Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Unspoken

$
0
0

large

Unspoken by theboleroo

.

Kedua alis Cass berjinjit cukup tinggi saat mendapati Taehyung duduk di sampingnya. Lelaki itu menatapnya malas, rahangnya bergerak naik-turun seperti mengunyah sesuatu—oh—ada bungkus cheese stick di tangan kirinya, Cass hanya mengangguk samar saat menemukan kotak itu ada di sana.

“Ada apa?” tanya Cass sebelum mengalihkan pandangan dengan tak rela dari wajah Taehyung, membiarkan sepasang matanya kembali berdalih melahap kata demi kata yang tercetak di lembaran novel Eleanor and Park.

“Tentu saja menemuimu,” sahut Taehyung cuek.

“Untuk?”

“Kau tahu jawabannya.”

“Ayolah, aku bukan cenayang.”

Lelaki itu tertawa kering, menyelesaikan kunyahannya yang mungkin bukan yang terakhir sebelum berkata, “Selama menyangkut isi kepalaku, tentu saja kau adalah seorang cenayang hebat. Mmm, baiklah, sebenarnya aku bosan harus mengatakan ini tapi—yah—rasanya aneh kalau sehari saja tak melihatmu berkeliaran di sekitarku.”

Buyar.

Sekonyong-konyong Cass tak ingat isi cerita yang tengah dibacanya kendati sudah mencapai tiga per empat bagian dari totalkeseluruhan. Siapa Eleanor? Siapa Park? Apa yang terjadi di antara mereka?

Ya, sejatinya ia bukanlah individu yang senang bereaksi berlebihan sejak sebelum bertemu dengan lelaki itu.

Well, Kim Taehyung adalah seorang yang payah dalam menyuarakan pikiran dan perasaannya, paling tidak itu menurut Cass. Ia lebih suka menulikan kedua telinga saat Taehyung melakukannya, entah mengapa. Bagi Cass, tatapan lelaki itu sudah lebih dari sekadar cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi di antara mereka, terdengar naif memang, tapi persetanlah toh ia tak punya banyak waktu untuk mempedulikan hal semacam itu.

“Berisik, aku sedang membaca.”

Nada bicara Cass boleh saja terkesan menyebalkan, namun Taehyung tak berminat menghiraukan lantaran ia tahu benar jika itu hanyalah kedok atas rasa gengsinya. Ugh, tipikal Cass sekali.

“Tadi aku ke perpustakaan, tapi ternyata kau di sini.”

“Oh. Mmm—yah—mumpung taman tidak ramai, makanya aku datang kemari.”

“Masih ada kuliah?”

Cass melirik arloji bertali kulitnya sekilas. “Masih, sekitar satu jam lagi.”

Taehyung tersenyum, memasukan bungkus cheese stick-nya yang tersisa setengah ke dalam totebag berwarna off-white milik Cass. “Kita pergi nonton.”

Sejurus gadis itu menoleh, mimiknya jelas mengindikasikan bahwa ia akan melakukan aksi protes. “Tapi—“

“—kalau pun kau menolak, aku tahu itu karena terpaksa.”

.

Saat semua berlangsung, entah mengapa Cass berpikir bahwa itu normal-normal saja. Sepanjang pemutaran film, lelaki itu menyandarkan kepala di bahunya. Setelah selesai, ia beranjak lebih dulu lantas mengulurkan tangan, menawarkan sebuah tautan jemari yang terlampau hangat di sepanjang langkahnya menuruni undakan demi undakan tangga berkarpet merah.

Ini bukan kali pertama, namun entah mengapa Cass merasa jika ini sedikit berbeda.

Langit hitam New York begitu bersih, tak ada bintang yang bermain dengan kerlipnya di atas sana. Taehyung bertanya ke mana bintang-bintang itu pergi dan—seperti biasa—Cass hanya menjawabnya dengan kombinasi gelengan kepala dan rasa tak peduli.

Catat, Cass baru akan peduli jika Taehyung yang pergi, dan itu adalah sebuah rahasia yang selamanya takkan pernah ia bagi.

“Happy Meal, aku tahu kau pasti akan memesan itu,” kata Taehyung sambil tertawa.

“Apa yang kau tak tahu tentangku?”

Bibir lelaki itu mengerucut. “Banyak.”

“Sebutkan.”

“Jalan pikiranmu, jalan pikiranmu, jalan pikiranmu, jalan pikiranmu, dan jalan pikiranmu.”

Rambut hitam Cass berkelepar ditiup angin malam, mata kecokelatannya menatap potret nyata Taehyung dari samping kanan. “Tapi kau suka tantangan, kenapa tidak dimanfaatkan?”

Kedua bahu Taehyung terangkat, ada kekehan ringan yang sekilas terdengar. “Inilah yang membuatku sebal, Cass. Pikiranmu memang membuatku tertantang tapi di saat bersamaan pula jati diriku seakan hilang—aku mendadak benci tantangan. Secara keseluruhan kau sudah terkesan menyulitkan bagiku, dan jalan pikiranmu memperumit segalanya,” katanya ringan sambil mendorong pintu kaca.

Well, Cass adalah seorang penggila McDonald. Ia menyukai eskrimnya, ia menyukai cheese burger-nya, dan ia menyukai paket Happy Meal yang tersedia di sana melebihi apa pun. Ini adalah sisi yang kontradiktif dari sosok Cass yang dingin, dan bagi Taehyung itu adalah hal yang sangat menarik.

“Cass.”

“Ya?”

Taehyung mencondongkan tubuh sambil mengunyah french fries. “Ada berapa banyak hal penting yang enggan kau katakan padaku?”

Sejurus iris mereka bertemu, saat itu pula Cass membenci dirinya yang terlalu payah bersikap jujur pada diri sendiri. “Tidak banyak.”

Taehyung mendesah bosan, ia menarik diri—bersandar pada punggung kursi berwarna kuning yang ia duduki. “Mmm, aku juga punya satu hal penting yang ingin kukatakan padamu, tapi aku ragu apa kau ingin mengetahuinya atau tidak.”

“Memang tidak.”

Bohong.

“Oke, tidak apa-apa.”

Taehyung selalu menjadi sosok yang lain begitu berada di samping gadis itu, ia akan menjadi sedikit tenang dan terarah—seolah mengimbangi karakter Cass yang bisa dikatakan cukup pendiam dan tak banyak bicara. Teman-temannya tak menyukai perubahan itu, ke mana perginya sosok Taehyung yang atraktif dan bahkan tak jarang cenderung memalukan? Entahlah.

Saat di lift, lelaki itu membiarkan sepasang matanya menatap pantulan sosok Cass di pintu besi, empat jam lagi hari akan berganti, dan ia tak tahu apa yang akan hadir di benak gadis itu saat tahu jika ia akan pergi.

Ini serius.

“Terima kasih,” kata Cass. “Hati-hati di jalan.”

Gadis itu hendak berbalik, bersiap memasuki apartemen dengan emblem angka 29 yang tersemat di daun pintu. Namun, dengan cepat Taehyung menahan dengan cara menggenggam pergelangan tangan kirinya. “Cass.”

“Ya?”

“Boleh menagih sesuatu?”

Bahkan, saat mengajukan pertanyaan lelaki itu seolah enggan melepaskan genggamannya. Cass mengangguk, rautnya sekonyong-konyong sendu.

“Hei, kenapa wajahmu jadi sedih begitu?” Taehyung tertawa kecil; Cass langsung menunduk.

Gadis itu merasa jika akan ada sesuatu yang tak beres menimpanya. Ada rasa takut yang menggodanya dengan leluasa, ada kekhawatiran yang membelai jiwanya dengan serta-merta. Ia kehilangan klu untuk menerjemahkan segalanya dan yang lebih menyebalkan adalah ia tak memiliki nyali untuk bertanya langsung kepada Taehyung.

“Tidak kenapa-kenapa,” kata Cass, tersenyum.

“Katakan satu hal paling penting yang harus kutahu.”

Bumi seolah berhenti berotasi, waktu seakan terhenti. Pandangan mereka melebur menjadi satu, menciptakan atmosfer tak menyenangkan yang demi Tuhan tak mereka suka. Bibir Cass terasa kelu, sementara tatapan Taehyung menajam dan melembut secara bersamaan.

Sejatinya, lelaki itu tak pernah suka membuat aturan sendiri, ia lebih suka mengikuti aturan yang sudah ada. Suka atau tidak, mudah atau sulit, Taehyung tak pernah peduli. Seperti halnya sekarang; ketika Cass mengambil alih semua, ketika Cass menaruh keambiguan di setiap kondisi, Taehyung dengan senang hati tetap mengikutinya—membiarkan rasa bingungnya berkubang semakin dalam di sana dari waktu ke waktu.

“Aku suka matamu.” Cass merasa bodoh, karena… tentu saja bukan itu yang ingin dikatakannya.

.

Karena ada satu dan dua hal, hari ini Cass memutuskan untuk tidak pergi kuliah. Seharian ia berdiam diri di kamar, mendengarkan semua lagu milik Alice Boman yang belakangan telah menebarkan aroma aneh di setiap penjuru kamar.

Cass bergelung di atas tempat tidur, masih memakai piyama biru bermotif bintang kesayangannya. Sepasang matanya menatap lurus ke arah jendela yang terbuka dan menampilkan langit terang lantaran matahari sudah meninggi dengan sempurna.

Ponselnya ditaruh di samping bantal, hari ini nama Kim Taehyung belum sekali pun tertera di layar.

“Cass, ayo mandi dulu.”

“Nanti saja, Mom.”

“Makan dulu.”

“Aku malas, nanti saja.”

“Ini sudah pukul empat sore, apa yang terjadi padamu?”

“Aku tidak tahu.”

“Cass.”

“Apa?”

Wanita Asia berusia 45 tahun itu mendesah keras, keluar dari kamarnya setelah menutup pintu dengan cara setengah dibanting.

Ibunya kesal, ia tahu.

.

Di hari berikutnya Cass terjaga pagi sekali, perutnya lapar karena seharian kemarin ia hanya makan dua mangkuk sereal jagung. Ia bukan penggila diet, ia hanya kehilangan selera makan secara tiba-tiba karena sebab yang sampai detik ini tak ia ketahui.

Kim Taehyung masih setia hadir di dalam kepalanya, kilasan momen di mana lelaki itu tersenyum dengan sangat manis seakan enggan memudar dari ingatannya. Cass merasa ada rahasia yang membayang dalam ekspresinya, dan seperti biasa, ia tak menyuarakan asumsi bodohnya itu.

Cass turun ke dapur; menggoreng telur mata sapi, memanggang dua lembar roti, dan menuangkan susu full cream dari kotak ke dalam gelas. Kedua orangtuanya belum bangun, tentu saja. Ia sarapan sendirian sambil memikirkan Kim Taehyung—lelaki yang malam itu telah menciumnya dengan sangat lembut, untuk pertama kali.

Setelah selesai, Cass segera kembali ke kamar. Hari ini ia berencana pergi kuliah, mencari Kim Taehyung, dan mengatakan satu hal penting kepadanya. Ia menarik handuk yang tersampir asal di kursi belajar dan di saat bersamaan pula ia menemukan layar ponselnya terlihat terang setelah sekian lama meredup.

Ada kode negara yang ia lupa milik siapa, pun kombinasi nomor yang agak aneh terpampang di sana.

+8212556526333: Selamat pagi, Cass.

Itulah isi pesannya, dengan minat yang hanya mencapai sepuluh persen, gadis itu pun membalas.

Cass: Pagi, siapa ini?

Kurang dari satu menit, balasan selanjutnya pun sampai.

+8212556526333: Taehyung.

Cass: Bohong.

Gadis itu melempar ponsel ke atas tempat tidur. Lelucon macam apa ini? Ia mendengus, lantas mendapati benda brengsek itu berdering gaduh. Nomor itu menghubunginya; sekali, dua kali, Cass tak mengacuhkan.

+8212556526333: Cass, ini benar-benar aku.

Si bajingan di seberang sana mengirim pesan lagi. Bajingan yang mengaku-ngaku sebagai Kim Taehyung. Cass yakin lelaki itu masih ada di New York; ia tidak pergi kemana-mana, kalau pun pergi pasti akan memberitahunya lebih dulu.

+8212556526333: Ini nomor Korea, kau ingat kode negaranya, kan?

Cass memeriksa nomor telepon sebagian saudaranya yang tinggal di sana—negara ibunya—dan memang benar, kode negaranya sama-sama berawalan angka 82.

Gadis itu membuang napas keras, menolak untuk percaya. Kim Taehyung? Di Korea Selatan? Sialan. Selang beberapa menit, nomor itu kembali menghubungi, dan kali ini ia menerima panggilan tersebut.

Cass menenangkan diri. Hei, mengapa ia bereaksi berlebihan seperti ini? Taehyung pasti akan kembali, kan?

“Cass, aku—“

“—diam, kau bukan Kim Taehyung. Dia masih ada di kota ini, dia tidak pergi kemana-mana.”

“Tapi ini benar-benar aku, kau tak mengenal suaraku?” Hening sejenak. “Cass?”

Baiklah, bisa saja ia memaksa dirinya untuk percaya bahwa manusia yang tengah berbicara padanya adalah Taehyung. Tapi, mengapa? Taehyung tak pernah sekali pun bercerita mengenai rencana kepergiannya.

“Ya, aku kenal suaramu.” Cass menelan ludah dengan susah payah. “Kapan kau pulang?”

“Maaf.”

Ia membisu. Permintaan maaf itu seolah mengirimkan sinyal buruk.

“Untuk?”

Cass membiarkan bulir-bulir cairan asin menuruni pipi dengan leluasa. Persetan, toh lelaki itu tak tahu ia menangis, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Untuk segala hal menyebalkan yang terlanjur terjadi.”

“Oh, misalnya tentang kepergianmu yang tak kuketahui? Kapan kau pulang?”

Taehyung tak langsung menjawab. “Aku tak yakin kau benar-benar ingin tahu,” jawab lelaki itu tenang. “Aku juga tak yakin kau akan benar-benar peduli.”

Tidak-seperti-itu. Tangisan Cass berubah menjadi isakan tertahan, penyataan Taehyung telah membuat hatinya hancur. Apa itu artinya lelaki itu tidak akan kembali? Brengsek.

“Ada banyak hal yang enggan kau katakan dan—yah—memelihara terlalu banyak asumsi di dalam kepala lambat laun akan membuatku gila.”

Cass naik ke atas ranjang lantas tidur menyamping menghadap tembok bercat oranye. Pandangan gadis itu buram luar biasa, dipenuhi air mata. Ponselnya masih menempel di telinga, sementara Taehyung masih berbicara di seberang sana.

“Aku hanya melakukan apa yang kau lakukan.”

Cass memutus sambungan, lalu melempar ponsel sampai menghantam tembok. Tangis gadis itu pecah, rasa sesalnya membuncah. Ia menarik selimut sampai kepala, kemudian terisak di baliknya.

Oh, hari ini sepertinya ia tidak akan pergi kuliah lagi.

 

.

Taehyung benci jetlag.

Kini ia berbaring di sofa, memandangi pantulan wajahnya yang nampak lelah di permukaan layar ponsel. Langit sudah gelap dan seharusnya ia pergi tidur. Kepalanya terasa berat, samar-samar ia mengingat ulang apa saja yang baru dikatakannya pada Cass.

 

Ada beberapa hal yang harus diselesaikan keluargaku di sini, aku juga tak tahu kenapa harus ikut. Tapi aku pasti kembali hehehehe.

Itu adalah pesan terakhir dari Taehyung, dikirim sebanyak tujuh kali, dan tak ada satu pun yang sampai. “Sialan,” katanya sebal. Taehyung menyerah dan di saat bersamaan pula ia merasa tak sanggup untuk membuka mata.

Well, mungkin besok pagi ia akan mengirim email pada Cass.

-fin.

 

A/N:

Aku gatau ini cerita apaan. Tadinya mau dibikin mellow eeeeeh malah anti-klimaks. Lalu, lalu, ahay! Aku pake BTS. Dikit-dikit keluar dari zona nyaman, seneng rasanya. Hehehe. Maaf kalau ceritanya jelek dan tidak memuaskan. Koreksi besar-besaran sangat dinanti, misalnya: NIS KARAKTER TAEHYUNG OOC NIS! NIS, INI POINTLESS NIS! Cius, aku rapopo.

Terima kasih sudah membaca, demi kemaslahatan kita bersama, jangan lupa kasih feedback. LOL.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Taehyung

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles