By. Kimchisauce
****
Hurt Me then Treat me
Burn me then Cold me
Broke me then Fix me
Don’t go
Don’t leave
Kill me then Love Me
*****
“Don’t cry, I beg you.”
Suara itu menjalari pendengaran. Nyaris lirih namun tegas memerintah. Entah lelah. Entah lemah. Tak jelas pun artinya antara bosan maupun bimbang. Namun suara itu tetap bersikukuh melenyapkan tangis yang mampu mengoyak tembok pertahanannya untuk kuat. Berharap susunan abjad sederhana yang terucap dapat mengeringkan luka. Entah seperempat bagian. Entah semuanya.
Ia jenuh.
Tidak. Ia pilu.
Ia pilu ketika isak kecil dari bibir delima itu menyeruak masuk ke gendang telinga. Ia pilu ketika kelopak mata bulat itu terkatup rapat dan banjir bandang. Ia pilu ketika tubuh ringkih tak bergizi itu bergetar hebat.
“Uljima. Jebal.”
Lagi-lagi suara itu gamang. Kalut namun memegang kendali dengan erat. Intonasinya pun terdengar mengambang. Tidak tinggi tapi tidak juga memilukan hati.
Suara itu mendesah kasar. Menghempaskan beban beserta remah roti dan bau napas yang menyengat. Pemiliknya bergerak. Melangkah pelan dan perlahan menuju sumber sakitnya di sudut ruangan pengap.
Ia perlahan duduk dan secepat kecepatan cahaya mulai merengkuh tubuh kurus itu hati-hati kedalam dekapannya yang tak sehangat matahari. Ah, ia lupa. Ia matahari telanjang tanpa atmosfer yang menahan panas. Ia membakar. Ia menghanguskan apapun yang dilaluinya, tak terkecuali mahluk bumi sepolos bayi dalam pelukannya.
Ia Lucifer yang menjelma bagai domba tak berdosa. Begitu lugu dan ragu-ragu. Hingga pujaan hati datang mengulurkan tangan untuk meyakinkan. Dan senyum pretensi pun muncul tanpa bisa ditahan-tahan.
Si pujaan hati medamba. Merasa terlengkapi dan melengkapi. Tanpa tahu ratusan pisau siap mengoyak-ngoyak hatinya tanpa ampun, ia melangkah mantap. Mengucap janji di hadapan Pencipta Semesta untuk tetap setia dalam keadaan paling baik hingga keadaan paling buruk.
Belum selustrum hubungan itu tercipta, si Lucifer menunjukan bengis. Si pujaan hatipun terluka. Ia tak lagi mendapati sosok anak dandelion ringan yang hilang sekejap ditiup angin. Yang ia lihat sekarang adalah pohon Ek berusia ratusan tahun berakar kuat. Tak akan mungkin tumbang meskipun datang angin topan. Sosok itu pun juga mampu membuat bulu kuduknya meremang, kelenjar air matanya lembur, hingga pemompa darahnya lemah. Sosok kasar, sekasar material pasir dan gravel membentuk aspal.
Namun setelah satu dasawarsa menguap bagai awan berubah bentuk, si pujaan hati tetap tak ingin beranjak. Entah mengapa dan bagaimana, ia merapuh dengan sukarela. Ia memilih mati untuk dihidupkan. Ia memilih terbakar untuk kembali didinginkan. Ia memilih patah kemudian diperbaiki.
Ia memilih racun sekaligus penawarnya yang paling ampuh. Kim Jong In. Si Lucifer yang bergerak ponggah namun merangkap menjadi si penakut kelas kakap. Karena sosok itupun tanpa sadar tak bisa berhenti menjadi parasit yang mematikan sekaligus mengobati di saat bersamaan.
Dan mereka berdua adalah cinta. Cinta dalam berbagai bentuk. Kekuasaan. Transformasi. Pengorbanan. Kesetiaan. Waras. Gila. Sakit. Bahagia.
Cinta berubah menjadi definisi personal.
.
.
“Sorry. Don’t leave me.”
Suara itu kembali terdengar. Kali ini tidak lirih apalagi pilu. Tidak juga tegas dan dominan. Mengambang tanpa arahpun tidak. Suara itu meluncur yakin. Seakan menggambarkan penyelesaian dan kalimat ‘baik-baik saja’.
Cinta kembali memegang peranannya. Keduanya dapat menjadi racun dan penawar bagi satu sama lain. Tak ada lagi Lucifer. Domba tak berdosa. Anak Dandelion. Pohon Ek. Pujaan Hati. Matahari. Yang ada hanya mereka berdua dan cinta itu sendiri. Barangkali cuma itu.
Dan Mereka tak butuh siapapun lagi. Bahkan untuk mengerti.
“Never, Jong In.”
~0O0~
Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Kim Jongin