TEMPUS FUGIT
-azureveur
© 2013
.
.
.
Secangkir kopi dan Declan Schwartzman ibarat sepasang handai yang tak terpisahkan. Keduanya kerap berdiri bersisian, sebagaimana gigi Declan bertaut dengan bibirnya. Erat, tanpa decak artifisial. Ia menyesap cairan itu hingga separuh berkurang dari birai porselen. Membiarkan uapnya berevaporasi tiga per empat senti, mencuar ke udara.
Aku terduduk di hadapannya, terkadang iri dengan kemesraan mereka. Declan menaruh cangkir putih itu di atas lapik. Denting berat seiring dengan suara kertas renyuk yang dibukanya lebar-lebar, koran The Beaufort Gazette. Ia sengaja membiarkan brioche itu agak mendingin, bercampur bau salami dari piring tetangga, piringku, yang menangkup terbalik di seberangnya. Aku mengaut botol mustard, lantas menyemprotkan koloid kuning itu di sudut piring. Menggapai pisau di atas placemat. Tak sengaja berjibaku mengantuk badan cangkir.
Ups.
Declan melirikku. Tatapannya teduh. Bibirnya menyungging senyum. Ia tak menegur. Alih-alih, mengomentari perihal sarapan kontinental[1] pagi itu.
“Ini tidak buruk, D. Idemu memang brilian,” timpalku, memotong salami menjadi lima petak mungil.
“Well, aku senang mendengarnya. Kau harus membiasakan diri dengan semua ini, Marcy.” Ia menutup koran itu, menarik piring berisi brioche. Ada strawberry jam di sisi kanan meja, dalam keranjang rotan, di samping stoples Nutella. “Aku sedang membicarakan liburan musim panas kita, ngomong-ngomong,” serunya, menggenggam stoples blueberry jam, yang kukira takkan pernah disentuh oleh jemarinya, membelah brioche itu, lantas mengoleskan selai sari buah dengan bantuan spreading knife.
Aku tertawa. Declan memberitahuku di malam kedua puluh lima pada bulan April, satu hari sebelum hari ulang tahun pernikahan kami. Zoloft memberikannya promosi di pertengahan musim. D agaknya bercanda. Tapi, kala itu—kala ia menyurukkan puntung Skoal-nya di dasar asbak—aku tahu, Declan Schwartzman adalah orang yang berbeda.
Kami bertukar tatap cukup lama. Sama seperti pagi-pagi biasanya. “Ada apa?” tanyaku.
“Tidak.” Declan mengedikkan bahu. “Aku baru menyadari kalau wajahmu cantik.”
“Thanks.”
“Sungguh.”
Aku mendengus. “Simpan untuk nanti malam, D.”
Declan tak berkata banyak untuk menanggapi undangan itu. Agaknya ia lupa tentang selebrasi malam nanti. Tangannya refleks menyentuh pipiku. Perut bidangnya tertahan pinggiran meja. Melewati etape satu meter lebih beberapa senti. Jemarinya berhasil membenahi letak poniku. “Kau memang cantik, Marc.” Aku tak dapat berkelit dengan pujian yang sama dua kali. Mata kami bersirobok.
Declan menarik serbet marun itu dari pangkuannya. Menyeka ujung bibir yang dinodai remah brioche. Ia melirik arlojinya sepintas. “Kurasa, aku harus segera berangkat, Marcy.”
Kepalaku ikut melongok, menatap jam yang tergantung di dinding. Delapan lebih sepuluh.
Derit kursi itu terasa begitu nyaring, menyaingi bunyi ketuk jarum detik—satu per empat. Aku memilih tak bersuara. Alih-alih, memperhatikan gesturnya. Declan menggajur blazer cokelat muda yang ia sampirkan di punggung kursi. Berpadu dengan button-down nila yang melekat di tubuhnya.
“Bye, Marc,” bisik Declan. Ia mengecup pucuk dahiku.
Mataku terpejam. Ada sakit yang menggigit. Mungkin di ujung jemari lantaran kealpaanku memotong salami, malah mengiris kulit sendiri. Tapi, bisa di ulu hati. Pun bisa di sekujur rupa. Declan menutup pintu. Tak ada derak suara kayu lapuk. Ia sedemikian terlatih, menggelendoti gagangnya tanpa menimbulkan satu desibel resonansi.
Aku masih terduduk. Membisu dengan pisau dan garpu di kedua tanganku, sepiring salami, juga sisa brioche yang berceceran di piring Declan.
Ada yang salah dengan diriku.
.
.
Itu adalah libur musim panas kedua kala Declan Schwartzman menjumpaimu di bar milik Poe. Rambutnya pirang. Licin. Seperti gaya para pesolek yang kerap mengikuti ajang pencarian bakat di televisi. Bukan tipemu. Jelas. Bukan seseorang dengan nilai gemilang di kelas matematika. Alih-alih, berpamer jaket varsity dan mementingkan hubungan solidaritas antar teman segengnya.
Ada tiga poin dalam hidup Declan; gengsi, gengsi, dan gengsi. Lalu satu lagi: teman wanita.
Kau memilih berdiri di samping jukebox, meminum segelas Coke. Berpakaian ala retro, paduan jaket denim, yang agak menjungkit di atas pinggang, dan skinny jeans. Tanganmu memasukkan koin pertama ke dalam selot vertikal; memilih Crying in the Chapel sebagai tembang paling mengguncang dari Elvis Persley.
Kau dan Declan. Silih tatap untuk tiga detik pertama. Alisnya menjungkit, tangan kanannya masih tersangkut di antara gada penyodok, sedangkan satunya bertelekan meja berlaken hijau.
Tetap fokus, Marcy. Seharusnya kau mengingat apa yang dicarinya.
Declan dan segelas gelas karton merah. Jaket varsity-nya menguar bau tembakau. Ia berjalan ke arahmu. Derap sepatunya terlalu pelan jika disanding suara bariton Elvis.
“Kau yang memilih lagu ini?”tanyanya, meletakkan gelas karton itu di atas jukebox. Bibir itu hanya berjarak dua puluh senti, menjamah telingamu. Kau tersenyum.
“Iya.”
“Berani bertaruh?”
Kau seharusnya menggeleng, percayalah. Namun, kau malah mengangguk.
“Ini terdengar seperti upacara pemakaman,” singgungnya; kau tertawa. Declan seorang yang jenius. Tubuh jangkung itu membungkuk. Telunjuknya memilih senarai lagu dalam kubah kaca. Ia memilih lagu itu. Tembang milik The Beatles, Love Me Do, yang membuatmu jatuh cinta pada selera musiknya.
Bar milik Poe seolah berputar. Ada Olivia di seberang sana, mendelikmu dengan sorot dengki, Egbert di sisinya, bersedekap agul. Di kala yang sama, Declan menggamit jemarimu.
Kau tak seharusnya begitu, Marcy. Hentikan.
Declan telah bermetastasis menjadi kanabis. Dencing tamborin Ringgo tak ayal menyulap pinggulmu. Membuatnya menyentak ke kanan, kadang ke kiri. “Kau cantik sekali, Marcy,” bisiknya di telingamu.
Bangun, Marcy.
Kepalamu berjengit. Manik Declan berwarna biru sempurna. Tapi, kaudatang ke Poe’s tidak untuk mencari tahu warna matanya. Dylan Ross, pria itu yang kautunggu sedari awal, tiga puluh menit sebelum kedatangan Declan.
Detik di arlojimu bertambah kencang dan berputar ke arah kiri. Kaki-kaki jenjang milik Declan menandak kian cepat. Napasmu mengaras ke lehernya. Ada suatu kala saat kau melihat ke dalam kolam biru itu. Sebuah catatan yang telah kautulis sejak lama. Namun, Declan tak pernah mengizinkanmu untuk membacanya.
Ia menciummu. Tepat di bibir. Mengulum tepiannya dengan begitu lembut.
Di kala yang sama lagi-lagi kau seharusnya melihat apa yang melumuri kepalan tangannya.
Merah. Seperti warna topi bisbol kepunyaan Dylan.
.
.
Lebih dari siapa pun, Declan suka mematuhi aturan rumah. Ia pulang pada pukul enam. Tak kurang dan tak lebih, barang semenit pun. Kadang mencongklang ke arah beranda lantaran menghindari rinai hujan. Dasbor SUV-nya boleh diguyur air, tapi button-down nila itu tak luntur atau malah terpercik setitik noda. Tidak kusut, pun kedua tepian manset lengannya.
Ada senyum yang mencuat kala ia mendorong pintu. Aku berdiri di belakang konter dapur, memakai mittens bersiap membuka penutup oven.
“Marcy?” Dahinya berkerut. Ia terlihat kocak dengan raut wajah itu.
“Selamat datang, D,” ujarku, masih berbalut appron.
Declan terkekeh. Meletakkan tasnya di sofa ruang tengah.
“Kau keren, Marcy.” Ia melonggarkan simpul dasinya, memperhatikan kostum semi-formalku—sebuah strawberry dress keluaran Motel dengan rajutan sifon menutupi bahu. Declan membuka blazer-nya lantas menyampirkan benda itu di punggung kursi.
“Happy anniversary,” seruku kegirangan. Aku menghampirinya. Berjingkat dengan sebelah kaki; mencium pipinya.
Declan tak memandangku, tatapannya tertumbuk pada dekorasi meja. Menyentuh karangan mawar dalam jambangan kristal.
“Apa kau menyukainya?” bisikku, merangkul lehernya dengan sebelah tangan.
“Tentu saja. Ini terlihat serasi.” Iris birunya mencoba memadukan mawar itu dengan wallpaper ruang makan—krem dan pink salem.
“Thanks.” Aku menanggalkan appron biru itu dengan kedua tangan.
Sudah terlalu lama ia tak menyinggung perihal dekorasi. Declan, yang reguler, memilih melesak ke peremukaan sofa. Menghidu cangkir-cangkir kopi hitamnya. Dan mengomentari pertandingan Roster melawan State di televisi.
Aku menepuk bahu kirinya sekilas; Declan mendengus. “Well, bersiaplah untuk makanan pembuka, D.”
Kaki jenjangnya mengarah ke ruang tengah. Ada stereo uzur di sana. Tempatnya meletakkan cakram The Beatles, yang ia beli dari toko kaset bekas di pertigaan Agusta Street. Fool on the Hill terdengar agak sedikit lindap.
“D?” panggilku dari meja makan. Piring-piring itu disusun berhadapan.
Declan membawa asbaknya ke pinggir napkin.
Aku membisu. “Yes, Marcy.” Ia duduk tanpa bersuara. Ada derit kayu yang menggaruk linoleum. Sebelah tangannya merogoh Skoal di dalam saku. Mencucuh batang pertamanya dengan pemantik Bic sekali pakai. Declan telah merencanakannya; ia akan merokok di ruang makan.
Aku memilih bungkam. Beringsut mundur dan membuka jendela di atas sink—menghindari sirine alarm kebakaran.
Selalu ada toleransi baginya, kendati aku tahu, Declan tak seperti biasanya. Ia yang membuat peraturan itu, tidak merokok di ruang makan. Dan biasa menyundut Skoal-nya bersama Ed, si tetangga, di beranda rumah.
Derit kursiku mencoba mengusik keduanya, Declan dan Skoal. Ia menuang Merlot ke dalam gelas-gelas berkaki tinggi tanpa mengacuhkan suara kursi. Alih-alih, menyemburkan asap bercampur aroma krim di mangkuk sup.
Rokoknya menjungkit di pinggiran asbak. Pahanya memangku napkin dengan separuh terpaksa.
Aku menyerah. Sup kepiting adalah appetizer kesukaannya, tapi kala ia menciduk krim itu; rautnya muram. “Ada masalah?” tanyaku.
Ia menggeleng. Malah menenggak Merlot dan bergidik lantaran disergap rasa pahit.
“Declan?” Aku menyentuh punggung tangannya.
“Kado untukmu, Marc.” Ia memindahkan tangkupan tanganku. Beranjak ke saku blazer-nya. Mengaut kalung platina berbandul bintang.
Ia pasti menangkap binar itu di mataku. Cokelat berbintik putih lantaran tertimpa remang lampu. “Tunggu. Aku juga punya kejutan untukmu,” suaraku terkesan teatrikal. Beranjak mundur ke belakang konter. “Tada!” pekikku. “Pie kesukaanmu, D!”
Declan terkekeh. Kelopaknya menyipit. Ia nampak malu. Menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
Aku meletakkan pie ubi itu di atas meja, berlari ke arah cupboard, mengambil pisau dapur. Memang tak seharusnya aku mengeluarkan dessert dan mendorong senarai entrée ke pemburit. Tapi, apa salahnya membuat Declan tertawa sejurus?
Potongan pertama jelas diperuntukkan bagi Declan. Aku meletakkan petak itu perlahan di atas piring. Tangan Declan secepat kilat memotong kembali dengan ukuran yang lebih kecil dan menyuapnya ke dalam mulut.
“Fantastis,” pujinya.
Aku mendengus geli.
Declan bergerak tanpa sepengetahuanku. Lennon masih bernyanyi di ruang tengah, lewat stereo yang seharusnya ia hibahkan ke rumah jompo. Sesekali ada bunyi harmonika yang menyimbur. “Angkat rambutmu, Marcy,” Declan seperti berbisik, memenggal verse kedua.
Tengkukku meremang. Riap-riap itu digesernya perlahan. Declan berhasil melingkarkan rantai platina itu di leherku.
“Cantik sekali, D.” Aku merunduk. Tak sabar ingin mengintipnya. “Kau tahu, ini mirip dengan yang pernah kulihat bersama Dy—”
Suaraku terputus. Iya, Dylan Ross.
Declan tak merespons kata-kata itu. Alih-alih, menyentuh pinggangku dan menggiringnya bersehadap dengan cermin. Tak ada yang perlu disalahkan. Bukan salah cermin itu lantaran menggantung di ruang makan tiga tahun lalu, pun bukan salah Declan untuk tidak mengaitkan kailnya di lubang yang tepat.
Aku balas memandangnya lurus-lurus, terbertur refleksi cermin. Tatapan itu begitu familier mewarnai manik biru Declan. Gelap. Kantungnya menggelambir, terpaut konversasi. Declan Schwartzman melempar tubuhku menabrak cermin. Puingnya berdenting, menghunjam linoleum. Aku tersungkur, mengerjap beberapa kali. Denyut itu sedemikian intens menyerang pelipisku.
“Declan?” Ibu jariku merisik dahi. Darah.
“Itu manis sekali, Marc. Kau dan Dylan. Dylan, pasangan mesramu semasa dulu? Kukira ia sudah mati di truk sampah.”
Declan tertawa. Aku menatapnya sembari terhuyung.
“Maafkan aku, D. Maafkan aku,” aku merintih kesakitan. Declan menjambak rambutku. Mengempaskannya ke arah meja. Bibirku mencium lis formika. Mangkuk sup yang hendak kami kudap berdua, jatuh berantakan. Merlot yang kubeli tadi siang, menggelinding di atas babut. Tangisku tumpah. Berharap ia menghentikan semuanya.
Declan menindihku dengan berat tubuhnya; menelikung tanganku dengan paksa. “Dengar, Marc. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”
Aku menangis. Punggungku terasa ingin patah.
“Katakan sesuatu.” Declan menubrukkan kepalaku, menghantam permukaan meja.
“A-aku …” Tubuhku menggigil ketakutan.
“Katakan sesuatu, Marc!” betak Declan. Ia membalik bahuku. Aku mencium bau tembakau Skoal tertinggal di keliman mansetnya.
“Aku juga mencintaimu, D. Lepaskan aku.” Hanya itu yang bisa kukatakan. Declan, suamiku, aku mencintainya. Memaafkannya sekalipun ia mengatakan memar-memar itu cantik menghiasi sekujur wajahku.
Declan menyeringai. Bibirnya menyapu leherku. Aku meronta. Loyang pie ubi itu tersorong hingga ke ujung, luruh, bertemperasan di atas babut—menyusul noda Merlot yang merembesi kisi-kisi linoleum—selainya berhambur. “Declan,” cericipku, lebih terdengar seperti rintihan.
“Diam, Marc! Kau tak menginginkannya? Kau tak menginginkan diriku?”
Ia mencekikku. Cengkeramannya bertambah kuat. Aku menggeliat kehabisan napas. “D…” Buku jemariku memutih, meremas ujung button-down miliknya. “Le …”
Mataku nyalang, menangkap bayangan pisau di samping jambangan. Declan masih menahan kedua lenganku dengan tangannya.
Aku menendang perutnya dengan bantuan lutut.
Ia terjajar mundur; terbatuk-batuk sembari memegangi rusuk. “Marcy!”
Tanganku meraih pisau itu lantas menikamkannya sekali ke lambung Declan. Ia ambruk. Button-down nilanya kusut, bernoda darah. Bau anyir itu menguar. “Marcy?” Aku melihat tangis di sudut matanya.
“Jangan ganggu aku.” Lututku melentuk, terduduk di permukaan babut. Declan mencoba menyentuh tanganku. Aku menikamnya dua kali di ulu hati. “Jangan sentuh aku!”
Bibirnya mengerang pelan. Declan duduk terlelap. Napasnya tak lagi memburu. Matanya terpejam. Aku mengerjap, seketika beranjak mundur.
“D?” Kutendang lengannya dengan perlahan. “Declan?” aku memanggil namanya sekali lagi. Ia tak bergerak.
Tanganku berlumur cairan merah. Pisau itu tersentak dengan sendirinya. “Declan?” Aku memanggil namanya untuk ketiga kali. “Maafkan aku.” Tangisku berderai. Napasku tersengal.
Apa yang telah kulakukan? Declan tertidur. Tanganku berlumur darah. Pisau. Puing-puing kaca itu. Separuh kepalaku didera migrain akut.
Aku berusaha bangkit berdiri. Pusing itu kian menjadi. Berjingkat dengan sebelah kaki. Kala itu pukul tujuh. Tujuh dengan ritme detik satu per dua. Aku berlari bertelanjang kaki ke jalan raya.
Tenggorokanku tercekat. Ada yang salah denganku. Gerimis hujan sekonyong-konyong bertambah deras. Darah itu terseret arus, menghapus jejak telapak kakiku yang bersimbah darah. Dingin menggerumuti sekujur persendian. Aku melihat langit berhalimun. Kelabu. Pekat. Menghalangi jarak pandangku hingga gelap. Aku memanggil nama Declan tanpa henti.
.
.
Marcy, Marcy, Marcy.
Kata itu terulang tiga kali. Suaranya merembesi pagu. Terkontaminasi bebauan fenol, yang mungkin berasal dari cairan antiseptik bekas membesut lantai.
Marcy?
“Siapa di sana?!” Aku mencengkeram pinggiran kursi; ia tertawa.
Sebaiknya kau bertanya pada dirimu sendiri sebelum mengajukan pertanyaan lain.
Dahiku mengerut. “Di mana Declan?”
Declan?
Ia bersiut santai, meniru chorus Fool on the Hill dengan sedikit sember. Aku dapat mengalkulasi jumlah giginya yang mungkin separuh rumpang.
“Kau melakukan sesuatu padanya?”
Bisa dibilang begitu.
“Jangan macam-macam, Bodoh! Mana Declan?” jeritku. Alarm itu menyalang di dekat pintu. “Tunggu … apakah itu ulahmu?”
Aku tidak melakukan apa-apa, Marcy.
“Kau melakukan sesuatu kepada Declan? Benar, ‘kan?”
Tawanya semakin keras. Sini biar kuberitahu sesuatu, lirihnya. Kau … kau yang membunuhnya, kau tahu?
Rasa takut itu kembali menyergapku. Aku menggigit bibir bawah. Bau anyir itu menguar. Terhidu dari sela-sela jemari. Merayapi kedua tungkai kakiku.
“Psst,” bisikku.
Apa?
“Kau bercanda, ‘kan?”
Mungkin.
“Ini pasti sandiwara. Aku baru saja memimpikan hal yang sama.”
Hidup memang selalu bersandiwara. Seperti barusan aku menertawakanmu.
“Sama sekali tidak lucu.”
Mengapa tidak? Kau bahkan terlalu pilon untuk diberitahu.
“Jangan sok menghakimi. Memang siapa dirimu?”
Aku? Aku Marcy.
Aku tak dapat menebak mimik mukanya, tapi aku tahu, ia bukan seseorang bergigi rompal yang kutebak lima menit lalu. Dan kala itu jam di dekat pagu menunjukkan pukul delapan, delapan lewat sepuluh dengan ritme detik satu per satu.
-fin.
[1] sarapan yang umumnya dikonsumsi oleh para masyarakat Eropa
.
A/N: Terima kasih untuk sederet kompilasi antara Ed Sheeran, Justin Timberlake, dan Nicholas Sparks. Keempat bagiannya adalah hibrida dari empat karya yang berbeda. Cangkir kopi adalah milik Sheeran, jukebox dan cermin milik Timberlake, sedangkan berdebatan di atas meja makan tak ayal dimiliki Sparks. Keempat plot dirangkum dari dua sudut pandang, aku dan dia, atas inspirasi dari Nolan yang membuat saya berhasil menyatukan kepingannya. Tempus Fugit adalah sebuah frasa Latin yang berarti “waktu berlalu”.
Filed under: one shot, original fiction
