Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Summer Love : Linger

$
0
0

iT9ZW0R

-

Chapter ini berisi tema yang sugestif

Tidak disarankan bagi yang di bawah 17 tahun untuk membacanya

Harap diperhatikan dan dipatuhi.

-

Namanya Jung Soojung. Tapi dia lebih suka dipanggil Krystal, karena begitulah orang-orang di tempat dia berasal memanggilnya.

Dia datang ke Korea sebagai seorang siswa pertukaran. Tahun ini Korea Selatan pertama kalinya merealisasikan kurikulum baru siswa SMA mereka yang diadopsi dari cara belajar anak-anak SMA di Amerika. Dan untuk menguji keefektifan sistem belajar baru ini, didatangkanlah lima siswa dari pelosok Amerika dan ditempatkan di lima SMA seluruh Korea.

Di Seoul sendiri ada dua SMA yang terpilih untuk menjadi sampel pertama kurikulum baru ini. Lainnya berada di kota Daegu, Busan dan Gwangju. Dan selama satu semester ini, Soojung bersama empat anak lainnya bergabung dalam kelas freshmen angkatan baru yang berbasis diskusi panel atau student center.

Ini sangat berbeda dari kurikulum belajar mengajar yang sebelumnya diterapkan di Korea. Soojung mempelajari, bagaimana anak-anak senior di sekolah itu belajar dengan mendengarkan gurunya menjelaskan materi di depan kelas, lalu mengerjakan soal dari buku teks—buku dengan materi yang sangat membosankan, dan mereka melakukan semua itu dalam satu kelas yang sama sejak pagi hingga malam.

Soojung tidak habis pikir bagaimana para siswa di negara ini bisa bertahan dengan kebosanan semacam ini selama bertahun-tahun. Di saat yang sama dia juga bersyukur karena dilahirkan di seberang benua dan tumbuh besar di sana. Para siswa di sini menghabiskan dua pertiga harinya di sekolah selama sepertiga tahun remaja mereka, dan membayangkan dia harus menghabiskan waktunya dengan kebosanan tingkat maksimal ini, Soojung berpikir lebih baik dia mati saja.

Kualifikasi untuk siswa pertukaran ini terbatas pada keturunan warga Korea, atau mereka yang fasih dalam bahasanya, dan duduk di level setingkat SMA dari semua tahun. Soojung seharusnya adalah siswa senior saat ini, tapi karena program kurikulum ini mulai diterapkan untuk para siswa yang baru bergabung di SMA mereka, dia harus duduk bersama anak-anak baru itu, mengikuti materi yang sudah pernah dia pelajari sebelumnya.

“Seohwa, kau tahu siswa senior ini? Dia tinggi, kulitnya pucat, dan punya rahang yang tajam. Rambutnya pendek, dan ekspresi wajahnya seolah mengatakan ‘aku ingin mati saja besok’. Kau tahu?”

Soojung bertanya pada anak perempuan yang kini sibuk ‘mencoba’ menyelesaikan pekerjaan rumahnya di meja belajar. Seohwa adalah anak perempuan si empunya rumah, dan mereka belajar di sekolah yang sama. Sebelum sampai di Seoul, dia diberitahu bahwa selama tinggal di kota itu dia akan tinggal di rumah keluarga bermarga Jung.

Seohwa gadis berperawakan mungil dan manis, tipikal gadis-gadis pribumi yang sering dia temukan di drama-drama televisi. Rambutnya panjang, matanya kecil dengan lipatan yang melengkung dalam dengan sempurna, tipikal kesukaan para laki-laki—dan ternyata gadis itu memang cukup populer di sekolahnya.

Saat pertama kali bertemu, Soojung mengira gadis itu masih SMP karena tubuhnya yang pendek, ditambah lagi wajahnya terlihat jauh lebih muda dibanding dengan usianya. Tapi ternyata Seohwa seumuran dengannya. Mereka sama-sama siswa senior, jadi mereka sering sekali membicarakan banyak hal yang random bersama.

Sebenarnya dia tidak hanya tinggal sendiri saja. Di Seoul, dia berbagi kamar bersama anak perempuan—sebenarnya, entah juga kalau anak itu bisa dibilang perempuan—keturunan Cina yang berasal dari Los Angeles. Namanya Amber Liu, dan anak itu lebih mirip laki-laki daripada anak perempuan. Mereka bertemu di LAX begitu Soojung sampai dari San Fransisco, dan kini Amber ditempatkan di SMA umum elit di daerah Cheongdam. Soojung lupa namanya.

Seohwa mendengung pelan, kemudian dia memutar kursinya.

“Aku tidak pernah tahu kalau ada siswa senior yang punya ekspresi begitu.” Gadis itu menjawab. “Tapi kalau melihat deskripsi yang lain. Tubuh tinggi, kulit pucat dan rahang yang tajam; itu berarti Oh Sehun.”

Soojung mengangguk. Jadi namanya Oh Sehun, dia berpikir sambil memilin rambut merah yang menjuntai ke bahunya.

“Dia teman sekelasku. Memangnya kenapa?” Seohwa kemudian bertanya.

Kepala Soojung seketika menoleh pada kalimat itu. Mereka tidak pernah bicara tentang teman-teman sekelas Seohwa satu-persatu sebelum ini, tapi mendengar orang yang Soojung maksud ternyata cukup terjangkau wilayah informasi, membuatnya tertarik.

“Wah!” Soojung berseru antusias. Dia segera menutup laptop di pangkuannya, menaruhnya di karpet dan beranjak, memanjat ke atas pembaringan dengan bersemangat.

“Benarkah? Dia bagaimana sih orangnya?” ujarnya bertanya, masih dengan nada yang antusias. Soojung menarik bantal dari sandaran Amber—membuat anak perempuan itu mengaduh dan menyumpah karenanya, Soojung hanya mengatakan ‘sorry, Amber’ singkat tanpa terlihat menyesal—dan memeluknya di pangkuan.

Chill out, Cat Lady. Ya Tuhan, tutuplah mulutmu, you’re drooling over the sheet.”

 Soojung berdecak, dia menepis kaki Amber dari wajahnya dengan tepukan keras. Perhatiannya ke kembali ke Seohwa.

“Dia…” Seohwa memiringkan kepalanya. “Begitulah. Kata teman-teman SMP-nya dia tidak seperti ini dulu. Tapi sejak SMA dia berubah.”

Soojung mengerutkan dahinya mendengar hal ini. “Memangnya kenapa?” dia bertanya ingin tahu.

“Ayahnya meninggal dua tahun yang lalu. Dan sejak itu dia…” Seohwa mengangkat bahunya, seolah kehilangan kata yang tepat untuk menjelaskan situasi yang ingin dia jabarkan. “Kau tahu, menutup diri. Total.”

Seohwa mengetuk-ngetukkan pensilnya di permukaan meja. Soojung sadar gadis itu mengawasinya tenggelam dengan pikirannya sendiri. Soojung sedang mengingat lagi sebuah pertemuan singkat yang akhirnya dia tetapkan sebagai adegan pembuka paling berkesan di awal kedatangannya ke kota ini.

Kembali pada saat-saat di bulan Maret lalu. Tumpukan salju masih menutupi sebagian besar pinggiran jalan kota, juga sisi-sisi jalan setapak di sekolahnya. Hari itu adalah hari pertamanya di SMA Jeongbuk, dan Soojung mengenakan jaket hangat barunya berhadapan dengan dinginnya hawa Seoul di penghujung musim dingin.

Meski datang dari negara empat musim, Soojung hampir tidak pernah meninggalkan California. Salju tidak turun di San Francisco—kecuali suatu kali tiga tahun yang lalu, itu pun pertama kalinya sejak tahun 1976. Terakhir kali Soojung bertemu salju adalah saat merayakan Natal di rumah kolega orangtuanya di Manhattan, dan itu pun bertahun-tahun yang lalu.

Salju turun dengan lebat sepulang sekolah, sementara Seohwa masih harus tinggal di kelas hingga malam nanti. Karena tidak ingin berjalan di tengah hawa yang dinginnya minus derajat Celcius, dia memutuskan untuk berjalan-jalan sambil menunggu Seohwa keluar kelas.

SMA Jeongbuk adalah salah satu sekolah menengah yang paling besar dan tua di kota Seoul. Prestasinya selalu berada di jajaran lima teratas SMA terbaik di seluruh pelosok ibukota dari seluruh aspek. Dan saat melihat fasilitas yang ada di sekolah ini, Soojung mulai mengerti kenapa Jeongbuk mampu bersaing dengan SMA swasta dan bahkan sekolah internasional.

Secara teknis, Jeongbuk sudah seperti one-stop learning area dalam versi minimalis. Sekolah ini memiliki sebuah perpustakaan dengan puluhan ribu koleksi buku teks, ensiklopedia hingga karya sastra lama. Sayap kiri ruangan besar itu diisi dengan deretan meja panjang dan kursi-kursi empuk di tiap sisinya, lalu satu area di sisi sayap kanan berjejer rak-rak buku yang diatur berdasar kategori, dan diurutkan secara alfabetikal.

Sebuah stadium dengan tribun delapan tingkat berdiri di ujung sudut sekolah yang membujur ke arah lapangan sepak bola. Seluruh siswa mengikuti kelas PE di sana. Konon tim basket Jeongbuk adalah andalan sekolah ini, yang hampir tiap tahun maju ke pertandingan nasional antara SMA seluruh Korea Selatan. Dan untuk Soojung, nantinya indoor stadium itu adalah salah satu tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu bila kelasnya kosong. Tim taekwondo dan hapkido berlatih beberapa kali dalam seminggu tiap sore, dan Soojung suka menontonnya.

Selain itu masih banyak ruangan-ruangan lain yang dibangun dengan fasilitas maksimal dan level tinggi, seperti laboratorium sains dan bahasa, ruang diskusi untuk dipakai bersama para study-body, ruang senat siswa, auditorium sekolah, hingga basecamp ekstrakulikuler yang berjejeran di lantai dua indoor stadium.

Dan di sanalah Soojung saat itu, berjalan mengelilingi tiap lantai dan mengintip ke dalam basecamp tiap ekstrakulikuler dari jendela (atau menerobos masuk bila pintunya tidak dikunci), ketika samar-samar dia mendengar alunan musik dubstep menari-nari di gendang telinganya.

Karena penasaran, Soojung mencari asal suara itu. Dia mengintip tiap jendela dan membuka satu-persatu pintu yang tak terkunci. Suara itu terdengar sayup, hampir tidak terdengar karena melodinya yang naik dan turun. Tapi dia yakin suara itu benar-benar ada—mungkin siapapun yang menyalakannya sengaja mengeset volumenya cukup rendah.

Soojung penasaran siapa yang bertanggungjawab atas suara musik ini. Karena yang dia tahu, seluruh siswa tahun pertama belum boleh berkeliaran di area kekuasaan para angkatan atas ini. Tapi di saat yang sama, para siswa junior dan senior—atau juga disebut siswa tahun kedua dan ketiga—masih duduk manis mengikuti pelajaran di kelas mereka masing-masing. Seharusnya tempat ini kosong. Seharusnya, Soojung berpikir, dia seorang diri di sana.

Kecuali bila ada yang membolos.

.

Dia sampai di ujung koridor. Sayup suara musik itu terdengar semakin kuat di sana. Di hadapannya, di mana saat itu berdiri sebuah ruangan tanpa jendela dengan pintu kembar beraksen Perancis yang tertutup rapat. Soojung menempelkan telinganya di daun pintu. Dia yakin suara musik itu berasal dari dalam.

Pelan-pelan Soojung mendorong pintu, sengaja membukanya tanpa suara. Lalu apa yang dia lihat di balik pintu itu membuatnya terperangah.

Seohwa pernah bercerita padanya, bahwa selain tim basket dan klub sainsnya yang cukup diandalkan, Jeongbuk memiliki satu aspek lain yang dibanggakannya hingga ke ranah nasional. Adalah akademi ballet-nya. Dan Seohwa menari untuk mereka.

Dari yang gadis itu katakan, Jeongbuk adalah satu-satunya SMA umum yang memiliki ijin dan diakui akademi ballet-nya di Seoul. Akademi ini bukan institusi yang terpisah dari SMA Jeongbuk, masih tergabung di dalamnya, tapi dengan struktur birokrasi yang lebih tinggi dari bagian kesiswaan. Semacam kegiatan ekstrakulikuler, tapi lebih eksklusif, karena para penarinya mendapatkan cukup banyak keringanan apabila mereka dikontrak untuk tampil di panggung di luar sekolah atau mengikuti audisi penari dan semacamnya.

Memang tidak banyak anggotanya. Tahun ini mereka memiliki total 15 penari; 10 ballerina dan 5 ballerino dari 300 siswa junior dan senior. Konon ada beberapa anak dari tahun pertama yang sudah mendaftar masuk ke dalam tim baru, dan mereka akan memulai kelas pertama mereka akhir minggu itu. Saat itu, Soojung berdiri di ambang studio latihan mereka.

Ruangan itu berbentuk persegi panjang, dia tidak bisa mengira-ngira panjang lebarnya. Yang jelas cukup besar. Tembok ruangan dicat dengan warna pastel dan lantai vinil berwarna kecoklatan. Cermin super besar merekat di beberapa temboknya, memantulkan tiap gerak mereka dari tiga sisi, dan palang besi bundar membentang panjang di seluruh sisi tembok, setinggi pinggul, berfungsi sebagai barre.

Yang menjadi perhatian Soojung kemudian adalah sosok seorang laki-laki yang tengah menari di sisi lain ruangan itu. Anak laki-laki itu membelakanginya, tapi Soojung bisa melihat wajahnya dengan jelas dari pantulan cermin di hadapannya.

Tubuhnya tinggi, ramping, wajah dan kulitnya pucat, dan sosok itu menari mengikuti irama musik, menunjukkan sebuah gerak koreo yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Soojung penggemar serial film Step Up, dan menonton orang menari adalah kesukaannya, jadi dia cukup familiar dengan koreo yang tercipta akan musik-musik anyar, juga bagaimana seseorang bisa dikatakan sebagai seorang dancing machine. Laki-laki di sudut lelaki itu memiliki seluruh kriteria utamanya, dan koreonya cukup orisinil.

Setidaknya Soojung berdiri di sana selama hampir dua menit. Pertunjukkan yang diberikan anak laki-laki itu membuatnya lupa bahwa seharusnya dia tidak berada di sana. Jadi ketika tiba-tiba saja lelaki itu mematikan musik dan berbalik menghadapnya, Soojung merasa seperti tertangkap basah.

“Kau mencari sesuatu?” lelaki itu membuyarkan lamunannya.

Soojung terhenyak, menyadari bahwa dia seperti seorang penguntit yang menonton seseorang menari tanpa ijin. Lelaki itu mengangkat alisnya, menunggu jawaban. Ekspresinya datar, tidak menunjukkan keramahan. Tapi anehnya, lelaki itu juga tidak bersikap seolah terganggu dengan kelancangannya.

Lelaki itu melangkah mendekatinya, dan semakin jarak di antara mereka mulai terhapus, Soojung mulai menyadari sesuatu yang menarik di matanya. Ini bukan sesuatu yang indah atau apa. Soojung memang harus mengakui ada sesuatu dari lelaki itu yang membuatnya tertarik. Entah itu sweatpants dan jumper bertuliskan Supreme yang membuat lelaki itu tampak sporty, atau rambut basah yang menempel di dahi dan sisi kepalanya—Soojung suka melihat laki-laki yang berkeringat. Yang jelas untuk sesaat, hanya sesaat, Soojung merasa seperti tersihir.

“Aku, umm…” Soojung mengangkat jari telunjuknya ke udara, mencari jawaban. “Aku sedang mencari toilet, tapi sepertinya aku tersesat.”

Anak laki-laki itu telah berdiri di hadapannya saat ini. Tubuhnya menjulang tinggi, dia harus mendongak untuk menatap wajahnya. Soojung menarik bagian atas tubuhnya, dan melangkah mundur ketika lelaki itu melongok ke luar pintu—aroma keringat bercampur dengan parfum menari-nari di bawah hidung Soojung, membuatnya mengernyit sekilas. Dia menyukai wangi itu, aroma musim panas yang entah kenapa seolah mampu membuatnya hangat seketika di tengah hawa dingin ini.

Soojung mengawasi anak laki-laki itu menengok ke kanan, lalu ke kiri, seperti sedang memastikan tidak ada orang selain mereka di sana, lalu kembali padanya.

“Kau berada di lantai yang salah. Toilet perempuan berada di samping ruang ganti, lantai pertama.”

Seperti sedang mendapatkan pencerahan, Soojung membuka mulutnya sambil bergumam ‘aah’ pelan. Dia meringis, mohon maklum, tapi lelaki itu masih menatapnya tanpa ekspresi. Seolah dia tidak penting.

Soojung lalu berterima kasih, meminta maaf karena sudah menganggu dan memberitahu anak laki-laki itu betapa keren koreo yang tadi sempat disaksikannya. Dia sudah hendak pergi ketika merasakan bahunya ditahan.

“Siapa namamu?” Laki-laki itu bertanya.

“Umm, Jung Soojung?”

Eh, bukan. Krystal!

Tapi itu tidak pernah terucapkan. Soojung agak terkejut menyadari dia memberitahu orang asing itu nama Koreanya, bukan Krystal Jung, seperti yang dia beritahukan pada seluruh kelas dan semua orang sepanjang hari ini. Yang aneh lagi adalah bagaimana dia tidak repot berusaha untuk mengoreksi namanya, karena ketika laki-laki itu mengangguk, segalanya terasa cukup.

“Selamat datang di Jeongbuk.” Laki-laki itu berkata lagi.

“Umm, okay. Thanks?” Lalu pintu ditutup dari dalam saat itu juga.

Soojung baru menyadari bahwa dia belum sempat menanyakan siapa nama anak laki-laki itu setelah hampir satu menit berdiri seperti orang bodoh di depan pintu yang tertutup. Dia ingin masuk lagi, dan menanyakan siapa namanya, dan kenapa anak laki-laki itu berada di sini, bukannya di kelas. Tapi saat dia hendak melakukannya—tangannya sudah menggenggam erat tuas pintu—musik terdengar lagi dari dalam. Soojung akhirnya mengurungkan niat, dan melangkah pergi. Lelaki itu jelas tidak ingin diganggu, dan membiarkannya sendiri jelas adalah keputusan yang bijaksana saat itu.

.

Lalu memorinya kembali pada insiden yang terjadi beberapa jam yang lalu. Setelah dua bulan pertemuan itu terlupakan, Soojung tidak mengira akan bertemu dengan anak laki-laki itu lagi hari ini.

Baiklah, bukan berarti Soojung benar-benar melupakannya. Tentu dia sempat mencoba untuk mencari tahu identitas anak laki-laki itu sebelum ini. Soojung sengaja menajamkan inderanya saat seluruh siswa berkumpul di satu tempat; di kafetaria, di aula sekolah saat upacara pagi, saat para senior bermain sepak bola di lapangan, tapi Soojung tidak pernah melihatnya. Soojung kembali ke studio ballet beberapa kali selepas sekolah, tapi lelaki itu tidak pernah muncul. Anak laki-laki itu seolah raib ditelan bumi, sosoknya tidak pernah terlihat di manapun.

Hingga sore ini, Soojung merasa bosan setelah menghabiskan sorenya di perpustakaan sekolah. Dia sengaja tinggal di sana untuk mengerjakan tugas bersama beberapa temannya, dan tiba-tiba saja ingin menghubungi ibunya di rumah.

Dan inilah hal yang sangat ketat tetap dijaga oleh Jeongbuk selama bertahun-tahun. Sinyal ponsel tidak bekerja di dalam gedungnya. SMA ini memakai semacam jaringan blokade untuk menutup seluruh gelombang telepon seluler agar para siswa bisa lebih berkonsentrasi pada pelajarannya. Soojung sudah mencoba untuk menghubungi ibunya melalui skype, tapi tidak ada yang menjawab.

Seoul memiliki perbedaan waktu 16 jam lebih cepat dibanding San Francisco. Jam tangannya menunjukkan waktu pukul lima sore, jadi di rumah pukul satu pagi saat itu. Soojung melangkah keluar dari perpustakaan dan berjalan cepat menuju satu-satunya tempat di mana dia bisa mendapatkan sinyal terbaik di seluruh area sekolah. Seohwa pernah memberitahunya tentang ini.

Tempat itu adalah atap sekolah. Saat itu bukan pertama kalinya dia berada di sana. Soojung pernah beberapa kali berkunjung ke area, yang seharusnya terlarang bagi siswa, ini untuk menelepon orangtuanya ketika masih di sekolah. Tapi ini pertama kalinya dia ke sana, dan tidak seorang diri.

Seorang anak laki-laki tengah menyeberangi ril pembatas atap ketika Soojung membuka pintu keluar. Tadinya Soojung mengira anak laki-laki itu hanya ingin duduk di ril, dan menantang andrenalin, seperti yang anak laki-laki kebanyakan gemar lakukan.

Soojung mulai tertarik dan melupakan keinginannya menelepon saat menyadari siapa laki-laki itu. Sosok yang pernah dia temui di studio ballet, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Laki-laki itu berdiri bersandar di balustrade sambil menatap kosong jauh ke depan.

Dan Soojung hampir saja pergi untuk membiarkan laki-laki itu memiliki waktu pribadinya sendiri bila saja dia tidak menyadari sesuatu. Ekspresi di wajah laki-laki itu membuat langkahnya terhenti, kemudian berbalik untuk mengawasinya lebih lama. Apa yang dilihatnya tampak serupa. Ekspresi yang datar, dan sesuatu seperti keputusasaan yang pernah ditangkapnya dari pantulan cermin ketika menonton laki-laki itu menari.

Ekspresi itu kini tampak menguat, terlihat makin jelas dari tiap gerak-geriknya. Soojung curiga. Pelan-pelan dia melangkah menghampiri lelaki itu. Sneakers flat-nya tidak menimbulkan suara saat bersentuhan dengan lantai atap, dan itu membuat Soojung bersyukur diam-diam.

Dan benar saja. Ketika dilihatnya lelaki itu mulai melepas satu tangannya dari pegangan ril, Soojung tahu ada yang tidak beres. Dia memperlebar langkah, dan mulai berlari.

Hanya sepersekian detik. Hampir saja.

Soojung tidak tahu apa yang mungkin akan terjadi bila saja dia tidak sampai di saat yang tepat, dan menangkap pergelangan tangan laki-laki itu sebelum dia meloncat. Anak laki-laki itu kembali berpegangan pada ril, dan menyandarkan diri ketika Soojung menarik tangannya.

Jantungnya serasa seperti ingin meloncat keluar. Menyaksikan seseorang yang berniat untuk membunuh dirinya sendiri jelas tidak ada dalam daftar kegiatan selama kunjungannya di negara ini.

“Kenapa tiba-tiba kau menanyakannya?”

Pertanyaan Seohwa mengembalikan Soojung kembali ke bumi. Dia menoleh ke arah datangnya suara itu, dan mengangkat bahunya. Senyum yang lebar seketika muncul mewarnai wajahnya yang cerah, Soojung kembali memainkan rambut panjangnya yang berwarna merah terang.

He’s so my style.” Katanya dengan kedua mata menatap langit-langit, lalu tertawa geli.

Soojung hanya punya kalimat itu sebagai jawaban. Dia memang tertarik pada anak laki-laki bernama Oh Sehun ini, tapi ketertarikannya itu tidak berbentuk dalam getar afeksi atau semacamnya. Baiklah, belum. Yang dirasakannya kali ini adalah bagaimana Oh Sehun membuatnya penasaran. Apa yang anak laki-laki itu lakukan sore ini, dan apa motifnya, Soojung ingin tahu apa yang membuat Sehun seperti itu.

Tsk.” Amber berdecak. Nada anak perempuan jadi-jadian itu membuyarkan suasana manis yang ingin Soojung ciptakan dengan tawa sinis yang dibuat-buat.

Ya, Soojung tahu, entah sudah keberapa kali dia mengucapkan hal semacam ini pada mereka berdua tiap kali membicarakan anak laki-laki di sekolah. Dan Soojung juga tahu, betapa Amber yang sarkastis sangat menyukai saat-saat semacam ini karena ini adalah waktunya anak itu mencelanya habis-habisan.

“Amber, please. I know I’m fabulous, tapi jangan terlalu memperlihatkan kekecewaanmu karena aku lebih menyukai laki-laki daripada kau.” Soojung mengibaskan rambutnya dengan sok. Seohwa tertawa mendengarnya, sementara Amber meresponnya dengan beranjak dan membungkukkan tubuhnya ke bawah tempat tidur, seperti orang yang sedang muntah.

Sweat it, Skitch. Perempuan sepertimu adalah alasan utama kenapa aku tidak akan pernah menjadi gay.” Amber membalasnya.

Soojung membelalak lebar mendengar istilah apa yang Amber pakai untuk menyebutnya. Dia lalu melempar wajah Amber dengan bantal di pangkuannya, dan anak perempuan itu melemparkan bantalnya kembali ke arah yang sama padanya. Untuk beberapa saat mereka berperang bantal hingga keduanya lelah dan tertawa keras di atas pembaringan.

Mereka selalu begini. Soojung merasa bahwa dia memiliki semacam love and hate relationship bersama Amber. Anak perempuan itu bicara bahasa sarkasme dengan sangat lancar, bahkan jauh lebih sempurna dibanding bahasa Inggrisnya. Dan berhadapan dengan karakternya yang sama-sama kuat, mereka berdua seperti singa-singa betina di kala berebut buruan makanan.

Tapi bukan berarti mereka akan terus berkelahi. Seperti singa-singa betina di Afrika, mereka pun bisa jadi sangat akur bila masanya saling berkumpul. Di balik mulutnya yang tajam itu, Amber adalah anak perempuan yang loyal dan penyayang. Dua bulan mereka hidup bersama, Soojung merasa dia bisa mengandalkan hidupnya pada anak-perempuan-bukan-laki-laki-bukan ini. Seohwa sudah mengerti benar watak mereka, dan gadis itu tidak pernah melerai mereka ketika keduanya mulai berulah.

Ketika kembali ke kamarnya, Soojung duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia mengeluarkan robekan secarik kertas dari dalam saku ranselnya.

Sehun memberikan kertas itu padanya tadi sore, ketika lelaki itu berpikir Soojung akan membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan. Tapi tentu saja Soojung tidak melakukannya. Anak laki-laki itu tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Soojung bisa menjadi seseorang yang sangat persuasif bila dia menginginkannya. Dia hanya tidak mengira meyakinkan Sehun tidak semudah yang dia duga.

Tapi setidaknya hari ini berjalan seperti yang dia inginkan. Soojung hanya berharap Sehun memenuhi janjinya—apabila diam saja bisa disebut dengan janji—untuk tidak melakukan hal bodoh, dan tetap hidup hingga besok. Soojung akan memastikannya lagi. Dia berniat untuk mendatangi anak laki-laki itu  besok.

Membuka lipatan kertas di tangannya itu, Soojung mengamati lamat-lamat kalimat yang tertulis di sana. Tulisan Sehun tidak begitu rapi, tapi dia bisa membacanya dengan jelas.

Tulisan itu berisi pesan kematian. Dan pesan itu masih saja tidak gagal membuat Soojung gemetaran ketika membukanya lagi untuk kesekian kalinya dalam beberapa jam ini.

.

Ibu, aku ingin mati. 
Ini salahmu.

 

 * * *

.

.

.

Fanfiction ini, seperti halnya Enchanted, sebenarnya aku labeli dengan rating M karena tema-tema sugestif yang berhubungan dengan suicidal action dan kata-kata kasar. Aku tahu beberapa di antara kalian yang masih di bawah umur pasti akan tetap membaca, bahkan hingga notes ini ditulis, karena himbauan aja nggak cukup untuk membuat kalian berhenti. Dasar anak bandel, yah.

Eniwei, sengaja nggak aku gembok karena aku juga males harus bagi-bagi password dan karena beberapa pembaca yang minta kadang suka seenaknya sendiri, nggak sabar dan pengennya cepet. Jadi daripada aku menahan emosi tiap saat menghadapi anak-anak semacam ini, aku nggak akan gembok chapter” ke depan, kecuali memang sangat kepepet.

Terus yang terakhir, aku mohon bantuan seluruh pembaca yang budiman, 

untuk memberitahu aku bila melihat tulisanku atau tulisan para author lain dipost diluar saladbowl/blog pribadi. Para pembaca yang ingin share tulisan di sini boleh menggunakan fitur reblog yang sudah tersedia di pojok kiri atas menu jendela masing-masing, tapi tidak diperkenankan untuk copy+paste seluruh tulisan yang berada di blog ini di tempat lain.

Terima kasih atas pengertiannya, see you next post! :)

~xoxo.

.

p.s. 

LIKE dan KOMENTAR DITUNGUUUUU! ~♥

SL5 sestal


Filed under: fan fiction, series Tagged: Amber Liu, Jung Seohwa, Jung Soojung, Oh Sehun, Summer Love

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles