. Satu alisnya terangkat, sementara kedua lengannya terlipat di depan dada sambil menatapku penuh selidik, seolah sedang mengawasi perubahan raut muka yang mungkin akan kutunjukkan bila melihat gelagatnya.

Tapi aku tidak begitu saja dengan mudahnya jatuh ke dalam perangkapnya. Itu adalah sebuah sikap yang aku yakin selalu dilancarkannya pada para kriminal di luar sana bila sedang mengintrogasi mereka. Kutegakkan kakiku dan kembali duduk di sofa, membalas tatapannya sama dalam,

“Aku sedang berpikir kenapa kau begitu baik padaku, bagaimana mungkin ada seseorang sebaik kau di dunia ini.”

“Dan sikapku membuatmu berpikir untuk menerima lamaranku, kan?” Seungho melanjutkan kata-kataku dengan tebakan versinya sendiri. Dia tersenyum lebar dan tergelak begitu menemukan kata-katanya itu begitu lucu bagi dirinya sendiri.

“Sudahlah, kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Kalau memang kita harus menikah, kita pasti akan menikah juga pada akhirnya.” Ujarnya melanjutkan kata-katanya, kemudian menegak habis air mineral di gelasnya dan melangkah untuk duduk kembali di sampingku.

“Apakah kita memang harus menikah?” kataku.

Kuberitahu kalian sesuatu, kalau ini bukanlah sebuah pertanyaan yang sengaja kutujukan pada Seungho. Tidak sengaja sebenarnya, karena aku sama sekali tidak berpikir untuk mengatakannya ketika kalimat itu terlontar. Aku mengatakannya dengan volume selirik mungkin, yang ternyata tetap saja masih terdengar jelas oleh Seungho.

Dia menekuk penggungnya, menyandarkan siku di pahanya, berpikir.

“Sebenarnya akan bagus kalau kita menikah. Tapi, aku hanya akan menikah denganmu bila kau memang benar-benar menginginkannya. Aku tidak ingin menjadi semacam rebound man yang kau gunakan untuk melupakanPark Sanghyun. Dan aku tahu kau sangat menyukainya, hingga saat ini kau bersikap begitu dramatis karena kebimbangan yang kau ciptakan sendiri.”

Mataku mengerling mendengarnya. Meski tidak bisa kukatakan itu salah, kata-kata yang Seungho ucapkan telak menusuk dadaku. Entah kenapa rasanya jadi begitu tidak adil bila mendengarnya dari mulut Seungho. Dia membacaku dengan begitu akurat seperti seorang detektif membaca tiap gerakan alam yang begitu natural dalam menganalisis dugaannya. Dalam bahasa kasar, aku benar-benar merasa ditelanjangi olehnya.

“Yang Seungho, tidakkah kau berpikir bahwa kata-katamu itu sudah keterlaluan? Kau menyebutku bersikap dramatis seolah ini persoalan yang mudah, tidakkah kau berpikir bahwa aku pun tidak ingin melakukannya?” ujarku tersinggung.

Aku tahu ini bukan sikap yang bisa dibenarkan karena kata-katanya sama sekali tidak salah. Bila aku bersedia menikah dengannya saat ini, tentu saja Seungho adalah rebound man yang kugunakan untuk menepis perasaanku pada Sanghyun, tapi apakah itu salah? Mungkin pada akhirnya nanti aku bisa belajar mencintainya bila dia berhasil membuatku melupakan Sanghyun. Ini akan menjadi sebuah win-win solution yang akan menguntungkan kami berdua pada akhirnya.

“Itu benar, tapi bila aku berhasil melakukannya. Bagaimana bila ternyata setelah bertahun-tahun kita menikah, kau masih tidak bisa melupakan laki-laki itu?” Seungho berkata lagi begitu kusampaikan padanya yang kupikirkan, dan dia kembali membuatku terdiam.

Tidak, aku tidak yakin. Mungkin perasaan ini akan memakan waktu beberapa bulan menggerogoti jiwaku, tapi aku tidak yakin hatiku serapuh itu. Pada saat seperti ini yang membuatku heran adalah Seungho yang tiba-tiba saja berubah menjadi orang yang sangat pesimis. Biasanya dia begitu percaya diri dengan kemampuannya, jadi aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti itu.

“Kau tahu kenapa aku tidak yakin bisa melakukan ini sendiri?” Dia bertanya.

Aku menggeleng. Apakah aku memang begitu jelas terlihat seperti orang yang benar-benar sedang jatuh cinta? Ini sungguh tidak terlihat seperti diriku dulu, aku yakin seharusnya aku tidak seperti ini.

“Kenapa?”

Seungho menghela napasnya dan melipat kedua lengannya di depan dada seraya bersandar di punggung sofa. Kedua matanya menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong menerawang, kemudian berdecak dan menjawab pertanyaanku.

“Karena kau tidak bisa meninggalkan Lauren.” Jawabnya kemudian. Mendengar nama itu tersebut dari bibirnya sontak membuat air mataku merebak. Naluri keibuanku seketika membuatku begitu merindukannya, padahal baru siang ini terakhir kali kami bertemu. Sekuat tenaga kutahan air mataku, kubuang wajahku menatap kosong keluar jendela dan menggigit bibirku agar teralihkan, tapi Seungho kembali melanjutkan kata-katanya.

“Kurasa aku tidak akan bersikap begitu skeptis bila yang kuhadapi hanyalah Park Sanghyun. Tapi aku tidak bisa lupa bahwa sumber dari segala kegusaranmu adalah Lauren. Hei, dia yang mempertemukan kita berdua. Dia juga yang mengikat keintimanmu bersama laki-laki itu. Kau rela melakukan apapun untuknya, jadi aku sungguh tidak yakin kau mampu meninggalkannya, karena sampai kapan pun dia akan terus mencarimu.”

Seungho merogoh ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan. Diberikannya lipatan kain itu padaku untuk menghapus air mata yang mengalir deras di pipiku. Ini lucu sekali, bagaimana mungkin pria itu bisa mengatakan segalanya begitu gamblang tanpa ada satu pemikiran pun yang meleset. Aku mengaku kalah. Yang Seungho telah menjatuhkanku telah tepat di bawah kakinya. Aku menyerah menutup diriku lagi padanya.

“Kau benar, aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya. Meski bila dia beranjak dewasa nanti, aku tidak akan membiarkannya melupakanku. Ini menyedihkan sekali,”

Air mataku mengalir semakin deras. Dalam sekejap kenangan demi kenangan yang kami lalui bersama terputar kembali di dalam kepalaku. Gadis kecil itu begitu lucu, dan menyenangkan. Sejak pertama kali Sanghyun membawanya ke hadapanku, aku jatuh cinta pada sosoknya mungil dan tatapan matanya yang haus akan kasih sayang.

Selama berbulan-bulan tertawa bersama Lauren, mengobrol dengannya, aku bermimpi untuk terus berada di sampingnya, melindunginya, seperti ibuku dulu menjagaku ketika masih sangat kecil. Kesamaan sejarah yang kami miliki menumbuhkan getaran simpati yang mendalam. Dia memanggilku mommy, dia adalah putriku.

Merasa aku akan terus menangisi Lauren agak lama, Seungho merangkul lenganku dan menyandarkan dagunya di bahuku. Dia tidak berkata apapun, membiarkanku tenggelam dalam kegalauanku sendiri, sementara lengannya semakin erat merengkuhku dalam pelukannya. Dan setelah beberapa saat terus seperti itu, Seungho melepas pelukannya dan merengkuh wajahku dengan satu tangannya yang lain, menghapus air mataku dengan jari-jarinya.

“Baiklah, lima menit cukup untuk menangis. Lebih dari itu tidak akan sehat bagi mata dan juga hatimu,” katanya, seraya menunjuk mata dan dadaku. Di saat yang sama, entah kenapa tangisku pun langsung berhenti begitu Seungho mengatakannya.

Ajaib sekali.

“Menurutmu aku harus bagaimana sekarang?” tanyaku begitu tangisku benar-benar mereda, dan aku bisa melihatnya dengan jelas tanpa terhalang air mata.

Seungho mengangkat bahunya menjawab pertanyaanku. “Entahlah, kenapa kau menanyakan hal seperti ini padaku?”

Bahuku ikut terangkat. Aku pun tidak mengerti kenapa kutanyakan hal semacam itu padanya. Seungho terlihat seperti orang yang memiliki jawaban atas segala pertanyaan, tapi sepertinya aku kembali salah dalam hal ini.

“Aku tidak berpengalaman dalam hal seperti ini. Hatimu adalah milikmu, dan hanya kau yang tau apa yang harus kau lakukannya dengannya. Sementara ini, yang bisa kau lakukan adalah kembali menata hati dan menetapkan apa yang ingin kau lakukan. Sementara itu aku akan menjadi teman yang baik, dan…” Seungho mengangkat bahunya sekali lagi. “Kita akan melanjutkannya lagi setelah makan,” ujarnya seraya beranjak dari sofa ketika kata-katanya dipotong oleh suara bel dari pintu depan. Pesanan jajangmyeon-nya sudah datang.

* * *

Aku keluar dari dalam kamar mandi setelah membersihkan tubuh dari debu dan keringat setelah membersihkan apartemen sepanjang hari. Semuanya belum selesai benar memang, tapi selain beberapa kardus berisi perlengkapan dapur dan hiasan rumah, juga koper baju yang perlu kubereskan, tidak ada lagi yang harus kucemaskan malam ini.

Seungho meninggalkan apartemen setelah mengganti lampu di kamar mandi dan memasang kitchen holder setelah makan malam, dan di saat kesendirianku ini, suasana mulai benar-benar terasa sepi.

Biasanya di saat seperti ini, aku duduk di samping tempat tidur Lauren dan menatapnya terlelap, atau mengobrol bersama Sanghyun sambil memakan kudapan atau minum bir. Hanya enam bulan, tapi rasanya seperti telah selamanya tinggal bersama mereka berdua. Hal yang telah menjadi kebiasaan seperti kala bernapas ini membuatku merasa sangat kehilangan saat-saat itu. Padahal ini baru hari pertama aku tinggal berpisah dari mereka berdua.

Sambil meminum susu hangat aku memilah koleksi CD dari dalam kardus. Kutata koleksiku itu dengan rapi di lemari kecil yang telah kusiapkan untuk menyimpan puluhan kotak kepingan musik ini. Kumainkan satu CD kidung lembut orkestra Innovators dari Kurt Bextor yang sangat kusukai dengan volume rendah, seraya menyandarkan kepalaku di punggung sofa.

Saat detik-detik berlalu membiarkanku berpikir dalam dayuan orkestra, otakku pun bekerja semakin produktif mencari sela dan juga merencanakan berbagai jalan keluar untuk menata hatiku kembali, hal-hal yang bisa kulakukan untuk mengatasi kegetiranku.

Pada akhirnya aku pun harus bisa menerima segala keputusan yang Sanghyun tetapkan untuk kehidupan kami bertiga. Dia akan kembali pada Lucida, menikah dengan wanita itu. Dan dengan begitu Lauren akan mendapatkan ibunya kembali.

Sementara aku…

Aku harus melanjutkan hidupku seperti sedia kala. Menjalani hidup normal seperti sebelum garis permainan Tuhan mempertemukan kami bertiga.

Cukup sederhana. Aku tidak perlu bersikap begitu dramatis menghadapinya, seperti yang Seungho katakan. Aku hanya perlu mengetukkan palu keputusan itu untuk meyakinkan hatiku bahwa aku telah siap melupakan mereka. Aku hanya perlu menentukan garis startnya saja, dan segalanya dimulai.

Atau setidaknya begitulah yang kupikir, karena ketika baru saja aku hendak memukulkan palu keputusan itu, ponselku bergetar. Nama Sanghyun tertera di layar ponsel.

Untuk beberapa saat aku ragu bila harus mengangkatnya atau tidak. Mengangkatnya sama saja aku telah dikelabuhi oleh kelemahanku yang tidak menginginkan untuk melupakannya. Sementara di pihak lain aku harus bersikap lebih kuat bila memang ingin berniat untuk melupakan mereka.

Tapi bila tidak kuangkat, bagaimana bila terjadi sesuatu pada Lauren? Sanghyun tidak akan menghubungiku semalam ini bila bukan tentang putrinya itu.

Angkat.

Tidak.

Angkat?

Ah, tidak. Aku tidak boleh lemah. Dia harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Bila ingin hidup tanpaku, Sanghyun harus membiasakan Lauren untuk tidak lagi mencariku tiap kali terbangun tengah malam.

Tapi bagaimana bila situasinya gawat? Bagaimana bila Lauren sakit?

Ponselku masih bergetar, bahkan ketika sempat berhenti sebentar karena panggilan tidak terjawab, benda kecil itu kembali bergetar sedetik kemudian. 

Aaaarrgghh, ini membuatku frustasi! Park Sanghyun! Berhentilah menggangguku dengan segala alibimu!

“Halo?”

Ya baiklah, aku menyerah. Sampai kapanpun kurasa aku tidak akan pernah bisa tidak mengacuhkan panggilan darinya. Ternyata aku memang tidak cukup kuat. Dan saat ini aku hanya bisa berharap dua hal; Lauren baik-baik saja dan Sanghyun tidak menelponku hanya karena ingin bercerita tentang hasil lamarannya. Karena bila memang begitu, kurasa aku bisa langsung bunuh diri setelah ini.

Yah, kenapa lama sekali? Apa yang sedang kau lakukan?” kudengar suara Sanghyun sengaja dibuat agar tampak kesal. Entah kenapa rasanya begitu menyenangkan saat mendengar suaranya, meski hanya melalui sambungan telepon. Tiba-tiba saja aku merasa sangat merindukannya.

Ini tidak benar, tapi aku tak bisa menolak perasaan itu. Sanghyun tidak pernah gagal membuatku jatuh cinta.

“Maaf, aku baru saja selesai mandi.” ujarku datar.

Hei, aku tidak sepenuhnya berbohong kan, nyatanya beberapa menit yang lalu aku memang baru selesai mandi.

“Ada apa? Lauren baik-baik saja?” tanyaku langsung pada pokok pembicaraan. Bila ini bukan tentang Lauren, aku sudah bertekad untuk langsung mematikan telepon. Kali ini aku berjanji pada diriku sendiri untuk melakukannya.

“Dia baik-baik saja. Hei, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku. Coba tengoklah keluar jendela.”

Kedua alisku bertaut. Menengok keluar jendela? Kenapa dia harus membuatku melakukan hal seperti itu malam-malam begini? Memangnya ada apa di luar jendela?

Tanpa membuang banyak waktu aku beranjak dan mematuhi kata-katanya agar aku bisa cepat mengakhiri pembicaraan ini. Kulangkahkan kakiku ke jendela paling dekat, jendela di kamar tidur, dan tak kutemui apapun di sana.

“Baiklah, aku tidak melihat apapun selain jalan masuk dan gedung apartemen sebelah, apa kau ingin aku lihat?” tanyaku seraya melongok untuk melihat sudut lain bila saja ada yang kulewatkan, tapi memang tidak ada apapun di sana.

“Ish, kau melihat di jendela yang salah. Pergi ke jendela lainnya, yang paling besar.”

Aku mendesah pelan. Kalau ternyata ini hanya intriknya saja untuk mengerjaiku, ini sungguh tidak lucu.

“Sanghyun ah, kuharap kau tidak menelponku tengah malam hanya untuk membuatku kesal karena aku bersumpah…” Kata-kataku terhenti seketika.

Dari balik jendela di bawah sana kulihat Sanghyun berdiri di tengah lapangan basket yang gelap bersama Lauren dalam gendongannya.

“Hai…”

Kulihat Sanghyun mengangkat tangannya, melambaikan ponsel yang tergenggam, dan Lauren melakukan hal yang sama. Yang saat itu membuat napasku tertahan bukanlah kehadirannya bersama Lauren di tengah kegelapan, tapi satu hal yang dilakukannya membuat air mataku kembali merebak keluar dengan cepat.

Di bawah sana, di tengah lapangan deretan gelas lilin ditata sedemikian rupa membentuk sebuah hati. Di bawahnya tertulis sebuah kalimat:

Marry Me Mom

Mwoya?” adalah satu-satunya kalimat yang berhasil terlontar keluar dari bibirku setelah beberapa saat membisu, karena terkejut dan bahagia di saat bersamaan.

Sungguh, aku tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan ini. Seperti saat pertama kali kau mengetahui bahwa kau lulus dalam ujian kalkulus yang luar biasa susahnya ketika SMA, atau ketika sebuah surat datang memberitahumu bahwa kau telah diterima di universitas dengan jurusan yang kau pilih. Semua kepuasan itu, kelegaan itu, dan debar di dadamu yang membuatmu tidak bisa berhenti bergetar entah karena apa. Semua itu terjadi padaku saat ini.

Baiklah, yang tadi itu contoh-contoh yang buruk sekali.

“Aku harus menunggu orang-orang tidur untuk melakukan ini jadi tidak akan terlihat sangat memalukan, meski aku tidak keberatan bila ada yang melihatnya.” Sanghyun berkata kemudian.

Anyway, seperti yang kukatakan padamu tadi pagi, aku ingin menikah dan melamar gadis itu malam ini. Menikah denganku, bagaimana? Aku punya putri berumur tiga tahun yang sangat memerlukan seorang ibu, dan kupikir hanya kau yang bisa melakukannya…”

Terdengar suara berisik dari seberang sana. Sepertinya Sanghyun memberikan ponselnya pada Lauren. “Lauren, katakan pada mommy yang sudah kita pelajari tadi.”

Kudengar suara gemrisik sedetik kemudian, lalu sambungan telponku berpindah memperdengarkan suara gadis mungil yang terdengar begitu manis dan hangat. Gadis itu terkikik berulang kali, kemudian menyapaku dan mengatakan hal yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku.

Hi, mommy, marry daddy, please. I love you...”

Tanpa menunggu waktu yang terbuang, kuputus sambungan telponnya dan berbalik, bergegas keluar dari apartemenku turun ke bawah. Tidak sabar menunggu elevator turun dari lantai 12, aku berjalan cepat menuruni tangga darurat dengan terburu-buru ke lantai dasar dan berlari keluar lapangan basket untuk menemui mereka.

Lauren sudah menyambutku ketika kubuka pintu kaca yang memisahkan ruang tertutup di antara Kupeluk dia segera begitu dia berlari menghampiri ketika melihat sosokku muncul dari dalam gedung apartemen.

“Kenapa Lauren belum tidur larut malam begini? Daddy yang memaksamu datang kemari?” tanyaku begitu dia mengecup kedua pipiku berulang kali dan kembali mengikik mendengarku begitu bersemangat.

“Aku membantu Daddy bermain dengan lilin. Dia bilang dengan begitu kau akan pulang.”

Tentu saja aku akan pulang. Melihatnya tersenyum begitu cerah, melihat wajahnya yang bersemu merah di tengah remang cahaya lilin, aku tidak akan pernah membuatnya kecewa. Tentu saja aku akan pulang.

Maka aku melangkah menghampiri Sanghyun yang masih berdiri di tempatnya semula, menatapku dengan senyum lebar.

“Setelah jauh-jauh dari Jonggak menemuimu hingga kemari, menyusun semua lilin ini bahkan dengan Lauren ikut datang ke sini, kau pasti akan berkata iya, kan?” Ujarnya menggodaku.

Aku benci harus mengatakannya, tapi dia sungguh membuatku jatuh cinta.

“Terserah kau lah.”

Sanghyun tertawa pelan dan menghela napas lega seraya menggumamkan kata terima kasihnya. Lalu dia menarikku ke dalam dekapannya, melingkarkan tangannya di sisi kepala Lauren, menutup kedua mata gadis mungil itu dan menciumku di bibir setelah memastikan Lauren tidak akan melihatnya.

Maka dengan ini aku telah memutuskan. Berbeda dengan keraguan yang sempat berkecamuk di dalam kepalaku tentang bagaimana aku harus melupakan dua orang yang sangat berarti bagiku, akhirnya aku tahu apa yang seharusnya kulakukan.

Aku memutuskan untuk kembali pada mereka, dan melanjutkan kisah yang telah kami rangkai secara utuh.

Kurasa ini adalah skenario paling sempurna yang akan pernah terjadi dalam kehidupanku, dan aku tidak membutuhkan apapun lagi selain mereka.

Daddy, aku ingin lihat.”

Kami berdua saling menarik diri dan tertawa geli melihat Lauren meronta melepaskan tangan Sanghyun menutupi kedua matanya. Kami memang seharusnya tidak melakukan ini, Lauren masih terlalu kecil untuk bisa memahami keintiman orang dewasa yang tidak pernah dia lihat dalam serial Pororo atau Teletubbies. Tapi sepertinya Sanghyun sama sekali tidak peduli dengan hal itu, ketika dia menarik Lauren dari pelukanku dan menurunkannya agar berdiri di kakinya sendiri.

“Lauren, jangan pernah mencoba hal ini sebelum kau dewasa ya, Dad akan mencium mommy dan kau tidak boleh melihatnya,” ujarnya pada gadis itu. Lauren meracau tidak jelas bertanya tentang berbagai alasan kenapa ini dan kenapa itu. Tapi Sanghyun tidak mengacuhkannya.

“Hei, bagaimana mungkin kau mengatakan hal seperti itu padanya? Dia masih kecil…”

Sanghyun memotong kalimatku saat dia menarikku dalam rengkuhannya dan kembali mencium bibirku, sama sekali tidak mengacuhkan Lauren yang masih meracau meminta perhatian karena kami benar-benar melupakannya. Setidaknya selama beberapa detik ini.

“I am so not gonna see that.” Lauren mengomel, menutup kedua matanya.

“Good.”

.

.

.

* * *

 

===========================================

jadi, sebenarnya ini stok lama. Udah pernah publish di blog sebelah juga dengan judul Intuition. Some of you mungkin pernah baca, tapi emang karakter si Sanghyun ini dulunya berbeda.

Dan cerita ini nggak ada hubungannya sama Lauren’s Diary. Aku lagi so into this cute little girl, jadinya kupublish ulang setelah kuperbaiki tulisan jadulku yang amburadul dulu itu, hehehehe…. oneshot ini adalah salah satu dari ff favoritku, kuharap kamu suka. :D

Pertanyaan seputar cerita bisa ditanyakan di kotak komentar.

So, what do you think?

p.s.

credit image by lomography.com


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Lauren Lunde, Park Sanghyun, Yang Seungho

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles