-
“Oh, kau sudah bangun.”
Lana berkedip beberapa kali. Matanya terasa pahit setelah terlelap hampir seluruh perjalanan dalam penerbangan mereka. Dia hanya terjaga sebentar begitu pramugari membagikan set makan siangnya, dan langsung tertidur bahkan sebelum sempat menghabiskan makanannya.
“Maaf, aku membangunkanmu ya?” Lay berkata lagi, dengan intonasi naik dalam sebuah pertanyaan singkat.
“It’s fine.” Lana menggeleng, lalu menegakkan punggungnya bersandar di kursi. Kedua matanya beralih pada layar kecil yang di depan kursi mereka, memperlihatkan satu adegan film Despicable Me tengah diputar. Dia terbangun karena suara cekikikan Lay saat menonton film kartun itu beberapa saat lalu.
“Berapa lama aku tidur?” Gadis itu bertanya seraya menarik satu tangan Lay, melihat jam terpasang di pergelangan tangan temannya itu. Jam itu menunjukkan pukul empat lebih Waktu Bagian Timur, ini berarti dia sudah tidur lebih dari tiga jam sejak awal perjalanan mereka tadi.
Lay tidak menjawab pertanyaan itu melihat Lana telah menemukan jawabnya sendiri. Lelaki itu kemudian memanggil pramugari untuk membawakannya segelas air. Udara pendingin dari dalam kabin pesawat membuat tenggorokan Lana kering, dan Lay tidak melupakan hal itu.
“Terima kasih,”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya. Kurasa pengaruh obat penenang yang orang-orang itu berikan padaku masih belum hilang. Aku hampir tidak bisa membuka mata sepanjang hari kemarin.” Ujar Lana seraya mengucek matanya.
Seorang pramugari menghampiri mereka dengan sebuah gelas kecil berisi air mineral dingin. Lana menghabiskannya dengan cepat sebelum meminta segelas lagi.
“Obat-obat itu membuatmu rileks, Lana, kau memang perlu beristirahat.” Lay membuka sebungkus coklat Hershey’s dan memberikannya pada Lana. Gadis itu menerimanya dengan setengah hati dan menggigit coklatnya tanpa nafsu.
“Obat-obat itu membuatku disorientasi, Lay, aku seperti selang air yang tersumbat, seperti orang idiot yang tidak bisa berpikir di mana sekarang, jam berapa, hari apa. Aku tidak suka perasaan itu.”
“Kurasa memang begitulah gunanya obat penenang. It minimizes your ability to think.”
Lana memutar bola matanya. Dia sudah hendak menyanggah kata-kata Lay lagi saat disadarinya bahwa lelaki itu mengatakan hal yang benar, jadi dia tidak mengatakan apa-apa lagi selain terima kasih lagi untuk coklatnya.
Langit masih sangat terang ketika Lana membuka sekat jendela di sampingnya. Di bawah sana daratan yang tadinya dikuasai oleh gurun pasir Nevada perlahan mulai menghilang digantikan dengan hutan hijau yang lebat. Mereka telah memasuki kawasan California, dan waktunya tidak akan lama lagi hingga mereka mendarat.
“Kau mau tahu apa yang Kris katakan padaku sebelum menutup telepon tadi?” Lay bicara beberapa saat kemudian, jeda telah tercipta di antara mereka dalam keheningan selama hampir semenit sebelumnya, memisahkan mereka pada dunia yang berbeda dalam sempitnya jarak di sela lengan kursi. Lana menoleh, gadis itu mengangkat alisnya ingin tahu.
“Dia bilang ‘jaga Lana, terima kasih sudah membawanya pergi’. Kau tahu, aku agak terkejut sebenarnya mendengar dia berkata seperti itu. Kupikir sikapnya akan sedikit lebih ofensif saat tahu aku melarikanmu dari Gaudenzia.” Ujar lelaki itu sambil menggigit coklatnya, menatap layar di depannya sesaat dan menghentikan film yang sebelumnya dia tonton.
“Dia jauh lebih tertutup sejak kalian menikah. Aku sempat berpikir dia tahu sesuatu tentang, kau tahu, St. Regis.”
Hening. Lana merapatkan bibir dan membuang wajahnya keluar jendela. Ternyata memang bukan dia saja yang melihat perubahan sikap Kris sejak insiden itu terjadi, meski dia tidak lagi heran mengetahuinya. Kris tidak pernah mengatakan apapun tentang hal ini, tapi Lana yakin, lelaki itu menyimpan sesuatu di dalam dirinya. Mereka hanya tidak pada tempatnya untuk saling bercerita dan membuka hati.
“Kurasa dia memang tahu,” ujarnya pelan, pada jendela di sisi kursinya. Lana tidak ingin berspekulasi, tapi dugaannya akan perubahan sikap Kris telah menjelaskan segalanya. Lelaki itu pecemburu berat, dan Lana ingat bagaimana Kris pernah tidak begitu suka bila mereka membicarakan Lay saat hanya berdua saja. Dia hanya tidak berani membayangkan sejauh apa Kris mengetahui skandal kecilnya bersama Lay, sebuah hubungan yang bahkan tidak pernah mereka mulai.
“I’m sorry,”
“Biarkanlah, ini sudah berlalu.” Lana mengangkat bahu, tidak lagi peduli. Dia ingin melupakannya.
“Lalu, kenapa kau melakukannya?” Lay bertanya lagi. Lana kembali menoleh pada lelaki itu, dia tidak begitu mengerti pertanyaannya.
“Kau bilang dulu kau mencintainya, tapi saat dia mengatakannya kau diam saja. Kenapa kau seperti itu?” Lay menatap mata Lana lekat saat menanyakannya, sementara Lana hanya diam, merapatkan bibir, tidak menjawab.
“Karena aku, Lana?”
“Lay….”
Lay memutar bola matanya, “Iya, iya, aku tahu ini kedengarannya absurd. Tapi untuk sesaat saja, saat kau tidak menjawabnya tadi, aku berpikir kau melakukannya karena aku. Ah, sudahlah, seharusnya aku tidak bertanya.” Lelaki itu mengibaskan tangannya di depan wajah Lana mengakhiri obrolan singkat mereka.
Did I just hear that right?
Lana bahkan tidak bisa melihat apakah Lay bercanda atau tidak saat mengatakannya. Dia tidak ingin membuat suasana serba canggung di antara mereka, terutama setelah bulan-bulan penuh kekakuan, dan Lana merasa merindukan Lay sebagai teman baiknya. Tapi apa yang harus dikatakannya bila Lay bicara seperti ini?
“Lay, I’m sorry.” Ujarnya menyesal, “Kupikir kita sudah melupakan semua ini.”
“Aku tahu, aku yang mengatakannya dulu, tapi kau tahu…” Lay merapatkan bibirnya, terdiam sesaat tanpa menatap Lana yang masih memandangnya serius.
“Ini tidak mudah, Lana, kau harus mengerti.” Katanya kemudian setelah beberapa lama, “Kau sendiri pun masih menyukainya meski sembilan tahun lebih berlalu.”
Lana juga tidak bisa berkata apapun mengenai hal ini. Semua yang laki-laki itu katakan tidaklah salah. Lana bahkan heran bagaimana Lay selalu saja mengatakan hal yang benar dan menusuk dalam hingga ke ulu hati. Tapi dia tidak boleh membiarkan diri mereka tenggelam dalam situasi ini lagi, ini harus berakhir. Seperti janji yang mereka buat dulu. Lana meninju lengan Lay lagi, kembali bercanda.
Usahanya mencairkan suasana sepertinya cukup berhasil. Lay tidak lagi menghindari tatapannya, lelaki itu mengulum senyumnya. Sebuah senyum khas milik Lay yang malu-malu memamerkan cekungan yang dalam di sebelah kanan pipinya, ekspresi yang selalu menjadi favorit Lana dari temannya yang menggemaskan itu. Lay melakukan hal yang sama seperti yang Lana lakukan padanya, lelaki itu meninju lengannya. Mereka menghabiskan sisa penerbangan itu dengan saling memukul dan menertawakannya hingga menangis karena kebas.
.
Begitu pesawat mereka mendarat di San Fransisco, Lay tidak membuang waktu untuk segera bergegas menuju titik pertemuan yang telah dijanjikan. Sehun Oh, teman tengil Tao yang sudah Lana kenal baik, menemui mereka di Starbucks terminal keberangkatan domestik. Mereka segera menuju ke hanggar area pesawat jet pribadi diparkirkan menaiki sebuah passenger cart ke sayap barat bandara, bersama dengan seorang petugas bandara.
Sehun masih dingin seperti biasanya. Bersikap acuh tak acuh tanpa banyak bertanya, dan hanya bicara seperlunya. Anak laki-laki itu mengobrol sebentar bersama Lay tentang perjalanan mereka. Sehun tidak bertanya kenapa mereka tidak membawa barang bawaan sama sekali, selain sebuah tas punggung yang Lay sampirkan di bahunya, atau untuk apa mereka membutuhkan jet untuk terbang ke Indonesia.
“Pesawat ini akan berhenti di Hong Kong untuk mengisi bahan bakar, setelah itu terbang lagi mengantar kalian langsung ke Borneo. Mereka punya telepon satelit yang bisa digunakan di udara bila kau harus melakukan panggilan darurat ke manapun di seluruh dunia, ada yang ingin kau tanyakan?”
Lana menoleh ke arah Sehun ketika anak laki-laki itu menawarkan pertanyaan. Memang ada beberapa hal yang membuatnya penasaran, dan dia berniat menguji keberuntungannya dengan memberanikan diri bertanya.
“Ya, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah ini masih minggu sekolah?” ujarnya kemudian. Sehun memutar bola mata, menatapnya dengan pandangan mencela, seolah Lana telah mencampuri urusan pribadinya yang paling rahasia.
“Don’t ruin it, Lana. Aku tidak bertanya apapun mengenai pelarian kalian itu berarti jelas bahwa kau juga tidak sepantasnya bertanya apapun padaku, lagipula itu bukan urusanmu.”
“Jadi kau sedang dalam pelarian,” Lana menyimpulkan, dia mengangguk mengerti. Sebenarnya dia tidak serius mengatakannya, tapi dia tidak tahan bila tidak menggoda Sehun.
Kesan awal hubungan-bukan-pertemanan mereka tidak pernah baik sejak dulu, dan keadaannya tidak semakin membaik meski Lana sudah berusaha untuk bersikap baik dan cari aman tidak mencari masalah lagi. Dia tidak tahu apa sebenarnya masalah anak laki-laki itu dengan sikapnya, Sehun tidak sedingin itu pada Lay ataupun Kris meskipun mereka tidak begitu saling mengenal. Tao pernah memberitahunya bahwa Sehun memiliki semacam ‘alergi’ pada anak perempuan, dan ini semakin membangkitkan naluri isengnya, dia sungguh tidak bisa berhenti menggoda anak itu.
“Kenapa? Daddy menjodohkanmu dengan seorang gadis dari Korea?” Lana bertanya lagi, memiringkan kepala seraya bertanya jahil.
“That’s rude.” Sehun menjawabnya singkat tanpa membalas tatapannya.
Lay tersenyum geli. Lelaki itu menyenggol lengan Lana, menyuruhnya berhenti menggoda Sehun saat Lana sudah hendak kembali membuka mulut melanjutkan keisengannya.
Pesawat jet mereka sudah siap berangkat saat mereka sampai di sisi landasan pacu. Begitu menyapa sang kapten pesawat, Sehun membawa mereka naik ke dalam pesawat kecil berkapasitas empat orang penumpang itu, dan menjelaskan beberapa fasilitas yang tersedia di dalam pesawat. Termasuk memperkenalkan mereka pada para awak kabin, dua pilot yang akan memimpin penerbangan mereka dan seorang pramugari bernama Sally.
Sehun juga telah menyiapkan beberapa stel pakaian yang Lay pesan, terbungkus rapi di dalam sebuah koper yang dia taruh di dalam bagasi. Anak laki-laki itu membiarkan Lana bicara dengan Tao dengan ponselnya beberapa saat. Dia turun dari pesawat dan melepas kepergian mereka dengan anggukkan kepala singkat. Itu adalah bentuk dukungan terbesar yang pernah Lana lihat dari seorang Sehun Oh selama mereka saling mengenal beberapa bulan ini.
Perjalanan udara mereka memakai waktu sekitar dua belas jam hingga ke Hong Kong, satu jam lebih cepat dibandingkan dengan pesawat penumpang biasa. Tidak banyak yang mereka lakukan selama perjalanan panjang itu. Lay memberi Lana beberapa novel untuk mengisi kebosanannya, sementara lelaki itu menonton film dari layar TV yang bisa dinaik-turunkan dari atas kursinya. Mereka tidak mengobrol seperti biasanya. Maupun Lay dan juga Lana membiarkan keheningan mengisi kekhidmatan mereka tenggelam dalam kegiatannya masing-masing.
Lana menyadari, bahwa beberapa kali dalam keheningan itu, Lay menoleh dan mengecek keadaannya. Anak laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, tapi Lana merasa seperti ada sesuatu yang Lay simpan di dalam kepalanya. Lana ingin bertanya, tapi dia ragu bila ini akan menjadi bahasan yang sensitif di antara mereka. Banyak hal yang sesungguhnya ingin dibicarakannya bersama Lay, tapi di sisi lain, dia tidak ingin pembicaraan itu membuat mereka semakin canggung.
Dia kemudian teringat Tao. Si bungsu yang manja itu menangis saat bicara dengannya tadi. Tao, anak laki-laki yang mengisi hari-harinya dengan serentetan omelan yang tidak ada habisnya mencela seluruh kekurangannya, menghujaninya dengan permintaan maaf yang Lana sendiri tidak tahu ke mana arah tujuannya. Tao tidak mengatakan ada apa, atau kenapa dia bersikap seperti itu, tapi dalam pembicaraan mereka tadi, saat itu pertama kalinya dia mendengar Tao mengungkapkan perasaannya selama ini.
“Aku sayang, kau, Lana. Jangan benci aku, aku memang bodoh. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, aku bersumpah.”
Kalimat itu tidak bisa hilang dari benaknya. Sebuah pernyataan, yang meski Lana tidak begitu paham apa maksudnya, sedikit-sedikit dia menebak apa yang kemungkinan terjadi. Hanya saja dia tidak pernah melihat Tao seperti ini, tangisan lelaki itu membuat dadanya sesak. Tao tidak pernah menangisinya seperti ini.
“Kurasa Kris melakukan sesuatu pada Tao.” Katanya kemudian pada Lay, beberapa saat setelah menutup buku dan tenggelam dalam lamunannya.
Lay menoleh, melepas headphone dari kedua telinganya dan melebarkan mata.
“Apa?” lelaki itu bertanya, sepertinya dia tidak terlalu mendengar apa yang Lana katakan sebelumnya.
“Tao, dia menangis tadi. Kurasa Kris melakukan sesuatu padanya.” ujar Lana mengulangi kalimatnya. Lay mengangkat kedua alisnya, matanya membelalak makin lebar. Lelaki itu terkejut.
“Tao menangis? Kenapa?”
“Entahlah,” Lana menggeleng, kedua matanya beralih dari manik mata kehitaman Lay pada dinding pesawat di belakang lelaki itu. “Apa menurutmu Kris memukulnya?”
Lay menarik kepalanya, berpikir sesaat. “Kris, dia bisa jadi sangat keras pada Tao kadang, tapi tidak mungkin. Dia bukan seseorang yang akan memukul seseorang, apalagi Tao.” Katanya kemudian dengan yakin.
“Memang apa yang dikatakannya?”
“Umm, tidak penting. Ini dan itu,” Lana mengangkat bahunya. Dia ingin memberitahu Lay, tapi tidak yakin apakah itu keputusan yang baik. Lay tidak tahu banyak tentang hari-harinya selama mereka berhenti bicara, dan memberitahu tentang Tao sama saja berarti dia harus menceritakan segalanya. Dia tidak ingin Lay terlalu memikirkannya. Dia tidak ingin Lay tahu betapa berat hari-harinya saat lelaki itu menolak berteman dengannya.
“Aku akan menanyakan ini nanti padanya setelah kita kembali.” Kata Lana kemudian. Dia membuka buku biografi Kurt Cobain yang Lay pinjamkan dan membacanya kembali.
Di sampingnya, Lay masih belum mengalihkan tatapannya. Lana bisa merasakan lelaki itu masih mengawasinya dalam diam, tapi dia tidak mengatakan apapun, atau menanyakan ada apa. Lelaki itu pasti akan mengatakan sesuatu bila memang ada yang ingin dibicarakannya. Dan ternyata Lana tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendengar Lay bicara lagi.
“Kau tahu apa yang membuatku paling kesal dari seluruh kekacauan ini?”
“Ya?” Lana menoleh. Pertanyaan ‘ya’nya bukan berarti dia ingin tahu, karena sesungguhnya dia agak terkejut karena Lay mulai membahasnya. Lana tidak pernah mendengar Lay mengeluarkan pendapat apapun mengenai kekacauan mereka, sama sekali.
“Bahwa kau seharusnya masih bisa tetap kuliah dan menjalani kebebasanmu seperti dulu, Lana, kita semua. Yang paling mengesalkanku dari seluruh kekacauan ini adalah bahwa kita seharusnya bisa mencegah pernikahanmu dan Kris terjadi. William Wu tidak pernah menuliskan ‘sidenote’ di dalam wasiat aslinya, semua itu hanya rekaan untuk menyabotase kehidupan kita.”`
Kini kedua alis Lana saling bertaut, dia sungguh tidak mengerti apa yang Lay katakan dengan kalimat-kalimat yang lelaki itu lontarkan dengan cepat. Sabotase apa? Wasiat asli apa? Apa maksudnya? Sebuah dugaan membuatnya terhenyak. Dia teringat akan misi rahasia dan persekuaan dadakan antara Lay bersama Kai dua hari belakangan, seperti yang para lelaki itu sebutkan padanya pagi ini.
“Kalian menemukan sesuatu? Kau bertemu Robert Cavalli?”
Lay menggeleng. “Dia sudah meninggal tiga bulan yang lalu, Lana, tapi aku bertemu istrinya, dan dia memberiku salinan asli wasiat William Wu. Cavalli ternyata menyimpannya dan membawa dokumen itu bersamanya ketika keluar dari pekerjaannya.”
Lana memasang telinga dan menaruh seluruh perhatiannya pada penjelasan Lay. Lelaki itu tampak tidak berkenan untuk bercerita pada awalnya, tapi saat Lana memaksanya, dia menyerah.
Menurut Lay, nama Robert Cavalli sempat beberapa kali disebut di pertemuannya bersama para kontraktor proyek pembangunan resort dalam kunjungannya ke Detroit beberapa hari yang lalu. Dari sana Lay mendapat informasi bahwa sang pengacara tersebut adalah salah satu tim advokat yang berada di balik kesuksesan kampanye senator McFlurry sebelum menduduki kursinya di Congress. Begitulah kemudian Lay menghubungi Kai untuk membantunya dalam beberapa hal.
Mereka sama-sama tahu bahwa Kai memiliki ketertarikan sendiri akan kisah mereka bersama Wu Construction. Anak laki-laki itu sejak dulu punya tingkat penasaran yang sangat tinggi terhadap sesuatu, dan itu membuatnya tahu banyak hal tentang urusan ayahnya termasuk para koleganya. Lay memanfaatkan pengetahuan itu, ditambah dengan Kai yang selalu haus dengan hal-hal baru mengenai orang-orang di sekelilingnya, mereka menganggap ini adalah hubungan yang sangat mutual.
Mereka bergerilya di kantor, diam-diam mengecek dokumen yang tidak seharusnya mereka akses. Dalam dua hari, mereka berbagi tugas mencari informasi ke sana-sini, hingga akhirnya Kai memberitahu Lay tentang keluarga Robert Cavalli.
Sang pengacara itu konon berhenti kerja tiba-tiba tak lama setelah vonis dokter mengenai penyakit kanker paru-parunya yang telah mencapai stadium lanjut. Para koleganya hanya tahu Cavalli meninggalkan kantor untuk proses perawatannya, tapi tidak ada yang tahu ke mana dia menghilang. Lay memberitahu Lana, bahwa dia tengah mengobrak-abrik ruang kerja Mia, sekretaris Kris, ketika Kai menemukan keluarga yang hilang itu.
Keduanya tidak membuang waktu dan segera berangkat malam itu juga menyeberang ke Connecticut, ke sebuah kota kecil bernama Midhaven, sekitar lima belas mil dari kota Middletown.
“Hari sudah hampir pagi saat kami sampai di Midhaven, tapi Mrs. Cavalli mengijinkan kami untuk tetap datang malam itu juga begitu Kai menghubunginya.” Lay menghentikan ceritanya sesaat ketika Sally menghampiri mereka untuk memberikan cemilan pie apel dan sari buah delima. Lana tidak menyentuh makanannya, dia masih fokus mendengarkan, dan tidak begitu memedulikan tawaran Sally akan jusnya. Lay meminta sari buah yang sama untuknya.
“Lalu apa yang kalian bicarakan begitu bertemu dengan Mrs. Cavalli? Apa yang terjadi pada mereka?”
Lay tidak langsung menjawab pertanyaan Lana. Lelaki itu meneguk jusnya hingga setengah gelas, mengeringkan bibirnya dengan punggung tangannya dan menarik napas dalam.
“Menurut Mrs. Cavalli, beberapa orang pernah masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik isi ruang kerja suaminya sebelum Mr. Cavalli keluar dari kantor. Mereka sempat melaporkan kejadian ini pada kepolisian setempat, tapi beberapa hari kemudian suaminya menarik laporan itu tanpa alasan yang jelas. Begitu mereka tahu tentang penyakit Mr. Cavalli, lelaki itu tiba-tiba memutuskan untuk membawanya keluar dari Manhattan. Katanya Mr. Cavalli tidak pernah mengatakan apa-apa, tapi wanita itu tahu bahwa sedang ada yang memburu keluarganya. Mereka merawat penyakitnya di sebuah rumah perawatan di Middletown, dan sebelum meninggal Mr. Cavalli menitipkan salinan wasiat itu padanya. Dia mengatakan bahwa mungkin salah satu dari kita berlima akan menghubunginya, dan tidak ada yang boleh tahu tentang salinan itu hingga kita datang untuk mengambilnya.”
“Di mana salinan itu sekarang?” tanya Lana tanpa jeda begitu kalimat terakhir Lay terlontar.
“Kai menyimpannya. Seharusnya sekarang salinan itu sudah di tangan Luhan dan Kris.”
“Oh, God.” Lana membungkam mulutnya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain bersandar pada lengan kursi. Cerita itu membuatnya ngeri. Siapa yang begitu jahat hingga melakukan hal semacam ini pada seseorang, pada mereka semua.
“Apa Archilles yang melakukan semua itu?”
Lagi-lagi Lay tidak langsung menjawab pertanyaannya. Lelaki itu menggigit bibirnya, seperti sedang menimbang-nimbang apakah dia telah bicara terlalu banyak yang diperlukan. Lana tidak tahu kenapa Lay berpikir dia tidak perlu tahu cukup banyak mengenai hal ini, apa yang lelaki itu lindungi atau apa yang di dalam kepalanya, Lana tidak bisa mengerti. Dia hanya ingin tahu, dia berhak untuk tahu segalanya, dan dia mengatakannya dengan jelas pada Lay.
“Begini, Lana, aku tidak tahu bila kau sudah tahu tentang hal ini atau tidak, tapi Kris meminta Luhan untuk menyelidiki banyak hal tentang pamannya selama beberapa bulan ini. Yang kutahu penemuan terbarunya memberikan alibi yang sangat kuat untuk membebaskan Archiless dari seluruh tuduhan yang kita tujukan padanya.”
Ya, Lana tahu tentang hal itu, meski tidak begitu yakin apa tepatnya yang sedang Luhan kerjakan sejak dulu. Dia hanya tahu kakak lelakinya itu akan sangat fokus bila tengah menyelidiki sesuatu, pembicaraan terakhir mereka di Boston tempo lalu mengingatkannya tentang beberapa penemuan yang digarapnya dengan bantuan Kai. Lana melebarkan kedua matanya, meminta penjelasan lebih.
“Luhan menemukan sebuah dokumen berisi aset-aset perusahaan ayah Kris, sekaligus tanggungjawab dan pengalihan aset tersebut berkaitan dengan jaminan modal perusahaannya. Intinya, sebut saja bila terjadi kebangkrutan, aset-aset itu tidak memiliki ahli waris. Ini berbeda dari yang Kris yakini selama ini, Archilles Wu tidak akan mendapatkan apapun dari kerugian yang Wu Construction alami, Lana. Sebaliknya, bila perusahaan kita tenggelam dalam hutang, maka dampaknya bukan hanya pada seluruh karyawan yang bernaung di dalamnya, perusahaan Archilles dan seluruh korporat yang berhubungan dengan Wu Construction pun akan terseret dalam masalah finansial. Ini efek domino. Seluruh aset Wu Construction akan dilelang bila dewan memutuskan untuk menjual perusahaan ini. Jadi tidak, aku yakin Archilles sama butanya seperti kita selama ini. Dia sama-sama tidak tahu apa yang terjadi. Seperti kita, dia juga berpikir bahwa ayah Kris menyematkan sidenote mengenai kewajiban seluruh ahli waris dalam wasiatnya. Padahal semua itu tidak pernah ada.”
“Ya Tuhan…”
Lana tidak bisa percaya apa yang baru saja dia dengar. Orang yang selama ini dia benci, seseorang yang menjadi mimpi buruknya selama berbulan-bulan ternyata hanyalah objek kambing hitam seseorang yang berusaha menghancurkan mereka. Ini bukan hanya tentang satu perusahaan saja, Lana tidak menyangka bahwa masalahnya tidak hanya berkisar pada William Wu dan seluruh harta kekayaannya. Seseorang sedang berusaha meruntuhkan seluruh benteng pertahanan keluarga Wu. William, Archilles, dan juga seluruh mahakarya mereka yang telah bertahan selama puluhan tahun.
“Kau tahu siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Dia berada di sekitar kita sejak awal. Dia di sana saat kita pertama kali berkumpul bersama, dia di sana saat pembacaan surat wasiat, dia selalu mengawasi tiap pengambilan keputusan kita bersama. Ingatlah, dia yang selalu meyakinkan kita untuk mencari cara dan jalan keluar, tapi nyatanya tidak pernah melakukan apa-apa. Dia membawa Sophie, Patrick dan Jacob ke dalam kehidupan kita, dia bersembunyi di balik punggung Kris sebagai orang kepercayaannya. Satu-satunya orang yang bisa mengotak-atik jadwal kerja Kris dan memanipulasi semua orang yang di sekitarnya.”
Lana menjatuhkan kepalanya ke dalam bekapan kedua tangannya, dan menutup wajahnya, ngeri. Dia tidak bisa percaya, tapi seluruh kejanggalan yang berkaitan Alfred selama ini menjadi jelas di matanya. Dia ingat saat bertemu Alfred di St. Regis hari di mana dia menghilang dari peredaran. Lelaki tua itu menyuruhnya untuk tetap tinggal di St. Regis menunggu Lay kembali. Dia teringat saat seperti tengah melihat mobil Alfred di West Manhattan ketika sedang bersama Kai, lalu tentang Sophie yang tiba-tiba saja menggantikan seorang pelayan yang telah ibunya datangkan untuk mereka.
“Ya Tuhan, Alfred…” Lana sungguh tidak percaya, tapi segala fakta kini tersaji di depan matanya. Lelaki tua itu sejak awal sengaja mengadudomba dirinya dengan Kris, entah untuk apa. Ironis sekali, melihat Kris yang tidak mudah memercayai seseorang, ternyata ditipu habis oleh seseorang yang paling dia percayai. Alfred, bahkan lelaki itu telah menjadi kepercayaan keluarga Wu sejak William masih hidup.
“Apa Kris tahu soal ini?” Lana bertanya sesaat kemudian. Pikiran itu sontak menyerang kesadarannya. Kris tidak akan menyukai ini, lelaki itu pasti syok bila tahu apa yang Alfred lakukan padanya.
“Seharusnya dia sudah tahu saat ini. Lu dalam perjalanan ke New York saat kita menuju Newark, saat ini mungkin dia sudah bergerak untuk melakukan sesuatu.”
“Ya Tuhan, aku harus menghubunginya.” Lana mulai panik, dia melepas sabuk pengamannya dan beranjak dari kursinya ke bagian belakang jet menemui Sally.
“Lana, dengar, Lana..”
Lay berusaha untuk menenangkannya, tapi dia tidak didengar. Lana mulai sibuk meminta bantuan Sally agar memberinya akses pada telepon pesawat agar dia bisa menghubungi Kris. Bersama mereka berjalan ke bagian depan pesawat, telepon itu berada di dalam sebuah bilik kecil pada dinding dekat pintu kokpit.
Lana segera menekan nomor ponsel Kris begitu mendapatkan teleponnya. Dia mengkhawatirkan lelaki itu. Kris belum beristirahat sama sekali selama dua hari ini, dan Lana tidak bisa membayangkan bagaimana situasi ini akan berdampak padanya.
“Dia akan baik-baik saja, Lana, percayalah. He will get through this.”
Lana berdecak kesal. Kris tidak menjawab ponselnya. Dia berusaha untuk menghubungi nomor lain lelaki itu, tapi ponselnya tidak aktif, begitu juga dengan ponsel Luhan dan Tao. Kali ini dia benar-benar panik.
“Lay, apa kita perlu berbalik saja? Belum terlambat kalau kita harus kembali ke New York, oke? Kita berbalik saja? Sally, katakan pada kapten untuk berputar, kita batal ke Indonesia.”
“NO.” Lay menyanggah Lana dengan cepat. Lelaki itu mencengkeram dua bahu Lana, berusaha merebut perhatiannya kembali. Lay tidak tahu bahwa usaha itu ternyata tidak mudah. “Lana, dengar, Lana! Kita harus tetap melanjutkan perjalanan ini. Nasib Wu Construction ada pada perjanjian ini, Lana, kau harus menandatanganinya atau semua kerja keras kita selama ini akan sia-sia.”
“Tapi, Lay, Kris…”
“Dia Kris Wu, Lana. Kau tidak perlu mencemaskannya. I tell you, he will get through this. Dia tahu apa yang dilakukannya, kau harus percaya. Dia dia punya Luhan, Tao bersamanya, bahkan Kai. Kita hanya perlu menyelesaikan satu pertemuan ini, dan setelah itu kita kembali, kapan pun yang kau inginkan, aku tidak akan menghentikanmu. Oke? Kita harus memastikan kerjasama ini tetap berjalan, Lana.”
Lana menyerah. Tubuhnya mendadak lemas saat itu juga hingga Lay harus membawanya kembali ke kursinya.
Bagaimana ini? Lana tidak bisa tenang selama sisa perjalanannya, dia duduk dengan gelisah di kursinya, tidak bisa berhenti berpikir tentang semua ini.
Kepalanya terus berputar. Lana mulai meruntut seluruh kejadian yang terjadi selama hampir setengah tahun itu sejak awal keberangkatannya ke Seattle. Dia tidak bisa menebak apa arti semua ini? Apa tujuan di balik seluruh skenario yang melibatkan dirinya juga teman-temannya yang lain, kenapa mereka harus terjebak dalam situasi ini? Apa yang orang-orang itu inginkan dari permainan politik ini…
Langit sudah malam saat mereka mendarat di Hong Kong. Mereka menunggu di dalam pesawat setidaknya selama satu jam untuk mengisi bahan bakar dan mengisi kembali bahan makanan. Tidak ada yang bicara, mereka sibuk berdiam diri.
Sesuatu tentang Alfred terus berada di dalam kepalanya selama berjam-jam malam itu. Dalam perjalanan lanjutan mereka menyeberangi laut Cina Selatan menuju pulau Kalimantan di Indonesia, bayang-bayang tentang perjuangan mereka melawan alam liar di dalam lebatnya hutan kembali menghantuinya. Lana memejamkan matanya erat-erat.
“Apa menurutmu Alfred yang berada di balik penculikan kita dulu? Kenapa menurutmu dia melakukannya?” Lana mengungkapkan rasa penasarannya setelah hampir setengah perjalanan mereka berlalu.
“Lana, biarkan Kris yang menyelesaikannya. Kau tidak perlu memikirkannya.”
“Alfred hampir membunuhku, Lay. Dan selama ini aku berpikir dia adalah pahlawan penyelamat yang selalu menolong kita tiap saat, aku masih tidak bisa mempertanyakan motifnya?”
Lay menarik napasnya dalam, lalu membuangnya dengan cepat. Lelaki itu mengambil tangan Lana dan menggenggamnya erat, memberi dukungan.
“Aku tidak tahu. Beberapa belas jam ke belakang aku pun memikirkan hal yang sama, tapi aku tidak bisa menemukan alasan yang mampu memuaskan logikaku.”
“Itu karena dia tidak bekerja sendiri.” Ujar Lana tiba-tiba saja. Dugaan itu mendadak muncul di kepalanya, dan itu mungkin saja terjadi. “Tidakkah kau berpikir? Alfred telah bekerja dengan Willian sangat lama, pasti ada dalang di balik semua ini, Lay. Alfred tidak mungkin melakukannya sendiri, dia tidak punya alasan ataupun kepentingan yang cukup besar dalam hal ini. Ada seseorang yang menyetirnya, tapi siapa…”
“Kau tahu, Luhan telah berhasil sampai sejauh ini. Dia jenius, Lana, dia tahu banyak hal, dan tidak lama lagi dia pasti akan menjawab teka-teki itu untukmu.” Lay berkata dengan nadanya yang lembut. Direntangkan lengannya melingkari bahu Lana, lalu disandarkannya kepala gadis itu di bahunya.
“Jadi sembari menunggu kabar, lebih baik kau tidak perlu memikirkan hal ini lagi. Kita punya satu pertemuan besar yang harus dicemaskan, dan pertemuan itu memerlukan fokus terbesar kita. Aku tidak sebaik kau dalam bernegoisasi, jadi kau harus tampil maksimal pagi ini.” Lay menepuk kepala Lana dan membelainya lembut. Sesaat kemudian dia menutup kedua mata Lana dengan tangannya, menyuruh Lana berhenti berpikir dan mengistirahatkan pikirannya.
Lucu. Lana tersenyum. Ini mengingatkannya pada suatu malam di Ekuador berbulan-bulan yang lalu, Kris pernah melakukan hal yang sama saat menyuruhnya tidur. Dia kemudian tertawa pelan, mengatur letak duduknya senyaman mungkin dan melakukan apa yang Lay suruh.
“I miss him.” Lana berbisik, membayangkan Kris di dalam kepalanya.
“I miss you too.”
Lana meninju lengan Lay keras.
* * *
Lana bangun pagi-pagi sekali sebelum alarm yang disetelnya berbunyi. Mereka mendarat beberapa jam sebelumnya, disambut oleh beberapa orang dari Jubilee yang langsung mengantar mereka ke sebuah hotel di kota Samarinda. Dia tidak bisa tidur sepanjang menunggu matahari beranjak tinggi, hanya bergelung di bawah selimut, tapi gagal merilekskan pikirannya. Dia melangkah turun dari tempat tidurnya, dan berdiri di balkon menunggu cahaya pagi muncul di garis horizon, sembari menghirup udara lembab iklim tropis. Udara itu begitu familiar di indra penciumannya.
Dia mencoba untuk menghubungi Kris lagi pagi itu, dan responnya masih sama. Luhan dan Tao sama-sama tidak mengaktifkan ponsel mereka, padahal seharusnya di New York masih sore saat itu, entah apa yang sedang mereka lakukan.
Seseorang mengetuk kamarnya sesaat setelah Lana menutup telepon. Seorang gadis, yang mengenalkan dirinya dengan nama Ananta mengatakan bahwa dirinya akan menjadi guide sekaligus penerjemahnya hari itu. Mereka bergabung bersama Lay untuk sarapan pagi, disusul dengan dua orang pria, tim advokat Wu Construction yang datang dari Beijing semalam sebelumnya.
Sesungguhnya Lana tidak terlalu mengikuti jalannya konferensi mereka. Dua tim advokatnya menjelaskan beberapa tentang konten perjanjian kerjasama antara perusahaan mereka dengan Jubilee, menilai dua belas poin yang tersebutkan di sana untuk kepentingan mereka, sekaligus memberikan pertimbangan mereka dalam poin kepentingan Wu Construction. Lana merasa seperti berada di awang-awang. Tubuhnya berada di sana, tapi tidak dengan jiwanya. Dia tidak mengerti sedikitpun apa yang dua orang itu katakan padanya, atau apa yang harus dia mengerti, dan keabsenan fokusnya itu sedikit banyak membuatnya gugup.
Sekitar pukul sepuluh pagi, Ananta membawa mereka ke ruang konferensi di hotel tempat mereka tinggal. Beberapa orang di antara perwakilan Jubilee—yang di antaranya orang Indonesia—hampir tidak percaya bahwa kehadirannya di sana adalah sebagai pemimpin proyek kerjasama mereka. Sepertinya mereka tidak berekspektasi akan menemui sepasang remaja bicara tentang masa depan proyek bernilai trilyunan dolar di dalam ruangan itu.
Pertemuannya tidak seburuk yang Lana pikirkan sebenarnya, orang-orang itu banyak membicarakan hal-hal teknis pertambangan yang tidak terlalu dikuasainya. Bicara tentang potensi, dan juga mendengarkan satu dua persentasi mengenai topografi lapangan. Mereka mengobrol, Lana mendengarkan dengan tenang. Lay menanyakan beberapa hal, dia masih diam mendengarkan, tapi pikirannya tidak berada di sana. Dia bahkan tidak ingat jelas apa saja yang dikatakannya di sana ketika ditanyai tentang beberapa hal mengenai pekerjaannya di Wu Construction dan proyek-proyek yang dikerjakannya. Begitu saja, dan semuanya berakhir.
Lana baru kembali ke dalam tubuhnya saat merasakan genggaman tangan seorang laki-laki begitu kuat menyelimuti jari-jari rampingnya. Dia baru saja selesai membubuhkan tandatangannya pada surat perjanjian mereka, dan dua pengacaranya mengesahkan perjanjian itu. Senyumnya merekah diplomatis, Lay memeluknya. Lelaki itu tersenyum lebar, dia tidak pernah melihat Lay terlihat selega itu sebelumnya.
.
“Tao! Thanks God, ke mana saja kau? Kenapa ponselmu tidak aktif sejak kemarin?” Lana berseru senang ketika akhirnya si bungsu kecilnya itu menerima panggilannya. Konferensi mereka berakhir setengah jam yang lalu, dan Lana tidak menunggu lebih lama lagi untuk beramah-tamah atau semacamnya, langsung kembali ke kamarnya bersama Lay.
“Sori Lana, sibuk sekali di sini. Aku di perpustakaan sepanjang hari, baru saja kembali. Bagaimana konferensinya? Bagaimana keadaanmu?”
“Semuanya lancar, Lay mengatur semuanya dengan sempurna, dan aku baik-baik saja. Kris bersamamu?” Lana balik bertanya, dia duduk di kursinya menoleh keluar balkon di mana kini Lay bersandar di pagar, menatapnya.
“Kris pergi bersama Lu gege pagi ini, sepertinya mereka terbang ke Seattle.”
“Ke Seattle? Untuk apa?”
Lana tidak mendengar jawaban Tao hingga dua detik kemudian. Dia mendengar suara gaduh di seberang sana, entah apa yang anak laki-laki itu lakukan.
“Entahlah, Kris tidak bilang apa-apa. Kami tidak bicara banyak dua hari ini, tapi kurasa dia menemui ibunya di sana.” Ujar anak lelaki itu acuh tak acuh. “Jadi, ada apa? Kau mau membocorkan sedikit informasi?”
Lana menoleh lagi pada Lay. Seseorang baru saja mengetuk pintu kamarnya, dia meminta lelaki itu untuk membukakan pintu sementara dia berjalan keluar balkon dan menutup pintu dari luar. Dari kaca pada pintu balkonnya dia melihat Ananta muncul dari balik pintu. Lay menyuruh gadis itu masuk, dan mengobrol. Lana tersenyum simpul menyapanya.
“Rumit, aku tidak yakin bisa mengatakannya melalui telepon.” Lana berbalik, mencondongkan badannya keluar balkon seraya bersandar pada pagar pembatas. “Di mana kau sekarang? Apa ada teman bersamamu?”
“Penthouse, di mana lagi menurutmu aku sekarang berada, dan Chen di sini bersamaku. Jadi kau tidak akan memberitahuku ada apa?”
“Aku akan memberitahumu semuanya, tapi saat ini ada hal yang harus kaulakukan.”
“Ya, katakan.”
“Tolong bantu aku cek keadaan Archilles Wu, kuharap Kris sudah menemuinya, tapi tolong hibur aku. Pastikah dia baik-baik saja, atau pastikan petugas kepolisian mengawasinya hingga Kris dan Lu kembali dari Seattle…”
“Wait, wait, wait.” Tao memotong kalimatnya, “Ada apa ini? Kenapa memangnya dengan Uncle Archilles? Apa ini ada kaitannya dengan insidenmu kemarin?”
“Entahlah, tapi selama ini kita salah menduga, Tao. Archilles tidak tahu apa-apa mengenai hal ini, dia sama-sama bodohnya seperti kita. Alfred dalangnya, Lay baru-baru ini mendapatkan salinan wasiat William, wasiat yang selama ini kita dengar hasil rekaan, dan Alfred yang memalsukannya.”
“Whaaattt??”
“Karena itu, pergilah sekarang juga. Menginaplah di rumah Chen untuk malam ini, dan tolong, aku tidak bisa menghubungi Kris maupun Luhan. Tolong beritahu mereka untuk segera menghubungiku bila salah satu di antara mereka meneleponmu.”
“Oke, Lana. Aku pergi sekarang.”
Lana mengangguk mengerti, seolah Tao bisa melihatnya saat ini. Dia baru saja hendak menutup teleponnya ketika tidak sampai satu detik kemudian Tao memanggilnya kembali,
“Ya?”
“Lana, ini tentang Sophie. Aku sebenarnya ingin memberitahumu saat kau sudah kembali, tapi dengan situasi seperti ini kurasa tidak akan ada bedanya. Detektif Mogan menemuiku sore ini di sekolah, mereka menemukan Sophie di Bronx, tapi dia sudah tidak lagi bernyawa. Kepolisian berhasil melacaknya di sebuah flat yang konon lama tak berpenghuni, tapi, kau tahu, kurasa dia merasa bersalah setelah apa yang dilakukannya padamu. Kau harus memaafkannya.”
“Apa yang terjadi dengannya Tao?”
“Dia bunuh diri, Lana, dia menelan hampir sebotol obat penenang.”
Lana menarik napasnya dalam, dia tidak berkata apa-apa lagi bahkan saat Tao mengakhiri obrolan mereka. Dia masih bersandar di pagar, menatap pemandangan hijau taman luas di hadapannya sementara memijat kepalanya yang berdenyut keras.
Sophie memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, ini berarti bahwa kebenaran tentang sang dalang dalam drama mereka kembali kabur. Mereka mungkin masih bisa menggunakan Patrick, tapi tidak ada informasi yang bisa digali bila Patrick bersikeras menutup mulutnya rapat-rapat. Saksi utama yang bisa membawanya pada kebenaran itu tidak lagi hidup untuk menjelaskan segalanya, itupun bila mereka benar-benar yakin Sophie membunuh dirinya sendiri. Melihat apa yang wanita itu lakukan padanya, Lana yakin Alfred berada di balik seluruh insiden ini.
Lana kemudian berbalik, menatap Lay dan Ananta yang masih mengobrol di dalam kamar. Sesuatu mendadak terbersit di dalam kepalanya saat mengawasi Ananta bicara dalam bahasa Indonesia, mengajari Lay beberapa istilah dalam bahasa ibunya. Lana teringat akan penangkaran orangutan itu.
“Ananta, kau tahu tentang penangkaran orangutan di dekat sini? Apakah memungkinkan bila aku ke sana sore ini juga?” tanya Lana begitu kembali ke dalam kamarnya dan menghentikan obrolan orang yang tengah asik berbincang itu.
Ananta menatapnya agak bingung, terdiam sesaat seperti berpikir, lalu menelengkan kepalanya tidak yakin.
“Kami punya sebuah penangkaran orangutan yang cukup terkenal di Tanjung Puting, (Lana segera mengiyakannya begitu mendengar nama itu, dia ingat Luhan pernah menyebut nama itu sebelumnya) tapi tempat itu cukup jauh di Kalimantan Tengah. Dari sini kita harus terbang ke Pangkalan Bun, lalu naik kapal menuju Tanjung Harapan. Perjalanannya bisa memakan sehari penuh, ditambah lagi penerbangan ke Pangkalan Bun tidak dibuka tiap hari. Kau baru bisa ke sana mungkin besok lusa.” Ujar gadis itu menjelaskan dengan panjang.
“Oh, no, aku tidak punya waktu sebanyak itu.” Lana bergumam pada dirinya sendiri, dia mulai berjalan melintasi kamarnya, bolak-balik, berpikir.
Ada sesuatu yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Sesuatu entah apa yang tidak mau pergi, menimbulkan sosok bayang-bayang samar akan sebuah ingatan. Lana tidak bisa mengingatnya dengan jelas, dia juga tidak yakin apa yang dilihatnya, tapi ada sesuatu di dalam keyakinannya bahwa dia akan menemukannya di camp penangkaran itu.
“Ada masalah, Lana?” Lay bertanya, lelaki itu tampaknya mulai cemas dengan sikap yang Lana tunjukkan. Lay menangkap tangannya, menghentikannya di dekat lelaki itu.
“Aku harus ke penangkaran itu, Lay, secepatnya. Tapi aku bingung, kita harus segera kembali ke States, Tao bilang Kris dan Luhan sedang di Seattle saat ini. Sesuatu mungkin terjadi pada Evelyn,” Lana kembali memijat keningnya. Di Seattle hanya ada ibu Kris, dia sungguh berharap wanita itu baik-baik saja.
Lana mengernyit, sesuatu itu kembali menyerang ingatannya. Entah apa, mengganggu sekali.
“Tenanglah, kita harus memikirkannya dengan matang.”
“Maaf, apa ada yang bisa kubantu? Apa sesungguhnya yang kau cari di penangkaran itu?”
Pertanyaan itu muncul dari Ananta yang memecah fokus mereka berdua dari kecemasannya masing-masing. Lana tidak ingin menjawabnya, tapi dia kemudian merasa tidak ada salahnya untuk berbagi informasi, lagipula Ananta orang lokal di sana. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa mereka lakukan agar dia bisa pergi ke camp penangkaran itu.
“Seseorang yang bisa kuajak bicara. Ini penting, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan pada, setidaknya, seseorang yang telah tinggal di sana sejak sepuluh tahun yang lalu.”
Ananta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada senyum yang merekah di bibir gadis itu, yang seketika membuka pintu kegelapan dari ruang kegetirannya. Didengarnya gadis itu bicara,
“Kau tahu, kami punya semacam pusat informasinya di sini bila kau ingin berkunjung. Penangkaran itu kan semacam program relawan, dan mereka punya kantor cabang relawannya di sini. Aku mengenal beberapa di antara mereka kalau ingin kukenalkan.”
Lana tidak lagi membuang waktunya, dia segera memakai jaketnya dan menarik gadis itu keluar dari kamarnya saat itu juga.
.
“I’m sorry to hear that, Lana, Sophie kurasa juga korban di sini. Alfred mungkin mengacamnya atau apa, dia tidak terlihat seperti seseorang yang tega melakukan semua itu padamu,”
Lana mengangkat bahunya. Mereka berdua mengobrol dengan suara serendah mungkin selama di dalam mobil, Lana memberitahu Lay hasil pembicaraannya dengan Tao dan apa yang dikatakannya pada anak laki-laki itu. Semua ini melelahkan, Lana harus mengakuinya. Dia berduka untuk Sophie, tapi di saat yang sama tidak ada yang bisa dikatakannya mengenai wanita itu. Membicarakan Sophie sudah cukup membuatnya bergidik, dia tidak bisa lagi membayangkan saat-saat terburuk yang dirasakannya saat memuntahkan seluruh isi perutnya hingga tidak sadarkan diri.
Setelah satu jam perjalanan di dalam mobil, mereka memasuki sebuah halaman luas. Mobil terparkir di dekat sebuah pavilun satu lantai berdiri di tengah gedung-gedung lainnya yang serupa. Lay turun lebih dulu, disusul Lana sedetik setelahnya. Tempat ini agak jauh dari jalan utama, dan sepertinya tidak lagi di tengah kota. Suasanya lebih tenang di sini dibandingkan saat mereka baru keluar dari hotel tadi, Lana bisa merasakan udaranya yang lebih segar.
“Lewat sini,” Ananta menggiring mereka ke dalam gedung tak jauh dari mobil yang terparkir. Dibanding yang lain, paviliun itu sedikit jauh lebih lebar dengan dekorasi yang lebih rapi. Lana menduga ini mungkin lobinya.
Mereka disambut oleh dua orang laki-laki pribumi yang mengaku sebagai pemimpin relawan, Lana tidak begitu ingat namanya karena fokusnya mulai tersita oleh foto-foto yang terpasang di dinding. Dia membiarkan Lay mengobrol bersama para lelaki itu sementara dia mengamati foto-foto itu, ditemani Ananta yang menjelaskan padanya kisah yang bercerita dari tiap foto yang terpasang di sana.
Dia mendengar Lay menyebut-nyebut tentang penangkaran orangutan tempat mereka ditampung dulu. Lelaki itu tidak bercerita secara gamblang tentang penculikan atau apapun yang berkaitan tentang sejarah mereka. Hanya ingatan samar bahwa ‘kemungkinan’ mereka pernah berkunjung ke Tanjung Puting beberapa tahun silam.
Lana berpindah sari satu foto ke foto lain, hingga sampai di sudut ruangan, langkahnya terhenti. Pada satu foto dia mencondongkan badannya saat melihat sesuatu yang familiar. Lana hampir tidak bisa memercayai matanya saat itu, dia memajukan kepalanya benar-benar dekat untuk mengenali sebuah kalung yang dipakai seorang wanita di dalam foto itu.
Jantungnya serasa berhenti berdegup. Lana menekan dadanya keras.
Inikah yang menganggu kepalanya beberapa hari ini? Bayang-bayang sebuah liontin berbentuk palang salib yang tidak sadar digambarnya pada buku sketsa.
“Oh, God…”
“Kau baik-baik saja, Lana?” Ananta menanyakan keadaannya, Lana tidak menjawab. Dia masih fokus menatap foto itu, dengan tangan menggenggam kemeja di dadanya.
Seluruh ingatan itu kini terbayang jelas di benaknya. Malam gelap di atas kapal, dia bahkan masih bisa merakan dinginnya hembusan angin laut menampar wajahnya, teriakan Lay, suara ombak, dan seorang wanita yang memeluknya. Kini seluruh potongan gambar yang hilang timbul di dalam kepalanya, terpasang sepenuhnya menjadi deretan video yang siap terputar. Begitu jelas, begitu nyata.
Mungkin ini kenapa Lana tidak bisa menghilangkan bayang-bayang kalung itu di benaknya beberapa hari ini, kalung yang dia tatap dan dia genggam dalam tangannya saat memeluk wanita itu. Sosok yang tidak pernah dia kenali, kini terpampang jelas di depan matanya, di dalam foto yang diambil secara close-up tengah memeluk seekor bayi orangutan. Sosok itu, wanita misterius yang menghantui ingatannya.
“Lay,” Lana memanggil Lay dengan nada yang agak tinggi, lelaki itu segera menghampirinya saat itu juga.
“Ada apa?”
“Look.” Lana menunjuk pada satu foto yang membangunkan bulu kuduknya, dia mencengkeram lengan Lay keras-keras ketika lelaki itu mencondongkan kepalanya ke arah foto. Ekspresi Lay tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkannya sebelum ini. Lelaki itu terkejut,
“Oh my God, isn’t that Kris’ mom? Bagaimana dia bisa di sini?” Lay berseru seraya menoleh pada Lana dan bertanya pada Ananta di saat yang sama. Jawaban pertanyaannya tidak keluar dari mulut Ananta tentu saja, para lelaki yang sebelumnya mengobrol dengannya telah bergabung bersama mereka, dan salah satu di antaranya menjawab untuk meeka.
“Ah, itu dokter Evelyn McGill. Dia sempat dokter relawan selama sekitar lima tahun di camp penangkaran, kalian mengenalnya?”
Lay dan Lana saling bertatapan. Ini sama sekali tidak terduga, pintu-pintu yang tertutup tampaknya mulai terbuka lebar di hadapan mereka. Lana sama sekali tidak bisa memercayainya. Lana sudah hendak membuka mulutnya lagi, ada sesuatu yang ingin dia tanyakan, tapi dering ponsel milik Lay menghentikannya.
“Oh! Ini Luhan…” Lay menerima panggilan itu dan menempelkan ponselnya di telinga, “Lu, ini aku. Bagaimana?”
Lana mengamatinya dengan seksama. Dia tidak bisa mendengar suara Luhan dengan jelas dari sana, tapi perubahan raut wajah Lay membuatnya yakin sesuatu yang buruk baru saja terjadi.
“Oh, God, dia baik-baik saja?” Lay mengerutkan dahinya. Lelaki itu menggenggam tangan Lana erat. “Oke, ya. Aku tahu, kami sudah tahu soal itu. Baiklah, kami kembali malam ini, sampai ketemu di Seattle.”
“Ada apa? Apa yang terjadi?” Lana tidak bisa mengontrol ekspresi wajahnya lagi, seluruh rasa cemas telah bertumpuk di dadanya. Dia sungguh berharap Kris baik-baik saja.
“Lana, it’s Evelyn…”
Lay tidak lagi melanjutkan kalimatnya. Lana menghela napas kasar, dadanya mencelos. “Kita pulang sekarang.” Lana mengangguk, tangannya erat menggenggam jari-jari Lay yang seketika terasa dingin di kulitnya.
Positif. Sesuatu yang buruk telah terjadi.
* * *
Filed under: fan fiction, series Tagged: Five for Fighting, Huang Zi Tao, Lana Zhu, Zhang Yixing
