Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Ficlet] Nothing to Fear for Now

$
0
0

 

ntffn copy

Lit me a light of fire that light up and circle round my heart
Make me a cup of a chocolate milk, full with sweetness of your kindness

 ~

Angin yang berhembus begitu sejuk. Dalam duduk, Aya memejamkan mata dan merasakannya. Ia pun mendengar sayup-sayup suara ayah, ibu, dan Sara, adik perempuannya yang cantik. Dari derap langkah, ia bisa tahu ayah sedang ada di kebun belakang. Kemudian ia juga mencium aroma yang sedap, ibu mungkin sedang membuat apple pie kesukaannya. Sara pasti akan mendekati, mengiming-imingi, atau merebut jatah potongan kuenya.

“Waduh, rumputnya sudah tinggi!” kata ayah.

Aya bisa tahu kulit ayah yang kecoklatan pasti berpeluh. Lengan ayah yang kuat pasti sibuk menggunakan gunting rumput tuanya. Ayah tidak mau menggunakan mesin, apalagi jasa orang lain untuk mengurus rumput. Di kebun belakang mereka, Aya pernah melihat ada hasil karya ibu dan ayah bersanding cantik dan rapi. Ada bunga-bunga yang bermekaran (walaupun kadang juga tidak mekar kalau mereka lupa menyiramnya dan cuaca terlalu panas). Ada tanaman hias berjejer rapi di pot, Sara sering menjatuhkannya kalau ia sedang berlari-lari di sana. Dan yang pasti ada rumput favorit ayah. Kebun belakang mereka tidak besar, tapi cukup untuk meletakkan tenda. Aya dan Sara suka sekali kalau ayah sudah mendirikan tenda dan membiarkan mereka berdua bermalam di sana. Walaupun seringkali di tengah malam, mereka mengetuk pintu, meminta kembali untuk tidur di kamar mereka yang hangat.

“Aya, apple pie-nya mau dipotongkan atau ambil sendiri?” tanya ibu sedikit berteriak dari dapur.

Dapur mereka tidak jauh dari teras belakang. Tempat favorit ibu adalah di sana.Dari dapur selalu tercium aroma-aroma menggugah selera. Dulu walaupun ibu bekerja di kantor, ibu selalu memasak sarapan, bekal makan siang, dan makan malam, kendati menunya sederhana. Di akhir pekan, ibu mungkin akan membuat kudapan manis. Aya dan Sara sering membantu, yang kemudian diusir ibu karena lebih banyak mencicipi lebih dulu sebelum kudapan siap dihidangkan. Setelah ibu memutuskan menjadi pekerja lepas atau freelancer, ibu lebih banyak membuat makanan lezat yang resepnya didapat dari tabloid wanita langganannya. Ibu tidak suka menggunakan perangkat internet. Yah, kecuali untuk mengirim surat elektronik kepada koleganya.

“Aya! Nanti aku pinjam sepatu hitam trepes kamu yang ada kaya mutiara-mutiara itu, ya!” ujar Sara.

Ini hari Sabtu. Kemungkinan Sara akan pergi berkencan bersama Dafa, pacarnya. Orang tua mereka tidak melarang mereka memiliki pacar setelah usia mereka menginjak tujuh belas tahun. Tahun ini Sara berusia delapan belas tahun. Aya sembilan belas tahun. Dan Sara tidak pernah memanggil Aya dengan sebutan kakak. Tidak masalah. Ketika mereka berjalan bersama, Sara yang tubuhnya sedikit lebih tinggi akan lebih sering dikira kakak. Menyisakan gerutuan Sara dan senyum jahil Aya.

Sepatu hitam bermutiara imitasi itu dibeli Aya di satu pusat perbelanjaan di pusat kota. Solnya datar dan tidak berhak. Harganya diskon 70%. Aya bukan pengoleksi sepatu tapi ia pikir tidak ada ruginya membeli satu yang baru. Jika dipinjam pun juga hal yang lumrah, Sara dan dirinya sering saling meminjam dan meminjamkan barang-barang. Itulah menyenangkannya memiliki adik perempuan.

**

“Ayah sudah selesai nih! Haduh capek. Yuk ke dapur!”

“Kuenya sudah siap!”

“Ayah! Aya! Cepetan sih! Sebel deh Sara nggak boleh potong duluan!”

Setelah mencuci tangannya yang kotor, ayah menarik lembut Aya dari kursi di teras belakang, menuntunnya ke dalam rumah. Aya berjalan sedikit gugup dan tertatih. Ia belum biasa dengan segala kegelapan ini. Sudah sejak lama ia tahu memiliki kelainan mata bertitelkan glaukoma kronik. Ketika di usia lebih muda, Aya masih bisa melihat dunia. Berangsur-angsur, perlahan tapi pasti, penyakit mata itu akan merenggut warna-warnanya. Tapi ia tahu akan datang masanya, tinggal gelap yang ada.

Aya sudah menangis, menyesali keadaan dirinya, berbulan-bulan lamanya hingga kering air mata. Sudah lelah pula memaki dan mencaci keluarganya. Sudah habis akal bagaimana ia akan melanjutkan hidup dengan semua kenihilan. Hingga suatu hari, di satu hari saja, tidak ada yang istimewa pada hari itu, tapi hari itu pun datang adanya, setelah bangun tidur lelapnya, ia tahu, mungkin ia bisa memaafkan segala hal yang menyakitkan di dalam dirinya, mungkin ia bisa menerima kondisi keluarganya, mungkin tidak ada perlu yang ditakutkan, mungkin ketakutan itu hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Mimpi buruk tidak menyenangkan, sewaktu kecil Aya sering mengalaminya. Tapi di pagi hari, Sara akan menepuk-nepuk punggungnya, ibu akan memeluknya, dan ayah akan menggendongnya.

 ~

No one will hear me cry, around the darkness
I’m float with kindness around my soul
No, nothing to fear for now

 -o-

Lyrics taken from : Nothing to Fear for Now by White Shoes and The Couples Company


Filed under: one shot, original fiction

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles