Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] Summer Day, Mid July

$
0
0

Summer Day, Mid July

.

Ini pertengahan bulan Juli dan entah pukul berapa.

Sekitar setengah jam lalu Yifan melirik ke arah jendela besar yang ada di atas kepala; ada terang di baliknya dan ia sama sekali tak berminat untuk segera beranjak dari tempat tidur sekali pun kepalanya hampir hancur karena terus menempel di permukaan bantal.

Pria itu mendesah di bawah rasa peningnya sambil menyesal karena telah menghabiskan waktu sekitar tiga belas jam untuk tidur. Seingatnya ia tak bermimpi, selama sepasang matanya terpejam, yang nampak hanyalah tampilan monokrom; kadang hitam, kadang putih, kadang juga abu-abu. Begitu absurd, membosankan, dan benar-benar menyisakan efek lelah saat terjaga.

Selama beberapa menit matanya terpejam tanpa kenikmatan, lantas refleks terbuka lantaran suara decitan pintu kamar. Yifan tak berbalik—menebak siapa yang datang, dan sejujurnya, sosok Jill adalah orang pertama yang mampir di kepalanya saat sesi tebak-tebakan ia lakukan secara rahasia.

Well, menurut sepengetahuannya, manusia yang tahu kata sandi apartemennya di negara ini hanya dua; Jill dan Meng Jia—kekasihnya. Tapi, tentu saja opsi kedua langsung ia coret dari daftar kemungkinan mengingat kekasihnya itu sedang melakukan gap year ke Eropa, melepaskan seluruh kepenatan akibat pekerjaannya yang belakangan memang sedikit menggila.

“Melbourne sedang dalam mood bagus, meskipun panas namun udara di luar cukup sejuk. Semestinya kau tidak menghabiskan waktumu di kamar.”

Oh, kalau begitu berbanding 180 derajat denganmu, pikir Yifan sambil berselebrasi dalam hati lantaran tebakannya benar.

Nada bicara Jill tak mengindikasikan bahwa ia begitu menikmati cuaca di luar. Suaranya memang ringan dan pelan, namun ada aksen sendu dan “sentuhan keceriaan” yang terasa dibuat-buat. Oh, sulit jika harus dijelaskan secara teori, tapi yang pasti Yifan yakin seratus persen jika wanita itu sedang dalam masalah.

Passion fruitginger, dan lychee. Pilih satu, aku sisanya.”

Terdengar wanita itu meletakan sesuatu di atas meja kayu yang ada di samping tempat tidurnya dan ia tahu jika itu adalah kaleng bir. Tak lama kemudian, Jill menyingkap tirai satu lapis yang melindungi kamar dari cahaya matahari yang kurang disukainya, sampai habis.

“Benar-benar cuaca yang bagus,” komentarnya.

Yifan seolah belum berminat menimpali dialog tunggal yang tengah dilakukan Jill sehingga ia tetap mempertahankan posisinya; tidur menyamping, menghadap tembok berwarna abu-abu, memeluk gumpalan selimut, dan membisu.

Tempat tidurnya bergoyang sedikit saat wanita itu memutuskan untuk duduk, entah menghadap mana dan dalam posisi bagaimana. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Kami putus. Ya, lagi-lagi kami putus. Lagi-lagi aku menerima alasannya, lagi-lagi aku hanya mengangguk saat ia mengutarakan keinginannya untuk berpisah.”

“Dan lagi-lagi kau bercerita padaku,” akhirnya Yifan berbicara. “Kurasa kalian berdua terlalu sinting untuk melanjutkan hubungan ini. Kalau tidak salah hitung, acara putus-sambung kalian sudah berlangsung selama tiga tahun. How wonderful,” cibir Yifan.

Yifan membalikan badan, dan punggung Jill pun akhirnya memenuhi pandangan. “Jill,” tak sadar ia melafalkan nama wanita itu sebelum menggerakan jari telunjuk di permukaan punggungnya lambat-lambat—menulis sebuah kalimat yang berbunyi: you are stupid.

Seketika wanita itu terkekeh pelan, beranjak sebentar untuk mengambil sekaleng bir, kemudian membuka tutupnya yang masih bersegel. “Aku ambil rasa passion fruit, omong-omong,” ucapnya, menginformasikan, “Kadar ketololanku sudah melewati batas manusia pada umumnya, iya kan?”

“Kau yang bilang.”

Yifan akhirnya beranjak dari tempat tidur, lantas berjalan gontai meninggalkan kamar tidur untuk sekadar mencuci muka dan bergosok gigi, karena—ya—acara mandi selalu ia tempatkan di bawah pukul dua belas, apa pun yang terjadi.

Yifan menatap pantulan wajahnya di cermin sambil menggosok gigi. Sebagian pikirannya tetap tinggal, namun separuhnya memutuskan untuk melayang tak tentu arah di atap kamar mandi. Ada satu pertanyaan yang sejatinya selalu singgah dari atas kepalanya, yaitu, “Apa aku (masih) mencintai Jill?”

Sebagai manusia waras, ia sadar betul bahwa perasaan semacam itu terlalu basi jika harus diungkit—ya—katakanlah sudah kadaluarsa.

Tapi seperti inilah dirinya; kadang-kadang merenungi potongan rasa yang muncul tanpa diduga. Sebuah rasa yang dulu pernah membuat mereka berkoalisi dalam sebuah ikatan temporari, kekasih.

Iya. Dulu sekali. Saat keduanya nyaris menjemput usia kepala dua, tanpa disangka ada sebuah perasaan yang diyakini sebagai cinta hadir di antara mereka. Yifan yang tak pernah bisa berbasa-basi, secara mengejutkan mengungkapkan perasaannya di momen yang agaknya tak tepat, yakni pemakaman ayah Jill.

“Aku mencintaimu.”

Jill yang memutuskan untuk berdiri di barisan paling belakang—menjauh dari pusara sang ayah dan juga sosok ibunya yang kala itu menangis meraung-raung—hanya bisa membenamkan wajah di dada Yifan sambil memeluknya erat-erat. Ia merasakan hal yang sama, tentu saja. Terserah jika orang akan mengatainya konyol atau apa, tapi sumpah mati, dua kata sederhana yang diucapkan Yifan di tengah derai tangisnya sedikit atau banyak telah membuat dirinya merasa berarti lagi.

Itu saja.

Saat Yifan kembali memasuki kamar, Jill masih dalam posisinya; duduk di tempat tidur, kedua kaki menggantung dan nyaris menyentuh parket kayu, dan tangan kanan yang menggenggam kaleng bir. Wanita itu tersenyum lalu menepuk-nepuk tempat di sampingnya—seolah tempat tidur itu adalah miliknya.

Yifan menggeleng sambil melangkah malas menuju Jill. Jelas sekali, ia tidak berusaha untuk membuat penampilannya lebih baik atau apa, kacau ya kacau, buruk ya buruk. Di dekat wanita itu, ia tak pernah berusaha untuk tampil setingkat atau pun seribu tingkat lebih baik. Di dekat wanita pula, ia tak pernah repot-repot untuk menjadi orang lain. Rasanya tak perlu, rasanya tak penting.

“Beruntung kau datang, dengan begitu aku menjadi yakin kalau sebenarnya aku belum mati.”

Wanita itu tertawa pelan. “Mau?” Yifan menggeleng, “Oke, kalau begitu aku juga akan berhenti minum. Apa kusimpan di kulkas saja?”

“Terserah.”

Jill mengedik sebelum menaruh kalengnya di samping kaleng-kaleng yang lain. “Karena aku malas beranjak dari sini, maka minuman-minuman itu akan tetap berada di sana.”

Tatapan mereka bertaut selama beberapa saat, keduanya seolah bingung harus berbincang dengan cara bagaimana. Well, perpisahan Jill dan pria itu adalah topik yang terlalu membosankan. Seperti yang dikatakan Yifan tadi, keduanya menjalani hubungan yang aneh selama tiga tahun; putus-sambung.

Pemicunya bermacam-macam, Yifan malas mengingatnya satu per satu. Tapi yang jelas, Jill akan selalu datang kepadanya—kadang-kadang sambil menangis—lantas berkata bahwa ia sudah sangat lelah, namun brengseknya tetap kembali kapan pun jika pria itu meminta.

“Di mana hubungan kalian diakhiri? Pantai St. Kilda? Atau kamarmu? Atau kamarnya? Ruang kerjanya? Di  dalam lift? Di mana?”

Jill tertawa kering, membuang sepasang mata Yifan dari pandangannya. “Apa tidak ada pertanyaan lain?”

“Semestinya kau ingat berapa kali kau datang padaku dalam kondisi begini. Yah, aku sudah tak memiliki stok pertanyaan penting.”

Yifan mengempaskan tubuh; setengahnya dibiarkan menyentuh permukaan tempat tidur, sementara setengah yang lain dibiarkan menggantung. Sesaat tatapannya tak beralih dari langit-langit, sesaat pula ia kembali dihinggapi pemikiran-pemikiran acak yang sejatinya hanya berotasi di satu objek; Jill.

Transformasi hubungan mereka memang terbilang aneh. Berawal dari sepasang orang asing yang kebetulan memiliki selera musik yang sama, saling bertukar CD, lalu jatuh cinta, lalu berpacaran selama enam bulan, lalu berakhir, lalu kembali menjadi orang asing selama satu tahun, lalu kembali bertemu, dan tanpa disangka menjadi sepasang teman yang sangat asyik dan akrab—sampai sekarang—dengan keyakinan bahwa, perasaan itu sudah lama lenyap dan ini adalah awal yang baru.

Namun, sejatinya keyakinan tak selalu berbanding lurus dengan kenyataan. Kadang-kadang, perasaan itu muncul dengan tiba-tiba dan membuat segalanya menjadi rumit dan menyebalkan. Belum lagi fakta bahwa, masa lalu adalah salah satu pembentuk di mana “awal yang baru” itu pada akhirnya ada. Yifan mendengus dalam hati, beranggapan bahwa ia adalah pihak yang sepertinya mengharap lebih dari sebuah hubungan yang kelazimannya masih ia pertanyakan. Dan—ya—selama ini Jill tak pernah menunjukkan sisa-sisa perasaan yang pernah ada di masa lalu, ia tetap bergerak maju, untuk sekadar menikmati dan menghadapi apa saja yang ada di depan matanya. Sampai akhirnya ia bertemu dengan pria itu lantas menjalin hubungan paling sinting yang pernah Yifan tahu.

“Pria itu memang ahli dalam meremukan hatimu, Jill. Tapi, kau jangan lupa kalau pria itu juga pandai membuatnya utuh kembali.” Tangannya bergerak mengusap punggung Jill, ekspresinya menjadi lebih sendu—bisa dikatakan raut itu adalah sebuah refleksi atas kepedihan yang tiba-tiba saja terasa di ulu hatinya. “Kalian akan kembali bersama, cepat atau lambat, jangan khawatir.”

Yifan mendesah pelan, di saat bersamaan pula Jill menoleh ke belakang—menatap manik hitam miliknya, lekat. Tatapan itu seakan menamparnya, seolah mengukuhkan anggapan tentang dirinya yang selama ini begitu hipokrit.

Bullshit,” kata Jill. Ia kembali membelakangi Yifan, tangannya bergerak di sekitar wajah; seperti sedang menghapus air mata.

“Kau menangis?”

Wanita itu tertawa, lantas membuat sebuah pembelaan kecil atas dirinya, “Ya, aku memang menangis. Tapi kau harus tahu kalau tangisanku kali ini tidak sama dengan sebelum-sebelumnya.”

“Di mana letak perbedaannya?”

Jill menoleh, lalu tersenyum. “Kau tak perlu tahu.”

Sebenarnya Yifan tahu di mana letak perbedaannya. Apa lagi? Wanita itu sekarang sedang kembali bermain-main dengan sebuah angan klise yang sejauh ini tak pernah terealisasi. Semacam, “Aku siap untuk melupakannya dan aku berjanji untuk tidak kembali padanya.” Dan Yifan tahu benar, jika itu adalah sebuah omong kosong karena keesokan harinya, Jill pasti akan mencintai pria itu seperti biasa. Dengan jumlah perasaan yang sama besar, atau mungkin semakin besar.

“Baiklah, lagi pula aku juga tidak ingin tahu,” sahut Yifan tak acuh.

Ia tak pernah menghitung berapa banyak wanita yang datang dan pergi setelah Jill. Hubungan-hubungan singkat tanpa esensi terlalu mendominasi, sampai-sampai ia lelah sendiri. Sungguh berbeda jauh dengan Jill, yang mana hatinya benar-benar terpaku pada satu pria—terlepas dari segala keanehan dalam hubungannya.

“Apa aku boleh mengatakan sesuatu?”

“Apa sedari tadi aku melarangmu bicara?”

Jill menertawakan kebodohannya sebelum benar-benar naik ke atas tempat tidur. “Terima kasih.”

Yifan terdiam, menilik perasaan bingung dan tak percaya yang berbaur menjadi satu di tengah-tengah kondisi ini. Kini tubuhnya diapit oleh kedua tangan Jill, wajah mereka berhadapan, dan atensi wanita itu tertumbuk pada sepasang matanya.

“Jill?”

Ia tersenyum lantas mendekatkan wajah untuk sekadar mempertemukan kembali bibir mereka—setelah sekian lama. Yifan membiarkan semua terjadi apa adanya tanpa sebuah penolakan atau pertanyaan. Entah mengapa, ada satu kerinduan atas Jill yang pada akhirnya terbayarkan dan rasa-rasanya… ia enggan untuk menarik diri.

I love him,” bisik Jill saat mengakhiri ciuman. Serta-merta air mata meleleh dari sepasang manik hitamnya, lantas terjatuh ke wajah Yifan. “I love him, so damn much.”

-fin.

A/N:

Maaf castnya ini ini lagi. But, seriously, aku lagi kangen banget nih sama onta satu nih. Duh. Maaf, ya. Aku janji kedepannya akan pake cast lain, sekali lagi aku minta maaf.


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kris Wu

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles