-
Lim terbangun dari tidurnya. Padahal rasanya dia baru saja menutup matanya barang beberapa menit.
Sepanjang malam dia menangisi separuh hatinya yang telah pergi hingga jatuh tertidur. Bayang-bayang api dan guncangan di sekitar tempatnya berpijak membuatnya tersentak dan membuka mata lebar-lebar. Mimpi buruk itu kembali menyerangnya. Kedua matanya kembali pada foto yang ditaruhnya di atas meja. Sebuah foto yang telah ditatapnya terus menerus semalam suntuk.
Satu tahun lebih telah berlalu sejak peristiwa itu mengubah hampir seluruh hidupnya. Sebuah mimpi buruk yang setiap hari menghantui malamnya, juga kenangan menyesakkan yang tidak lagi ingin diingatnya. Semuanya hampir membuatnya gila.
Kris adalah alasannya untuk selalu berusaha bertahan hidup tiap kali menjalani sebuah misi yang harus mempertaruhkan nyawanya. Lelaki itu adalah tempatnya bernaung tiap kali harinya berakhir. Belahan jiwanya, mimpi masa depannya, kekasih hatinya. Sepanjang malam yang ada di dalam kepala Lim hanyalah ingatan akan berjuta kenangan yang mereka miliki bersama.
Thomas Adili memperkenalkan putranya untuk pertama kali beberapa hari setelah Lim dan Eli tiba di Ceko. Konon, sama seperti dirinya dan Eli, juga beberapa anak yang lain, Kris adalah salah satu anak yang Thomas Adili adopsi dari salah satu panti asuhan yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari semua anak yang pria itu wakili, hanya Kris saja yang pada akhirnya memakai nama belakangnya, seperti layaknya anak yang memiliki hubungan darah.
Sejak masih remaja, Kris adalah seseorang yang memiliki keinginan yang kuat. Sosok paling karismatik yang pernah Lim temui. Dalam waktu senggang, Kris menemani Lim dan Eli belajar kalkulus, lalu mengajari mereka bagaimana menciptakan formula algoritma untuk meretas sistem jaringan di komputer, hingga ke segala program untuk mengakali gadget agar bisa berubah fungsi seperti yang mereka butuhkan. Lim ingat sekali bagaimana saat itu dia tidak begitu menyukai matematika hingga di antara mereka berdua Eli jauh lebih unggul. Lim paling menyukai saat-saat ketika mereka berlatih menembak, di mana dia bisa menghabiskan seharian hanya untuk mempraktekkan gaya tembak dan memperlajari trik-trik baru dalam membidik sasarannya.
Kris adalah satu-satunya pria yang pernah mengisi ruang hati dan jiwanya. Pria itu adalah segalanya. Seorang guru, teman, kakak, dan juga kekasih. Kris lelaki yang protektif. Bila sedang menjalani sebuah misi Lim akan lebih senang bila laki-laki itu tidak ikut campur dalam pekerjaannya, karena, tidak seperti Eli, lelaki itu tidak pernah membiarkannya berhadapan langsung dengan targetnya. Tiap kali misinya melibatkan Kris di dalamnya, Lim harus menahan gondok tiap kali pria itu menaruhnya di belakang meja menjadi operator yang mengawasi seluruh keadaan di sekitar mereka.
Karena itulah dia lebih suka bekerja hanya berdua bersama Eli, partner in crime sejatinya, atau bekerja seorang diri tanpa pernah memberi tahu Kris apa tengah dikerjakannya. Bukannya dia tidak senang dengan bantuan kekasihnya; kadang Kris bisa menjadi orang dengan rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Bila inisiatifnya mulai bekerja, lelaki itu akan mencampuri segala hal hingga paling detil. Termasuk apa yang perlu Lim kenakan saat exposure. Di satu sisi, menerima beberapa masukan dan instruksi informatif semacam ini sangat membantu pekerjaannya, tapi di sisi lain, Lim merasa seperti seorang amatiran yang baru menjalani misi pertamanya. Dia tidak suka tampak bodoh.
Lim mengangkat tubuhnya dan bersandar di kepala tempat tidur. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Foto itu dipangkunya. Lim sangat merindukan kehadiran Kris di sampingnya. Kenyataan bahwa lelaki itu kini tidak akan lagi hadir menemaninya membuat Lim merana. Dia kembali menangisi hal yang sama.
Kenangan mereka terekam dengan sempurna, menciptakan sebuah ingatan yang sangat nyata membekas di dalam benak Lim. Cukup nyata untuk menyiksanya tiap malam dengan rasa rindunya yang dalam. Rasa rindu yang datang dari sebuah ikatan kuat di antara keduanya, kini hanya menyisakan abu dan serpihan hati yang hancur berantakan ketika pria itu meninggalkannya.
Rasanya seperti memeras habis-habisan kekuatan hatinya ketika teringat kejadian itu. Hari yang secara resmi telah membuatnya cacat dan lumpuh. Hari yang akan terus menghantui mimpi-mimpinya. Tak akan pernah terlupakan.
* * *
Malam itu tidak seperti biasanya. Lim tahu Kris baru saja mendapatkan sebuah misi. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Kris terlihat agak gugup. Dia lebih banyak diam. Lim bahkan menemukannya berlari di atas treadmill lebih lama daripada biasanya.
Kris seorang lelaki yang tenang. Dia cenderung percaya diri dengan kemampuan dan segala strategi yang direncanakannya. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan tersendiri di kepala Lim, tapi Kris menolak memberi tahu apa yang hendak dilakukannya sekeras apapun usaha Lim memaksanya memberitahu.
Suasana hatinya mulai kacau saat pagi itu terbangun dan tidak menemukan Kris di rumah. Kris berjanji akan kembali sebelum matahari terbit. Tapi ketidakhadirannya di rumah mereka, dengan barang-barang yang masih tetap sama di tempatnya sebelum lelaki itu pergi, jelas menunjukkan bahwa dia belum kembali. Lim bukan orang yang mudah panik atau cemas, terutama mengenai seseorang seperti Kris. Dia yakin benar lelaki itu mampu menjaga dirinya sendiri. Hanya saja Kris tidak pernah terlambat. Pria itu selalu pulang tepat waktu, bahkan kadang lebih cepat dari waktu yang dijanjikannya. Lim yakin ada sesuatu yang tidak beres.
Masih jelas ingatannya ketika pagi itu Lim mencoba untuk mencari tahu posisi keberadaan Kris melalui alat pelacak yang terpasang di mobil lelaki itu, yang ditemukannya terparkir di sebuah gudang di area perbukitan luar kota Bandung. Tempat itu nyaris tidak terlacak oleh GPS. Lim sendiri juga tidak begitu mengenal medannya karena belum pernah mengunjungi daerah itu sebelumnya. Sistem pelacaknya menunjukkan bahwa mobil Kris telah terparkir di tempat yang sama sejak beberapa jam sebelum matahari terbit. Ini berarti lima jam telah berlalu.
Eli juga tidak bisa dihubungi ketika Lim berniat untuk meminta bantuan. Mereka memang sudah tidak berkomunikasi selama beberapa hari sejak terakhir kali Eli berkunjung ke rumah dan mengobrol bersama Kris. Absennya dua pria ini yang kemudian menguatkan perkiraannya, bahwa mereka pasti sedang bersama mengerjakan sesuatu. Lim kesal karena tak seorangpun mengajaknya terlibat langsung.
Lim berusaha untuk menghubungi Eli berkali-kali saat menyetir. Menunggu hingga lelaki itu mengangkatnya. Bila sedang bekerja bersama, Eli selalu berjaga dengan ponselnya untuk berjaga-jaga bila komunikasi wireless mereka terganggu oleh gelombang di udara. Tapi setelah meninggalkan puluhan panggilan tak terjawab, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa Eli akan mengangkat panggilannya. Lim mengumpat sejadi-jadinya di belakang kemudi.
Satu jam kemudian Lim hampir sampai di tempat tujuannya. Mobilnya melambat saat melihat jalan diblok oleh beberapa petugas kepolisian yang menyaring kendaraan masuk tak jauh di depannya. Tidak semua mobil diperbolehkan melewati penjagaan mereka; beberapa kendaraan harus memutar balik dari sisi jalan di seberangnya.
Lim memutar balik mobilnya, mencari jalan masuk lain melalui sebuah jalan kecil tak beraspal yang tak jauh dari jalan utama. Kata-kata sang petugas patroli tersebut terngiang di telinganya begitu jelas dan membuatnya makin tidak sabar untuk segera menemukan Kris. Penggrebekan teroris oleh pasukan Densus. Lim hanya bisa berharap apa yang didengarnya sesaat dari gelombang radio yang disadapnya hanyalah suara angin yang mempermainkan telinganya. Tidak mungkin Kris begitu ceroboh hingga melibatkan orang-orang ini. Dan, demi Tuhan, mereka bukan teroris. Ini penghinaan namanya.
“Lim? Bisa kita bicara nanti? Aku sedang sibuk.” Eli akhirnya lelaki itu menjawab panggilannya setelah satu jam.
“Eli aku sedang menuju ke lokasimu saat ini, dalam lima menit aku sampai sana.” Lim memotong kalimat Eli sebelum pria itu memutus pembicaraan mereka secara sepihak.
Eli jelas tidak menyukai kenyataan itu. Lelaki itu memakinya dengan nada tertahan, menjaga volume suaranya cukup rendah,
“Berbaliklah, Lim, code red! Kamu tidak boleh berada di sini saat ini, berbalik sekarang juga!” perintahnya segera.
“Kris ada di sana? Dia baik-baik saja? Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan?”
“Aku tidak bisa bicara sekarang, dan dia baik-baik saja. Sekali lagi, Lim, berputar baliklah, kami akan menemuimu dua jam lagi di tempat biasa!” Dan sambungan teleponnya diputus begitu saja.
Lim berteriak frustrasi seraya memukul kemudinya semakin kesal. Kedua orang itu benar-benar dalam masalah besar karena mengasingkannya seorang diri seperti ini. Eli salah besar bila berpikir Lim akan menuruti perintahnya. Dia tidak lagi bisa berpikir jernih dengan kecemasannya yang semakin memuncak. Dia menginjak gas semakin dalam menembus jalan bebatuan dan ilalang hingga sampai di lereng bukit.
Memarkir mobilnya cukup tersembunyi jauh dari jalan utama, Lim mempersenjatai dirinya dengan lengkap di seluruh tubuhnya. Satu revolver di pinggangnya dengan pisau lipatnya di sisi lain, juga satu senjata otomatis berperedam tergenggam erat di tangannya.
Dia keluar dari mobil menyusuri desa kecil yang dipadati rumah gubuk penduduk yang kosong. Lim mengamati rumah-rumah berdindingkan kayu dan bambu itu sementara mengawasi sekitarnya. Dia baru tahu ada perkampungan semacam ini di daerah kecil yang tidak jauh dari luar kota Bandung. Dia bahkan tidak berhasil mengingat namanya.
Lim semakin awas. Tidak terdengar apapun di telinganya, suara tembakkan peluru atau orang-orang beradu tangan. Suasana di tempat itu terasa tegang dan mencengangkan meski matahari masih beranjak ke puncak kepalanya. Dari sudut di beberapa rumah, Lim merasa beberapa pasang mata mengintip dari jendela tanpa berani menunjukkan diri mereka. Beberapa di antaranya suara anak-anak yang dibekap agar tidak bersuara oleh orangtua mereka. Kengerian terbaca jelas di wajah mereka yang terlihat sebagian. Lim menempelkan jari telunjuknya di bibir seraya menghalau mereka untuk tetap diam dan menjauh dari jendela.
Masih tetap berhati-hati dengan sekitarnya, Lim melangkah mendekati lokasi gudang yang terpindai pada layar GPSnya. Jauh agak ke atas bukit gudang itu mulai terlihat. Bentuknya tidak besar, terlihat seperti lumbung penyimpanan makanan setinggi sepuluh meter dan tidak mencolok mata. Lim mempercepat langkahnya. Tiba-tiba saja terdengar suara gerombolan orang berlari mendekat dari arah baratnya.
Dia bersembunyi di balik tembok batu di sudut sebuah rumah. Mengintip dari atas kepala, dia melihat lima orang berjaket anti peluru memposisikan diri sedemikian rupa bersama senjata api mengacung di kedua tangan mereka. Pemimpin mereka berbicara sesuatu melalui alat komunikasi di telinganya dan mengkomando tiga anak buahnya untuk pergi mengikutinya sementara meninggalkan satu orang lain untuk menjaga tempat itu. Selama hampir dua menit Lim menunggu, mengawasi seorang pria muda berambut panjang yang diikat ke belakang kepalanya berdiri kaku dalam posisinya dengan mata yang awas.
Lim memutuskan untuk menyerangnya—dan seseorang menariknya dengan kuat dari belakang.
“Aku tahu kamu tidak akan pernah menuruti perintahku, Lim. Di sini berbahaya!”
Suara itu adalah satu-satunya alasan kenapa Lim tidak memberontak dan menjatuhkan tubuh penyerangnya seketika. Eli menariknya pergi dari tempat itu tanpa menghiraukan tepisan tangannya yang meminta melepaskan diri, menjauh dari lokasi gudang yang dicarinya menuruni bukit. Eli tampak kacau. Sisi kepala dan lehernya basah oleh keringat. Terlihat beberapa lecet di dahi dan lengannya. Lelaki itu seperti habis berkelahi. Lim menatapnya curiga, kengeriannya semakin memuncak.
“Di mana Kris? Ada apa ini?” Lim bertanya panik sementara berusaha melepaskan diri saat Eli menariknya, geraknya sia-sia karena lelaki itu mengunci kedua tangannya dan menggiringnya dengan kekuatan penuh.
“Dia menyuruh kita pergi terlebih dulu. Kamu seharusnya tidak boleh berada di sini, Lim. Keadaan sedikit kacau.”
“Ada apa? Tunggu dulu, aku tidak mau pergi. Kita harus menemukan Kris. Eli, Demi Tuhan, dia mungkin dalam bahaya!”
Lim tahu usahanya tidak akan memberi efek apapun bagi cengkeraman tangan Eli di lengannya. Lelaki itu lebih kuat darinya. Eli menutup mulutnya agar tidak bersuara lagi dan bergerak semakin cepat saat mendengar langkah kaki di belakang mereka.
“Eli, lepaskan aku! Aku tidak akan pergi sebelum kamu menjelaskan apa yang terjadi. Beritahu aku di mana Kris!”
Lim menolak bergerak ketika Eli mendorongnya masuk ke dalam mobil yang diparkir di tempat tersembunyi di kaki bukit. Dalam satu pitingan Lim lalu memuntir lengan Eli dan menyudutkan lelaki itu ke pintu mobil yang tertutup, menguncinya di sana.
“Eli!! Jawab pertanyaanku!”
“Aku tidak tahu! Oke?! Aku tidak tahu! Dia tidak memberitahuku detil tugasnya, dia hanya menyuruhku untuk berjaga dari atas bukit. Lalu tiba-tiba saja orang-orang itu datang. Aku tidak tahu apa yang terjadi, Lim, dia dijebak.”
“Ya Tuhan!” Lim mengendurkan kuncian tangannya di belakang tubuh Eli, melepaskan pria itu dan hendak kembali ke atas bukit ketika Eli menangkapnya kembali. Mereka saling menahan dan melepaskan diri, membuat Lim kehabisan kesabarannya dan berusaha melumpuhkan lelaki itu dengan tangan dan kakinya. Mereka berkelahi membabi buta, saling memukul dan meredam hingga—
Dor! Dor dor!
Sesaat ketika dia hampir menjatuhkan Eli, terdengar sangat keras suara baku tembak dari atas bukit. Lim melepaskan diri dengan cepat mendengar suara itu, meneriakkan nama Kris di dalam hatinya sementara air matanya merebak keluar.
“Lim!” Eli berlari di belakang gadis itu dan menangkap tubuhnya, menangkis kedua tangan Lim yang berusaha menyerangnya hingga—
Blaaarr!!
Gudang penyimpanan di atas bukit meledak. Lim mengecek layar GPS-nya. Tiada sinyal. Lidahnya kelu.
Eli menarik tubuhnya masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat itu dengan cepat, tanpa pernah lagi menengok ke belakang.
Segalanya terjadi begitu saja.
Sejak itu Lim tidak pernah lagi mendengar tentang Kris dan jejak kehidupannya. Eli tidak menemukan apapun pada sisa-sisa abu penyerangan ketika kembali keesokan harinya. Ayah angkatnya yang mengabarkan kematiannya, menangisi kepergian putranya. Thomas Adili mengakhiri masa tugas salah seorang pejuang organisasi terbaiknya, meninggalkan begitu banyak rahasia yang tidak pernah terungkap. Lim tidak pernah tahu apa dan siapa yang terlibat dalam misi Kris saat itu.
* * *
Semuanya sudah berakhir untuk Lim, semuanya percuma. Berpikir bahwa dia bisa lari dari monster di dalam dirinya, diampuni Tuhan, kembali menjadi Alana dan membina masa depan baru dengan seorang dokter tak berdosa—betapa naifnya! Dia mendengus pada dirinya sendiri. Setelah semuanya, dia masih tidak bisa melupakan Kris. Dan Aiden pun masih menyimpan foto kenangan bersama seorang wanita di brankasnya, seorang wanita cantik yang tampak begitu tak berdosa.
Jika Lim manusia biasa, mungkin semua ini remeh. Sekedar masalah melupakan masa lalu dan membina masa depan bersama dengan seorang kekasih. Tapi bagi seseorang seperti Lim, semua makna meraksasa dalam ironi mereka. Lim sadar: terlalu banyak jeritan dan darah dalam dunianya, dalam masa lalunya, untuk diijinkan jatuh cinta pada seorang pria. Dan pria itu begitu luhur, heroik, dengan mantan kekasih yang begitu polos dan cantik. Jika wanita seperti mantan kekasihnya saja tak layak menjadi kekasihnya, mimpi apa Lim mengira seorang tikus selokan seperti dirinya layak? Sungguh konyol.
Lim membersihkan Heckler & Koch-nya, membuka dan melapnya, lalu memasangnya kembali dengan posisi mekanis yang begitu terlatih. Spontan, dia mengokang sebuah peluru masuk ke dalam laras dan membidikkannya ke luar jendela. Seekor burung gereja terbang dan pergi, tak kembali lagi.
Tepat pada saat itu sebuah pikiran hadir dalam benaknya.
Mungkin lebih baik aku mengakhiri semua ini.
Dengan wajah dingin, Lim menatap pistolnya di tangan. Dia mematikan tuas safety-nya. Logam hitam itu terasa berat dan dingin dengan kematian. Perlahan, dia memposisikan larasnya ke wajahnya, ke mulutnya. Lalu dia membuka mulutnya perlahan, dan merasakan logam dingin itu menjelajahi rongga mulutnya.
Dia berpikir tentang Eli, tentang siapa yang menjebaknya, tentang bagaimana membuat ini semua benar di tengah seluruh jalan buntu dan keputusasaan. Lalu dia berpikir tentang Kris yang mati percuma, entah untuk nilai apa. Dia berpikir minggu-minggu terakhirnya, tentang Aiden yang begitu baik padanya, mengorbankan karir dan keselamatannya demi seorang gadis pendosa sepertinya.
Makin dipikir, Lim makin melihat ketidakbermaknaan semuanya.
Lim menekan jari telunjuk di pelatuknya perlahan-lahan. Beberapa milimeter lagi, dan semuanya akan berakhir. Mudah sekali.
Aiden melipat lengannya di depan dada sementara membenarkan letak duduknya, mencari posisi yang lebih nyaman. Di hadapannya, seorang teman residennnya di rumah sakit tengah berdiri di berhadapan dengan sebuah cermin besar, mengepas stelan jas berwarna putih gading yang akan dipakai untuk resepsi pernikahannya dibantu oleh seorang asisten pemilik salon bridal.
“Oke?” Aris, nama temannya itu bertanya dari pantulan cermin, memamerkan gayanya dengan sengaja. Aiden mengangkat ibu jarinya sebagai jawaban.
Napasnya terhela cepat. Aiden mengangkat kepalanya menatap langit-langit ruangan, kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang dipenuhi lemari kaca di tiap sisi temboknya itu. Aris akan menikah dua bulan mendatang, dan karena dia maupun calon istrinya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, mereka tidak bisa menemukan waktu yang cocok untuk bisa datang bersama mengepas pakaian. Temannya itu menariknya begitu saja begitu shift jaganya selesai di IGD, menyuruhnya menyetir mobil ke bagian Selatan Jakarta, ke sebuah salon bridal di daerah Pondok Indah ini.
Ini pertama kalinya Aiden berkunjung ke tempat seperti ini. Dia menemukan dirinya terperangah saat menemukan begitu banyak gaun pengantin wanita yang disusun berjajar dalam lemari kaca sesuai warnanya. Seperti apa rasanya menikah?
Pernah sekali dulu, di kala dirinya bukan seorang laki-laki yang berstatus sendiri, Aiden berpikir tentang kehidupannya sebagai seorang suami. Dia bermimpi tentang aktifitas kesehariannya bersama gadis yang saat itu sangat dicintainya, bersama seorang istri yang akan selalu menemani tiap waktunya di rumah; mengobrol, menonton televisi, memasakkannya makan malam, segalanya. Aiden tidak pernah memiliki ketertarikan khusus terhadap anak-anak, tetapi dia tidak menolak bila istrinya menginginkan mereka. Dia suka bayi laki-laki; menjadi seorang ayah dari Aiden junior sepertinya tidak akan buruk. Dia masih sangat muda saat itu—betapa pemikirannya jauh berbeda saat ini.
Aiden beranjak, menghampiri sebuah lemari gaun pengantin berwarna merah dari yang tua hingga paling muda. Disibakkannya satu-persatu gain pengantin itu, hingga ketertarikannya tertuju pada sebuah gaun berwarna pink muda. Dia menyukai bentuk gaun itu, dengan kerah Sabrina yang memanjang ke bahu, lengannya panjang dan bertabur batuan intan di seluruh bagian bawahnya. Gaun itu cantik, elegan.
Hanya ada satu gadis yang muncul di benaknya sementara Aiden mengagumi keindahan gaun itu. Apakah Alana akan menyukai gaun ini? Ataukah dia lebih menyukai gaun yang lebih pendek? Aiden tidak bisa menghentikan dirinya untuk membayangkan bagaimana rupa gadis itu saat gaun yang dipegangnya ini melekat di tubuhnya. Alana pasti akan terlihat sangat cantik, gaun itu akan semakin menonjolkan keanggunannya, senyum manisnya, lekukan bahunya….
Aiden mengedipkan matanya beberapa kali. Dia menepis pikiran itu secepat mungkin. Tidak. Ini terlalu dini, dan dia tidak mungkin membayangkan Alana dengan cara seperti ini, gadis itu terlalu muda untuknya. Aiden mengembalikan gaun itu kembali ke gantungan, lalu menutup pintu kaca sebelum kembali duduk di sofa.
Semua keadaan ini, segala hal yang telah dilaluinya, sekaligus kehadiran gadis itu yang mulai akrab dalam hidupnya tampak mulai menunjukkan dampak yang ditakutkan Aiden. Dia bingung. Aiden tidak bisa menampik kenyataan bahwa ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya tentang Alana, tapi apa itu tepatnya, dia tidak yakin. Aiden hanya ingin melindungi gadis itu, tapi untuk menjadi bagian dari masa depan Alana, dia masih belum bisa memutuskan apakah hal semacam ini bisa dibenarkan. Hanya satu hal yang benar-benar bisa dia katakan dengan pasti saat ini: gadis itu seperti salju di bulan September, tiada duanya.
Dari dalam saku celananya Aiden mengeluarkan ponsel. Apa yang kira-kira sedang Alana lakukan saat ini? Apa dia baik-baik saja?Aiden ingin mendengar suara gadis itu. Dia menekan angka dua, menghubungi nomor ponsel Alana yang telah dia simpan di speed-dial.
Aiden menunggu beberapa saat. Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Dia lalu menghubungi telepon rumahnya. Dia menunggu sepuluh, lima belas kali dering. Tidak ada yang menjawab.
Aneh.
Sesaat Aiden menatap layar ponselnya, menebak-nebak apa yang kira-kira membuat dua panggilannya tidak terjawab. Aiden lalu mengangkat alis dan mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana.Lebih baik tidak usah terlalu dipikirkan. Mungkin dia sedang mandi.
.
Lim tidak menarik pelatuknya. Siapapun itu tadi yang menelpon, dia telah berhasil menggoyahkan niat Lim, menariknya kembali kepada kenyataan. Seberapapun dia ingin mengakhiri semuanya, bukan begini caranya. Bukan di apartemen Aiden, dan bukan dengan sia-sia. Paling tidak, dia ingin mendapat jawaban, apapun yang bisa dia dapatkan sebelum kematiannya.
Jika mereka menginginkanku, mereka akan mendapatkanku. Aku mungkin akan mati setelahnya, tapi setidaknya aku akan mendapatkan jawaban.
Lim tidak tahu siapa yang memburunya, jadi dia tidak tahu bagaimana sebaiknya menyerahkan diri. Dia juga tidak ingin terlihat menyerah begitu saja dan membuat mereka curiga atau membunuhnya di tempat. Dia ingin terlihat seperti tak sengaja tertangkap. Tak akan susah: dia hanya perlu keluar apartemen di siang hari, dan para pengintainya akan mengendus dan menangkapnya. Begitulah pikir Lim. Dan kebetulan, Lim punya beberapa tempat untuk dikunjungi sebelum mati.
Pagi harinya, setelah memastikan Aiden sudah berangkat kerja, Lim memantapkan diri meninggalkan apartemennya.
Di ambang pintu, dia berbalik dan menatap ruang mewah yang kosong di hadapannya.
“Selamat tinggal, Aiden. Aku bersyukur pernah mengenalmu.”
.
Sejak Thomas Adili mengabarinya tentang kematian kekasihnya, Lim hidup bagaikan tubuh tanpa jiwa. Dia menjalani hari-harinya menangisi kepergian Kris, menjerumuskan dirinya dalam depresi dengan serangan ledakan dan suara baku tembak yang menghantui tiap malamnya. Mereka telah diperingatkan sebelumnya tentang hal semacam ini, bahwa kematian akan selalu mengintai di sekitar mereka, dan bukan tidak mungkin akan menjadi satu-satunya hal yang akan memisahkan mereka. Tapi Lim tidak pernah menyangka Kematian akan begitu cepat datang dan menyerang mereka terlebih dulu.
Lim tenggelam dalam keterpurukannya. Dia meninggalkan Jakarta dan mengasingkan diri di sebuah villa kecil di luar kota Praha di Ceko untuk menenangkan diri hingga Eli menjemputnya setahun kemudian.
Sampai kapanpun kenangan atas Kris tidak akan pernah menghilang dari dalam hatinya. Pria itu adalah cinta dalam hidupnya. Bahkan hingga satu tahun berlalu Lim masih belum bisa melupakan kehilangannya. Lim ingin kembali ke Bogor, pulang ke rumah mereka dan menetap di sana. Menunggu, atau apapun istilahnya, hingga orang-orang itu menemukannya. Tapi sebelum dia kembali, Lim merasa harus mengunjungi suatu tempat. Kris, paling tidak, layak mendapatkan bunga terakhir dari Lim sebelum dia menyusulnya ke alam sana.
Maka di sinilah dia, saat ini, berdiri di tengah keramaian Flower City di daerah Barat kota Jakarta, sebuah pasar bunga terbesar di ibukota yang banyak dikunjungi pecinta bunga dan tanaman hias dari seluruh pelosok Jakarta dan luar kota.
Mereka adalah salah satunya. Lim tidak pernah tahu ada tempat semacam ini di Jakarta sampai Kris membawanya ke sana beberapa tahun yang lalu. Bagaikan bunga tulip yang tumbuh di atas comberan, surga bunga-bungaan ini tampak mencolok di tengah kebusukan kumuhnya area lingkungan di sekitarnya.
Kris membawanya ke sana untuk membeli bunga peoni yang mereka sukai. Bunga itu favorit Lim, satu-satunya hal yang mengingatkannya akan kenangan keluarga kecilnya selain tragedi kematian yang tidak akan pernah dia lupa. Lim ingat kakeknya menanam bunga peoni di halaman rumah mereka saat di Malaka, dan dia mengawasi ibunya memetik beberapa tangkai untuk hiasan di dalam rumah ketika bunga-bunga itu mekar sempurna. Bunga peoni memang cukup banyak dijual di berbagai toko bunga di Jakarta, tapi hanya di Flower City itu mereka bisa menemukan varietas dan warna bunga peoni impor seperti yang dulu tumbuh di halaman rumahnya.
Dari balik truk yang tengah membongkar muatan pot plastik berbagai ukuran, Lim mengawasi sebuah toko diramaikan oleh pengunjung yang keluar masuk membeli beberapa tanaman pot.
Pagi tadi Lim turun dari tempat tidurnya dan menemukan beberapa entry post dari Eli, sekitar dua belas pesan kode agar Lim tidak meninggalkan lokasinya di manapun dia berada. Ini pertama kalinya mereka mencoba berkomunikasi satu arah dengan cara seperti ini, dengan sistem program yang dibangunnya untuk menyaring data-data yang diunggah oleh satu ID bayangan milik Eli di seluruh jaringan Internet.
Pesan yang Eli tuliskan tersebar di berbagai situs online. Bila dilihat oleh mata telanjang, pesan-pesan itu terlihat seperti obrolan biasa yang menimpali sebuah pesan dalam komunitas online atau blog. Sejak kecil mereka telah terbiasa bermain dengan kode, dengan berbagai metode yang acak dan berlapis. Eli meninggalkan pesan yang sama untuk memperingatkannya.
Lim tidak menggubris pesan-pesan itu. Maafkan aku, Eli.
Lim berdiri di balik sebuah rak dengan berbagai tanaman kaktus yang dipajang dalam deretan tanaman hias. Di depan matanya seorang gadis berdiri mengobrol dengan dua orang wanita pelanggan yang hendak membeli beberapa pohon mint muda untuk acara amal mereka.
Tepat saat itulah sebuah kesadaran menyergapnya. Ternyata dia! Dunia memang sungguh sempit. Siapa yang menyangka pemilik toko yang dilihatnya sambil lalu—bahkan Eli pernah mengomentari indahnya lekuk tubuh wanita itu—adalah wanita dari masa lalu Aiden.
Tiffany Bataraya. Begitulah nama yang tertulis di papan nama tokonya, yang Lim yakin adalah nama gadis itu. Tubuh gadis itu tinggi menjulang, berambut hitam panjang yang kontras dengan kulitnya yang selembut susu. Wajahnya cantik khas Dayak, auranya kuat menonjolkan kelembutan. Saat gadis itu bicara, matanya melengkung indah menunjukkan kepolosan dan keanggunan yang agung.
Ini memang bukan pertama kalinya Lim menyadari sosok kehadiran Tiffany, tapi harus diakhuinya bahwa ini baru pertama kali menyadari keindahan gadis itu, setelah dia mengawasinya dengan seksama. Bahkan saat itu dia telah jatuh cinta pada senyum yang sama seperti yang dilihatnya pada foto di dalam lemari besi. Gadis yang pernah menjadi kekasih Aiden.
Ini adalah sebuah pertemuan yang tidak Lim duga akan pernah terjadi.
“Pilihan bunga yang bagus. Warna itu agak langka di sini.”
Membuyarkan lamunannya, Lim menoleh pada gadis yang kini berdiri di sampingnya. Pandangannya beralih pada buket buka peoni berwarna pink anggur yang didekapnya dalam gendongan, senyumnya merekah tipis. Tiffany pasti tertarik menghampirinya setelah melihat Lim berdiri menatap deretan kaktus sekian lama di depan matanya tanpa berkedip, mengiranya sebagai salah satu pelanggan lainnya yang tertarik pada tanaman gurun ini.
“Ada yang menarik perhatian kamu? Kaktus peranakan Asia sedang cukup tren belakangan ini.”
“Aku bukan pelanggan,” kata Lim. Jika dia berangkat ke sini sebagai pelanggan, tujuan itu kalah kini dengan pertemuannya dengan Tiffany. Sejenak dia menatap bunga-bunga peoni di gendongannya, memainkan kelopak cantik mereka dengan jarinya. Tuhan tidak mempertemukannya dengan Aiden pada kunjungannya ke gereja tanpa alasan—apakah ini berarti pertemuannya dengan Tiffany akan berarti sesuatu? Lim merasa wanita itu punya jawaban. Setidaknya, jawaban tentang Aiden.
Jawaban apa tentang Aiden? Lim tidak tahu sama sekali. Perasaan yang dirasakannya aneh sekali, namun pada saat yang sama perasaan itu begitu kuat menggerakkannya, semacam dorongan jiwa yang memaksanya mengais-ngais secercah harapan dalam diri wanita itu.
“Ini tentang Aiden. Bisa kita bicara?”
Tiffany mengernyit. Lim sudah menduga bahwa dia akan mendapat tatapan penuh tanya dari sosok gadis tinggi itu. Walaupun dia sangat tertarik untuk mempelajari tiap ekspresi di wajah gadis ini, di sisi lain dia sama sekali tidak berniat untuk banyak-banyak menatapnya. Ada satu hal dari diri Tiffany yang membuat Lim merasa iri padanya, tapi entah apa, dan ini membuatnya merasa tidak nyaman. Separuh dirinya ingin pergi, tapi separuh lagi memaksanya mengikuti dorongan itu.
Lim membiarkan gadis itu menggiringnya ke dalam ruangan di sudut sebuah aula besar, memberikan privasi untuk bicara hanya berdua. Mereka hanya bisa diam saling bertatapan tanpa suara, bahkan setelah Tiffany mempersilakannya duduk berdampingan di satu meja di dalam kantornya.
Selama beberapa lama Lim mengawasi gadis itu. Memperhatikan perubahan emosi Tiffany yang tampak gugup dan juga penasaran di saat yang sama dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Mereka tidak saling mengenal sama sekali. Selain beberapa fakta yang Lim temukan akan Tiffany dari hasil pelacakannya, keduanya hanyalah dua orang asing di tengah samudra kecanggungan yang terlalu dalam.
Tiffany menggosok-gosok lengannya yang kuning langsat, dan Lim mendapati dirinya mengikuti sejenak. Dia mencermati gadis di depannya yang masih mengalihkan matanya. Berusaha mengenali Tiffany sama saja mencoba untuk memahami Aiden. Sisi mana dari gadis itu yang pernah membuat Aiden begitu jatuh cinta, apa yang membuat mereka bisa terus bersama, dan kenapa mereka berpisah. Mata Tiffany begitu indah, sepasang manik yang menyala dengan ketulusan. Gadis itu sempurna, dia memiliki segalanya. Tapi entah kenapa segalanya sepertinya masih belum cukup bagi Aiden untuk tetap mempertahankan gadis itu di sisinya.
“Aku tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya. Apa aku mengenalmu?” Tiffany akhirnya memutuskan untuk bicara lebih dulu setelah lelah menunggu.
Lim menjawabnya dengan gelengan, sengaja memberi jeda akan pembicaraan mereka sambil meneguk sedikit es jeruk yang tersaji. Di dalam kepala dia mulai menyusun kata-kata. Lim sama sekali tidak menyiapkan apapun saat memutuskan untuk bicara dengan gadis itu. Kenyataannya dia memang sedang tidak fokus dengan semua hal yang kini berada di depan matanya, sekaligus yang harus dihadapinya. Lim tersesat dalam dunianya sendiri.
“Apa menurutmu Aiden masih mencintai kamu?” Kata-kata itu keluar dari mulut Lim begitu saja. Kedua matanya menatap Tiffany lekat, sengaja menyembunyikan emosi apapun yang dapat terbaca lawan bicaranya.
Sekali lagi Tiffany mengernyit. Muncul garis-garis panjang yang melekuk dalam di dahinya yang polos. Jelas sekali bahwa pertanyaan ini sama sekali tidak dia duga akan pernah ditanyakan.
“Kenapa kamu bertanya seperti ini? Sesuatu terjadi dengan Aiden?”
Lim menggeleng. Dia tidak pernah suka bila pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan lain, tidak menunjukkan sebuah komunikasi yang layak.
“Dia masih menyimpan foto kalian di brangkasnya.” Lagi, Lim hanya mengikuti kata hatinya.
“Lalu?”
“Kamu tahu apa konsep kegunaan brangkas, kan?”
Lim menunggu dua detik begitu pertanyaannya kembali terlontar. Dia menjawab pertanyaannya sendiri saat tidak ada respon yang terdengar dari lawan bicaranya.
“Untuk menyimpan barang berharga. Tampaknya kenangan masa lalu kalian masih terlalu berharga untuk Aiden, hingga dia menyimpan sisa bukti kebersamaan kalian di dalam brangkas, bukan membakarnya atau melenyapkannya untuk selamanya.”
Ini adalah satu hal yang tidak pernah dia ungkapkan secara langsung di depan Aiden. Bagaimanapun lelaki itu meyakinkannya bahwa tidak banyak perasaan yang tersisa untuk Tiffany, bukan berarti bahwa perasaan itu hilang sama sekali. Bagaimanapun lelaki itu berusaha meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja, Lim semakin yakin bahwa ada satu bagian—sekecil apa pun itu—dalam diri Aiden yang masih meratapi perpisahannya dengan Tiffany. Tidak pernah ada jalan yang mudah untuk melewati jembatan keterpurukan karena sebuah kehilangan, setegar apapun seseorang itu. Lim tidak perlu membongkar seluruh isi rumah Aiden untuk mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Sinar redup di mata lelaki itu memeberitahu dia segalanya.
“Untuk apa kamu memberitahu aku semua ini?” Tiffany bertanya lagi. Gadis itu bicara dengan intonasi yang konstan sejak awal menyapanya, meninggi di akhir kalimat, dengan tanda tanya yang menutup intensinya.
Lim tidak menjawab pertanyaan itu. Untuk apa? Dia sendiri pun sedang berusaha menemukan jawabannya.
Tiffany menghela napas dan mengusap pipinya sejenak, lalu membuang muka ke arah beberapa bunga di ruang kecil ini. Pada titik itu Lim sadar apa itu yang membuatnya cemburu dengan Tiffany: Gadis itu baik-baik saja. Bahkan setelah kehilangan seseorang yang pernah dia cintai, gadis itu masih punya hidup yang damai, dan terlebih lagi, Aiden masih hidup. Mereka masih bisa bertemu kapan saja. Berbeda dengan dirinya, Kris tidak akan pernah lagi hadir di hadapannya, menatap matanya, bicara dengannya. Berbeda dengan dirinya, Tiffany punya masa depan.
Ini kenyataan pahit yang harus Lim terima. Beginilah konsekuensi seorang petarung saat dia diperbudak oleh cinta. Saat perasaan itu membutakannya, dan dia tenggelam dalam janji-janji manis keindahan duniawi yang cinta berikan, tidak ada yang bisa dia lakukan selain meratap seperti bayi yang kehilangan induknya ketika cinta itu pergi tiba-tiba. Cinta, bentuk refleks emosi manusiawi yang seharusnya tidak pernah dia dekati. Dan apa akibatnya? Kini mau tidak mau dia harus menjalani siksa batin ini sendiri.
Lim mengembalikan pandangan matanya menatap Tiffany. Gadis itu kini mengamatinya, seolah tengah mencari sesuatu yang tidak terlihat di dalam dirinya. Mungkin gadis itu sedang mempertimbangkan kewarasannya saat ini.
“Kamu… Apakah kamu masih mencintai Aiden?”
Di hadapannya kedua mata Tiffany melebar dengan indah. Dalam ketidaknyamanannya, gadis itu masih bergerak dengan anggun. Semua hal tentang dirinya—sorot matanya, tangannya, dahinya—tampak mahal dan elit, seperti apartemen Aiden.
Perlahan, Tiffany membuka mulutnya yang indah dan mulai berbicara.
* * *
Setelah menghabiskan hampir satu jam bicara dan mendengarkan, Lim meninggalkan pasar bunga dengan segera. Dia tahu dia telah membuang waktunya terlalu lama di sana. Beberapa penjual bunga dan tanaman hias liar di sepanjang jalan masuk pasar besar itu berteriak di kanan kirinya menawarkan dagangan mereka. Lim tidak memedulikan tawaran-tawaran itu. Dia bahkan tidak begitu memperhatikan langkahnya hingga sebuah bajaj hampir menabraknya di jalanan yang ramai.
Membiarkan sopir kendaraan umum itu berteriak mengomelinya, Lim terus melangkah maju tanpa memberikan perhatian lebih pada sekitarnya. Keramaian ini tidak membuatnya cemas. Fokusnya saat itu hanyalah pada buket bunga peoni yang berada dalam dekapannya. Baru sekarang dia sadar, dorongan apa itu yang membuatnya tergerak untuk berbicara dengan Tiffany, jawaban apa yang dicarinya di balik matanya yang indah, di antara kata-kata yang keluar dari bibir merah wanita itu. Lim bukan cemburu, bukan ingin belajar cara melepaskan, bahkan bukan untuk mengenal lebih jauh sosok Aiden yang akan segera ditinggalkannya. Bukan itu sama sekali, Dengan mencari tahu cinta Aiden pada Tiffany, mencari tahu apa yang kira-kira bisa membuat seorang Aiden jatuh cinta pada seorang wanita, Lim hanya mencari satu hal: apa itu di dalam dirinya yang kira-kira bisa membuat Aiden begitu baik dan peduli padanya? Dengan mencari tahu cinta Aiden pada Tiffany, Lim mengais-ngais secercah harapan: bahwa di dalam dirinya masih ada bagian yang patut dicintai. Harapan bahwa Alana masih hidup di sana, bahwa dirinya belum sepenuhnya busuk.
Apakah Kris juga mencintaiku dengan alasan yang sama?
Lim menghela napas. Dia tidak ingin—
“Umph!”
Sebuah sapu tangan dibekapkan ke mulutnya. Aroma kloroform menusuk masuk dan mengisi paru-parunya.
Dalam hitungan detik, semuanya gelap.
* * *
.
.
.
============================================
personally, ini adalah salah satu chapter favoritku. Saat mengeditnya habis-habisan, banyak sekali hal yang aku tambahkan untuk mengupas sisi lain dari kehidupan Alana/Lim sama Aiden. Favoritku mungkin saat Lim ngunjungin Tiffany, di situ terasa banget apa yang sebenarnya Alana inginkan dari Aiden. Bukan hanya skeedar atraksi semata, tapi jauh lebih dalam lagi—karena segalanya berhubungan dengan Kris.
Menulis TSV benar-benar mengembangkan segala inputku dalam menulis. Dari analogi, kupas karakter, tone dan intonasi narasi, sampai hal-hal detil tentang para karakternya sendiri dari cara mereka berbicara dalam dialog. Di chapter-chapter ke depan akan banyak hal lagi yang akan kubagikan tentang Alana dan kehidupannya, latar belakangnya, sampai masa lalunya. Lebih banyak topik-topik favorit juga.
Dan sekali lagi, aku tahu beberapa di antara kamu ada yang nggak suka baca narasi yang kepanjangan. Aku nggak memaksa untuk suka sih, atau memaksa kamu untuk baca dari awal sampai selesai. Kalo nggak suka bisa ditutup aja. Cuma untuk TSV, ini bukan cerita menye-menye yang isinya romansa klise aja. Kurasa aku sudah biang di chapter” sebelumnya juga bahwa cerita ini cenderung pada sebuah kontemplasi. Narasi panjang yang ditulis sengaja diadakan agar kita bisa memasuki lebih dalam lagi konflik batin mereka. Dan itulah yang terpenting.
I just hope some of you would like it. :)
Filed under: original fiction, series Tagged: the Sinner's Vow