-
And I will stumble and fall
I’m still learning to love, Just starting to crawl
And I will swallow my pride
You’re the one that I love, And I’m saying goodbye
Say something, I’m giving up on you
.
Say Something — A Great Big World
-
Soojung menaruh satu tangannya di tembok, tangannya yang lain menggenggam erat tali bahu tasnya. Sudah hampir lima menit dia berdiri sana, antara berani dan tidak dia berniat untuk menekan bel pintu. Dia takut bila Yoonhan tidak ingin melihatnya setelah apa yang telah dilakukannya pada lelaki itu kemarin malam. Dia takut ditolak.
Keputusannya datang kemari adalah salah satu hal yang diputuskannya setelah pergolakan dan perang yang cukup sengit oleh batinnya. Dia berpikir semalaman kemarin, dan sepanjang hari sejak pagi tadi. Dia hampir tidak mendengarkan isi ceramah dosennya di kala kuliah, tidak mencatat sepatah kata pun dari kelas yang diikutinya, maupun mendengar apa kata teman-temannya saat terlibat dalam obrolan bersama mereka.
Pikirannya berada di tempat lain. Isi kepalanya hanya ada Yoonhan, dan Park Chanyeol.
.
Soojung tidak pernah berpikir betapa rumit kisah hidupnya saat ini.
Sejak ayahnya meninggal dunia, dan membuatnya menjadi seorang gadis tanpa orangtua, dia hidup dengan seorang laki-laki yang baru dia benar-benar kenali selama satu tahun. Seseorang yang dulu selalu berhasil membuatnya berjengit tidak suka, seolah lelaki itu membawa penyakit menular kemana-mana, hingga pada akhirnya Soojung merasa seperti seorang gadis yang baru pertama kali jatuh cinta di hadapannya.
Soojung tidak pernah menyadari betapa agungnya kekuatan Tuhan dalam membolak-balikkan hati seorang manusia. Dia tidak pernah menyadari, betapa kekanakannya dia, betapa egoisnya dia pada semua orang, hingga Park Chanyeol sendiri yang membuka matanya. Lelaki itu menghempaskannya dari atas tebing yang curam, dengan cara sekejam-kejamnya. Soojung baru pernah mendengar Chanyeol mengatakan hal seperti itu padanya, pada seseorang. Kata-kata itu membuat hatinya sangat terluka.
“Kenapa kau mengatakan itu padanya? Kenapa kau bersikap seperti itu pada Yoonhan hyung?” Terngiang kembali pertanyaan Chanyeol di telinganya begitu Yoonhan berpamitan pulang dan meninggalkan mereka berdua.
Dia tidak menjawab Chanyeol saat itu. Dia tidak berkata apa-apa dan melewatinya, naik ke dalam kamar, mencoba untuk menghindari lelaki itu. Tapi Chanyeol lebih cepat. Lelaki itu menahan lengannya dan menariknya kembali ke hadapannya tanpa berusaha menyakitinya.
“Aku tahu kau masih marah, tapi tidak bisakah kau menahannya sedikit dan memberinya kesempatan untuk bicara? Dia terbang sejauh ini hanya untuk menemuimu, Han Soojung. Apa yang kaulakukan?” Lelaki itu berkata lagi.
Membicarakan ini adalah hal terakhir yang sesungguhnya ingin Soojung lakukan malam itu. Dia kesal. Penyangkalan Chanyeol padanya sebelum itu membuatnya naik darah, ditambah lagi dengan tawaran Yoonhan, kemudian Chanyeol yang mendadak membela Yoonhan terang-terangan. Kepalanya serasa mau pecah. Soojung sangat kesal, karena di saat dia membutuhkan dukungan Chanyeol, lelaki itu malah tidak memihaknya.
“Hentikan.” Soojung akhirnya berkata. Dia menyentak genggaman Chanyeol di pergelangan tangannya dan menarik tangannya dengan keras.
“Aku tidak ingin membuatnya merasa lebih baik, karena itu aku bersikap seperti ini. Dia meninggalkanku. Dia pernah berjanji untuk tidak akan meninggalkanku, dan dia mengingkari kata-katanya sendiri. Bahkan setelah aku memohon padanya untuk tidak pergi, dia tidak mendengarkan dan tetap pergi meninggalkanku. Lalu sekarang tiba-tiba saja dia kembali dan memintaku menikah dengannya. Aku bukan mainan yang bisa dengan mudahnya dia buang dan ambil lagi mengikuti suasana hatinya. Kau pikir aku harus bagaimana?”
“Kau lebih baik daripada ini, Soojung. Kaubilang kau sudah mengenalnya sangat lama. Seharusnya kau berpikir jauh lebih baik daripada ini.”
Soojung tidak merespon.
“Tidakkah kau pernah berpikir bahwa dia melakukan semua ini untukmu? Bahwa keberangkatannya ke seberang benua sana untuk menyiapkan kehidupannya denganmu? Demi Tuhan, Soojung, kau yang selama ini memberitahuku betapa pentingnya seseorang mengejar mimpi. Tapi tidak ada setitik pun kemungkinan itu terbersit di dalam kepalamu?”
“Kau tidak tahu apa-apa, Oppa. Berhentilah membelanya, kau seharusnya berada di pihakku!”
“Aku akan berada di pihakmu bila kau melakukan hal yang benar. Dan aku tidak tahu apa-apa, katamu? Aku tahu banyak, Soojung! Aku tahu semuanya! Aku bahkan tahu hal-hal yang tidak kauketahui. Hal-hal yang seharusnya kau tidak boleh tahu, tapi karena kau sudah terlalu kelewatan aku tidak punya pilihan lain selain memberitahumu.”
“Tidak mau. Simpan saja itu untukmu sendiri, aku tidak mau dengar!” Soojung menutup kedua telinganya dengan tangan, tapi percuma, Chanyeol menariknya lepas. Dan kekuatan Soojung tidak apa-apanya dibanding Chanyeol untuk memberontak. Lelaki itu menggenggam tangannya dengan erat dan menahannya di depan tubuhnya, tidak membiarkannya menutup telinga.
Soojung benci sekali diperlakukan seperti ini. Ini pertama kali dia mendengar Chanyeol membentaknya dengan amarah yang menukik tinggi. Ini pertama kalinya Chanyeol memaksanya untuk mendengar, mencengkeramnya hingga rasanya nyeri di seluruh pergelangan tangannya, dan menaikkan volume saat bicara.
Airmatanya mulai mengalir. Dia menunduk dalam, tapi tidak bisa melarikan diri. Dia benci membayangkan apa yang akan didengarnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dadanya serasa sakit sekali.
“Seharusnya semua itu adalah kejutan untukmu. Bukan salahnya bila kejadian buruk menimpa ayahmu dan ibuku, lalu mengacaukan semua rencananya. Dia berniat untuk melamarmu sebelum pergi ke Inggris, dan mengajakmu pergi bersamanya. Jeon Yoonhan pun seorang manusia, Han Soojung. Dia bukan seseorang yang bisa memprediksi masa depan. Dia seseorang yang juga memiliki mimpi, dan untukmu, dia berusaha untuk mewujudkan mimpinya sendiri. Lalu apa yang kaulakukan padanya?—”
“Oppa, aku tidak mau dengar…”
“Kau membencinya karena dia meninggalkanmu? Kau memperlakukannya seolah dia seorang kriminal yang tak termaafkan. Tapi kautahu? Satu-satunya kesalahannya, dan yang terbesar, adalah bahwa dia menyimpan kesetiaannya yang dalam untukmu selama bertahun-tahun—”
“Oppa, tolong…”
“Satu tujuan hidup yang pada akhirnya kaubuang begitu saja dan kaucampakkan, hanya karena kau merasa aku cukup signifikan untuk menggantikannya—“
“Oppa, cukup!!” Soojung berteriak. “Cukup, Oppa! Aku tidak ingin dengar! Kau signifikan. Aku menyukaimu, dan itu cukup. Aku tidak ingin dengar lagi. Tolong jangan katakan apapun tentang dia. Berhentilah membelanya, kumohon.”
Airmatanya mengalir deras. Soojung menarik kedua tangannya dari cengekraman Chanyeol setelah itu. Lelaki di hapannya itu seketika berhenti bicara setelah mendengar kalimatnya.
Dia menangis. Soojung menangis di balik kedua tangannya, hingga rasanya pilu. Dan dia menangis cukup keras untuk membuat Chanyeol seolah bisa merasakan kepedihannya. Hingga lelaki itu menarik napas dalam dan menghelanya dengan cepat. Kesal.
Lelaki itu menaruh kedua tangannya di bahu kiri dan kanan Soojung. Lalu keluarlah kembali kalimat yang paling Soojung takutkan malam itu.
“Han Soojung, aku kakak laki-lakimu. Aku tidak pernah memandangmu dengan cara seperti itu. Ini tidak benar, kau harus berhenti bersikap seperti ini.” Chanyeol memperkuat tangannya di lengan Soojung. “Lupakanlah. Kau akan menyesal nanti. Kalau kau terus begini, Soojung, kau akan menyesal. Aku tidak menyukaimu seperti itu, jadi lupakanlah.”
.
Selama hampir 24 jam ini Soojung memikirkan kata-kata Chanyeol. Dia memang benci mendengarnya, tapi bukan berarti apa yang Chanyeol katakan akan dia abaikan begitu saja.
Dia merenungkan kisah tentang Yoonhan yang Chanyeol sebutkan. Tentang rencana lelaki itu, tentang mimpinya, tentang segalanya yang buyar karena sebuah tragedi yang menimpa keluarganya. Mungkin segalanya sudah terlanjur, ketika kejadian itu menimpa mereka, Yoonhan sudah tidak bisa lagi mundur. Mau tidak mau dia harus tetap pergi.
Soojung merasa sangat bodoh. Amat sangat bodoh. Menjadi orang yang picik dan berpikiran sempit adalah karakter terakhir yang tidak ingin dia miliki dalam dirinya. Selama bertahun-tahun dia dibesarkan ayahnya untuk menilai sebuah masalah dari dua sisi, dari bingkai kisah yang lebih besar. Tapi apa yang membuatnya seperti ini, Soojung sama sekali tidak mengerti.
Dia merasa sangat bodoh. Dia merasa seperti seorang kriminal yang baru saja menyadari betapa besar dosa yang telah diperbuatnya pada kehidupan seseorang. Yoonhan telah melakukan segalanya untuknya. Di saat dia terpuruk, lelaki itu berada di sampingnya. Di saat dia pindah ke dunia baru ini, Yoonhan berusaha untuk mendapatkan tempat kerjanya di negara yang sama agar bisa dekat dengannya. Di saat dia sangat membutuhkan teman, lelaki itu selalu ada untuk mendengarkannya. Dan untuk semua yang Yoonhan telah berikan padanya, apa yang dia lakukan pada lelaki itu?
“Hey, it’s me.”
Yoonhan berdiri di hadapannya. Soojung akhirnya menekan bel pintu, dan sekejap saja papan besar berwarna gelap di depan matanya terayun terbuka.
“Hei, masuklah.”
Yoonhan melongok keluar koridor, seolah mengecek bila ada orang lain yang datang bersamanya. Ketika tidak menemukan siapa-siapa, lelaki itu lalu menyilakan Soojung masuk dan membantunya mendorong kereta bayi ke dalam apartemennya.
“Umm, aku perlu tempat untuk membaringkan Luhan.” ujar Sooung agak ragu. Dia tidak berani menatap Yoonhan saat mengatakannya, dan menaruh pandangannya ke arah sofa di ruang televisi.
“Ya, ya, kau boleh pakai kamarku.”
Soojung melangkah pelan mengikuti Yoonhan yang menggiringnya ke ujung koridor di seberang ruang televisi. Lelaki itu membukakan pintu kamarnya yang luas, mempersilakannya masuk, dan meninggalkannya bersama Luhan berdua.
Sebenarnya apartemen ini bukan lagi tempat yang asing bagi Soojung. Entah sudah berapa kali—mungkin ratusan—selama hampir lima tahun ini dia menghabiskan waktu di penghunian itu, seperti rumah keduanya. Dia tahu benar di mana letak semua ruangan, dan apa yang tersembunyi di balik pintu-pintu yang tertutup. Tapi dari semua itu, kamar tidur Yoonhan adalah satu-satunya yang tidak pernah dia masuki. Hingga hari ini.
Luhan merengek sesaat ketika Soojung mengeluarkannya dari dalam kereta bayi. Dia sengaja membawa adik kecilnya itu, karena tidak ada orang di rumah malam ini. Hari ini jadwal Chanyeol naik panggung di warung kopi tempat Yerin bekerja, dan Soojung tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah.
Dia membaringkan Luhan dalam posisi terlungkup. Bayi itu membuka matanya sebentar, dan tertidur kembali dengan cepat begitu Soojung menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Dia turun dari atas tempat tidur begitu Luhan terlelap pulas.
Apa yang ada di dalam kamar Yoonhan, atau bagaimana bentuk dekorasinya, tepat seperti yang selama ini dia duga. Ruangan besar itu tidak memiliki banyak perabotan. Hanya tempat tidur king-size, dua nakas yang mengapitnya, lemari pakaian yang cukup besar untuk menampung seluruh pakaian empat musimnya, dan sebuah lemari berpintu yang menyimpan asesoris pakaian, music player dan rak CD.
Tak banyak barang yang memperlihatkan kepemilikan kamar tidur itu, kecuali sebuah foto berukuran besar Yoonhan bermain piano dengan background gelap lampu panggung, dan diambil dari samping. Lalu dua foto berbingkai seukuran kartu pos yang berdiri di atas nakas.
Soojung melangkah untuk melihatnya, menemukan itu adalah foto Yoonhan bersama ibunya, dan yang kedua, foto bersamanya yang diambil sesaat setelah panggung kolaborasi mereka tujuh tahun yang lalu. Soojung memiliki foto yang serupa di dalam kamarnya, yang diataruh di atas piano dan selalu dipandanginya tiap kali bermain musik. Tapi sama sekali tidak dia duga Yoonhan juga menyimpan foto ini di dalam kamarnya. Satu-satunya foto yang bersanding bersama foto ibu lelaki itu.
Kemudian dia keluar. Soojung melangkah tanpa terburu-buru kembali ke ruang tengah dan menemukan Yoonhan berada di balik konter dapur, menjerang air. Lelaki itu berdiri membelakanginya, dan baru sadar Soojung terpaku di sana setelah beberapa saat.
Soojung terhenyak saat lelaki itu berbalik dan berhadapan kembali dengannya.
“Duduklah di sofa, aku akan membuatkanmu coklat panas.” Ujar Yoonhan dengan ramah. Bahkan kesopanannya sama sekali tidak berkurang hingga detik ini, seolah mereka baik-baik saja.
Soojung mengangguk pelan dan berbalik. Dia kembali melangkah ke ruang santai dan duduk di salah satu sofa yang bersisian dengan televisi, menunggu dengan sabar.
Yoonhan menghampirinya tak lama kemudian, memberikan mugnya, kemudian duduk di sofa lain yang berhadapan langsung dengan televisi di sampingnya.
“Thanks.” Soojung menatap sesaat mug di dalam genggamannya ini. Mug itu berwarna putih dengan corak tuts piano dan beberapa gambar kunci G dan F di langit-langitnya. Dulu mug ini memiliki pasangan, yang sengaja Soojung beli dan dia tinggalkan di sini agar dia dan Yoonhan bisa memakainya bila minum coklat atau kopi bersama. Tapi Setahun yang lalu Yoonhan tidak sengaja memecahkannya, jadi hanya tinggal milik Soojung saja—yang ukurannya lebih kecil—yang tersisa.
“Apa aku mengganggumu?” tanyanya sebelum menyeruput coklat panasnya.
“Tidak.” Yoonhan menaruh mugnya ke atas meja. “Aku baru saja kembali dari kantor setengah jam yang lalu.”
“I see.”
“Apa Chanyeol tahu kau membawa Luhan ke sini?” Yoonhan kemudian bertanya, yang Soojung jawab dengan gelengan ringan.
“Aku meninggalkan pesan di lemari es kalau dia kembali dari kerja paruh waktunya lebih cepat.”
Yoonhan mengangguk, kemudian bersandar di sofa. Lengan kanannya terbentang menyandar di leher sofa kulitnya yang mewah itu, sementara tangannya yang lain di pangkuan. Lelaki itu tidak bicara, tapi kedua matanya dengan tenang memandangi Soojung dalam diam—seolah sedang menunggu sesuatu.
Soojung merasa salah tingkah dipandangi seperti itu. Untuk beberapa saat dia memusatkan pandangannya ke atas meja di hadapannya, tidak berani menggerakan bolamatanya ke arah Yoonhan, maupun meliriknya walaupun hanya sekilas.
Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya datang dengan satu tujuan, tapi tidak tahu bagaimana harus memulainya. Dan tampaknya Yoonhan bisa melihat kecanggungannya ini, karena dari sudut mata Soojung, dia bila melihat lelaki itu mengulum senyumnya.
“Aku mendapatkan ijin mengemudiku beberapa hari yang lalu.” Soojung tiba-tiba saja bercerita. Dia menoleh pada Yoonhan sekilas, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain—apapun selain lelaki di sampingnya itu.
“Oh, ya?” Soojung tahu jelas bahwa informasi ini pasti bukan hal baru lagi untuk Yoonhan. Soojung yakin Park Chanyeol sudah memberi tahunya, tapi Yoonhan tetap saja menunjukkan ekspresi ketertarikan. Lelaki itu memajukan badannya, dan menumpu dua lengannya di atas pangkuan.
“Berapa skor yang kaudapat?” lelaki itu bertanya.
“95.”
“Wah, itu bagus.”
Soojung tersenyum lebar mendengar pujian Yoonhan, terutama karena nadanya terdengar sangat tulus.
“Yeah, you taught me well.”
Dan Yoonhan ikut tersenyum bersamanya, mungkin teringat beberapa sesi latihan kala mengajari Soojung cara mengemudi di sela kesibukan mereka dulu.
Lalu Soojung diam lagi. Dengan kedua tangan dia menggenggam mugnya, beberapa kali dia hisap sedikit-sedikit. Tidak ada yang bicara di antara mereka hingga hampir satu menit kemudian.
“Kau baik-baik saja?” Yoonhan akhirnya bertanya, memecah keheningan mereka terlebih dulu. Tapi alih-alih menjawabnya, Soojung bertanya balik.
“Kau baik-baik saja?”
“A little heartbroken…” Yoonhan mengangkat bahu. “Tapi ya, aku baik-baik saja.”
“Kau tidak bertanya…” Soojung akhirnya mulai bicara. Dia menoleh kembali pada Yoonhan. Kedua matanya menatap dalam manik gelap lelaki itu.
“Kenapa aku berkata ‘tidak’, kau tidak menanyakan alasannya.” Katanya. “Kenapa kau tidak bertanya?”
“Karena aku ragu, apakah aku ingin mendengar alasannya atau tidak.”
Soojung menunduk. Dia berpikir Yoonhan perlu waktu untuk menjawabnya, tapi ternyata lelaki itu mengatakan alasannya saat itu juga. Terlalu cepat bagi Soojung untuk bisa memikirkan respon apa akan pernyataannya.
Dia menaruh mugnya di atas meja, kemudian berpikir. Yoonhan harus tahu. Meski ini mungkin akan menyakiti lelaki itu, tapi ini harus. Setidaknya itu hal terkecil yang bisa dia berikan pada Yoonhan untuk semua hal yang telah dia berikan padanya. Sebuah kejujuran yang berhak Yoonhan dengar.
Ya, dia mungkin akan menyesali ini nanti. Ketika hingga detik ini pun dia belum bisa memutuskan ke mana hatinya harus berpihak, atau siapa yang harus dia perjuangkan, dia mengambil resiko untuk memberitahu Yoonhan apa yang ada di dalam hatinya.
Lelaki itu mungkin tidak akan menerima alasannya, tapi mungkin cukup dewasa untuk bisa mengerti. Maka Soojung berpasrah diri. Apapun yang akan Yoonhan lakukan setelah ini, apapun keputusan yang akan lelaki itu ambil mengenai mereka, Soojung akan berusaha menerimanya dengan hati yang lapang. Terutama bila akhirnya Yoonhan memutuskan untuk menyerah. Melepaskannya.
Dia menoleh lagi, menatap kembali sepasang mata yang pernah membuatnya jatuh cinta itu. Ironis sekali, melihat bagaimana segalanya masih tampak sama, tapi Soojung kini tidak bisa menikmatinya.
“Aku menyukai Park Chanyeol. Tidak seperti seorang adik yang menyukai kakak laki-lakinya, tapi, kurasa…” Dia menunduk lagi, menghindari bolamata Yoonhan yang menatapnya lamat-lamat. “Kurasa aku jatuh cinta padanya.”
Kepala Soojung masih menunduk. Dia diam menatap jari-jarinya yang saling berkaitan, dan menunggu.
Katakan sesuatu… dia berharap.
Dan dia menunggu lagi.
Dua detik berlalu. Tiga detik berlalu. Lima detik…
“Kaurasa kau jatuh cinta padanya.” Yoonhan mengulangi kata-kata Soojung dengan tempo yang lambat. Tekanannya lebih dalam ketika dia menyebut kata ‘kaurasa’, seperti sedang memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah.
Ya. Soojung merasa dia jatuh cinta, karena kini dia tidak bisa memastikan spesifikasi perasaannya secara pasti.
Kata-kata Chanyeol membuatnya berpikir banyak selama seharian ini. Chanyeol terus mengulang kenyataan bahwa lelaki itu kakak laki-lakinya kemarin, dan kalimat itu terus terngiang di telinganya sepanjang malam.
Lelaki itu menyuruhnya untuk melupakan semua ini. Karena mereka bersaudara. Karena Chanyeol kakak laki-lakinya, dia ingin agar Soojung melupakan apa yang diarasakan di dalam dirinya untuk lelaki itu. Rasanya sakit sekali ketika mendengar Chanyeol mengatakan ini. Dadanya terasa nyeri, tenggorokannya tercekat hingga kepalanya pusing luar biasa. Tapi sekuat apapun Soojung berusaha untuk menyangkalnya, kalimat itu adalah nyata. Chanyeol benar-benar mengatakannya. Dia ditolak oleh lelaki yang dulu sangat tidak disukainya.
“Kenapa kau menyukainya?”
“He’s glowing.” Soojung menjawabnya serta merta. Pada awalnya dia tidak sadar saat mengatakan ini, sebagaimana dia juga tidak sadar ekspresi Yoonhan sedikit berubah ketika mendengarnya. Tapi dia terus bicara.
“Dia membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Dia tahu bagaimana caranya membuat orang tertawa, dan tidak ingin berpisah dengannya. Dia hanya bisa bermain Passacaglia dengan satu tangan…” Soojung tertawa pelan mengatakannya, teringat saat mereka bermain piano bersama, dan bagaimana Chanyeol berusaha menyembunyikan fakta dia tidak tahu bagaimana memainkan tangan kirinya dengan memangku Luhan.
“Dia bilang dia tidak akan pernah meninggalkanku. Meski aku berniat menendangnya dari rumah, dia tidak akan pergi. Dan dia sangat suka salju, dia bilang dia ingin bermain kereta seluncur nanti saat—“
“Soojung.” Yoonhan memotongnya dengan menggenggam sebelah tangannya. Soojung menoleh, agak sedikit bingung menemukan Yoonhan menatapnya dengan raut yang cemas.
“Huh?”
“Kau sadar apa yang baru saja kau katakan?” Lelaki itu bertanya. Dan ketika Soojung mengangguk, dia menarik diri.Yoonhan melepaskan genggamannya dan menaruh tangannya di sisi wajah Soojung.
“Soojung, itu Chanyeol atau Luhan yang sedang kaubicarakan?”
.
Dug!
.
Soojung membeku. Sulur-sulur kilas balik seketika menyelinap ke dalam otaknya, menyelusup ke ruang-ruang memorinya, dan membangkitkan kembali momen-momen yang telah lama dia lupakan.
Anak laki-laki itu adalah salah satu kenangan kuat yang memiliki begitu banyak kisah di hari-harinya yang sempit. Mereka bermain bersama, mengobrol bersama, melakukan banyak hal bersama. Bagi Soojung Luhan adalah teman terbaiknya saat itu. Seseorang yang Soojung anggap paling mengerti dirinya, dan dalam waktu singkat mampu memegang rasa percaya Soojung yang memiliki isu dengan kepercayaan.
Dan tidak. Luhan tidak hanya sahabatnya. Anak laki-laki itu bukan hanya kakak laki-lakinya, Soojung menyayanginya lebih dari itu. Jauh dari itu. Soojung menyukainya. Luhan adalah anak laki-laki pertama yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Soojung tidak pernah mengingat ini sebelumnya. Sejak anak laki-laki itu pergi meninggalkan dunia, beberapa kenangan yang mereka miliki seolah terkubur bersama peti mati yang menyimpan jasadnya di bawah tanah. Saat ini, segalanya seperti terulang kembali.
Samar-samar Soojung teringat ketika dia mengutarakan perasaannya pada Luhan suatu hari. Saat itu Luhan hanya tersenyum, tapi untuk menjawabnya, anak laki-laki itu mengecup pipinya. Soojung teringat saat mereka bermain piano bersama, Soojung mengajari Luhan bermain Passacaglia dan Luhan tidak bisa menyelaraskan tangan kirinya pada melodi musik ini. Soojung teringat saat Luhan mengatakan padanya, bahwa dia tidak akan meninggalkan Soojung selamanya… ‘Meski kau tidak lagi menyukaiku, aku akan tetap bersamamu.’ yang dikatakannya saat mereka di rumah sakit. Dan di malam yang sama hari itu, Soojung mengecup Luhan untuk pertama dan terakhir kalinya. Di bibirnya.
Soojung lalu teringat akan beberapa momennya bersama Chanyeol. Kata-kata yang pernah Chanyeol utarakan padanya, tindak-tanduknya, hingga saat Soojung mengutarakan perasaannya secara gamblang.
Sulur memori itu membias. Untuk sesaat Soojung seperti ditarik ke dalam dunia lain yang membuatnya terhenyak. Memori-memori itu terulang dengan jelas, seperti nyata, tapi hanya terjadi di dalam kepalanya. Dia tersentak kembali ketika teringat percakapannya bersama Yoonhan bertahun-tahun yang lalu. Ketika untuk pertama kalinya Soojung menyebut nama Luhan di hadapan lelaki itu.
“Apa yang kausukai dari Luhan?”
“He’s glowing. Saat dia bicara, dia membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Dia selalu membuat orang tertawa, dan sangat cerdas…”
.
“Soojung? Hei, dengarkan aku. Soojung.”
Soojung membuka mata. Seluruh tubuhnya gemetar, dan dia baru menyadarinya. Saat itu pula Yoonhan turun dari sofa dan menekuk lutut. Lelaki itu menariknya ke dalam dekapan yang erat, berusaha menenangkannya. Dia pun baru sadar kalau saat ini tangisnya mengalir begitu deras.
“Apa ini yang kuingat? Oh God…” Soojung menangis keras. Dia memeluk Yoonhan dengan erat, amat sangat erat hingga dia yakin bila tenaganya lebih besar mungkin Yoonhan akan kehabisan napas saat ini. Dia menaruh wajahnya di antara lekukan bahu dan leher lelaki itu, dan melingkarkan lengannya di belakang leher Yoonhan.
Soojung tidak tahu bagaimana memori ini muncul kembali di kepalanya. Tapi yang dia tidak mengerti lagi, bagaimana dia tidak bisa mengingat semua itu sebelumnya. Dan sepertinya semua ini membuatnya syok. Soojung mulai bertanya-tanya sendiri, apakah selama ini dia memang melihat Luhan dalam diri Chanyeol. Yoonhan menyebutkan hal ini, dan dia yakin, pertanyaan itu tidak akan terlontar bila Soojung bersikap sebaliknya.
Dan Soojung harus mengakui bahwa memang ada beberapa hal dari Chanyeol yang mengingatkannya pada Luhan. Aura mereka, sikap mereka, dan beberapa yang lainnya. Dia mulai bertanya-tanya, apakah ini yang dimilikinya pada Chanyeol? Bahwa perasaan itu muncul karena dia melihat orang lain dalam diri lelaki itu?
Tapi kini dia mendapatkan jawabannya. Getar-getar dan sesuatu yang aneh yang sering muncul saat dia memikirkan Chanyeol, Soojung mulai mengerti darimana perasaan itu berasal. Itu adalah memori yang terkurung di dalam penyangkalannya. Hal-hal yang tidak ingin dia yakini, yang mencuat keluar di saat pemicu besar ini melontarkan sulur-sulur ingatan itu ke dalam kotak memorinya.
Soojung tidak ingin berpikir lagi. Kepalanya terasa luar biasa pusing hingga membuatnya lemas. Akhirnya dia membiarkan Yoonhan memeluknya seperti itu terus hingga tangisnya reda.
.
Mereka berada dalam posisi cukup lama. Beberapa menit saat gemetar di tubuh Soojung mulai tenang, Yoonhan beranjak dan duduk di sisinya. Lelaki itu memposisikannya di antara kedua kakinya agar Soojung lebih nyaman meringkuk dalam dekapannya.
Satu jam berlalu begitu Soojung berhenti menangis. Selama itu pula hening kembali menguasai mereka. Tidak ada yang bicara, tidak ada yang bergerak. Sementara Yoonhan memeluknya erat di dadanya, Soojung memeluk satu lengan Yoonhan sebagai sandaran.
Dan selama satu jam itu Soojung tenggelam dalam pikiran dan memorinya. Sulur-sulur memori yang satu-persatu muncul dan mengingatkannya akan masa-masa yang telah lama berlalu. Mereka yang ingin dia lupakan karena terlalu menyakitkan, dan di tiap momen ingatan itu airmatanya mengalir.
Segalanya seolah berjalan lambat di sekitarnya. Hela napasnya, detak jatungnya, bahkan degup samar yang didengarnya di dada Yoonhan. Dia ingin terus seperti ini. Kalau boleh, Soojung tidak ingin Yoonhan melepas dekapannya, karena dia ingin terus meringkuk di sana. Karena apapun yang terjadi, bagaimana pun perasaannya saat ini, Yoonhan memberinya rasa tenang yang berbeda dari Chanyeol.
Aneh sekali. Karena saat ini Soojung merasa lega. Karena rasa nyaman ini adalah perasaan asing yang dulu sangat dia rindukan tiap kali Chanyeol memeluknya. Dia merindukan hangat dekapan ini saat Chanyeol menghiburnya, saat Yoonhan tidak ada.
“I can’t decide.” Ujarnya kemudian, untuk yang pertama kalinya setelah jeda yang sangat panjang. Yoonhan menjawabnya dengan gumam singkat bernada tanya.
“Apa yang saat ini kurasakan, aku tidak bisa memutuskan. Kaubilang mungkin aku melihat Luhan dalam diri Park Chanyeol, dan kurasa memang begitu. Tapi adakalanya dia sungguh Park Chanyeol, dan aku menyukainya karena dia begitu.”
“Bagaimana denganku?”
Soojung mengangkat kepalanya kali ini. Setelah selama satu jam itu dia meringkuk di bahu Yoonhan, Soojung akhirnya menatap lelaki itu lagi.
“After all this time, Yoonhan? I always do.” Ujarnya kemudian. Dia menyelipkan satu tangannya melingkari pinggang Yoonhan, dan menyandarkan kepalanya di bahu Yoonhan yang lain. Lalu dia mendesah pelan. “Tapi aku tidak bisa memutuskan. Tidak sekarang.”
“Kau tahu, aku tidak pernah cukup menerima kata ‘tidak’. Tapi aku tidak ingin memaksa…” Soojung menarik kepalanya setelah beberapa saat ketika Yoonhan bergerak. Lelaki itu memiringkan satu sisi bahunya ketika tangannya menyelip ke dalam satu saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Saat Soojung mengamatinya, itu adalah sebuah kotak beludru persegi empat berwarna hitam.
Yoonhan memberikan kotak itu padanya. “Bukalah.”
Soojung melakukan instruksi Yoonhan, membuka kota beludru itu, untuk menemukan sebuah cincin dengan deretan mata-mata intan kecil berbentuk lingkaran bertumpuk yang berkilauan saat tertimpa terang cahaya lampu. Sontak dia menegakkan punggung, mengamati cincin itu dengan seksama.
“Kau perlu waktu untuk memutuskan, iya kan? Karena itu aku akan memberikannya padamu. Waktu.” Yoonhan memberitahunya.
“Kenapa?”
“Karena aku sudah menunggu selama ini hingga kau dewasa, Soojung. Menunggu beberapa saat lagi tidak ada salahnya. Aku memberimu waktu lima tahun. Selama itu pikirkanlah dengan baik, kemudian pakailah bila kau sudah siap kembali padaku.”
“Bagaimana kalau setelah lima tahun aku masih belum bisa memutuskan?”
Yoonhan menarik napas. “Kalau begitu aku akan menyeretmu ke altar dan menikahimu di sana, saat itu juga. Lima tahun paling lama, aku akan membuatmu jatuh cinta lagi seluruhnya.”
Soojung mendengus. Inilah Yoonhan yang dia kenal. Seseorang dengan determinasi yang kuat akan apa yang dia inginkan, dan akan mewujudkannya bagaimana pun caranya.
Soojung tidak berani berjanji. Dia tidak mengiyakan, maupun menolaknya lagi. Tapi Soojung percaya sepenuhnya padanya Yoonhan. Setelah selama ini mereka bersama, Soojung percaya, Yoonhan akan menepati kata-katanya.
Selama beberapa saat kemudian Soojung masih mengamati cincin di dalam kotak beludru itu. Dia kemudian menutupnya kembali, membalik kotak cincin itu dan menemukan bordir tulisan Swarovski di baliknya. Lagi-lagi dia mendengus.
“Kupikir ini berlian.” Ujarnya kemudian, begitu suasana di antara mereka mulai menghangat.
“Bukan, itu kristal. You see what I did there, don’t you?”
“Ya. Yoonhan yang romantis, yang membeli cincin sesuai dengan arti namaku. Tapi ayolah, dengan pekerjaanmu sekarang seharusnya kaubisa membelikanku berlian daripada kristal. Ini kan tidak begitu mahal…”
“Cerewet. Menikahlah denganku kalau begitu, nanti akan kubelikan berlian sebesar yang kauinginkan.” Yoonhan memencet hidungnya, membuat Soojung berteriak karenanya.
Lalu Soojung tertawa. Masih di pangkuan Yoonhan, dan dalam dekapannya yang hangat, Soojung melepaskan segala kegetiran dan rasa gundahnya dengan gelak tawa yang membahana ke seluruh ruangan. Yoonhan bahkan harus menutup mulutnya karena tidak ingin membangunkan Luhan. Tapi Soojung tidak peduli, dia masih tergelak. Dia terus tertawa hingga menangis lagi, dan kemudian menertawai tangisannya.
.
Dan malam itu, begitu Yoonhan mengantarnya pulang lewat tengah malam, Soojung menemukan Chanyeol masih terjaga di ruang televisi. Lelaki itu tidak menyapanya saat Soojung muncul dari balik pintu, hanya menoleh sesaat, kemudian berpaling kembali menatap layar televisi.
Soojung tidak menyapanya. Dia langsung naik ke kamarnya untuk membaringkan Luhan, tapi turun lagi setelahnya. Soojung menghampiri Chanyeol, naik ke atas sofa dan menjejalkan dirinya di sela-sela tempat yang tersisa. Dia bersandar di bahu Chanyeol, menarik lengan panjang lelaki itu untuk menyelimuti pinggangnya. Chanyeol menurut saja tanpa berkomentar.
Mereka menonton televisi tanpa ada yang bicara. Setidaknya hingga lima belas menit berikutnya.
“Kau kenapa?” Chanyeol bertanya setelah lama membisu. Lelaki itu tidak bergerak untuk melihatnya, seperti yang biasa dia lakukan bila Soojung bersikap aneh semacam ini, tapi mengusap dahi hingga belakang kepalanya dengan lembut.
“Aku mendapatkan pencerahan. Rasanya berbeda.”
Rasanya memang berbeda saat Yoonhan dan kau memelukku.
Soojung tahu Chanyeol pasti tidak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi entah seberapa besar rasa ingin tahu Chanyeol akan hal ini, lelaki itu tidak menunjukkan sikap seolah dia menginginkan penjelasan. Chanyeol hanya diam. Lelaki itu menaruh kembali tangannya di bahu Soojung dan membiarkannya di sana seterusnya.
“Kau salah, Oppa.” Soojung akhirnya berkata. “Kesetiaan Yoonhan selama bertahun-tahun ini bukan kesalahan terbesar yang pernah dia buat. Ini adalah anugerah, karena tidak semua laki-laki akan melakukan hal semacam itu pada seseorang.”
“Aku tahu, maaf…”
“Dan kau menyukaiku. Jangan menyangkal, karena aku tahu. Dan aku bisa merasakannya.”
Jeda. Soojung menggigit bibirnya sesaat. “Tapi kau benar tentang satu hal. Bahwa aku harus melupakannya. Karena aku adik perempuanmu, aku tidak boleh seperti ini. Kuberitahu kau, aku akan melakukannya. Mulai hari ini aku akan berusaha melupakan apa yang kumiliki untukmu kalau kau juga berusaha melakukan hal yang sama.”
Chanyeol tidak mengatakan apa-apa. Membisu lagi.
Dan mereka terus bertahan dalam posisi itu hingga dua puluh menit berikutnya. Ketika Soojung sudah mulai merasa ngantuk, dia menarik diri. Chanyeol masih terjaga, dan lelaki itu menoleh padanya dengan tatapan yang tidak terbaca. Soojung tidak bisa menebak apa yang ada di dalam kepalanya.
Dia tidak lagi berniat untuk melakukannya.
“Lima tahun. Kita punya waktu selama itu untuk saling melupakan.”
Saling melupakan. Kata-kata ini tampaknya sangat mustahil. Bagaimana mereka bisa saling melupakan bila tiap hari bertemu, di manapun dan kapanpun di bawah atap rumah ini. Soojung tahu, bahwa Chanyeol tahu, ini mustahil. Tapi Soojung, dan Chanyeol juga tahu, bahwa ini yang terbaik. Pada akhirnya kisah mereka, Soojung yakin, akan berakhir dengan bahagia. Meski itu akan melibatkan dua orang lagi dalam kehidupan mereka.
Setidaknya mereka akan menemukan kisah cintanya masing-masing, dengan orang yang sama atau tidak. Tapi bagi Soojung, Park Chanyeol akan tetap menjadi Park Chanyeol. Seseorang yang pernah menempati ruang besar dalam hatinya. Itu tidak akan pernah dia lupakan.
Soojung mendekatkan dirinya untuk mengecup Chanyeol di pipinya, kemudian melepas rengkuhan tangan Chanyeol di bahunya.
Dengan begitu dia menegakkan punggung, dan turun dari sofa. Setelah mengucapkan selamat malam Soojung meninggalkan Chanyeol sendiri di sofa, masih dengan posisi yang sama, tanpa kata-kata.
Tapi yang terlewat dari perhatian Soojung malam itu, adalah bulir hangat yang mengalir dari sudut mata Chanyeol begitu Soojung melangkah meninggalkannya.
.
Malam itu terakhir kalinya mereka saling merengkuh sedekat ini.
Hari berikutnya adalah cerita yang berbeda.
.
.
.
.
.
.
* * * FINALE * * *
.
not my kind of choice of ending, tapi percaya deh… ini adalah ending yang Soojung dan Chanyeol buat, dan aku merasa sangat terhormat karena bisa menuliskannya.
Kisah mereka, dari awal sampai akhir memberikan arti yang besar tentang makna sebuah keluarga.
I’m happy for them, for whatever choice they’ve made and decided. Mereka adalah orang-orang yang kuat dan inspiratif. Dan buat aku, kisah mereka nggak akan terlupakan.
.
An Epilogue soon!
p.s.
comment and like would be so much appreciated.
xoxo. ~♥
Galeri Forsaken bisa kamu lihat di sini.
Filed under: fan fiction, series Tagged: Forsaken, Han Soojung, Park Chanyeol, Yoon Han
