Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Forsaken – Chapter 18

$
0
0

forsaken-cv

-

“Apa yang ingin kaulakukan setelah kau dewasa nanti?”

Soojung berhenti bermain piano. Dia mengubah posisi duduknya saat Yoonhan menanyakan pertanyaan ini. Lelaki itu duduk di kursi tak jauh darinya, menunggu jawaban.

“Umm…” Soojung memiringkan kepala, bergumam pelan. “Dad selalu ingin aku menjadi jaksa.”

“Jaksa.” Yoonhan mengangguk seraya mengulangi kata itu dengan nada datar. “Bagaimana denganmu? Apa yang ingin kaulakukan?”

“Kurasa aku akan melakukan apa yang ayahku ingin aku lakukan.”

Dan Soojung tahu jawaban ini tidak cukup memuaskan untuk membuat Yoonhan percaya begitu saja. Lelaki itu hanya mengangkat kedua alisnya, kemudian mengangguk pelan dan berpaling ke arah lain.

Yoonhan beranjak. Dia melangkah menyeberangi ruangan dan mengambil beberapa kertas dari dalam tasnya. Soojung melihat bahwa yang Yoonhan baru saja keluarkan adalah sebuah partitur. Dan dia menunggu dengan antisipasi ketika Yoonhan kemudian melangkah ke arahnya dan membentangkan lipatan partitur itu, lalu menaruhnya di muka piano.

“Kau boleh pelajari sebentar.”

Soojung menatap deretan tangga nada yang tercetak di partitur itu. Dia melantunkan musiknya di dalam hati, untuk menemukan sebuah rangkaian melodi yang familiar.

“Ini…” ujarnya tidak sampai tiga detik kemudian, menebak-nebak.

“Aransemen awal piano Nero, kau benar. Kau mau mencoba?”

Soojung mengangguk antusias. Dia lalu menaruh dua tangannya di atas piano, dan mulai memainkan melodi dari partitur di hadapannya setelah Yoonhan mengeset tempo metronom.

Jari-jarinya menari kembali. Soojung sangat menikmati nada-nada yang tercipta dari gerak lincah tangannya di atas tuts piano. Dinamika Nero, aransemen musik yang akan mereka mainkan di panggung Yoonhan, terasa lebih variatif di partitur pertama ini. Soojung menyukai apa yang dia dengar, kepalanya teranggguk-angguk mengikuti irama musik. Yoonhan berdiri di sampingnya, mengawasi.

Perlu waktu yang cukup lama bagi Soojung untuk menyadari apa yang sebenarnya Yoonhan sedang lakukan padanya saat itu. Ketika dia menyadarinya, Soojung telah mengulangi musiknya untuk kedua kali. Pesan yang Yoonhan ingin tunjukkan sampai tepat di ujung pemahamannya seketika. Dia berhenti bermain di tengah permainannya.

I don’t have a say in this, you know.” Ujarnya kemudian. Sesuatu yang sebenarnya sangat random bila saja dia ucapkan secara tiba-tiba, tapi berarti cukup banyak bagi Yoonhan.

Of course you do.” Lelaki itu menyanggahnya. “Kau seorang pianis yang berbakat, Soojung. Anak-anak seumurmu, dengan pengalaman sebanyak kau, tidak bermain piano seperti ini. You’re amazing.

It’s not enough.” Soojung menghela napas, lalu melipat kembali kertas partitur di hadapannya tanpa terburu-buru.

Yoonhan tidak berkata apa-apa, begitu juga Soojung.

Lelaki itu beralih dari sisi piano dan duduk di sofa di sisi dinding. Yoonhan sepertinya sedang memberi Soojung waktu untuk memahami apa yang sebenarnya tengah mereka bicarakan, sekaligus memikirkan kembali kalimat terakhir yang baru saja dikatakannya.

Yoonhan menyadari adanya konflik kecil yang terjadi di dalam keluarganya. Dia tahu—mungkin karena mom memberitahunya sesuatu. Entahlah.

Soojung pun menyadari bahwa selama hampir dua minggu latihan singkat mereka itu, Yoonhan bersikap seolah dia tengah berusaha memperbaiki sesuatu yang rusak. Sebuah keadaan.

Situasi di dalam keluarganya berada di ujung tanjuk karena keterlibatan Soojung dalam pertunjukkan ini. Tapi apa yang Yoonhan inginkan darinya, adalah satu hal yang Soojung tadinya tidak tahu. Hingga detik itu.

I love my dad. Dia memang memiliki cara pikir yang sedikit berbeda tentang passion, tapi dia selalu tahu yang terbaik untukku. I respect him for that.”

Of course.” Yoonhan mengangguk lagi. “Look. I didn’t mean to judge you, or anyone. Dan aku tahu, bukan pada tempatnya aku mengatakan ini, tapi Soojung…”

Soojung menoleh. Kedua mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, Soojung merasa seperti ada sesuatu yang membuatnya berhenti bernapas. Entah apakah itu ekspresi yang Yoonhan tunjukkan padanya, yang membuatnya merasa hangat seketika, ataukah ketulusan kalimat yang lelaki itu sampaikan, Soojung menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Setiap orang berhak mengejar keinginan yang telah menjadi mimpinya. Kaubilang kau adalah hal terbesar yang ayahmu miliki, dia menyayangimu. Aku yakin suatu saat nanti dia akan mengerti.”

Lalu Soojung tersenyum. Tidak, lebih tepatnya dia tertawa, hanya saja Soojung menahan diri agar tidak terlalu bersemangat menertawakan Yoonhan. Dia hanya menarik bibirnya, dan tertawa tanpa suara. Seperti yang lelaki itu biasa lakukan.

“Have you really met my dad?” lontarnya kemudian. Dan mereka berdua menertawakannya.

“Mr. Tatcher pernah memberitahu kami bahwa kadang apa yang kata orang terbaik untukmu, tidak selalu apa yang benar-benar kauinginkan. Kadang sepertinya ini membuatku seperti seseorang yang tidak punya ambisi, tetapi aku merasa itu tidak penting. I just want to make the most of it, for everything I do.” Soojung mengangkat bahunya. “Toh, bukannya berarti aku tidak bisa bermain piano selamanya kan.”

Yoonhan mengangguk-angguk setuju, untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini, tidak seperti sebelumnya, dia tidak lagi menunjukkan sikap seolah ada sesuatu yang belum berakhir. Lelaki itu telah menyampaikan apa yang ada di dalam kepalanya. Soojung menghargainya, dan sejujurnya, dia belajar banyak dari obrolan singkat ini.

Mereka baru saling mengenal selama dua minggu, tetapi cukup banyak hal yang mereka bicarakan selain materi-materi yang harus mereka pelajari sebelum pertunjukkan berlangsung. Yoonhan adalah seseorang yang pengamat dan pembicara yang andal. Lelaki itu tahu bagaimana caranya mendekatkan diri pada seseorang, dan untuk pertama kalinya setelah dua tahun, Soojung merasa seperti menemukan seorang sahabat baru, yang dia yakin akan menjadi teman bicara favoritnya hingga kurun waktu yang sangat lama. Mungkin selamanya.

“Aku sungguh tidak mengerti bagaimana cara orang dewasa berpikir.” Soojung berkata lagi beberapa saat kemudian. Kalimatnya menarik perhatian Yoonhan kembali padanya.

“Kau tahu, saat mereka memberitahu dunia bahwa mereka saling mencintai, lalu mereka menikah. Bila mereka memang saling mencintai, kenapa mereka berpikir untuk berpisah?”

Soojung menoleh lagi pada Yoonhan, berharap bisa mendapatkan sebuah jawaban. Tidak setiap hari dia bisa bicara senyaman ini dengan orang dewasa.

Yoonhan menaruh tangannya di dagu, menarik napas dalam seraya berpikir. Soojung perlu menunggu selama beberapa saat sebelum lelaki itu memberinya jawaban.

“Itu, adalah sesuatu yang kadang berada di luar kendalimu.”

Jawaban yang tidak cukup memuaskan.

“Orang dewasa pun manusia biasa, Soojung. Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi besok, minggu depan, apalagi sesuatu yang terjadi bertahun-tahun ke depan.” Yoonhan melanjutkan. Soojung mendengarkan dengan seksama.

“Seperti seseorang yang tumbuh besar saat dia beranjak dewasa, hal yang sama juga terjadi dengan perasaan seseorang. Beberapa pasangan berhasil menjaga dan mempererat perasaan di antara mereka cukup erat, bahkan makin kuat tiap harinya. Beberapa yang lainnya tidak. Cinta hanyalah sebuah landasan. Masih banyak hal lain yang mempengaruhi keputusan mereka untuk tetap bersama atau tidak.”

“Tapi bukankah mereka memulai kehidupan bersama itu dengan landasan yang kuat? Pasangan yang tidak saling mencintai tidak akan mungkin memutuskan menikah begitu saja kan?”

“Ya, tapi tidak cukup kuat untuk mempertahankan sebuah ikatan yang mulai renggang. Masih ada prinsip, kepercayaan, rasio…”

It’s not enough?” Soojung bertanya, menyimpulkan. Dan Yoonhan terdiam sesaat, sebelum akhirnya menggeleng.

 “No.”

Dia masih belum mengerti sebenarnya. Apa yang terjadi dengan orangtuanya, dengan keluarga mereka, dan keharmonisan yang sejak dulu selalu terjaga. Soojung tidak mengerti kenapa begitu mudahnya ibunya mengucapkan kata perceraian hanya untuk membela keinginannya. Dia ingin mengerti, dia ingin bisa memahami orangtuanya, jadi dia bisa melakukan sesuatu untuk membantu mereka.

Kalau saja saat itu Luhan masih ada, mereka mungkin akan membicarakannya bersama. Setidaknya, dia yakin, Luhan pasti akan mengatakan sesuatu yang mampu membuatnya lebih memahami situasi yang terjadi saat itu. Soojung ingin cepat dewasa.

“Kuharap mom dan dad membatalkan niat mereka untuk bercerai. Aku tidak bisa membayangkan kalau harus hidup tanpa salah satu di antara mereka.”

Even if so, they’ll be around.

“Tapi tetap saja rasanya akan berbeda. Kurasa aku akan mengurung diri di dalam kamar berhari-hari sampai mereka memutuskan untuk kembali lagi bersama. Kalau mereka berpisah, kurasa aku bisa jadi gila.”

Lalu Yoonhan tertawa. Soojung menekuk bibirnya, merasa tersinggung. Tapi beberapa saat kemudian dia menemukan kata-katanya lucu juga, jadinya dia pun ikut tertawa. Hari itu adalah pertama kalinya Soojung melihat Yoonhan benar-benar tertawa. Bukan hanya mendengus, atau terkekeh pelan. Soojung menemukan lelaki itu terlihat lebih berkarisma.

Hari itu  juga, adalah pertama kalinya Soojung memutuskan bahwa dia menyukai Yoonhan. Bukan hanya sekedar terpana karena melihat pria tampan seperti Yoonhan menebar pesonanya pada para remaja. Soojung benar-benar menyukainya. Bukan seperti seorang siswa sekolah menengah yang menyukai guru Bahasa Inggrisnya yang menawan, atau seorang anak perempuan yang menyukai aktor tampan di serial televisi.

Soojung menyukai Yoonhan, tidak seperti seorang gadis yang jatuh cinta pada kakak laki-laki teman baiknya yang tinggal sebelah rumah, tapi seperti Colin Singleton yang akan selalu jatuh cinta pada para Katherine-nya. Seperti Hazel Grace ketika dia menyukai Agustus Waters. Seperti itu, dan dia tidak peduli meski Yoonhan adalah pria dewasa dengan jarak umur terpaut hingga 11 tahun.

“Apa kau akan menikah suatu hari nanti?” pertanyaan Soojung yang kesekian kalinya hari itu kembali terlontar. Yoonhan sudah duduk di pianonya saat itu, hendak memulai kembali sesi latihan mereka bersama.

“Ya, tentu saja.” Jawabnya.

“Apa kau akan menikah dengan Sherly?”

Soojung merasa dadanya berdebar kencang saat menanyakan ini. Yoonhan mengenalkan Sherly pada Soojung seminggu sebelumnya. Sherly wanita yang sangat cantik, dengan mata yang besar, rambut berwarna kemerahan dan berdarah Inggris. Aksen britishnya yang kental seringkali membuat gadis itu tampak sangat seksi di mata Soojung.

Dan Soojung tahu, tanpa Yoonhan perlu memberitahu, bahwa Sherly adalah wanita spesial lelaki itu. Mereka mungkin berpacaran, dan fakta itu sedikit membuat Soojung merasa terganggu. Sebuah fakta yang kadang membuat Soojung merasa enggan bila harus bertemu dengannya.

Yoonhan hanya memiringkan kepalanya saat Soojung menanyakannya. Lelaki itu terlihat enggan menjawab, tapi kemudian menjawabnya dengan anggukkan ringan.

“Kurasa begitu. Let’s start practicing now.”

“Ah, satu pertanyaan lagi.” Soojung memotongnya. Yoonhan menoleh, menunggu pertanyaannya dengan sabar.

“Apa kau pernah berpikir akan menikah dengan seseorang yang jauh lebih muda darimu? Seperti seseorang dengan jarak usia 11 tahun?”

Sekali lagi Yoonhan tertawa, tanpa suara. Lelaki itu memijit jari-jarinya sambil menarik napas dalam, lagi, sengaja memberi jeda untuk berpikir-pikir. Soojung menunggu dengan antisipasi yang besar. Seluruh perhatiannya tertuju pada Yoonhan saat itu, menghitung detik demi detik, hingga hampir satu menit kemudian dia mendapatkan jawabannya.

“Kalau dia seorang pianis, kurasa aku akan mempertimbangkannya.”

Soojung tidak pernah tahu apakah jawaban itu Yoonhan katakan dengan serius, atau hanya sekedar untuk membuatnya senang dan berhenti bicara. Dia tidak cukup mengerti dengan kompleksnya ruang pikiran orang dewasa, dan bagaimana dunia mereka menganggap hubungan semacam ini adalah masalah besar.

Soojung tidak mengerti benar tuntutan hukum apa yang menanti seorang pria dewasa bila berhubungan dengan anak di bawah umur. Yang saat itu dia tahu hanyalah, bahwa dia masih memiliki kesempatan. Dan demi hal yang diinginkannya, Soojung ingin memperjuangkannya. Setidaknya untuk yang satu itu saja.

* * *

Chanyeol frustasi.

Dia tidak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh, hingga dia menyadari ada yang berbeda tentang Han Soojung.

Hingga tahun lalu, Chanyeol melihat sosok Han Soojung sebagai seorang gadis dingin yang tidak membumi. Hingga tahun lalu, Chanyeol sama sekali tidak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti dia akan berteman dengan gadis itu. Dia bahkan tidak pernah bermimpi akan pernah bertegur sapa dengannya.

Hingga tahun lalu, di matanya Han Soojung adalah sebuah misteri.

Sampai pada suatu hari dalam beberapa bulan ini, Park Chanyeol memandang Soojung dengan cara yang tidak seperti biasanya. Dia melihat Han Soojung, sebagai gadis paling manis yang pernah ditemuinya.

Chanyeol tidak pernah mengira dia akan berpikir seperti ini. Sangat diakuinya, bahwa amat sangat susah untuk bisa membuat seorang Soojung mempercayainya seperti saat ini. Perlu berbulan-bulan bagi Chanyeol untuk membuat gadis itu membuka hatinya, menerima dirinya secara utuh sebagai Park Chanyeol, anggota keluarga baru dalam kehidupan gadis itu.

Tapi dari semua itu, Chanyeol paling tiak mengira, bahwa amat sangat mudah untuk bisa menyukai Han Soojung, gadis kejam yang sangat manis itu.

Chanyeol memaafkan semuanya. Segala caci maki dan perlakuan dingin Soojung padanya di awal persaudaraan mereka. Dia telah melupakannya dan menjadikannya bagian dari masa lalu mereka yang menggelikan, karena yang berdiri di hadapannya beberapa bulan ini adalah seorang gadis yang terlihat sangat memuja kakak laki-lakinya.

Dia tidak pernah tahu Soojung ternyata memiliki sisi seperti ini dalam dirinya. Sisi seorang gadis yang humoris, yang mudah tertawa, yang penyayang, yang penurut, tapi juga pemberontak di saat yang sama.

Soojung membuatnya merasa seperti seorang laki-laki yang hampir sempurna. Gadis itu membangkitkan rasa tanggungjawab dalam dirinya, jiwa disiplin, juga sang penjaga. Gadis itu membuatnya seolah memiliki sesuatu yang selalu ingin dia lindungi tiap waktu. Tiap perhatian dan rasa sayangnya tercurahkan dengan maksimal dalam bentuk rutinitas keseharian yang kini mulai terbiasa untuk mereka berdua.

Rasanya agak berbeda dibandingkan dengan apa yang disimpannya untuk Yerin. Serupa, tapi tak sama.

Serupa, karena keduanya membuat Chanyeol merasa seperti seorang pria yang ingin disayang. Tak sama, karena salah satunya bukanlah gadis yang bisa diacintai dengan bebas, tanpa terlepas dari aturan nilai dalam masyarakat.

Dan saat dia menyadari ini, jantungnya terasa mau copot. Karena di saat itu juga dia menyadari, bahwa Soojung ternyata merasakan hal yang sama.

“Han Soojung, aku kakak laki-lakimu.”

Chanyeol tidak bisa melupakan tatapan mata Soojung ketika dia mengatakannya. Dari alisnya yang berkerut, dahinya yang tertekuk dalam, dan kata-kata yang tertahan di ujung lidahnya… Gadis itu tampak terluka.

Kini ketika segalanya nyata, yang berdiri di antara mereka adalah sebuah tembok besar yang menjelma dalam bentuk ‘status’. Sempat terbersit di dalam kepalanya untuk tidak menghiraukan apa kata orang, bagaimana masyarakat akan menilainya, atau bagaimana mereka akan menjalaninya… bila saja mereka memang memutuskan untuk mengambil resiko.

Tapi Chanyeol tahu, bahwa dirinya jauh lebih baik daripada itu. Mereka memang tidak berbagi darah dari orangtua yang sama, dia memang bukan anak kandung ibunya, tapi dalam status hukum, dia adalah anak laki-laki ayah tirinya. Dia bagian dari keluarga Han. Dan profesor Han mempercayakan Soojung padanya.

Chanyeol tidak ingin mengkhianati kepercayaan itu dengan lebih mengutamakan hasrat pribadinya di atas segalanya. Terutama karena ada Luhan di antara mereka kini.

“Kita menikah saja bagaimana?”

Dan Chanyeol tidak bisa mengabaikan jantungnya yang berdegup kencang ketika mendengar Yoonhan memberikan pertanyaan ini pada Soojung.

Malam ini Yoonhan muncul di depan rumah mereka tanpa terduga. Kemarin lelaki itu memang memberitahunya bahwa dia akan kembali ke Korea hari ini, tapi Chanyeol tidak mengira Yoonhan akan datang hari ini juga, hanya beberapa jam setelah pesawatnya mendarat.

Soojung tidak membiarkan Chanyeol meninggalkan mereka ketika Yoonhan meminta privasi untuk keduanya. Gadis itu memberitahu Yoonhan bahwa dia tidak menyimpan rahasia apapun pada Chanyeol, dan menyuruh—ya, menyuruh, bukan meminta sebagaimana seharusnya—Chanyeol untuk tetap tinggal di ruang keluarga untuk mendengar apapun yang ingin Yoonhan sampaikan padanya.

Ternyata Yoonhan meminta gadis itu menikah dengannya.

Ini seharusnya bagus, kan? Chanyeol berpikir. Mereka sudah lama bersama, resmi atau tidak. Semua orang tahu benar bahwa hubungan di antara mereka bukanlah hanya sebatas pertemanan atau semacam kakak-adik tanpa kejelasan. Tidak.

Chanyeol yakin ini adalah satu hal yang sangat Soojung inginkan, setidaknya dulu begitu. Chanyeol tahu bahwa (selain dia saat ini) Yoonhan selalu menempati satu ruang besar dalam hati gadis itu, apapun yang terjadi. Dia ingat bagaimana dulu Soojung tidak habis membicarakan Yoonhan sepanjang waktu, dan memberitahunya betapa gadis itu sangat memuja pria tinggi yang rupawan ini.

Dan kini Yoonhan melamar gadis itu, secara resmi, seharusnya ini bagus kan?

Tapi kenapa kalimat itu terdengar menyakitkan di telinganya?

Chanyeol bermain dengan Luhan, berpura-pura tidak dengar, ketika Soojung menoleh ke arahnya. Satu sisi dalam dirinya berharap Soojung segera menjawab tawaran itu. Gadis itu berhak bahagia, setelah segala insiden dan tragedi yang membuat kehidupannya jatuh dan bangun tanpa ampun. Mungkin dengan melihat Soojung bersama dengan seseorang yang dia cintai, seseorang yang sudah seharusnya bersama gadis itu sejak dulu, dia bisa mencoba untuk membilas kembali jejak-jejak perasaan yang telah melunturkan keteguhannya pada gadisnya yang lain.

Mungkin ini hanya perasaan sesaat. Sebuah ketertarikan yang muncul karena rutinitas yang selama beberapa bulan ini membuat mereka terbiasa, dan selalu bersama. Keabsenan Yoonhan membangkitkan rasa kepemilikannya akan Soojung, dan kecerobohannya membuat perasaan itu membuncah melebihi kadar yang seharusnya.

Chanyeol menoleh. Soojung masih menatapnya.

Dia tidak tahu apa yang ada di dalam kepala gadis itu. Dia tidak tahu kenapa Soojung harus menatapnya selama itu hanya untuk memberikan sebuah jawaban. Dia merasa tidak nyaman, karena kebisuan Soojung pasti akan menimbulkan pertanyaan.

Dan ketika tatapannya beradu dengan kedua mata Yoonhan, lelaki itu menatapnya dengan pandangan menilai. Seolah tengah memastikan sesuatu. Tampaknya Yoonhan mulai bisa membaca situasi yang terjadi di antara mereka, tentang dia dan Soojung, dan juga mereka bertiga. Kepastian itu diketuk palu ketika mereka mendengar Soojung memberikan jawabannya.

Chanyeol tidak berani menatap Yoonhan maupun Soojung saat gadis itu berkata,

“Tidak.”

.

“Kau terlihat seperti orang depresi, ada apa?”

Chanyeol mengangkat kepalanya, tersadar bahwa beberapa saat ini dia melamun. Yerin menaruh secangkir latte di hadapan Chanyeol dan duduk di seberang meja.

“Tidak ada apa-apa.” Jawabnya singkat. Chanyeol menaruh gitarnya ke dalam tempatnya, menutup kotak dan menyandarkannya di kaki kursi.

Malam itu dia meramaikan panggung akustik di Kona Beans tanpa Baekhyun. Sahabatnya itu tidak bisa datang karena harus belajar lembur di perpustakaan kampusnya, jadi Yerin menggantikan Baekhyun untuk bernyanyi dengannya.

“Terakhir kali kau seperti ini, ibumu hamil Luhan dan kau uring-uringan. Ayolah, kautahu aku tidak percaya dengan jawaban itu.”

“Aku baik-baik saja, sungguh. Proyek bersama Stomp hanya sedikit menyita waktuku belakangan ini, dan Luhan mulai rewel dengan proses pertumbuhannya. Hari ini melelahkan, itu saja.” Katanya seraya tersenyum lebar. Dia menyembunyikan kecanggungannya dengan menyeruput latte banyak-banyak.

Chanyeol tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia tidak berbohong, terutama pada Yerin. Sebelum-sebelumnya, Chanyeol selalu membicarakan segala hal pada Yerin. Sebelum-sebelumnya, dia selalu memberitahu gadis itu apapun yang ada di dalam kepalanya, menjadikan gadis itu orang pertama yang tahu sesuatu tentang rahasianya.

Sesaat kemudian Chanyeol baru menyadari, bahwa itu dulu, sebelum Soojung datang dan mengubah prioritasnya.

 Dia berbohong. Dan Yerin tahu itu.

“Han Soojung?” gadis itu akhirnya mencoba menebak.

Chanyeol terhenyak. Dia tidak menyangka Yerin bisa membaca pikirannya. Dan ketika dia berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya, ternyata sudah terlambat.

“Apa ada sesuatu yang ingin kaukatakan padaku?”

Tidak.

Tidak. Aku tidak ingin membicarakannya.

Chanyeol hanya mengatakannya di dalam hati. Dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa dia membiarkan obrolan ini dimulai. Topik tentang Han Soojung adalah satu hal yang sensitif di antara mereka. Tiap Chanyeol bersama Yerin, terutama setelah mereka resmi bersama, Chanyeol selalu berusaha untuk tidak membahas, maupun menyebut nama gadis itu di antara mereka.

Dia tidak tahu kenapa bersikap seperti ini. Yerin tampaknya tidak keberatan, tapi entah mengapa ini menjadi masalah yang besar untuknya. Dia tidak ingin Yerin menangkap gelagat yang aneh akan perasaannya pada Soojung. Dia tidak ingin Yerin menyadarinya.

Tapi kenyataannya berkata berbeda.

Chanyeol lupa bahwa wanita bisa membaca bahasa tubuh dengan sempurna. Semakin dia tidak menjawab, semakin Yerin tahu apa yang terjadi padanya. Chanyeol lupa bahwa Yerin adalah gadis yang sensitif bila berkaitan dengan hal yang tidak biasa.

Dia bersikap sangat tidak biasa hari ini.

“Katakan padaku.” Yerin berkata lagi, mendesaknya.

Apa yang harus dikatakannya sekarang? Chanyeol tidak ingin membicarakannya, karena ujung pembicaraan ini pasti akan berakhir dengan dia yang menyakiti gadis itu.

Dia merasa bersalah, karena memulai semua ini dengan ketidakjujuran. Dia tidak bisa menerima perasaan baru yang dimilikinya untuk Soojung. Dia ingin melupakannya. Dia ingin memungkirinya. Dan satu-satunya cara yang terpikir adalah dengan bersama Yerin.

Chanyeol merasa bersalah karena memanfaatkan Yerin demi memerangi kisah yang tidak ingin dia mulai. Dia seorang pengecut, dan untuk membuktikan ini dia harus menyakiti gadis terbaik yang pernah ada dalam hidupnya.

“Chanyeol, kau harus mengatakan sesuatu. Dengan begitu aku baru bisa memutuskan apa yang harus kita lakukan.” Chanyeol masih belum berkata sepatah kata pun ketika Yerin mengatakan ini.

Dan ketika dia mengangkat kepalanya, dia melihat bulir airmata mengalir di wajah gadis itu. Chanyeol terkejut melihatnya. Apakah begitu jelas terlihat? Apakah Yerin tahu? Apa yang telah dilakukannya hingga membuat gadis itu menangis…

“Yerin ah…” Chanyeol meraih tangan Yerin di atas meja. “Hei, tidak seburuk itu. Kau belum dengar apa yang akan kukatakan.”

“Yang jelas bukan hal yang baik, iya kan?” Yerin mengusap air matanya. Gadis itu diam sesaat sebelum berkata lagi. “Aku tahu. Kau tahu? Aku bisa merasakannya. Suasana di rumahmu terlihat sangat berbeda belakangan ini.”

“Sangat?” lagi-lagi Chanyeol terhenyak, cukup terkejut mendengar fakta itu.

Sangat terlihat kah?

“Sangat. Bahkan Minhyuk dan Jaejin pun membicarakannya, tapi tak ada satu pun di antara mereka yang berani menyebutnya di depanmu.” Ujar gadis itu.

“Maaf, Yerin. Maafkan aku. Ini bukan sesuatu yang bisa kukendalikan. Tiba-tiba saja itu terjadi. Tiba-tiba saja, aku tidak bisa mengontrol perasaanku. Maafkan aku.”

Chanyeol merasa buruk sekali. Dia sangat ingin merengkuh gadis itu dan memeluknya. Dia ingin sekali mengatakan padanya bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa apa yang Yerin takutkan tidak akan terjadi. Tapi dia tidak bisa, karena itu sama saja dia akan menyakiti Yerin lebih dalam lagi.

Dia merasa sangat bersalah melihatnya. Apa yang telah dia lakukan?

“Kau tahu kalau kalian bersaudara, kan? Kalian memang saudara tiri, kalian tidak memiliki hubungan darah. Tapi ayahnya menikah dengan ibumu…”

“Dan itu mengikat kami dalam status hukum ini. Ya, aku tahu.” Dan Chanyeol sadar penuh mengenai hal ini. “Hubungan semacam ini tidak akan pernah berhasil. Aku tidak berharap apapun.”

Lalu hening. Selama hampir satu menit mereka diam. Chanyeol tidak mengatakan apa-apa, begitu juga Yerin. Untuk beberapa saat hanya tangis Yerin yang bisa Chanyeol dengar, tapi sesaat kemudian gadis itu berhenti. Yerin mengeringkan wajahnya dengan jari-jarinya yang lentik dan menenangkan diri seraya menarik napas dalam-dalam.

“Aku kenal sepasang suami istri yang pernah mengalami hal yang serupa. Si pria adalah anak adopsi di sebuah keluarga. Dia tumbuh besar di sana. Dan ketika dia dewasa, dia menyadari bahwa dia jatuh cinta dengan anak perempuan di keluarga itu. Mereka saling mencintai, tapi ayah mereka tidak menyetujuinya, jadi mereka tidak bisa melakukan apa-apa.”

Chanyeol mendengarkan kisah itu dengan seksama. Dia baru pernah mendengar cerita ini, Yerin tidak pernah menyebut-nyebut soal pasangan semacam itu sebelumnya. Mungkin karena mereka tidak pernah membicarakan topik semacam ini juga dulu. Tapi dia tetap mendengarkan.

“Beberapa tahun kemudian, ayah mereka meninggal dunia. Sepasang orang dewasa ini akhirnya berusaha untuk meyakinkan ibu mereka agar mereka bisa bersama. Perlu hampir lima tahun untuk melakukannya. Hingga akhirnya penungguan itu berbuah restu, selanjutnya, adalah masyarakat yang harus mereka hadapi. Mereka pindah ke Amerika dan menikah di sana. Lalu mereka punya anak, dan kembali ke Korea saat anaknya sudah cukup besar untuk mengerti situasi keluarganya.”

Yerin mengakhiri ceritanya. Gadis itu menyeruput secangkir latte di hadapannya dan kembali menarik napas dalam.

“Akhirnya mereka bisa menikah?” Chanyeol bertanya.

“Sudah kukatakan padamu, mereka akhirnya punya anak.”

“Bagaimana kautahu cerita semacam itu?”

“Karena aku anak perempuan pasangan itu.”

Chanyeol hampir tidak bisa bicara. Dari sekian banyak rahasia yang saling mereka bagi, ini adalah satu hal yang tidak pernah mereka bicarakan sebelumnya. Chanyeol tidak pernah berniat bercerita tentang keluarga aslinya, tapi dia tidak mengira Yerin akan menceritakan kisah semacam ini tentang keluarganya.

Dia merasa berhutang.

“Aku bukan anak kandung ibuku.” Ujar Chanyeol kemudian. Setidaknya ini yang bisa diaberikan setelah apa yang dia dengar dari gadis itu.

Yerin mengangkat kepalanya dari permukaan meja, menatap Chanyeol bingung.

“Kau bilang apa?”

“Orangtuaku mengadopsiku saat aku berumur 7 bulan. Luhan adalah anak pertama ibuku, dan orangtua kandungku sekarang tinggal di Gwangju.”

Dahi Yerin berkerut dalam. Ekspresi wajahnya mengatakan bahwa betapa beratnya dia mempercayai cerita ini. Sesuatu yang tidak terkira, dan hampir tidak bisa dipercaya.

“Apa Soojung tahu soal ini?” gadis itu akhirnya bertanya. Dan Chanyeol mengangguk menjawabnya.

“Kami pergi mengunjungi mereka musim panas lalu.”

“Aku mengerti.” Yerin mengangguk-angguk pelan. Dia menghapus airmatanya lagi, dan kembali menarik napas dalam. Entah sudah keberapa kalinya saat itu. Dan tiap hela napas itu, Chanyeol merasa hatinya ikut tercabik karenanya.

“Situasimu jauh lebih baik, kurasa.”

“Tapi tetap saja. Aku kakak laki-lakinya.”

“Ya. Kau kakak laki-lakinya, dan juga pacarku.”

“Yerin…”

“Aku menyukai Han Soojung, kau tahu?” Yerin menggaruk dahinya, alih-alih menangis lagi. Dia tidak menatap Chanyeol saat mengatakannya.

“Aku selalu ingin bisa berteman dengannya. Tapi kurasa saat ini dia sedang sangat tidak nyaman berada di dekatku…” Chanyeol teringat akan insiden gadis itu bersama Soojung beberapa hari yang lalu. “Jadi sekarang aku sudah memutuskan.”

“Yerin, please.

“Dengarkan aku dulu.” Gadis itu mengangkat tangannya, menyuruh Chanyeol menahan kata-katanya. “Kurasa ini tidak akan berhasil, Chanyeol. Kau dan aku saat ini. Aku tidak ingin jadi satu-satunya di antara kita yang berusaha agar kita bisa tetap bersama. Aku akan membiarkanmu memastikan apa yang ingin kaulakukan dalam situasi saat ini.”

“Maaf, Yerin.”

“Jangan minta maaf. Kalau kau begitu, aku jadi berpikir kau berselingkuh sekarang.”

Lalu hening kembali.

Chanyeol kehabisan kata-kata, tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya untuk memperbaiki keadaan ini. Aneh sekali. Bila biasanya dia adalah ahlinya dalam mencairkan suasana dan membuat Yerin tertawa, saat ini dia hanya bisa membisu.

Dia berselingkuh? Begitukah jadinya seluruh insiden ini? Setelah dulu dia mengomeli habis Jaejin dan Baekhyun untuk hanya setia dengan satu gadis saja, dan kini dia mengkhianati Yerin dengan saudara perempuannya sendiri… benar-benar absurd.

“Aku menyukaimu, Yerin. Aku sangat menyukaimu, sejak dulu.”

“Aku tahu. Tapi saat ini kau lebih menyukai Soojung.”

Kini Chanyeol yang menarik napas dalam. “Apakah suatu saat nanti, kau masih akan memberikan kita kesempatan?”

“Kurasa.” Yerin mengangkat bahu. “Saat kau sungguh-sungguh, aku akan mempertimbangkannya.”

Chanyeol mengangguk. Suasana hatinya sangat buruk, tapi dia tersenyum. Saat ini, dan mungkin untuk selamanya, dia merasa sangat berterimakasih. Dia menyukai orang yang tepat. Setidaknya untuk yang satu ini, Chanyeol ingin mempertahankannya.

* * *

 .

.

.

so this is the pre-finale chapter.


Filed under: fan fiction, series Tagged: Baek Yerin, Forsaken, Han Soojung, Park Chanyeol, Yoon Han

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles