“I’m friends with the monster that’s under my bed,
get along with the voices inside of my head,
you’re trying to save me, stop holding your breath,
and you think I’m crazy.”—Eminem ft. Rihanna, the Monster
-
“Wah, kau hebat, Lu.”
“Luhan, apakah ini hanya perasaanku atau ia memang terlihat menakutkan?”
Luhan memutar kedua bola matanya seraya menggiring Baekhyun dan Chanyeol menuju lapangan. Di sana, Zhang Yixing duduk di salah satu ayunan, menggerakkannya perlahan ke depan dan ke belakang, sama sekali tidak menyadari langkah-langkah tiga anak lain yang berjalan menghampirinya. Baekhyun dan Chanyeol saling mendorong, sementara Luhan memasang senyum lebar ketika akhirnya Zhang Yixing mengangkat wajahnya.
“Kenalkan, Yixing. Ini Park Chanyeol dan Byun Baekhyun.” Luhan berkata dengan nada bersemangat. “Nah, Chanyeol, Baekhyun, ini Zhang Yixing. Kalian bersalamanlah!”
Anak lelaki itu mengambil langkah mundur, membiarkan kedua sahabatnya mengambil tempatnya untuk berhadapan dengan Yixing. Keadaannya membaik sejak Luhan melihatnya di ruang makan kemarin. Proses yang cepat memang, dan itu artinya ia melakukan kerja yang baik.
“Hai—hai, Yixing.” Baekhyun menyapa dengan nada ragu.
Zhang Yixing tersenyum kali ini. “Halo. Ya, kau pasti Byun Baekhyun. Dan kau, Park Chanyeol,” katanya. “Senang berkenalan dengan kalian.”
Luhan sungguh memuji sifat Baekhyun dan Chanyeol yang mudah berteman—toh, ternyata rasa canggung tadi hanya sementara, dan keduanya berhasil membuat tawa Yixing meledak-ledak siang itu. Berjalan-jalan menyusuri lapangan, bermain jungkat-jungkit, petak umpet—yah, menendang kenyataan bahwa suhu udara terus menurun hingga sore menjelang.
Mereka mengalami hari yang begitu menyenangkan saat itu, dan ketika Nyonya Luo dan anjing raksasanya keluar untuk jalan-jalan sore, keempatnya telah menyingkir ke dekat kolam ikan—karena Baekhyun yang memaksa. Ia tak ingin dijadikan mainan oleh anjing raksasa berliur banyak itu lagi, katanya.
“Makanlah dengan kami besok pagi,” ajak Chanyeol, melemparkan dedaunan cokelat yang tadi ia kumpulkan ke tepian kolam ikan.
Baekhyun mengangguk setuju. “Yeah, pasti sepi sekali jika kau selalu makan di tempat tersudut setiap hari,” ujarnya, menepuk bahu Yixing, seolah kecanggungan yang pertama kali ditunjukkannya adalah bukan berasal dari dirinya.
Hari sudah semakin sore ketika mereka melangkah kembali ke dalam gedung, berkumpul kembali di ruang makan untuk makan malam. Perapian di tiap sudut kini dinyalakan, dan Nyonya Wu, serta pengurus-pengurus yang lain sibuk berkeliling gedung, menambahkan selimut ekstra ke setiap kamar gara-gara berita bahwa salju akan turun nanti malam dikumandangkan di setiap stasiun televisi dan radio.
Baekhyun baru akan mengambil diam-diam potongan daging asap Chanyeol saat anak lelaki itu tengah mengobrol asyik dengan Luhan, ketika tiba-tiba Yixing menggebrakkan tangannya ke permukaan meja.
“Diamlah, dan jangan menggangguku!” Ia berdesis di setiap tarikan napasnya.
“Apakah… kau baik-baik saja?” Chanyeol angkat bicara, terdengar ragu. “Maafkan aku jika kami terlalu berisik, uhm…” Luhan mengangguk mengiyakan, sementara Baekhyun mematung di sebelahnya.
Yixing terkejut, dadanya naik turun setiap tarikan napas yang ia ambil, dan Luhan mengenali ekspresi ketakutan yang berlebihan itu di wajahnya. Ia, yang duduk di seberang Yixing bangkit saat itu juga, menghampiri anak lelaki itu setelah memutari meja panjang di tengah-tengah ruangan.
“Ayo, tidak apa-apa. Kuantar kau ke kamarmu,” katanya, memberikan sinyal bisu pada Baekhyun dan Chanyeol untuk tetap diam di tempat.
Yixing masih tak bergeming di tempatnya. Alih-alih mengiyakan ajakan Luhan, ia justru mencengkeram lengan anak lelaki itu kuat-kuat. Luhan mengingatnya. Ya ampun, tidak sekarang.
“Tidak boleh, tidak boleh. Luhan, Luhan ini bahaya, demi Tuhan, ini bahaya! Dia, dia berkata yang tidak-tidak, Luhan! Kita harus pergi, harus!”
Gemuruh obrolan yang saling memenuhi ruang makan kala itu mendadak berhenti, seolah ada angin topan yang datang menyapu sebuah sirkus ramai di alun-alun kota pada malam hari. Baekhyun ciut di tempatnya, pun Chanyeol yang diam mematung sembari mencengkeram sisi-sisi bajunya. Perhatian anak-anak di seluruh ruang makan kini tertuju pada satu titik, dan itu adalah sosok ringkih Zhang Yixing yang berdiri gemetaran di tempatnya.
“Tempat ini berbahaya.” Yixing berbisik lirih, dan hanya Luhan yang mampu mendengarnya kala itu.
Suasana hening yang semula tercipta kini perlahan runtuh dengan desis-desis kecil di setiap sudut, telunjuk-telunjuk kurus masing-masing terarah pada poin yang sama.
“Hei, Anak Baru! Menjauh dari sana! Anak sinting ini akan mulai lagi dengan racauannya!” Sebuah teriakan dari satu titik.
“Byun Baekhyun, menjauh dari sana! Tarik si Anak Baru itu juga!”
“Yeah, kau ingin kasus Kim Joonmyun kembali terulang, hah?”
Kepala Luhan mendadak linglung ketika desis-desis di setiap sudut ruangan dan teriakan-teriakan menusuk yang kadang-kadang terlontar kini bercampur menjadi satu. Baik Baekhyun atau Chanyeol—yang dari awal menyatakan bahwa mereka berdua tidak termasuk dalam kubu manapun masih tak bergeming—enggan mengambil bagian dari huru-hara sore itu. Entah kapan Baekhyun menyelinap dari tempatnya, dan kini berada di samping Chanyeol. Keduanya memasang raut bingung.
Sakit di kepala Luhan bertambah, namun ia masih mengkhawatirkan keadaan Yixing yang kini tertunduk di hadapannya. Ia mengenali keadaan ini. Saat pertama kali dilihatnya tubuh ringkih Yixing, saat pertama kali dilihatnya ekspresi ketakutan milik Yixing, dan saat pertama kali jeritan penuh emosi itu membelah kesunyian lorong di malam hari.
Zhang Yixing mungkin menyembunyikan sesuatu, namun Luhan menolak mempercayai kata-kata kedua sahabatnya yang mengatakan bahwa ia dapat berbicara pada hantu atau apalah. Tidak, tidak. Mungkin Zhang Yixing hanya gemar bermain-main dengan hal itu. Ia tak punya teman, ingat? Mungkin teman khayalannya ini merasa cemburu karena seharian ini Yixing berada di luar bersama mereka bertiga.
Teman khayalan, ia ulangi, dan bukan hantu.
“Zhang Yixing membunuh Kim Joonmyun!”
Ruangan sunyi lagi.
Luhan baru berhasil mendapatkan kesadarannya kembali ketika teriakan yang mengalahkan hiruk-pikuk di sekitarnya itu menggema di udara. Yixing bahkan mengangkat wajahnya kali ini.
“Aku… aku tidak—“
Ketika semua orang sibuk mempertahankan pandangan mereka pada Yixing, sebuah kepala berambut cokelat madu di ruangan itu justru tertambat pada ekspresi wajah Baekhyun dan Chanyeol yang terlihat menyesal. Kepala anak lelaki itu rasanya pusing. Memang tak menyenangkan menjadi seorang anak baru—selalu tertinggal ini dan itu.
“Kau memberitahu Kim Joonmyun untuk berhenti bermain-main di taman bunga dan menggunakan kelopak-kelopak bunganya untuk membuat kerajinan. Tapi Joonmyun tetap melakukannya, dan hari itu kau tak bisa menahan kesabaranmu, iya kan?”
Luhan dapat melihat siapa yang berbicara kali ini. Seorang anak perempuan jangkung berwajah runcing yang mengikat rambut pirangnya tinggi-tinggi ke atas. Ia bersedekap dan berjalan dengan mengangkat dagunya. Ia menghentikan langkahnya ketika tersisa empat, lima langkah menuju Yixing yang berdiri membelakangi Luhan.
“Aku memberitahunya untuk menjauh dari sana karena… karena—“
Si anak perempuan menyeringai. “Karena apa?” tanyanya dengan nada menekan. “Karena kau akan melepaskan ular apabila dia berani-berani menginjakkan kakinya di sana lagi?”
“Aku melarangnya ke sana karena akan ada ular yang mendatangi taman bunga sore itu! Bukan aku yang melepas ularnya! Aku sudah memberitahunya agar ia tidak mati keracunan karena digigit!” Yixing balik berteriak. Wajahnya merah. Dadanya naik turun.
“Jadi kau berlagak seperti sudah mengetahui masa depan, begitu?” Si anak perempuan mulai lagi. “Boleh aku tahu siapa yang menyuruhmu memberitahu Joonmyun?”
Luhan merasakan kedua tangannya terkepal, rahangnya mengeras. Ya Tuhan, jika yang berdiri menantang Zhang Yixing di sana bukan anak perempuan, ia akan telah melompat dan menerjang ke sana untuk setidaknya menghadiahkan tinju mulus di hidungnya. Ini sudah keterlaluan. Mempermalukan seseorang di depan penghuni panti asuhan yang lain.
Dan kemana Nyonya Wu atau pengurus yang lain? Dimana para orang dewasa ketika anak-anak ini membutuhkan mereka?
“Siapa, Zhang Yixing?”
Luhan hendak mengambil langkah maju, berdiri di depan Yixing untuk membelanya ketika ia menangkap raut wajah cemas Chanyeol yang menggeleng padanya, pun Baekhyun yang kini sudah meringkuk di balik punggung sahabat jangkungnya.
“Dia… dia yang…” Suara Yixing kali ini seolah terdengar bagai angin lalu.
Decakan lidah yang cukup kentara dari si anak perempuan. Ia melepas tawanya dengan nada dibuat-buat, berbalik menghadap kerumunan anak-anak yang berkelompok di sekeliling ruangan. “Tuh, sudah kubilang, kan, teman-teman. Zhang Yixing ini sinting.”
“Dia tidak sinting!” Sepasang mata Chanyeol membelalak begitu suara Luhan yang kini ganti memenuhi udara. Baekhyun bahkan mengeratkan pegangannya di jaket Chanyeol, dan menolak mengangkat wajahnya.
Hanya ketika anak perempuan itu hendak membalas kata-kata Luhan, suara ketukan sepatu berhak tinggi yang terburu terdengar dari arah pintu kembar yang terbuka. Nyonya Wu hadir di sana, dengan beberapa pengurus panti asuhan yang tersengal di belakangnya.
Wanita jangkung berumur empat puluhan itu melempar sisa selimut yang semula masih ada di dekapannya, berjalan dengan langkah lebar-lebar menuju Zhang Yixing yang sekarang menunduk.
“Ada apa lagi ini, Anak-anak?” tanyanya dengan nada tajam dan galak. “Semuanya, kembali ke meja, makan, lalu naik ke kamar masing-masing. Tidak ada yang boleh keluar hingga besok pagi!”
Tangan kurus Nyonya Wu meraih bahu Zhang Yixing, menariknya keluar ruangan, dan menghilang di anak tangga terbawah menuju lantai dua. Sementara itu, Nyonya Luo—yang untungnya saat itu tidak membawa serta anjing raksasanya—beserta beberapa pengurus lain bertugas mengamankan keadaan. Anak-anak kini kembali duduk di meja masing-masing, pun Baekhyun dan Chanyeol yang kini sama-sama tidak berani memandang Luhan.
“Maafkan kami.” Chanyeol buka suara setelah lima menit yang hening di antara mereka bertiga. Makanan di piring Luhan hampir habis. Anak lelaki itu melahapnya tanpa mengangkat wajah.
“J-jangan berteriak pada kami seperti kau tadi berteriak pada Sue.” Baekhyun berkata dengan nada mencicit. “Kami tidak ingin menceritakan hal-hal yang tidak menyenangkan padamu, jadi…”
Luhan mendesah. “Tapi kalian akan menceritakan soal Kim Joonmyun padaku, kan?”
Dan Baekhyun maupun Chanyeol tidak berani menjawab saat itu, hingga akhirnya Baekhyun adalah orang pertama yang menghela napas.
“Kami akan menyelinap ke kamarmu nanti.”
-
“Kim Joonmyun memang gemar pergi bermain ke taman bunga itu. Kadang-kadang ia adalah satu-satunya orang yang rajin menyiraminya, mencabuti rumput liar yang kebetulan tumbuh, atau sekadar jalan-jalan di dekatnya.” Baekhyun dan Chanyeol menepati janji mereka malam itu, menyelinap ke kamar Luhan dua jam setelah acara makan malam yang sempat ricuh berakhir. Mereka bertiga belum melihat Zhang Yixing sejak saat itu, dan Luhan mati-matian mencegah dirinya mengetuk pintu kamar anak lelaki itu—well, sekadar untuk mengetahui kalau dia baik-baik saja.
“Aku tidak tahu persis bagaimana kejadiannya di lorong setelah makan siang bahwa Yixing mengajak Joonmyun bicara yang berakhir dengan… dengan sedikit adu tangan setelahnya.” Chanyeol buka suara ketika Baekhyun memeluk guling milik Luhan erat-erat. “Hal terakhir yang kami tahu, salah seorang penghuni menemukan tubuh Joonmyun yang sudah tak bernyawa di sana, dan sebuah luka gigitan ular sore harinya. Keesokannya, ularnya ditemukan. Mungkin berasal dari hutan, atau darimana. Kau tahu tempat ini isinya pepohonan semua.”
“Ketika kali pertama aku melihat Yixing datang ke ruang makan, apa yang kaumaksud tentang Yixing yang bertambah seram?” Luhan bertanya kali ini, mengarahkan pandangannya pada Baekhyun.
Anak lelaki mungil itu menghela napas. “Kau tahu kejadian tadi. Semua anak menghakiminya, ditambah banyak yang melihat saat Yixing berkelahi dengan Joonmyun. Mereka menuduh Yixing yang melepas ularnya, tapi ayolah… apakah itu hal yang masuk akal yang dapat dilakukan oleh anak kecil ingusan macam kita?”
“Yeah, itu sangat-sangat tidak mungkin.” Chanyeol mengamini kata-kata Baekhyun, mengangkat kedua bahunya dengan gerakan singkat.
Melihat tingkah kedua sahabatnya kini, Luhan menyipitkan kedua matanya. “Dan… aku ingin bertanya lagi,” ujarnya, dengan sukses mendapatkan perhatian kedua anak di hadapannya. “Yang kaumaksud bahwa Yixing bisa berbicara pada yang-tidak-ada itu apa? Dan aku ingat kalian pernah menyebut-nyebut tentang masa istirahat.”
Reaksi yang diberikan Baekhyun dan Chanyeol sama persis dengan reaksi yang pernah mereka berikan padanya ketika waktu sarapan tempo hari. Keduanya berpandangan, menatap ragu satu sama lain, dan Luhan menunggunya dengan melipat tangannya di depan dada.
Angin berembus kencang sekali lagi, dan kali ini giliran Baekhyun yang menjawab—setelah Chanyeol menyikut rusuknya, tentu saja.
“Pikirkanlah, Lu, siapa menurutmu yang mengetahui bahwa akan ada ular di sana sore harinya? Kami berpikir… bahwa Yixing bisa berbicara pada yang-tidak-ada, lalu si yang-tidak-ada ini memberitahu Yixing bahwa akan ada ular di sana, jadi Yixing segera memberitahu Joonmyun untuk mencoba mencegahnya bermain-main di sana sore itu.” Baekhyun menjelaskannya pada Luhan panjang lebar. “Kami memang belum pernah menceritakannya padamu, tapi… kejadian seperti di ruang makan tadi sore kadang terjadi. Ia tiba-tiba berbicara sendiri, berdesis sendiri, bahkan waktu itu ia berlari sepanjang lorong dan merasa ketakutan dengan kamarnya sendiri.”
“Itu yang membuat tuduhan anak-anak yang lain semakin kuat kalau… Yixing sedikit—“
“Dia tidak sinting, Chanyeol.” Luhan memotong kata-kata anak jangkung itu. Pikiran tentang kata-kata si anak perempuan sore tadi yang mengatai Yixing terngiang kembali di kepalanya, dan ia amat membenci itu.
Chanyeol menggeleng. “Tidak, tidak. Sejujurnya aku dan Baekhyun benar-benar berpikir kalau dia menyembunyikan sesuatu. Yeah, seperti yang kami katakan, mungkin dia memang memiliki kekuatan supranatural,” jelasnya. “Siapa yang tahu?”
Kekuatan supranatural, Luhan membatin.
Mau tak mau ia harus menyetujui pendapat Baekhyun dan Chanyeol, jika tidak ingin kata-kata ‘Yixing sinting’ memenuhi kepalanya. Toh ia pernah menghabiskan waktu seharian dengannya, dan baginya Yixing kurang lebih sama seperti dirinya. Sendirian, dan tanpa keluarga. Kemungkinan terburuk, Yixing kehilangan keluarganya dengan cara yang lebih menyedihkan dibanding dirinya sendiri, dan karena itulah mungkin Yixing terlalu merasa terpuruk.
Sahabatnya tidak sinting. Tidak. Ia normal, layaknya anak-anak yang lain. Seperti dirinya, Baekhyun, dan Chanyeol yang kehilangan kedua orangtua mereka. Tidak ada yang aneh, kan di sini?
“Sebaiknya kami kembali.” Suara Chanyeol tiba-tiba terdengar, menelusup indera pendengaran Luhan yang kala itu rasanya hanya dipenuhi oleh angin yang saling bersahutan di luar. “Inspeksi kamar pukul sepuluh, ingat?”
Luhan mengangkat wajahnya, begitu lesakan di hadapannya mulai menghilang. Anak lelaki itu menjangkau tangan Baekhyun yang saat itu masih berada pada jarak sentuhnya. “Tidak ada yang kalian sembunyikan lagi saat ini, kan?” tanyanya, dan Baekhyun tersenyum menjawabnya.
“Kami sudah menceritakan semuanya yang kami ketahui, Lu, dan kuharap keadaan dapat kembali normal,” jawab anak lelaki mungil itu. “Bermain dengan Yixing seperti tadi siang sangat menyenangkan, dan kami ingin melakukannya lagi.”
Chanyeol mengangguk setuju dengan wajah yang meyakinkan Luhan. Anak lelaki jangkung itu berbalik dan meraih gagang pintu, memastikan tidak ada siapapun yang sedang berjalan di lorong luar, sementara satu tangannya sibuk memberikan sinyal pada Baekhyun untuk mengikutinya.
Kamar Baekhyun dan Chanyeol terletak berseberangan di sudut lorong buntu, jadi kemungkinan terburuk apabila sekarang Nyonya Wu berada di anak tangga teratas, kamar mereka berdua akan menjadi kamar terakhir yang diinspeksi. Namun nyatanya, belum ada tanda bahwa Nyonya Wu sudah memulai peraturan malamnya, jadi kedua anak itu hanya perlu berjingkat-jingkat cepat untuk kembali.
Luhan baru akan memutar tubuhnya ketika celah kecil dari kamar Yixing di seberangnya terlihat lebih menarik. Merasa sedikit heran mengapa Baekhyun atau Chanyeol tidak menyadari hal ini, Luhan mendapati dirinya celingukan di tengah-tengah lorong yang sepi. Tidak ada suara langkah kaki, atau debuman ringan, atau orang buang angin. Jadi, ia memutuskan untuk berjingkat mendekati pintu kamar sahabatnya—dan karena ia perlu memastikan bahwa Yixing tidak apa-apa.
“Yixing—“
Suara anak lelaki itu tercekat di tenggorokan, langkah kakinya mendadak berhenti, dan sedikit banyak ia bersyukur tidak jadi mendorong pintunya agak lebih kuat. Tidak. Bukan Yixing yang tengah gantung diri karena frustrasi akan kejadian yang semula menimpanya—oh, ya Tuhan, bahkan yang ini lebih mengerikan daripada pemandangan memilukan itu.
“Ya, kau benar, mereka di sini memang semua menyebalkan. Aku minta maaf karena meninggalkanmu seharian ini.” Yixing tersenyum lebar sembari memeluk kedua lututnya dalam-dalam. “Tidak. Mereka baik, kok. Mereka bertiga yang mengajakku bermain seharian ini.”
Mungkin akan lain reaksi yang diberikan Luhan apabila ia mendapati seorang anak lain tengah berbicara pada Yixing. Luhan bahkan akan menghela napas lega apabila Sue yang ada di kamar Yixing saat itu dan mengobrol dengannya, dan bukannya ruang sempit yang gelap di bawah tempat tidur.
Oh, ya ampun.
“Apa? Tidak, tidak, aku tak akan melakukannya lagi. Apa kali ini? Ular lagi? Atau macan lepas?” Luhan melihat Yixing menggeleng keras, jelas-jelas menolak apapun yang dikatakan sesuatu-di-bawah-tempat-tidur itu. “Tidak. Tidak akan ada sesuatu yang jelek yang akan menimpa sahabat-sahabatku. Tidak Luhan, Baekhyun, bahkan Chanyeol, mengerti?”
Kepala Luhan mendadak pening lagi. Entah siapa yang diajak bicara oleh Yixing. Entah apakah omongan Baekhyun dan Chanyeol soal kemampuan Yixing bisa berbicara pada yang-tidak-ada adalah benar. Entah kejadian tentang mendiang Kim Joonmyun benar-benar terjadi atau tidak. Ya ampun, ia butuh tempat tidurnya sekarang.
Dan untungnya Luhan telah menghilang dari sana ketika Yixing terkejut dan mendapati ia lupa menutup pintu kamarnya setelah tadi Nyonya Wu berkunjung dan mengantarkan makan malamnya.
-
Udara dingin yang semula diberitakan di beberapa stasiun televisi dan radio semalam memang ada benarnya, terbukti dengan perasaan menggigil yang menggigit hingga ke tulang di detik pertama Luhan membuka matanya pagi itu. Menoleh ke jendela, dan ia mendapati langit abu-abu muram memayungi. Tak ada sinar matahari, cicit burung, ataupun hal-hal yang mampu membuat semua orang senang.
Pikirannya berkelana lagi tanpa diminta, ketika ia menemukan Yixing yang tengah berbicara pada entah siapa di kamarnya semalam. Kepalanya mulai mengarang-ngarang lagi asumsi yang setidaknya masuk akal untuk menjelaskan, namun tetap saja semuanya berakhir dengan anggapan bahwa Yixing tengah berbicara pada seorang teman khayalan. Ayolah, anak kecil mana yang tidak memiliki satu?
Ketukan di pintu mengejutkannya, dan tiba-tiba saja Luhan mendapati dirinya tengah berjalan di atas lantai kayu yang dingin menuju pintu, lalu membukanya. Lima detik berselang, dan kini ia berhadapan dengan sosok pendek gemuk Nyonya Luo dengan senampan makanan harum di tangannya.
“Oh, ‘nak, apa kau sakit? Barusan aku mengantarkan sarapan untuk temanmu, ketika kuingat aku tidak melihatmu di ruang makan.” Satu tangan Nyonya Luo terulur padanya, menyentuh dahinya lembut. “Sebaiknya kau makan ini sekarang. Udara dingin dan aku tak mau ada anak yang terserang flu.”
Luhan menerima sodoran nampan tanpa berkata apapun, membungkuk beberapa kali untuk mengucapkan terima kasih, dan membawa nampan itu ke meja kayu mungil di depan jendela. Jadi dia tidur selama itu lalu tertinggal sarapan. Dan menurut Nyonya Luo, Yixing juga belum keluar kamar pagi ini. Hah. Ia harus menemui Baekhyun dan Chanyeol nanti.
Ramen panas dengan kuah mengepul di mangkuknya habis dalam waktu singkat. Luhan tak tahu jika ia bisa selapar itu. Makanan kemarin malam rasanya sudah berabad-abad lamanya.
Ketika ia membuka pintu kamarnya, sosok mungil Baekhyun telah berdiri di sana, dan deraian tawa mengalir kemudian ketika keduanya sama-sama memekik kaget.
“Kukira kau hantu!” protes Luhan.
Baekhyun mencibir. “Aku baru saja hendak mengetuk pintumu. Nyonya Luo menyuruhku untuk memeriksa keadaanmu. Beliau takut kau terserang flu atau apa,” jelas anak lelaki itu, mengikuti langkah Luhan menuju lantai dasar setelah menutup pintu kamar. “Kenapa kau bangun siang sekali? Uh… tapi memang hari ini gelap sekali, sih. Kami tak bisa menyalahkanmu.”
“Entahlah. Aku tidur seperti orang mati,” canda Luhan ketika ia dan Baekhyun berjalan di lorong melewati ruang makan yang kini kosong. “Mana Chanyeol?”
“Bermain jungkat-jungkit,” jawab Baekhyun setelah suasana hening agak lama. Ia perlu mengingat-ingat apa yang tengah dilakukan sahabatnya sebelum ia berlari menuju lantai dua ke depan kamar Luhan. “Dia itu. Ketika yang lain sibuk mengenakan jaket ketika pergi ke luar, Chanyeol hanya mengambil kaus dan celana pendeknya. Asal kau tahu saja, Chanyeol bisa jadi sangat menyusahkan apabila terserang flu. Mengelap ingusnya di mana saja.”
Luhan terbahak. Kadang kata-kata yang terlontar dari mulut Baekhyun selalu terdengar lucu dan seolah tanpa dipikir. Tapi sesungguhnya ia bersyukur memiliki mereka berdua di hari-hari pertamanya. Bukan hanya membantunya mengenal tempat ini, namun juga beberapa anak yang perlu dihindari karena tingkah onarnya, atau peraturan tak tertulis Nyonya Wu, sampai tingkatan hukuman apabila kau melakukan sesuatu yang dilarang di dalam gedung.
Baekhyun baru saja merentangkan tangannya, menangkap ujung pakaian Luhan untuk membantunya tetap berjalan tegap di atas tanah yang basah dan membeku di beberapa bagian, ketika suara gedubrakan di belakang mereka terdengar.
“Mana Chanyeol?! Mana dia?!”
Itu suara Yixing.
Masih membiarkan Baekhyun berpegangan padanya, Luhan berbalik. Tubuh ringkih Yixing telah berada dalam cekalan beberapa anak. Satu di antaranya Luhan kenal sebagai Kim Jongdae, anak pendiam yang kadang sering bersenandung sendirian. Lalu Do Kyungsoo, anak pendiam satunya yang sering membantu Nyonya Luo menghidangkan makanan di meja panjang. Dan yang terakhir, ah, ia melupakan namanya.
“Yixing, jangan berlari-lari, kau bisa terpeleset!” Kim Jongdae memekik, masih memegangi kedua tangan Yixing yang bergerak-gerak tanpa arah.
“Tidak bisa! Aku harus menyelamatkan Chanyeol, lepaskan aku sekarang!”
Baekhyun, yang juga memerhatikan pemandangan itu di sebelahnya tiba-tiba berubah panik. Pegangannya di ujung pakaian Luhan mengerat.
“Ada apa dengan Chanyeol?” Suara Baekhyun terdengar lirih, pun dengan Luhan yang berada di sampingnya.
Sebelah tangan Luhan terentang, memegangi lengan anak lelaki mungil di sebelahnya.
“Ada apa, Yixing?” Suaranya ia buat setenang mungkin, terlalu kontras dengan keadaan Yixing yang kini berkeringat dan dengan ekspresi ketakutan yang begitu kentara. “Tenanglah dulu.”
“Tidak bisa! Lepaskan aku, Jongdae, aku harus mencari Chanyeol!”
“Luhan, bagaimana ini…” Baekhyun mencicit lagi.
Hanya ketika Luhan hendak berjalan mendekati Yixing dan mencoba berbicara padanya, kali ini derap langkah lain terdengar. Sosok Kim Jongin dengan hidung memerah dan bibir bergetar kedinginan hadir di sana, bertumpu pada lututnya untuk menarik napas, dan memenuhi paru-parunya dengan oksigen.
“Baekhyun… Baekhyun… sebaiknya kau ikut aku.” Jongin memberitahu si anak lelaki mungil dengan napas tersengal. Luhan bisa menangkap pemandangan kaki Baekhyun yang sontak gemetaran.
Mereka mengekor di belakang Jongin yang mulai meniti langkah lagi, sejenak melupakan Yixing yang kini lepas dari cengkeraman anak-anak lain, namun bahunya merosot kian rendah kali ini.
Luhan harus menahan Baekhyun yang kala itu berteriak histeris, menjaga setiap pergerakan tangannya yang sibuk menggapai-gapai entah apa. Nyonya Wu berlutut di sana, di dekat permainan jungkat-jungkit yang bergoyang terlupakan ketika tertiup angin dingin, di sebelah tubuh Park Chanyeol yang kini ditutupi oleh sehelai jaket.
Tanah di bawahnya membeku, mungkin karena udara semalam yang kelewat dingin, sehingga sisa-sisa air hujan yang sebelumnya mengguyur tempat itu mengeras karenanya. Diteriaki untuk segera bangun oleh Baekhyun juga tidak membuat Chanyeol tiba-tiba bergerak dan tersenyum dengan senyuman lebar yang sering ia berikan setiap hari. Iya. Dia pergi, jauh sekali. Dan itulah sebab utama lapangan bermain itu dipenuhi oleh isak tangis anak-anak perempuan yang berada di sana.
“Chanyeol…”
Yixing datang kemudian, dengan langkah yang diseret, diikuti oleh Jongdae dan Kyungsoo di belakangnya. Luhan berhasil menangkap sosoknya melewati kepala Baekhyun yang saat itu menangis keras-keras di punggungnya, menolak untuk melihat tubuh sahabatnya sendiri yang berangsur kaku.
“Aku… aku berusaha memberitahunya, juga kalian…” Yixing berkata lirih.
“Dia melakukannya lagi!” Sue, si anak perempuan pirang memulai lagi. Dia berteriak di antara isakannya, menunjuk bebas sosok Yixing dengan ujung telunjuknya.
Luhan menoleh tajam.
“Dia ada di depan gedung bersama kami ketika hal ini terjadi! Tak bisakah kau berhenti menyalahkannya? Yixing bahkan tak menyentuh tubuh Chanyeol seujung jari pun!” Luhan berusaha menendang kenyataan bahwa ada Nyonya Wu di sana. Persetan dengan hukuman kurungan di kamar selama dua hari, atau pukulan telak di bokong oleh tongkat rotan. Yixing tak bersalah, dan semua orang harus mengetahui itu.
“Setidaknya terbukti kan, sekarang kalau dia sinting dan bisa berbicara pada hantu?” Sue balik membalas, membuat Luhan seolah bodoh dengan tidak membalikkan kalimatnya yang ini. Pikirannya bergerak mundur lagi, dan bayangan-bayangan sosok Yixing yang tengah berbicara sendiri memenuhi benaknya sekarang. Luhan benci itu. Dan ia juga benci dirinya sendiri yang malah terdiam, ketika semua orang menunggu jawabannya.
Untuk saat berikutnya, tidak ada yang berbicara ketika sosok tinggi Nyonya Wu menjulang di sana. Dia menyambut beberapa orang dari rumah sakit—setelah tadi ia berteriak pada Nyonya Luo untuk mengubungi mereka.
“Ayo, Anak-anak. Biarkan mereka mengurus Chanyeol. Dia pasti kedinginan,” ujarnya dengan nada muram, berjalan mendekati Luhan dan Baekhyun yang masih belum berani mengangkat wajahnya. “Dan, Sue, sekali lagi. Jaga bicaramu.”
-
Tiga hari berlalu sejak tragedi muram memayungi setiap ekspresi para penghuni panti asuhan, menghantui di setiap omongan, bahkan taman bermain tempat kejadian tempo hari benar-benar kosong hingga hari ini. Dahi Nyonya Wu tak dapat berkerut lebih dalam lagi ketika serombongan polisi datang dan meminta izinnya untuk menyelidiki kejadian yang menimpa Park Chanyeol. Wanita itu marah-marah, mengatakan dengan suara galaknya bahwa ini adalah murni kecelakaan dan tidak ada yang perlu dicurigai di sini.
Byun Baekhyun benar-benar kehilangan semangatnya. Luhan tak pernah gagal menangkap lingkaran hitam di bawah masing-masing matanya, pun dengan suhu tubuhnya yang kadang menghangat setiap malam.
Anak lelaki itu akhirnya menawarkan diri menggantikan Nyonya Luo untuk menjaga Baekhyun dan membawakan makan malam serta beberapa butir obat untuknya, dan di malam kedua, Baekhyun sangat-sangat berterima kasih. Katanya, Nyonya Luo kadang bersikeras menyenandungkannya lagu pengantar tidur—yang menurut Baekhyun terdengar seram.
Luhan tak ingat sempat melihat Yixing setelah kejadian itu, pun pintu kamarnya tak pernah terlihat terbuka sedikitpun. Jongdae sempat memberitahunya bahwa bila Yixing dikenakan masa istirahat, maka Nyonya Wu sendiri yang akan masuk mengantarkan sarapan hingga makan malam. Jadi, tak ada penghuni lain yang benar-benar tahu keadaan anak lelaki itu.
Lepas dari itu semua, Luhan masih memiliki sedikit hal mengganjal dalam benaknya. Memang, Baekhyun dan Chanyeol dulu pernah menyatakan tidak pernah masuk ke kubu pembela-Zhang-Yixing, pembenci-Zhang-Yixing, atau apalah. Mereka malas berurusan dengan hal tak penting itu. Namun, ketika takdir mempermainkan, Luhan merasa sedikit tak yakin akan pendirian Baekhyun sekarang.
“Aku tidak menyalahkannya.” Baekhyun berkata dengan senyum ketika Luhan bertanya malam itu setelah mengantarkan senampan sup ramen hangat, susu cokelat, dan beberapa butir tablet penurun panas. “Tenang saja. Memang Chanyeol saja yang terlalu hiperaktif, bermain jungkat-jungkit di saat udara dingin dan tanah yang membeku.”
Luhan tak mampu berkata apapun, namun hal itu adalah jawaban paling bijaksana yang dapat keluar dari mulut anak berumur sembilan tahun yang baru saja kehilangan sahabatnya yang paling dekat.
“Terima kasih.” Luhan membalasnya. “Kukira tadinya Sue akan mendapatkan seorang teman baru untuk mengolok-olok Zhang Yixing.”
Baekhyun tertawa kecil, membiarkan Luhan mengarahkan sedotan pada susu cokelatnya untuk menghadap padanya. “Kau tahu? Dulu aku dan Chanyeol pernah membuat rencana untuk mengerjai Sue. Sayang saja tak pernah berhasil. Chanyeol selalu takut Sue keburu mengetahuinya. Dia bilang, dia takut pada Sue. Wajahnya galak,” candanya, namun kemudian ekspresinya berubah muram. “Park Chanyeol bodoh…”
Luhan menyingkirkan mangkuk yang kini tersisa setengah dari pangkuan Baekhyun, menaruhnya ke atas meja, dan kembali dengan segelas air mineral serta obat yang perlu diminum.
“Minumlah ini dulu, lalu kau pergi tidur,” tutur Luhan, terlalu bingung untuk mengucapkan kata-kata penenang untuk sahabatnya. Selama tiga hari ke belakang ia sudah meluncurkan semua rangkaian kalimat yang ia punya dan mampu ia buat, dan sekarang rasanya ia kehabisan hal itu semua.
Baekhyun tak menjawab. Ia meraih gelas dan beberapa butir tablet yang disodorkan Luhan, lalu menelannya dalam diam. Matanya akan terasa lebih perih apabila ia membiarkan dirinya menangis lagi. Well, ia teringat kata-kata Luhan yang menyuruhnya supaya tak menangis. Anak lelaki harus kuat, katanya, tapi toh ia juga ingat Luhan ikut menangis saat peti mati Chanyeol diangkut meninggalkan gedung.
“Jadi, besok pagi, apakah aku harus mengantarkan sarapanmu lagi?” tanya Luhan, menerima sodoran gelas kosong dari Baekhyun.
Si anak lelaki mungil menggeleng. “Besok aku yang akan membangunkanmu. Besok aku sudah sehat,” jawabnya mantap, tersenyum lebar. “Lihat saja.”
Luhan terbahak. “Baiklah-baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu,” tuturnya.
“Hei, Lu.” Suara Baekhyun terdengar lagi ketika Luhan hendak menyelipkan tubuhnya di antara pintu. Membiarkan satu tangannya di kenop, Luhan berbalik.
“Ya?”
“Tetap bersamaku, ya?” Senyuman di bibir Baekhyun melebar. “Aku tak punya siapa-siapa lagi.”
Luhan menghela napas pelan. Tidak ada yang lebih mereka butuhkan selain teman, dan siapapun tak dapat menyangkal itu. Maka, ia mengangkat ibu jari di tangan kanannya, mengarahkannya pada Baekhyun. “Aku berjanji.”
Pintu kamar Baekhyun tertutup hampir tanpa suara, dan Luhan kini tengah meminimalisasi suara yang ia buat ketika melangkahkan kakinya sepanjang lorong. Sudut matanya sempat menangkap pintu kamar Chanyeol yang kini dipenuhi foto-foto, karangan bunga sederhana, dan berbagai macam benda yang mengingatkan para penghuni kepadanya.
Pandangan Luhan berubah muram, namun yeah, mau menangis sekeras apapun juga sahabatnya yang jangkung itu tak akan pernah kembali. Luhan sudah pernah mencobanya, menangis berkali-kali saat ia masih dalam masa penyembuhan di rumah sakit. Tapi apa yang ia dapat? Bukan ayah dan ibunya yang tiba-tiba muncul di pintu melainkan rasa sesak yang dalam serta kedua mata yang bengkak dan perih.
Mungkin ia perlu memahami apa yang seharusnya dipahami ketika ia melangkahkan kakinya memasuki gedung panti asuhan ini. Belajar untuk merelakan.
Anak lelaki itu baru akan membuka pintu kamarnya, ketika lagi-lagi pintu milik Yixing terbuka setengah, menyajikan padanya pandangan di dalam kamar yang gelap gulita, kecuali cahaya redup dari lampu tidur di atas meja, mungkin. Dan untuk kali ini, ia bersyukur ketika tidak menemukan Yixing berbicara sendirian di depan tempat tidur lagi.
Namun gantinya, suara debuman yang kentara terdengar dari dalam kamar.
“Yixing?”
Luhan memberanikan dirinya kali ini, mendorong pintu itu lebih kuat sehingga dirinya dapat melangkah masuk. Ia menggapai-gapai kegelapan yang menghunjam dinding kamar, mencoba menemukan saklar lampu yang rasanya berlarian sepanjang dinding karena Luhan tak kunjung menemukannya.
Ketika akhirnya kini ruangan itu dipenuhi oleh cahaya terang di berbagai sudut, Luhan menemukan sosok ringkih Yixing tengah duduk meringkuk memeluk lututnya di sudut kamar, membenamkan wajahnya di lipatan tangan, dan terisak parah.
Ia sempat menangkap beberapa kata yang keluar tak beraturan dari bibir Yixing kala itu. Sesuatu seperti ‘aku tidak bisa mempercayaimu’ atau ‘kau membuatku tak memiliki teman’ dan yang lain-lain seperti ‘berhenti memberitahuku siapa yang akan mati lagi’ lalu Luhan benar-benar tak mempercayai pendengarannya ketika Yixing mengatakan, “Tidak. Tolong. Siapapun, asal bukan Luhan. Tolong.”
“Yixing?” Luhan mengeraskan suaranya kali ini, sontak membuat anak lelaki ringkih itu mengangkat wajahnya.
Kedua mata Yixing membelalak saat melihatnya. Langkah gemetaran yang hanya setapak membawa tubuh ringkih itu mendekati Luhan. Wajahnya dipenuhi buliran airmata, pun airmata yang tertinggal hingga mengering. Luhan tidak curiga apabila Yixing sudah menangis terlalu lama.
“Jangan… tolong jangan Luhan…” Yixing masih meracau, bahkan ketika Luhan memegangi bahunya.
“Badanmu hangat, Yixing, kau harus beristirahat,” ujar anak lelaki itu, menggiring sahabatnya menuju tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan memanggil Nyonya Wu untuk meminta obat.”
“Tidak! Tidak boleh! Tidak boleh Luhan!”
Tubuhnya terdorong begitu saja, ketika Yixing memberontak dari pegangannya. Membanting pintu kamar, langkah-langkah anak lelaki itu meninggalkannya, dan Luhan tidak memiliki pilihan lain selain mengejarnya. Badan anak itu hangat, kemungkinan ia terserang demam seperti Baekhyun.
Lorong redup kala itu, namun Luhan tidak ingin menurunkan kecepatan berlarinya barang sedikitpun. Ujung piyama Yixing baru saja menghilang pada anak tangga bagian atas, hening sejenak, sebelum suara sebuah barang yang terbuat dari kaca terdengar nyaring di telinga. Kepala Luhan mendadak linglung lagi, ia ingat sempat menangkap suara benda berbobot besar lain jatuh berdebum di lantai.
“Yixing!”
Oh, ya Tuhan, lindungi dia. Kumohon.
Ia sampai di tangga, dan lewat cahaya yang tidak begitu redup dari lantai bawah, Luhan dapat menangkap pecahan pot bunga yang biasanya ditaruh oleh Nyonya Wu di meja kecil di samping tangga berserakan di atas lantai kayu. Matanya membelalak, ketika sosok ringkih Yixing juga ada di sana, berbaring tak bergerak membelakanginya.
Napasnya tercekat di tenggorokan, dan satu-satunya pikiran yang memenuhi otaknya saat ini adalah cepat turun, panggil bantuan, dan selamatkan Yixing. Ia sudah kehilangan seorang sahabatnya, dan ia tak ingin kejadian itu terulang lagi.
Luhan meniti langkah lebar menuju anak tangga teratas, namun ia gagal menangkap lembaran keset yang ketika itu ada di sana. Tubuhnya limbung kala permukaan—yang entah mengapa kala itu terasa begitu—licin menggoyahkan pijakannya, dan kali kedua, ia gagal menggapai pegangan tangga.
Telinganya berdenging parah ketika kepalanya terantuk ujung permukaan anak tangga ketiga. Pandangannya buram ketika ia berada di anak tangga kedelapan. Dan tubuhnya bagai melayang dan tak merasakan apapun ketika akhirnya ia sampai di dasar tangga, dengan cairan merah kental berlomba turun dari hidungnya, di samping sahabatnya dengan keadaan yang tak lebih baik, dan embusan napas yang kian menghilang.
Ya. Dan mungkin Byun Baekhyun akan terserang demam lebih parah pagi hari nanti.
* * *
Filed under: fan fiction, series Tagged: Byun Baekhyun, Lu Han, Park Chanyeol, Zhang Yixing
