Trust
~*~
“Nona Gong yang akan mengadiri press conference dan pesta pembukaan Resort Haesang Group di Jeju..”
Suasana menjadi semakin sunyi ketika Tuan Park—ketua direksi surat kabar terkenal—menyatakan kalimat tersebut di hadapan tiga orang wartawan di hadapannya. Tuan Park sengaja mengatakan kalimat itu diakhir tugas-tugas yang ia berikan kepada ketiganya. Gong Minji adalah salah satu dari ketiga orang itu.
Gadis berambut pendek itu sama sekali tidak terkejut dengan pernyataan atasannya tersebut. Ia dan ketiga orang yang ada di ruangan tuan Park adalah wartawan terbaik dari surat kabar mereka. Dan Minji tahu konsekuensi apa yang akan ia dapat setelah pernyataan tersebut. Komentar protes pasti akan di tujukan untuknya.
“Bagaimana bisa?” Mirae, satu-satunya orang yang sudah di tebak oleh Minji. Raut wajah gadis itu mengeras dan alisnya saling bertautan. Oh, tak lupa pula matanya melotot seperti ingin keluar dari kelopaknya. Minji memperhatikan gadis itu namun ia masih bisa menahan diri untuk tidak berdebat dengan cara yang kekanakan. “Dia baru beberapa bulan bekerja di sini, bagaimana bisa tuan memberikan tugas seperti itu padanya?”
Tuan Park menyandarkan tubuhnya di kursi hitamnya. Lelaki berusia setengah abad itu mengetuk-ketukan jarinya di atas meja sambil memperhatikan perawakan Minji. “Pengalaman tak begitu penting di bandingkan hasil yang kongkret. Jika Nona Gong bisa memberikan hasil yang baik meski dengan pengalaman yang sedikit, ku rasa itu seimbang.”
“Tapi Pak, ini adalah acara yang cukup besar. Akan banyak tamu penting yang akan hadir. Bahkan presiden juga akan menghadiri acara tersebut. Bapak tidak bisa mengutus dia sendirian dengan pengalamannya yang minim.“ Mirae kembali membeo dan meyakinkan Tuan Park untuk berada di pihaknya.
Suasana semakin memanas dan kembali hening ketika Tuan Park masih menutup mulutnya. Jisung—satu-satunya wartawan pria diantara mereka—juga tidak ingin ikut campur dengan perdebatan itu dan ia tak begitu keberatan dengan keputusan atasannya. Sementara Minji masih terdiam dan membiarkan gadis itu berkomentar sesukanya. Minji bukannya tidak ingin melawan kata-kata gadis itu, dia hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan lawannya. Strategi perang yang baik adalah warisan dari sifat ibunya.
“Baiklah, kalau Nona Gong tidak berkeberatan, kau boleh ikut bersamanya.” Ucap Tuan Park setelah menghembuskan napas panjang.
“Apa? Tapi Tuan—”
“Weakness of attitude becomes weakness of character.” Minji mulai membuka suara dengan kalimat sarkasme. Ia memindahkan pandangannya kearah Mirae. Dalam hati Minji tersenyum melihat ekspresi gadis di sebelahnya. “Albert Einstein.”
Semua orang yang berada di ruangan itu menaruh perhatian mereka penuh pada Minji dan Mirae. Mirae tidak bisa berkata-kata. Mulutnya buka-tutup seperti ikan yang kehabisan napas. Matanya juga membesar seperti sedang mengeluarkan sinar X. Aura pertarungan sepertinya di rasakan dari kedua belah pihak. Bukannya memperbaiki suasana, Tuan Park justru tersenyum mendengar perkataan Minji. Ia tahu kalau wartawannya yang satu itu memang istimewa.
“Apa maksudmu?” Mirae menatap Minji seperti seorang yang kebakaran jenggot.
“Maaf tuan, saya tidak bisa mempercayai orang yang juga tidak mempercayai saya.” Lanjut Minji dengan mantap. Gadis itu menatap atasannya dengan tatapan yang berbeda. Ia mengatakan kalimat tersebut dengan menahan sesuatu yang mengganjal di benaknya seperti sebuah lem yang sudah mengeras. Minji bukanlah orang yang suka menginvestasikan kepercayaannya kepada sembarangan orang, termasuk orang-orang yang sudah seharusnya ia percaya.
“Saya kira kalimat Nona Gong barusan sudah menjawab pertanyaan saya. Jika semua sudah di sepakati, kalian boleh pergi.” Tuan Park mengakhiri pertemuan mereka dengan senyum bijaksananya.
Minji bergerak pergi dari ruangan Tuan Park dengan senyum puas. Selalu seperti itu jika ia berhasil mengalahkan lawannya. Seperti yang sedang di pikirkan oleh Tuan Park—atau orang-orang di sekelilingnya—Minji adalah sosok yang berbeda. Ia mempunyai aura tersendiri. Dia sangat pandai berperang dalam hal apapun, dan kebijaksanaannya dalam memutuskan tak pernah di ragukan oleh orang lain.
“Good Job, my girl!” Langkah gadis itu melambat ketika seorang lelaki—yang memiliki tinggi sepertinya—merangkul pundaknya. “Setelah berhasil mendapat berita tentang kerusuhan itu, kau akhirnya di tugaskan ke Jeju. Oh tunggu, bukan itu headlinenya. Kudengar kau bahkan bisa melawan ratu iblis itu. Wow bagaimana kau bisa melakukannya?”
“Cukup dengan magic.” Minji tersenyum dan merangkul balik sahabatnya itu. Gadis itu semakin memperlambat langkahnya seakan sedang menimbang sesuatu. “Jiyong-a, apa kau mau ikut denganku?”
“Apa? Ke Jeju?” Langkah lelaki itu berhenti dan kedua matanya melebar menatap Minji yang sedang mengangguk mantap. “Wow, satu kejutan lagi. Seorang Gong Minji akhirnya mempercayaiku untuk ikut dengannya. Apa kau sedang sakit?”
Minji tertawa sambil menggeleng ketika Jiyong menaruh punggung tangannya di keningnya. Ia mencubit lengan sahabatnya itu sampai lelaki itu meringis kesakitan. Ia memperhatikan Jiyong dengan serius. Sejujurnya ia tak tahu mengapa secara perlahan ia membuka pintu kepercayaannya kepada seseorang.
“Baiklah, Jika itu permintaan pertamamu semenjak perkenalan pertama kita, aku akan ikut denganmu. Tapi jangan mengeluh jika aku sangat merepotkan.” Kata Jiyong sambil menunjukan barisan gigi rapinya kearah gadis yang ada di sebelahnya. “Namun ada satu pertanyaan yang mengganjal di benakku.”
Jiyong menghentikan kalimatnya ketika langkah mereka juga berhenti di depan sebuah lift. Minji menatap Jiyong dan menunggu kalimat selanjutnya.
“Apa sebenarnya kau adalah seorang Demigod[1]?” Jiyong mengeluarkan pertanyaan itu dengan raut wajah serius. Kedua alisnya terangkat dan saling bertaut. Lelaki itu menghitung untuk mendengar jawaban dari Minji. Ketika tak ada satu katapun keluar dari mulut gadis itu, Jiyong akhirnya tertawa sendiri.“Wajahmu terlihat lucu! Tentu saja kau manusia normal, kan? Aku hanya sedang menebak mengapa kau punya aura yang luar biasa.”
Minji terdiam dan tak ikut tertawa mendengar kalimat Jiyong. Ia menghembuskan napas berat ketika pintu lift mulai terbuka. Untuk saat ini kakinya terasa berat untuk di angkat. Ia sedang memikirkan kata-kata lelaki itu. Gadis itu memejamkan matanya dan merasakan jantungnya mulai berdetak tak normal.
Kau benar, aku seorang Demigod.
~*~
Pergilah ke Troya, dan selamatkan aku. Akan ada perang di sana..
Minji menutup kedua daun telinganya ketika mendengar suara itu lagi. Ia sudah mendengar suara itu ratusan atau mungkin ribuan kali. Ia tak mau mempercayai tiap kata yang di ucapkan oleh suara itu. Sudah cukup baginya hidup sebagai manusia setengah dewi.
Ia hanya ingin hidup normal dan mandiri tanpa ingin memberi kepercayaan pada siapapun—termasuk ibunya. Namun tangan mungil miliknya berhenti menulis ketika suara dan kalimat yang sama muncul lagi. Satu kata dalam kalimat itu cukup menarik perhatiannya dan membuat sebuah pertanyaan singkat dalam benaknya.
Suara itu berasal dari ibunya—Athena[2]. Entah apa yang sedang terjadi pada ibu kandungnya itu, namun Minji merasakan ada sesuatu yang ganjil menggerogoti hatinya. Sejak ia tahu kalau dirinya adalah seorang Demigod, Minji tak merasa cukup senang. Saat itu usianya tiga belas tahun, Athena datang ke panti asuhannya dalam wujud wanita cantik dan perkasa. Saat itu Minji tak mengetahui siapakah Athena sebenarnya, namun akhirnya ia mengerti kalau Athena adalah ibunya yang sekaligus seorang Dewi Yunani.
Athena menyuruh Minji untuk pergi ke perkemahan Demigod yang berada di Yunani. Dewi itu berkata kalau posisi hidup Minji akan di rundung bahaya karena para Monster yang akan mencarinya. Para monster tersebut ingin menghancurkan para Demigod yang belum siap untuk bertarung. Meski sedikit ragu dan tak menyukai ide Athena, akhirnya Minji terpaksa menuruti permintaan ibunya.
Sampai akhirnya ia tak betah berada di sana. Berada di tempat asing dan di penuhi orang-orang yang tak menyukainya adalah hal yang sangat ia benci. Ia masih ingin menggapai mimpinya diluar sana. Ia tak ingin hidup hanya untuk membantu para Dewa-Dewi dalam menyelamatkan Olympus. Ia ingin hidup normal meski sesungguhnya ia tetap bukan manusia normal.
Setelah melakukan banyak perdebatan hebat di tengah perkemahan Demigod, akhirnya beberapa guru memperbolehkannya keluar dari perkemahan tersebut. Meski Athena sempat menyayangkan keputusannya, namun Athena tak bisa berbuat banyak. Sang Dewi memperbolehkan Minji untuk kembali ke tempat kelahirannya—Korea.
Minji menjatuhkan pena di atas buku agenda yang sedang ia tulis. Ia menyandarkan punggungnya di bangku sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mencari memori tentang masa lalu membuat kepalanya pening seketika. Namun, ketika ia membuka matanya kembali, tiba-tiba ia melihat sebuah cahaya yang berasal dari tasnya. Rasa penasaran tiba-tiba saja menggelayutinya. Minji memajukan posisi duduknya dan membuka laci tersebut. Matanya memicing ketika tangan kanannya mengangkat sebuah apel bercahaya emas.
Gadis itu terdiam ketika mengingat siapa pemberi apel itu. Hera[3] memberikan apel itu kepadanya beberapa minggu lalu. Sampai saat ini Minji tidak pernah tahu mengapa Hera menyerahkan apel itu padanya. Sesekali Minji ingin mencicipi apel tersebut, namun sesuatu tentang larangan membuatnya tidak jadi memakan apel tersebut.
“Minji-ya, kau sudah siap? Acaranya akan segera dimulai.”
Suara ketukan pintu dan panggilan Jiyong cukup membuat Minji terkejut. Gadis itu beranjak dari bangkunya dan mulai mempersiapkan diri. Ia merapikan rambut dengan cepat, dan memakai sepatu kesayangannya dengan kecepatan yang sama. Sekarang bukan saatnya memikirkan hal yang tak pasti. Sebuah pekerjaan yang sudah ia nantikan sedang berada di depan wajahnya.
~*~
Minji tak pernah menyangka kalau acara peresmian yang sangat mewah itu akan menjadi sebuah acara yang sangat kacau. Semua orang berlarian tak tentu arah dan mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka seakan tak mempedulikan situasi dan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Yang mereka inginkan adalah menyelamatkan diri sendiri.
Pecahan kaca, gelas, lampu hias, dan jendela berserakan di lantai. Meja-meja yang sebelumnya berisi makanan enak dan berkelas menjadi porak poranda. Minji terus memutar otak untuk memperbaiki semuanya. Gadis itu memandang sekelilingnya dan mencoba mencari Jiyong yang tiba-tiba saja menghilang.
“Dimana Gong Minji!!”
Suara besar itu kembali ia dengar. Seorang Gorgon raksasa berukuran dua puluh kaki kembali menghancurkan apapun yang ia lihat di hadapannya. Gorgon itu mengibaskan tangannya ketika beberapa orang mulai mendekat dan mencoba melawannya. Minji tahu kalau dirinya yang di inginkan oleh raksasa berambut ular itu. Yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah; mengapa seorang Gorgon mencarinya?
Sejak keluar dari perkemahan Demigod, ia tidak pernah lagi berurusan dengan Monster. Ia selalu ingin menghindar dan tak mau ikut campur dalam peperangan. Keahliannya dalam bertarung juga sudah mulai menumpul. Namun sekarang ia harus berhadapan dengan monster itu dan menghabisinya. Ia seorang anak Athena, dan sudah sepatutnya ia bisa menggunakan warisan sifat ibunya di saat-saat seperti ini.
Minji mempersiapkan diri dan mulai mengambil sebuah belati—yang bisa berubah menjadi pedang—di sakunya. Gadis itu mulai bergerak dan keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan kepercayaan diri yang sudah penuh, gadis itu berjalan mendekati sang Gorgon.
“Oh! Gong Minji!” Monster itu berseru senang seakan sudah mendapatkan mainan yang ia cari ketika melihat Minji di hadapannya. Sang Gorgon tertawa senang hingga membuat sakit telinga siapapun yang mendengarnya. “Lama tak berjumpa.”
“Apa yang kau inginkan?”
Gorgon itu melepaskan beberapa petugas polisi yang sedang di genggamnya. Lagi-lagi Gorgon itu tertawa dan mulai menangkap Minji. Namun sayang, usahanya gagal karena Minji berhasil menyelamatkan diri. “Kau sudah dewasa ternyata. Dahulu kita bertarung ketika tinggimu masih sama seperti jari kelingkingku.”
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?!” Minji mulai berseru kencang ketika sang Gorgon tak mempedulikan pertanyaannya.
“Baiklah, kau tidak sabaran sekali.” Monster itu mulai menyeringai dan mencoba menangkap Minji lagi. “Serahkan Apel Emas itu padaku!”
“Apa?” Tanpa di sadari, Minji mulai memegang tasnya lebih erat dari sebelumnya. Ia tak tahu betapa berharganya apel itu. Tapi yang ia tahu pasti, apel itu mungkin terlalu berharga untuk di pegang oleh Monster itu.
Tanpa aba-aba, Minji mulai melangkah dan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ia mulai menyerang sang Gorgon meski ia tahu tubuhnya tak sebanding dengan Monster itu. Beberapa kali Minji melompat dan menusuk Gorgon itu, tapi usahanya sia-sia. Gadis itu terlempar kebelakang dan menabrak tembok. Minji merasa tulang belakangnya akan hancur jika saja Gorgon itu melemparnya lebih jauh. Ketika ia membuka mata, sudah tak terlihat orang-orang di ruangan yang tak beratap itu. Semua yang mencoba melawan sang Monster sudah tergeletak di lantai dan beberapa terhempas ke luar.
Minji mulai bangkit lagi, namun di saat bersamaan, seseorang memanggil namanya.
“Minji!!”
Jiyong menghampirinya sambil membawa sebuah pedang yang tak berbeda dengan miliknya. Kehadiran Jiyong secara tiba-tiba dengan pedang—yang serupa dengannya—tentu saja memunculkan beberapa pertanyaan di kepalanya. Tapi untuk sekarang, Minji akan menyimpan pertanyaan itu jika ia masih bisa bertahan hidup.
“Minji, kau tidak apa-apa?” Jiyong berkata sambil membantu Minji berdiri. Jiyong mulai menatap geram kearah Gorgon. “Ini harus di akhiri!”
Tanpa membuang banyak waktu, mereka mulai mengangkat pedang mereka dan berlari menghampiri sang Gorgon. Mereka melompat dan menusuk tangan sang Monster dengan kekuatan mereka. Tapi Minji mulai terhempas kembali ke lantai.
“Menarik, dua Demigod sedang melawanku kali ini.” Gorgon itu kembali bersuara di barengi tawanya yang kencang.
“Demigod?” Minji mulai bergumam dan menatap Jiyong yang sudah berlari dan terbang menggunakan gumpalan angin yang berada di bawah kakinya. Kedua mata Minji tak berkedip melihat pertarungan sahabatnya dengan sang Monster.
Beberapa gumpalan angin yang di bentuk Jiyong mulai menghantam Gorgon itu. Gorgon itu mulai geram, ia mencoba mengendalikan diri dan melawan sebisanya. Tanpa ia sadari, Jiyong sudah berada di puncak kepalanya sambil mengangkat pedang. Dengan satu hentakan, Jiyong menusukan pedangnya tepat di atas kepala sang Monster. Dalam hitungan beberapa detik, sang Monster berubah menjadi butiran abu.
Mata Minji masih tak berkedip. Ia menyaksikan hancurnya Monster itu di tangan Jiyong. Sebelumnya ia pernah melakukan hal yang sama, namun ia tak pernah menggunakan gumpalan angin untuk membantunya. Minji menghembuskan napas lega. Perasaan lega sekaligus bingung kini memenuhi benaknya.
~*~
“Kau…. bagaimana bisa? Apakah kau—“
“Demigod. Putra Zeus.”
Minji masih terkejut dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Matanya membulat diikuti mulutnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Bukan hanya karena kehadiran Gorgon itu, tapi juga karena kekuatan yang berada pada Jiyong. Ia sama sekali tak menyangka kalau Jiyong bisa menyelamatkannya. Dan yang masih tak pernah ia percaya, Jiyong adalah putra Zeus, dewa langit.
Selama ini Minji menganggap kalau Jiyong adalah manusia biasa. Jiyong juga tak pernah menunjukan tanda-tanda kalau dirinya adalah seorang Demigod. Minji cukup kecewa karena lelaki itu tak menceritakannya padanya. Meski sebenarnya ia juga melakukan hal yang sama seperti lelaki itu.
“Kau juga tidak pernah bercerita kalau kau putri Athena.” Jiyong tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya sambil merangkul pundak Minji. “Sudahlah, yang penting kita impas.”
Minji menatap sahabatnya yang kini sedang terkapar di lantai resort yang telah hancur. Ia yakin jika pemilik resort ini tahu kalau ia yang membuat Gorgon ke sini, ia akan di tuntut. Namun ia tak peduli selama tak ada yang tahu mengenai hal ini. Minji sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia benar-benar berterima kasih kepada orang di sampingnya itu.
“Omong-omong, kau pernah datang ke perkemahan Demigod? Aku tak pernah melihatmu.” Minji ikut berbaring di sebelah Jiyong.
“Aku pernah melihatmu.” Jiyong berkata setengah bergumam sambil tersenyum. Kini kepalanya menengok kearah Minji. “Kau tidak pernah bergaul di sana, kan? Tapi aku selalu memperhatikanmu. Ketika kau pergi dari sana, secara diam-diam aku mengikutimu.”
Minji masih terdiam dan mendengar pengakuan Jiyong. Sebuah fakta baru kini mencuat kembali. Minji kembali mengingat masa dimana ia berada di perkemahan Demigod, namun ia tak berhasil menemukan Jiyong di ingatannya. Kalau saja dahulu ia bisa mempunyai pergaulan yang lebih luas di sana, mungkin ia bisa mengenali Jiyong.
“Apa yang Gorgon itu inginkan?” Jiyong kembali bertanya pada poin yang tepat.
Tatapan Jiyong tertuju penuh padanya. Minji menyadari kalau ia penyebab semuanya terjadi. Ia merogoh tas yang sejak tadi berada di punggungnya. Sebuah apel emas, ia keluarkan dari dalam tas tersebut.
“Wow!” Jiyong berseru kencang melihat sesuatu yang di keluarkan Minji. Tapi Minji tak mengerti mengapa lelaki itu berseru seperti itu. “Ini adalah apel yang sedang di perebutkan oleh Athena, Aphrodite[4] dan Hera. Ku yakin Medusa menyuruh adiknya—si Gorgon besar itu—karena ia ingin apel itu untuk mengubah dirinya menjadi cantik seperti dahulu. Gara-gara Apel itu, sekarang perang Troya sedang terjadi. Bagaimana kau mendapatkannya?”
Minji sempat terdiam sejenak dan mempertimbangkan sesuatu. Beberapa suara yang selama ini ia dengar ternyata benar-benar berasal dari ibunya. Dan ternyata ibunya memang sedang meminta bantuannya. Ia menarik napas dalam dan mulai membuka mulutnya. “Hera yang memberikannya padaku.”
Jiyong mengangguk paham. Ia menepuk pundak Minji dengan pelan—merasa simpati. “Jadi Hera ingin mengadu domba Athena dan Aphrodite. Dia sengaja memberikan apel itu padamu agar ia yang bisa mendapatkan apel itu seutuhnya.”
Menurut cerita yang di lanjutkan oleh Jiyong, saat apel emas itu hilang, para dewa-dewi sedang berada di pesta pernikahan di Troya. Saat itu Eris[5] datang dan melempar apel emas karena ia tak boleh masuk kedalam pesta. Aphrodite, Athena, dan Hera yang melihat apel itu terlebih dahulu dan saling berselisih. Zeus sudah memilih kalau Aphrodite yang berhak mendapatkan apel itu karena kecantikannya.
Namun sepertinya Hera merasa geram dan tak terima. Hera sengaja menitipkan apel itu pada Minji agar Aphrodite dan Athena bertengkar dan menimbulkan kekacauan. Jika Minji tak mengambilkan apel tersebut, perang masih berlangsung di Troya dan mungkin Hera akan mengambil apel itu dari Minji.
Minji masih terdiam mendengarkan penjelasan Jiyong. Semua perkataan lelaki itu memang masuk akal, terlebih lagi mereka sudah tahu sifat asli Hera. Hera akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Untuk sesaat Minji mengutuk dirinya karena telah menerima apel itu.
“Tapi, bagaimana kau bisa tahu semua cerita itu?” Minji menatap Jiyong penasaran.
Lelaki yang di tanya malah tersenyum lebar dan menampilkan deretan gigi rapihnya. “Kau tahu kan kalau ayahku adalah Zeus—dewa paling berkuasa?”
“Ayahmu yang memberitahumu?” Minji membulatkan mata dan menerima anggukan kepala dari Jiyong. Seharusnya ia tak heran mengapa Jiyong mendapat semua informasi tersebut. Zeus pasti membisikan suara-suaranya pada Jiyong—seperti yang di lakukan ibunya.
“Sekarang yang harus kita lakukan adalah mengembalikan apel itu. Ayo kita pergi!” Jiyong kembali membuka pembicaraan. Meski sesungguhnya ia tak begitu paham dengan apa yang terjadi, namun ia tetap semangat untuk membantu. Lelaki itu menggandeng lengan Minji, namun Minji masih tak bergerak dari posisinya. “Kenapa? Apa kau ingin pergi sendiri? Minji, ayolah, kau tidak bisa ke sana sendirian.”
“Aku..” Minji mulai berkata dengan suara kecil nyaris berbisik. Gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Ia tidak ingin melibatkan Jiyong itu dalam urusan ini. Namun sisi lain dari dirinya ingin mengajak dan membutuhkannya. Bukan, kali ingin bukan karena ia tak mempercayai kemampuan Jiyong, tapi ia tak ingin berhutang budi lagi. Ia menghembuskan napas berat sambil meyakini dirinya. Suara permohonan yang berasal dari Jiyong kembali terdengar di gendang telinganya. “Baiklah, ayo pergi..”
~Tamat~
[1] Demigod = Manusia setengah dewa atau bisa di sebut dengan anak dewa yang menikah dengan manusia.
[2] Athena = Dewi perang, pelindung dan kebijaksanaan.
[3] Hera = istri Zeus, dewi perkawinan dan kekuasaan
[4] Aphridite = Dewi cinta, kecantikan, dan seksualitas
[5] Eris = Dewi perselisihan
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Gong Minji, Kwon Jiyong
