Finally, “Vacancy”
.
“Jadi, ke mana saja kau selama ini, Brengsek?”
Setelah kata “brengsek” mendobrak indera pendengaran Wu Yifan, sebuah tamparan pun akhirnya mendarat di pipi kanan pria itu dengan cukup keras. Di antara kepanikan yang menggila, ia seolah merasakan guncangan kecil di setiap jengkal mentalnya yang belakangan sedikit sakit, dan secara tak sadar, ia meneriaki Jill “jalang” melalui pikiran yang seperdelapan bagiannya telah melayang jauh akibat dengungan ngilu yang terasa di area telinga.
Benar-benar kacau.
Well, tentu saja Yifan menginginkan sambutan yang lebih normal dari ini. Di tengah-tengah bentangan jarak yang hadir selama nyaris dua bulan, ia berharap bahwa akan ada reaksi manis dan manusiawi yang kelak takkan membuatnya menyesal karena sudah mengambil keputusan untuk kembali menunjukkan eksistensinya di hadapan Jill.
“Seharusnya kau—“
Yifan berniat mencerca, tapi sayang, ia kalah cepat lantaran wanita itu menyelanya dengan sebuah ciuman singkat. “Aku merindukanmu!” seru Jill dengan nada frustrasi yang kentara dalam kalimatnya.
“Aku tahu,” sahutnya enteng.
Sesaat Yifan terpekur; membiarkan kedua kakinya berpijak tenang di tegel kelabu yang sudah kepalang akrab dengan sneakers favoritnya. Napasnya lolos dalam naungan rasa lega, dan perlahan ia pun mempersilakan Jill untuk memeluk tubuh kurusnya erat-erat.
Entah mengapa semuanya begitu jauh dari kesan salah, secara tiba-tiba ia seolah menemukan arah hidupnya lagi yang kemarin sempat hilang akibat tiupan angin sore yang begitu menjengkelkan untuknya. Untuk sesaat, Yifan kembali mencintai hidupnya di sini—di rumah sederhana milik Jill yang terisolasi pagar kayu bercat putih dengan tinggi kurang dari satu meter.
Jill tak menggandeng tangannya saat memasuki rumah, wanita itu lebih memilih membiarkan dirinya berjalan di belakang dengan perasaan bahagia yang mencuat serta-merta dari dasar hatinya yang lama tak tersentuh. Setelah meletakan ransel sembarangan, Yifan melepas jaket dan topi, lalu melengang santai menuju wastafel untuk sekadar memeriksa ekspresi wajahnya dari pantulan cermin yang mungkin saja sekarang sudah terlihat jauh lebih baik.
“Kau pasti tidak tahu kalau selama tiga minggu terakhir aku minum darjeeling setiap pagi,” kata Jill sambil membuka pintu lemari pendingin untuk mengambil sekotak jeli rasa leci yang dipenuhi potongan buah peach sisa kemarin malam.
“Tentu saja aku tidak akan tahu,” sahut pria itu tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. “Karena terlalu sibuk memikirkan Kim, aku jadi tidak sempat memikirkanmu berserta detil-detil di kehidupanmu yang bisa saja berubah drastis saat aku tak ada.”
Hening, lantas Kim.
Entah mengapa, Yifan sangat senang ketika menyebut nama itu. Nama seorang wanita yang bahkan ia sendiri tak tahu bagaimana harus memvisualisasikan sosoknya di dalam kepala. Yang jelas, Kim adalah seorang florist yang memuja Mika si solois pria yang tak suka wanita, pula senang mengudap kukis yang di atasnya ditaburi banyak almond, dan—
“—memangnya tidak ada topik lebih penting yang bisa kau seret ke dalam obrolan kita? Tanggalkan dulu si Kim-mu yang jelek itu, mendengar namanya saja aku sudah muak.”
Yifan tertawa, menghisap atmosfer kecemburuan yang menguar dari tatapan setengah tajam milik Jill melalui partikel udara yang bertebaran di mana-mana. Terlihat wanita menyantap jelinya sambil bersandar ke konter. Intensi untuk berbagi jelas tidak ada, tentu saja, ia kan sedang kesal.
Well, polah wanita itu kadang-kadang suka sedikit “melenceng” dari kebanyakkan manusia. Yifan tak habis pikir, bagaimana bisa ia mencemburui Kim yang demi Zeus hanya seorang karakter utama dalam novel yang tengah digarapnya selama dua tahun terakhir? Sungguh konyol dan eksentrik.
“Untungnya aku mencintaimu, kalau tidak, mungkin sekarang sepatuku sudah melayang karena kau berani mengatai Kim jelek.”
“Oh, masa bodoh.”
Yifan mengangguk, mengakhiri topik obrolan mengenai Kim sampai di situ dulu. Nanti, jika memang ada kesempatan lagi, ia akan mengundang Kim ke dalam perbincangan untuk sekadar menggoda Jill. Ha. Bukan ide bagus sih, tapi tetap saja rencana itu tak bisa Yifan hapus seenaknya dari dalam kepala.
Kim, jika berbicara tentang Kim, sesungguhnya ia mengenal wanita itu jauh sebelum ia mengenal Jill. Ya, kala itu Kim menyambangi pikirannya pertama kali saat pagi buta, di hari Selasa, di mana Yifan hanya tidur selama dua jam karena ada deadline keparat. Langit biru terlihat lebih pucat akibat sisa hujan, kesadarannya di bawah normal, dan ia merasa setengah gila. Jangan tanya seperti apa figur seorang Kim, sesungguhnya kala itu yang nampak adalah siluet hitam yang demi Tuhan nampak sejuta kali lebih nyata dari manusia. Oh, Yifan merasa, jika Kim adalah sosok wanita sempurna yang tak mungkin bisa lesap begitu saja dalam memorinya. Satu per satu imaji tentangnya berserak di depan mata, membuat hatinya tergerak untuk merangkai kata demi kata yang kala itu ia sendiri tak tahu akan mengarahkannya ke mana.
“Apa kau dipecat?” tanya Jill sambil menyimpan kotak plastik berwarna hijau apelnya di dalam sink. Jelinya sudah tandas, Yifan tidak kebagian secuil pun.
Wanita itu beralih menuju teras belakang, sambil menyakini bahwa Yifan pasti akan mengekor di belakangnya. Di musim gugur seperti ini, biasanya desauan angin kurang bisa diajak kompromi, itu sebabnya, sebelum benar-benar bergerak ke tempat yang dituju, Jill lebih dulu mengambil selimut tipis yang ada di sofa, dan membawanya ke sana.
“Memecat diri sendiri maksudmu? Itu konyol.”
“Iya, memang konyol. Tapi bagaimana reaksi Luhan dan Yixing saat tahu kau menghilang?” Jill duduk di atas ayunan, disusul Yifan yang mengambil tempat di sampingnya.
“Aku tidak tahu, aku tidak pernah mencari tahu, tapi aku yakin mereka takkan bertindak seekstrem itu. Sampai detik ini aku belum menghubungi mereka, aku melakukan pelarian ini dengan totalitas tinggi, buktinya selama ini aku juga tidak pernah mengabarimu,” kata pria itu sambil menahan tawa. “Pokoknya kau adalah orang pertama yang aku temui pasca acara kabur-kaburan bodohku selesai, kau harusnya bangga.”
Jill menghela napas panjang, ia diam. Membiarkan kedua kakinya menggantung sambil memeluk selimut. Sepasang matanya seolah enggan melepaskan sosok Yifan dalam pandangan, terlihat pria itu mengangkat kakinya ke atas untuk kemudian duduk bersila. Oh, rambut Yifan sekarang lebih pendek. Warnanya tidak lagi pirang, melainkan cokelat tanah. Tak ada satu pun piercing tersemat di kedua telinganya, Jill sangat suka.
Satu lagi, kulitnya setingkat lebih gelap.
“Lalu, ke mana selama ini kau pergi?”
“Ibiza.”
“Bercanda?” Yifan menggeleng, lalu mengacungkan kedua jarinya pertanda jika ia sedang bersumpah. “Bagus, aku tidak suka kota itu, dan kau malah pergi ke sana. Kau meniduri berapa banyak wanita, omong-omong?”
“Tidak satu pun, wanita di sana terlalu mahal,” kata Yifan sambil tertawa. “Hei, aku bercanda.”
Jill menarik kedua kakinya ke atas dan membiarkannya tertekuk, lantas menutup bagian bawah tubuhnya dan pria itu dengan menggunakan selimut. Sore yang aneh, selama beberapa hari terakhir ia nyaris berhasil untuk tidak mengkhawatirkan kepergian Yifan, tapi sekarang pria itu malah sudah ada di sampingnya, mengenakan jins biru dan kemeja putih bermotif bunga mawar rumit kesukaannya.
“Aku merasa sangat kaya karena berlibur ke sana, padahal—yah— kenyataannya aku hanya menyewa kamar yang kebetulan keren lantaran langsung menghadap laut dengan harga murah. Pemiliknya seorang kakek yang baru ditinggal mati istrinya enam bulan, orangnya sangat ramah dan cukup menyenangkan,” Yifan tertawa kecil, “Sebagian besar waktu kuhabiskan untuk melanjutkan draft novel, aku menulis seperti orang kerasukan, tanpa hambatan, dan sambil berbahagia.”
“Lalu?”
“Lalu, kadang-kadang aku merindukanmu, berharap kau ada di kamar yang sama denganku, dan makan seafood.”
“Kau makan seafood?”
Yifan menggeleng, “Tidak, aku hanya berharap bisa makan seafood, tapi kenyataannya aku tidak bisa makan. Aku hanya pergi ke klub sebanyak tiga kali selama berada di sana, Ibiza benar-benar brengsek, kota itu tak pernah tidur dan membuat siapa pun lupa mati. Menginspirasi namun cukup mengerikan, kurasa. Kenyataanya berada di sana lebih buruk ketimbang menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah gratis, itu sebabnya mengapa aku lebih senang berada di kamar atau berjalan-jalan di pantai sambil minum sekaleng cola atau bir jika sedang ingin. Dan, hal luar biasa yang aku dapat hanyalah, sebuah fakta bahwa novelku sekarang sudah selesai digarap.”
Jill terdiam selama beberapa saat.
“Anak Kesayangan” Yifan akhirnya nyaris lahir. Ya, Yifan biasa menyebut proyek novelnya sebagai “Anak Kesayangan”. Entah dari mana ia mendapat istilah itu, Jill tidak mau tahu. “Kau sudah punya nama untuknya?”
“Vacancy,” bisik Yifan pelan dan magis, ia tak tahu apa motif atas tindakan pria itu. “Aku akan memberinya sebuah nama berbunyi Vacancy.”
Ia ingat, saat Natal tahun lalu, Yifan pernah bercerita tentang novel aneh yang tengah digarapnya. Antusiasme begitu nyata terlihat, bagaimana ekspresi Yifan yang selalu berombak-ombak setiap kali membicarakan Kim dan segala macam detil yang ada di dalam hidupnya; Kim yang seorang florist, Kim yang lahir saat ayahnya meregang nyawa akibat disengat kalajengking, Kim yang memuja Mika, Kim yang tak suka buah semangka, Kim yang atheis, Kim yang bercita-cita melanjutkan hidup di India saat usianya menginjak tiga puluh tujuh, Kim yang memiliki tinggi badan sekitar 165 senti, Kim yang mengoleksi skirt, Kim yang kelak akan berjodoh dengan seorang pria tuna daksa, dan lain sebagainya.
“Menarik,” komentar Jill. “Tapi, kau sudah meninggalkan banyak masalah di sini.”
Kedua alis Yifan bertemu di tengah, “Aku tahu hal itu akan terjadi, apa saja rincian masalahnya?”
“Ibumu, dia mendatangiku enam kali, kadang-kadang sambil menangis. Yixing, dia meneleponku nyaris setiap hari di minggu pertama dan kedua saat kau menghilang, membicarakan hal yang sama yakni tentang keidiotanmu karena sudah pergi di saat-saat tak tepat. Luhan, dia hanya mengajakku bertemu sekali, tapi dia menginterogasiku habis-habisan selama enam jam, tidak waras. Jika kejadian ini diibaratkan sebagai kasus penculikan dan pembunuhan seorang pemimpin redaksi majalah rookie yang booming hanya dalam waktu dua tahun, maka aku seolah menjadi orang pertama yang sedang dicurigai. Menjengkelkan.”
Yifan menghela napas. “Tapi, Point tetap terbit kan?” Jill mengangguk malas. “Bagus, Luhan dan Yixing memang selalu bisa diandalkan, keabsenanku bukan masalah yang fatal sebenarnya, karena jauh sebelum aku pergi kami bertiga sempat berunding untuk sekadar membahas inti materi yang akan disuguhkan sampai tiga bulan ke depan.”
“Tapi tetap saja menyebalkan.”
“Aku tahu.”
Jill menggeleng, meloloskan tawa kering sambil mengalihkan tatapan dari wajah kekasihnya. “Sebenarnya aku ingin bertanya lebih jauh perihal kepergianmu, tapi aku tahu kau pasti tidak akan suka. Kau kan selalu benci jika setiap orang menuntutmu alasan.”
“Selain alergi seafood, aku juga alergi alasan,” kata Yifan sambil mengangguk. “Terima kasih karena dirimu sudah menahan diri untuk tidak menanyaiku macam-macam, kalau Luhan dan Yixing kelak bertindak serupa, demi Tuhan aku lebih memilih dihajar sepuasnya oleh mereka berdua ketimbang harus membiarkan mulutku berbusa hanya karena mengobral alasan.”
Oh, sangat Wu Yifan sekali, pikir Jill. “Ceritakan lagi tentang Vacancy dan Ibiza,” putusnya.
Manik pria itu melebar sepersekian detik, namun seulas senyum penuh makna tersungging beberapa saat setelahnya. “Tapi akan ada banyak sekali hal tentang Kim di sini, kau tidak apa-apa?”
“Sepertinya tidak apa-apa, selama kau tak melakukan hal aneh dengannya, aku tidak akan apa-apa.”
“Hal aneh?” Yifan mengerling. “Apa membayangkan Kim tidur di sampingku hanya dengan mengenakan lingerie termasuk hal yang aneh?”
“Please,” gumamnya dengan nada putus asa. Jill menyugar rambutnya ke belakang dengan gestur kesal, tak sadar ia pun hendak beranjak dari ayunan, namun Yifan menahannya sambil berkata “Santai sedikit”.
“Jill, kau mungkin akan menganggapku gila. Bagaimana aku terobsesi pada Kim yang tak lain dan tak bukan adalah bagian dari imajinasi bodohku saja. Kau tahu? Ibiza telah memberiku banyak inspirasi sampai-sampai membantuku membuat karakter Kim menjadi berkembang begitu banyak, begitu kuat, dan mengesankan. Dia adalah sosok ideal bagi pria-pria “gila” yang tidak suka wanita yang biasa. Aku membuatnya senyata mungkin agar kelak siapa pun yang membaca dan menyelami karakter Kim bisa sama gilanya denganku. Vacancy sendiri tak memiliki plot yang layak dilabeli anti-mainstream dan aku benar-benar menjadikan Kim sebagai tumpuan dalam cerita in. Ya, ini hanya kisah tentang Kim si florist yang berusaha keras mengisi kekosongan-kekosongan absurd di dalam hidupnya, pula seringkali dicemburui oleh wanita bernama Jill,” Yifan tertawa. “Dia hanya seorang wanita biasa yang mencintai bunga daisy, kukis bertabur almond, dan dia—Mika.”
“Mika si penyanyi itu?”
“Bukan, tokoh utama prianya pun kunamai Mika. Jadi, Kim menyukai dua manusia bernama Mika di dalam hidupnya. Yang satu penyanyi, yang satu pria tuna daksa.”
“Kau rela pergi jauh hanya demi Kim, meninggalkan kami yang jelas-jelas nyata di sini. Aku tak bisa membayangkan akan segila apa Vacancy-mu itu,” Jill menghela napas panjang. “Tapi aku akan tetap menunggunya, sambil belajar untuk meredam kecemburuan karena pasti akan ada banyak Kim di sana.”
Yifan tertawa. “Tapi, Jill. Apa kau benar-benar melupakan janjiku saat Natal tahun lalu?”
“Apa?”
“Saat aku mendeskripsikan bagaimana seorang Kim padamu.”
Oh, sebetulnya Jill tidak lupa, ia saat itu tertidur dan rupa-rupanya tak mendengar poin penting yang sepertinya sempat diucapkan Yifan pada waktu itu.
“Itu,” kata Jill. “Itu aku—“
Yifan meletakan kepalanya di bahu Jill, lantas menghela napas panjang nan tenangsebelum berucap, “—biar kuulangi; Jill, aku berjanji, jika novel gila itu selesai digarap, aku tak akan membahas soal Kim lagi.”
“Ya, lalu?”
“Aku juga berjanji, jika “Anak Kesayanganku” sudah siap untuk lahir, aku akan segera menikahimu,” Yifan tertawa kecil. “Kepergianku ke Ibiza bukan tanpa sebab, kepergianku meninggalkan semuanya di sini juga bukan tanpa alasan. Aku melakukannya hanya karena aku ingin segera menepati janjiku; menikahimu. Satu hal, aku meyakini jika Vacancy tak akan kunjung selesai jika aku terus di sini; dikelilingi kehidupan yang bising dan juga pekerjaan yang mencekik,” katanya seraya mengenggam tangan Jill erat. “Jadi, sebelum aku berubah pikiran… maukah kau hidup denganku? Untuk sekadar menikmati secangkir kopi setiap pagi, berbagi tempat tidur setiap malam, bertukar pikiran gila setiap saat, dan menanti seorang anak yang kelak akan kuberi nama Sky? Ayolah, kau harus mau, kau kan tahu kalau aku mencintaimu, sangat.”
Jill tak bisa menjawab, ia terlalu sibuk menahan air matanya agar tidak keluar, saking bahagia. Oh, Wu Yifan memang brengsek, namun anehnya ia ingin menjadi istri dari pria brengsek itu, detik ini juga kalau bisa.
-fin.
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kris Wu
