Credit pict; here
Iya, sesuatu itu adalah Kiarakuma, dan rupanya, kurator sinting itu tahu benar apa yang sedang kurasa dan kuinginkan.
.
Kiarakuma.
Namanya bagus, kan? Aku tak ingat kapan menamainya begitu. Sekonyong-konyong nama itu menetes dari bibir ketika sosoknya didekap erat oleh sepasang mataku.
Saat pertama kali menemukannya, dia sedang berdiri di samping piano tua. Tubuhnya yang indah terbalut kain usang berwarna merah dengan corak bunga tulip yang menyakitkan mata. Wajahnya tampak polos, tapi seksi.
“Kau menyukainya?” Kala itu, seorang teman bertanya padaku sambil tersenyum penuh maksud. Sejurus aku terdiam dan gelagatku yang salah tingkah telah menjadi jawaban mutlak atas pertanyaan konyol itu. “Bawa pulang saja, biar kalian sama-sama senang,” katanya sebelum tertawa keras sekali.
“Sama-sama senang bagaimana?” tanyaku pura-pura tak mengerti, tapi temanku malah melengang pergi sambil menghisap cerutunya.
Temanku yang itu memang tak pernah banyak bicara—tak banyak bukan berarti tak pernah—entah karena malas atau memang tak berminat menghambur-hamburkan kosakata. Yang jelas, dalam diamnya dia menjelma menjadi pemerhati yang hebat. Entah harus senang atau marah saat tahu jika diriku menjadi satu dari sekian banyak objek yang diperhatikannya. Tapi kalau dipikir-pikir, untuk apa aku marah? Toh dia tidak menghakimiku.
Aku ingat, di suatu malam dia pernah datang ke rumahku sambil membawa tiga botol besar bir hitam. Begitu kubukakan pintu, dia cekikikan sambil bertanya, “Bagaimana? Asyik, kan, dia?” Kujawab saja apa adanya; ya, Kiarakuma adalah makhluk paling asyik yang pernah kutahu. Aku suka dia dari atas sampai bawah dan dari luar sampai dalam.
Kami pun duduk bersama di ruang televisi, minum bir sambil makan kacang. Dia bercerita tentang bisnisnya yang sedang oke, istrinya yang selingkuh, dan anak perempuannya yang ‘dibawa kabur’ oleh juragan minyak. Ah, tentu saja bercerita di sini adalah bercerita a la dia; ngawur, memakan kacang atau meneguk birnya setelah berhasil menyelesaikan satu kalimat. Tak perlu lah prolog atau apa, tahu-tahu konflik ceritanya ia muntahkan, lalu dengan dinginnya dia akan bilang, “Aku tak tahu, sebenarnya ini masalah atau lelucon?” Ya, katanya sejak dulu dia selalu kesulitan untuk membedakan mana masalah dan mana lelucon. Parah sekali hidupnya.
“Apa kau punya rencana untuk merajut kisah cinta sungguhan?”
Pertanyaan yang dilontarkan pria itu selalu saja membuatku seperti tengah dicium Medusa. Aku tak mengerti, dia itu punya sejenis indera keenam atau apa. Aku selalu merasa tertangkap basah setiap kali ditanyai ini dan itu olehnya. Mengerikan.
Aku kenal dia enam bulan lalu. Di Jogja, ketika aku hadir ke acara pameran seni. Dia adalah kuratornya—kurator sinting bisa dibilang. Saat pertama kali melihatnya, kata sinting langsung menggantung di depan wajah. Padahal kalau dilihat secara visual dia itu relatif normal, saat pertama kali berbincang pun kurasa dia cukup waras. Tapi, kesintingannya langsung menguar saat ia membisikkan sesuatu ke telinga kiriku. “Lihat, deh, yang di pojok itu. Seksi banget, kan?” Aku tahu dia sedang serius, karena beberapa detik setelah mengumandangkan pernyataan eksentrik itu, ekspresi wajahnya menjadi—ah, sudahlah—mungkin hanya kami yang pria saja yang paham.
Oh, kembali ke cerita.
Setelah terpekur beberapa saat, aku pun menjawab, “Tidak tahu, mungkin punya. Memangnya kenapa?”
Dia terdiam, lantas meneguk birnya dengan perlahan. Ekspresinya seperti koboi yang mampir ke bar untuk meratapi nasibnya yang baru saja kalah judi. “Tidak usahlah, rasanya tidak enak.” Dia menatapku. “Puasnya tidak sampai sini,” bisiknya sambil menunjuk dada. Hah, sok melankolis.
Eh, omong-omong, apa aku sudah bilang kalau gap umur kami lumayan jauh? Ya, tujuh belas tahun. Januari kemarin dia baru ulang tahun yang ke empat puluh dua, sedangkan September nanti usiaku baru menginjak dua puluh lima.
Senang rasanya saat tahu kalau dia tinggal di Bandung, plus punya toko barang antik di daerah Hegarmanah yang biasa dikunjungi oleh anak-anak muda yang sok mengerti estetika seperti aku. Tempat itu seperti surga. Kami bisa ‘senang’ tanpa harus bersenggama dengan siapa atau—yah, mungkin—apa. Hahaha.
Dan sore itu, aku melihatnya bertengkar dengan seorang wanita bule. Tak kusangka, wanita itu ternyata adalah istrinya. Sekilas wajahnya seperti Felicity Jones, tapi entah kenapa cara pria itu menatapnya seperti sedang menatap tumpukan sampah.
“Umurmu berapa?”
Tiba-tiba dia datang menghampiriku yang sedang mengelus permukaan sebuah koper yang terasa halus—begitu menggetarkan. “Menuju dua puluh lima.”
“Sudah tidur dengan perempuan berapa kali?”
Hah, dasar gila. Kenal saja belum lama tapi pertanyaannya sudah membuatku panas dingin. “Belum pernah,” jawabku langsung.
“Oh. Apa yang kausuka itu laki-laki?” Aku menggeleng. “Makhluk hidup memang merepotkan. Tidak apa-apa, aku mengerti, kok.”
“Ya, terima kasih.”
“Kau naksir koper itu?”
Mataku melebar, dan—sialnya—matanya yang kebetulan menatapku langsung menghantarkan komando pada otaknya agar meloloskan ekspresi yang sangat mudah terbaca olehku. “Jangan dia, dia itu… gampang berkhianat. Yang lain saja, lagipula aku tak menangkap sinyal bahwa kalian berjodoh.”
Aku terkejut. Kepalaku mendadak sakit; rasanya seperti baru ditimpuk Burj Khalifa. Refleks aku meninggalkannya, berjalan menuju ruang depan di mana di sana terdapat alat musik dan guci-guci tua.
“Cerutu ini enak, mau coba?”
Sialan.
Saat itu aku bahkan tak sadar kalau dia mengekor di belakang. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi, tapi ada sesuatu tengah menyita perhatianku secara besar-besaran, makanya aku menunda kepergianku sedikit lebih lama. Iya, sesuatu itu adalah Kiarakuma, dan rupanya, kurator sinting itu tahu benar apa yang sedang kurasa dan kuinginkan.
“Kau menyukainya?” tanya pria itu.
Uh, tepat sasaran.
-fin.
A/N:
- Kiarakuma adalah nama anak dari Iga Massardi, tak pinjem ya mz namanya. Heuheu, lucu.
- Um, ya, benar. Pria-pria di atas memang mengidap objectophilia. Kasian.
Filed under: one shot, original fiction Tagged: Si Kurator Sinting dan Kiarakuma
