Shal
by theboleroo
edited: 27/8//15
–
Saat aku mengunjungi laman yang diklaim sebagai play ground-nya, aku seperti menemukan sesuatu yang berbenturan dengan prinsip, tapi entah mengapa di saat bersamaan terasa familier dalam sudut pandangku yang lain. Saat itu aku tidak berpikir terlalu serius, kubiarkan jemariku bergerak mengikuti insting abal yang entah kupunya sejak kapan.
Well, sekarang laman aneh itu sudah tersimpan di bookmark usang yang sudah lama tak kuisi.
–
Di satu celah waktu, aku kembali membukanya. Membaca sekilas, sebelum akhirnya kuresapi, dan benar-benar kurenungkan. Memang, tak ada jaminan jika semua yang ada di dalam hidup kita akan selalu masuk akal. Termasuk ketika, kau merasa telah menemukan bagian pemikiran dari kepalamu tersangkut di kepala orang lain yang sumpah mati tak pernah kaukenal sebelumnya.
Dia memakai nama ‘S’.
Iya, ‘S’ saja. Tanpa foto ataupun keterangan berbau narsistik yang biasanya tertulis ketika kau mengarahkan kursor ke petak yang seharusnya berisi identitas. Visitor yang tak sampai dua ratus orang, tampilan yang kepalang monoton, pula jumlah posting-an yang tidak lebih dari enam buah.
Aneh, kenapa atmosfernya seperti baru mendapat kabar kalau aku memenangkan lotre? Oke, kurasa aku akan… mencoba menjadikannya teman ‘betulan’.
–
Satu jam berlalu.
Aku sudah di sini. Nggak peduli kamu bakal datang atau nggak, karena aku sudah punya secangkir dolce latte dan… mood yang cukup bagus, untuk sendirian.
Aku nggak semenyebalkan yang kamu pikir.
Oke. Kalau gitu cepetan.
Tapi, S tetap datang. Dengan setelan biasa dan sama seperti orang kebanyakan. Ia jauh dari kata eksentrik, artistik, atau penampilan yang sarat akan ketidaklumrahan yang tak perlu. S berjalan pelan ke arahku. Lagaknya seperti orang paling malas sedunia. Matanya berkantung, bibirnya terkatup rapat seakan-akan lupa bagaimana caranya bicara. Aku suka bentuk alisnya. Juga irisnya yang cokelat kentara, padahal jelas-jelas tak ada sinar Matahari menyorot wajah tirusnya secara berlebihan.
“Kamu manis,” kataku tanpa motif. Dan S diam, tak memberi respon.
Dengan manner yang seperti ini ia berani berkata bahwa ia tidak menyebalkan? Menurutku sih, ini sangat menyebalkan. Tak ada yang salah dengan pujian, semestinya dia menanggapi meski sedikit. Dengan tersenyum misalnya?
Ah, jika terus-terusan begini sebaiknya ia cepat minggat, sebelum aku menumpahkan minumanku, dan melempar meja ke arah wajahnya yang, baiklah, yang susah untuk dilupakan paling tidak sampai seminggu ke depan.
“Lupa caranya duduk?”
“Tidak, aku cuma lupa caranya berhadapan dengan orang asing.”
“Orang atau orang asing?”
“Orang asing. Kalau orang saja, aku masih bisa handle. Tapi jika sudah diimbuhi kata asing, rasa-rasanya aku ingin buang air.” Dia duduk. “Apa kabar?” tanyanya, seolah kami adalah sepasang manusia yang telah berteman ribuan tahun dan tak bertemu jutaan tahun.
–
S for Shal.
Apa yang kau harapkan dari pertemuan pertama? Sparks? Bangunlah, karena demi Tuhan kau hidup di negeri penuh huru-hara, bukan di negeri dongeng.
Katakanlah ekspektasiku terhadapnya ketinggian, namun bukan berarti aku menyesal. Aku menyukai S. Tidak banyak, tapi lebih dari sedikit. Sudut pandang tak lazim miliknya ternyata bukan hal yang paling kusukai, jadi aku menganggap jika malam itu adalah malam penuh toleransi. Aku mendengar, mengangguk, dan kadang menimpali. Lucu, karena biasanya aku tak begitu. Maklum, aku adalah seorang egois yang agak alergi menjadi pendengar. Apalagi jika lawan bicaraku orang macam S yang mana ucapannya selalu mengandung aroma sarkasme.
Jika diibaratkan lingkaran yang memiliki sudut yang tak terhingga, rupanya pemikiran yang ia tumpahkan di laman monoton itu hanyalah sepersekian dari keseluruhan sudut pemikiran yang ia punya. Kebetulan yang lucu; sudut yang diperlihatkannya membuatku seperti kehilangan sesuatu, padahal tidak.
Dan… baiklah, sampai pagi ini aku tak tahu nama aslinya siapa. Tapi dia sempat bertanya siapa namaku dan tentu saja aku menjawab. Sejurus bibirnya membulat; seolah tak peduli, seolah namaku cuma embusan angin yang berlalu tanpa sempat terasa.
–
Tara?
Pesan enigmatik itu sampai dari sebuah nomor yang tidak kusimpan. Tapi aku tahu, itu dari S. Atau Shal. Oh, aku suka nama itu sebetulnya.
Ya. Ada apa?
Senang bertemu dengan kamu. Keberatan nggak kalau di waktu yang lain kita melakukannya lagi?
Aku diam memandangi layar, diam-diam menilik kesan yang kupunya terhadap lelaki yang sebetulnya cukup atraktif namun serupa misantrop ini.
Nggak.
Thanks.
Btw, S for Shalen. Namaku Shalen.
Oke, Shalen. See you next time.
-fin.
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Shal
