Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[ONESHOT] The Battlefield, Soldier and Medals

$
0
0

battlefield

.

who says only might ones deserve an anthem…

.

.

.

360 hari, statusnya resmi sendiri. Rasanya seperti mimpi.

Dia bukan pakarnya menghitung, suka juga tidak terlalu. Tapi sejak dia pergi dari Seoul, otomatis otaknya bekerja tiap hari, padahal inginnya tidak begitu.

Tepat 360 hari, Luhan tidak pernah lagi mendengar kabarnya dari seberang dunia. Dia juga tidak berusaha untuk mencari-cari, karena begitulah kesepakatan mereka.

Dia inginnya begitu, Luhan hanya mengiyakannya.

Luhan melakukan banyak hal setahun belakangan ini, bisa dibilang kegiatannya semakin sibuk saja. Biarlah orang mengatakan itu caranya mengalihkan pikirannya dari dia, karena mau tidak mau dia harus mengakui kalau itu benar, meski hanya beberapa persen. Sisanya, Luhan sangat menikmati apa yang dilakukannya.

Dia sering pergi camping, minimal sebulan sekali, bersama siapapun yang ingin bergabung. Kadang dia pergi bersama Minseok, kadang Chanyeol atau Baekhyun, teman-teman klub sepak bolanya, bahkan tak jarang dia mengajak profesornya untuk bergabung bila tidak sibuk. Kadang mereka pergi karaoke, bersepeda di taman-taman sungai Han, bermain Play Station, nonton film, bermain basket, atau hanya sekedar duduk dan mengobrol di depan TV.

Hal lain yang tiba-tiba menjadi kegiatan rutinnya belakangan, adalah berkencan.  He dates, like a lot. Setidaknya dia tidak sendiri di akhir minggu, ketika teman-temannya terlalu sibuk melayani keinginannya melakukan atau bermain ini itu. Dia pemuda yang cukup populer di institut, Luhan tahu itu, menyadarinya, dan tidak menyia-nyiakannya. Gadis-gadis menyukainya, mengantri untuk hanya sekedar duduk dan minum kopi bersamanya. Dia bersinar, bintang-bintang berkilauan karenanya.

Momennya pas sekali,  karena di saat yang sama Luhan butuh teman, dan mereka bagai ikan-ikan yang bergumul riuh di pinggir lautan mencari makan di kala surutnya gelombang. Pemandangan yang tidak lagi asing, tapi menyenangkan. Dia hanya perlu menunjuk satu saja, kailnya dilepas, tangkapan didapatnya segera. Instan, tidak buang banyak tenaga.

Menghabiskan waktu dengan banyak orang merupakan aktifitas pembuang waktu terbaik, karena dengan begitu dia bisa lupa.

Lupa bahwa hingga 360 hari berlalu, ketika sendiri, dia masih seseorang yang gagal move on.

Lupa bahwa hingga 360 hari berlalu, di kala sepi, dia masih memimpikannya tiap malam.

Lupa bahwa hingga detik ini, dia masih berlaga dalam rana. Mengangkat senjata, bergelut melawan yang dulu. Sendirian.

Padahal segalanya berakhir dengan baik. Mereka memutuskan untuk benar-benar mengakhiri kebersamaan ini dalam damai, dengan segala pertimbangan. Karena pada akhirnya mereka menyadari, selamanya hanya ada di dunia fantasia.

Pada akhirnya, dia harus pergi, dan dia tetap di sini.

.

“Kenapa kau tidak bersama Chaerin saja, sih? Kenapa harus berganti-ganti teman kencan seperti itu?” tanya Chanyeol suatu hari ketika mengomentari fenomena yang tejadi padanya baru-baru itu.

Tampaknya ada seseorang yang merasa perlu membahas ini dan memutuskan untuk memberitahu Chanyeol, Baekhyun, Jongin, juga Taemin mengenai fenomena itu. Luhan melirik Minseok tidak senang ketika obrolan ini dimulai, saat itu dia dihakimi bersama-sama.

Yah, jangan bicara seolah-olah aku melakukan dosa besar. Dari siapa aku belajar berkencan dengan banyak gadis?” Luhan melirik Baekhyun saat mengatakannya, niatnya meledek. Tapi tampaknya yang merasa dibicarakan tidak mau disalahkan.

Baekhyun protes. “Hyung, aku tidak berkencan dengan gadis-gadis seperti orang depresi. Dan pastinya tidak selalu ganti tiap minggu. Kau tahu apa sekarang mereka menyebutmu?”

Oneshot. Para gadis memakai kata itu untuk menyebutnya, karena dia tidak pernah berkencan dengan seorang gadis lebih dari sekali. Luhan hanya berdecak pelan mendengarnya, ingin tertawa tapi urung. Dia tidak lagi yakin apa yang bisa ditertawakan.

Miris sekali, karena sebenarnya Luhan ingin lebih. Dia ingin berkencan lagi dengan beberapa di antara mereka, tapi selalu ada hal yang membuatnya kehilangan minat. Luhan benci harus mengakui ini, hanya karena dia tidak bisa berhenti membandingkan mereka dengannya.

Terlalu banyak bicara.

Terlalu manja.

Terlalu membosankan.

Terlalu banyak ingin tahu.

Dan berjuta alasan lainnya. Seolah tidak bisa ditoleransi lagi, karena dia mencari gadis yang lebih baik. Tapi tidak ada yang lebih baik hingga detik ini. Sayang sekali.

Luhan lalu menjawab keingintahuan mereka, “Kalian tidak boleh membicarakan Chaerin seperti ini. Dia bukan substitusi.” Katanya. Rasanya tidak adil bila mereka menyangkut pautkan nama Chaerin dalam obrolan ini, hanya karena mereka pernah dekat. Dan terlebih lagi, karena Chaerin cenderung tidak bicara lagi dengannya sekarang.

Gadis itu menganggap dirinya substitutsi, dan Luhan mengesahkannya ketika pernah memilih untuk menghubungi Chaerin daripada Minseok saat bosan. Lalu ketika dia mengakhirinya, Luhan bahkan tidak lagi pernah melirik nama gadis itu di layar ponselnya.

“Substitusi katamu? Bukankah itu yang setahun ini kaucari?”

Taemin yang mengatakannya. Dan kalimat itu seperti pukulan telak yang menghantam ulu hatinya. Seketika dia tumbang, tidak berkomentar begitu mendengar satu-persatu lima orang di sekelilingnya mengamini kalimat barusan.

Iya, dia jahat, itu jelas sekali. Luhan bahkan menyadari beberapa teman Chaerin memusuhinya  karena ini. Tapi sepertinya begitu lebih baik, dia tidak rela bila harus mengorbankan Chaerin demi egonya. Karena dia tahu gadis itu menyukainya sejak SMA, dan kejam sekali rasanya bila membiarkan Chaerin berpikir seolah memiliki kesempatan meluluhkan hatinya.

Chaerin adalah gadis yang menyenangkan, juga teman favoritnya, Luhan tidak akan melakukan itu padanya.

Sementara para gadis yang bersamanya belakangan ini berbeda.

“Relaks saja, bagaimana, Hyung? Lebih baik kau berkencan serius kalau benar-benar siap. Meniru Baekhyun bukan jalan keluar yang benar, ini tidak baik untuk kesehatanmu.” Chanyeol berkata lagi (seraya menyuruh diam saat Baekhyun kembali protes ketika namanya disangkutkan).

Kalau keadaannya normal, mereka mungkin akan terpingkal menertawai obrolan ini, tapi tampaknya saat ini semuanya sedikit tegang karena tak ada satupun yang terkekeh seperti biasa. Luhan bisa melihat adanya canda di akhir kalimat, tapi dia tidak tertawa. Dia bahkan sudah tidak lagi tertarik untuk melanjutkan pembicaraannya.

Sungguh, ini benar-benar bukan urusan mereka. Luhan tidak habis pikir kenapa mereka sampai repot mengadakan pertemuan ini, mendudukkannya, hanya untuk mengatainya dengan berbagai istilah.

Kau terlihat seperti orang depresi.

Kau sakit.

Kau menyedihkan.

Menyedihkan. Itu sebutan paling mematikan sepanjang sejarah. Seakan-akan dia virus menular yang seharusnya dimusnahkan, dan semua ini tidak ada artinya. Tapi mereka tidak tahu. Mereka tidak merasakan apa yang dia jalani dan perjuangkan saat ini.

Mereka tidak akan mengerti.

“Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Bubar.” Perintahnya.

Tidak ada yang bergerak. Luhan harus mengancam mereka—dengan mengeluarkan ponsel—akan mengeset lokasinya saat ini. Dan mereka menyadari bagaimana dampaknya berita itu bagi teman-teman selebritisnya ketika para penggemar mereka membombardir sudut taman ini dalam hitungan menit. Salah seorang temannya selebriti papan atas, dan lainnya kini sedang naik daun. Hanya dengan sekali enter pertemuan ini akan berakhir, tapi mereka menghentikannya. Satu-persatu teman-temannya membubarkan diri, dan berlari ke tengah lapangan bermain basket dadakan.

Kecuali satu orang yang masih duduk di sampingnya tanpa suara. Jongin, yang hanya diam sepanjang obrolan mereka mengenai ‘kegiatan’nya malam ini. Bahkan bisa dibilang anak itu hampir tidak mengatakan apa-apa padanya sejak datang.

Mereka duduk di sana dalam posisi dan keadaan yang sama setidaknya hampir tiga menit sampai sebuah kalimat terlontar, “Tidak bisakah kau tidak melakukannya lagi?”

“Jongin, sudah kubilang aku tidak ingin membicarakannya.”

Jongin selalu bilang bahwa dia ingin sekali bicara dengannya, tapi tidak pernah ada waktu. Banyak sekali yang terjadi setahun belakangan ini, itu termasuk saat Jongin memutuskan untuk menandatangani kontrak kerja bersama agensi Taemin bulan Februari lalu, kemudian debut bersama Oh Sehun dalam sebuah grup musik bernama EXO sebulan kemudian.

Mereka hampir tidak pernah bertemu, hanya saling sapa melalui video call ketika Baekhyun atau Chanyeol meneleponnya. Bisa dibilang ini pertemuan pertamanya dengan Jongin sejak pesta musim dingin lalu di Eructo Feliz. Anak itu pasti punya banyak sekali hal yang ingin dikatakannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” Jongin bertanya lagi, belum menyerah.

Aku sedang berperang, itu yang terjadi. Luhan menjawabnya, hanya di dalam hati.

“Dia tidak akan menyukai ini, kau tahu itu kan. Dia tidak akan suka kalau tahu kau bersikap seperti ini.  Ini salah, kau tahu kan. Ini salah.”

Kau yang salah, dia tidak akan peduli. Masih dari dalam hatinya.

“Kenapa kau tidak menyalahkanku saja? Kalau itu membuatmu lega, daripada terus seperti ini lebih baik lampiaskan saja kemarahanmu. Aku akan menerimanya.” Jongin menampisnya lagi.

Luhan tahu hingga saat ini Jongin masih menyesali drama yang terjadi di antara mereka dan dia. Mereka selalu tampak biasa saja di depan semua orang, seperti baik-baik saja, tapi Jongin selalu menunjukkannya dengan jelas saat mereka hanya berdua. Dan Luhan amat, sangat, tidak menyukainya. Ini seperti saat dulu, ketika mereka masih kecil, Jongin pernah tidak sengaja mendorongnya dari puncak benteng di area main anak-anak, membuat kakinya retak. Jongin menyalahkan diri dan terus menerus meminta maaf selama sebulan penuh.

Dia tidak suka bila Jongin terus mengatakannya sepanjang waktu.

“Lalu apa yang akan kaulakukan kalau aku menyalahkanmu?” Luhan bertanya. “Apa itu akan membuatnya kembali? Apa waktu bisa diulangi?”

Kini Jongin tidak menjawab.

“Aku tidak percaya kau masih saja membahasnya, Jongin. Yang sudah terjadi tidak akan bisa kauperbaiki, sudah berapa kali aku mengatakannya. Aku ingin melupakannya, bila kau tidak bisa, maka simpanlah sendiri. Itu hukumanmu, bukan urusanku.”

Begitu mengatakannya, Luhan beranjak dan pergi. Kesalnya sudah berada di puncak hingga dia rasanya ingin memukul Jongin karena ini. Dia tidak ingin terpancing, tidak ingin tersulut amarah hanya karena memori yang sudah lama. Dan Jongin selalu saja begitu. Anak brengsek itu seolah tidak ingin dia hidup tenang, melihat mukanya saja seolah ingin minta dihajar.

Luhan berhenti melangkah. Seketika dia sadar bahwa ini yang mungkin Jongin inginkan. Melihat amarahnya memuncak dan melampiaskannya dengan nyata. Meski belum seluruhnya keluar ….

Kepalanya tertunduk, matanya terpejam sesaat. Ketika dia berhenti dan berbalik, Jongin menatapnya dengan senyum sumringah.

“Ya, seperti itu,” Kata anak itu, kemudian, “Lanjutkan saja.”

Brengsek.

“Kau beruntung aku punya kontrol yang bagus.” Ujar Luhan, sebelum dia berlari menghampiri Jongin dan memukuli anak itu dengan kepalan tangannya tanpa ampun.

“Aw! Aw! Aduuuh!”

Jongin tertawa, mengaduh, tapi tidak meminta ampun. Dia menerima semua pukulannya dengan senang hati, seperti masokis psikopatik.

Lalu teman-temannya bergabung, beberapa ikut memukuli. Dia tertawa, mereka juga tertawa. Lalu dia menangis.

Apalagi yang dia butuhkan bila teman-temannya di sini?

Luhan ingin memberitahu mereka bahwa beginilah caranya tetap bersiteguh, to keep him sane. Dia hanya perlu waktu, dan membiarkan waktu itu menjawab kapan harus berhenti berjalan. Yang terpenting dia sudah berusaha untuk melangkah.

Karena saat ini dia seperti prajurit perang di ujung perjuangan. Dengan terus maju, dia akan baik-baik saja. Meski hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi pada dirinya, itu nanti saja. Perjalanannya masih panjang, dan seorang pahlawan adalah mereka yang hidup dengan mimpi-mimpi buruk di medan pertempuran. Membawa bekas-bekas lukanya sebagai bukti kemenangan.

Dan bekas luka itu membuatnya dewasa. Bekas luka itu menuntunnya keluar dari hujan panah dan peluru tembak, menjadi senjata perlindungan, pertahanan, juga kekuatan.

Lalu pada akhirnya, segala sesuatu akan indah pada waktunya.

.

.

.

* * *


Filed under: fan fiction, one shot Tagged: Byun Baekhyun, Kim Jongin, Kim Minseok, Lee Taemin, Lu Han, Park Chanyeol

Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles