Quantcast
Channel: saladbowldetrois
Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

[Vignette] Julie

$
0
0

large

Julie by theboleroo

~

Sejujurnya, aku tak memiliki pendefinisian yang padan untuknya. Sempurna? Barangkali kosakata itu berbau gombal dan dusta, namun ada kalanya terdengar begitu pas bila ditujukan untuknya—lebih pas dari pulasan gincu merah ceri di sepasang bibirnya yang penuh dan memesona, jika kau ingin tahu.

Aku mencintainya.

 

//

Aku sudah mengenal Julie―yeah, aku lebih suka nama barunya―di sepanjang hidupku, jauh sebelum kami tahu apa itu teman. Julie memiliki banyak robot-robotan, dan insting kepicikkanku sudah bekerja dengan baik sejak berumur enam. Aku selalu mengikuti Julie ke mana pun, berpolah menjadi teman yang baik dengan tujuan ingin memonopoli semua mainannya. Julie nampak tak pernah keberatan, bahkan di ulang tahunku yang ke sepuluh, ia memberikan satu box robot-robotannya kepadaku.

“Aku benci robot-robotan, itu saja. Jangan banyak bertanya dan terimalah hadiahku.”

Kami menghabiskan masa-masa remaja awal dengan bermain game. Julie adalah gamer yang hebat dan aku iri. Ia mengoleksi banyak kaset game di kamar, temasuk game masak-masakkan yang ia simpan di tumpukkan baju. Entah apa maksudnya. Selain main game, kami juga menghabiskan waktu dengan bermain bisbol. Tidak, Julie bodoh di bidang olah raga, namun aku selalu mengancam hingga akhirnya dia mau bergabung di tim bisbol sekolah. Ya, meski tak dapat dipungkiri bahwa permainan Julie adalah yang terburuk di antara kami. Hm, lalu… yeah, aku tak begitu ingat hal apa saja yang sudah kulakukan bersama Julie sebelum menginjak umur enam belas.

Oh. Saat di high school, Julie pernah memacari Lily Ridgeway, gadis berambut pirang yang disinyalir adalah yang tercantik di sekolah. Lagi-lagi aku iri, terlebih ketika tahu bahwa Julie pernah bercinta dengannya. Aku tak menyangka jika lelaki pasif macam Julie bisa melakukan hal itu, sungguh di luar dugaan.

“Lily memaksaku. Dia yang sibuk, jika kau ingin tahu.” Aku terpaku mendengar hal itu. Antara geli dan jengkel, lebih tepatnya.

Kami memiliki sifat dasar yang bertolak belakang. Julie adalah sosok yang lembut, sedangkan aku cenderung keras kepala. Sejak dulu, ia selalu di pihak yang kalah dan tak pernah bosan untuk mengalah. Aku selalu merasa lebih baik darinya, meski kenyataannya tidak seperti itu. Gadis-gadis yang mengejar Julie lebih banyak, nilai akademisnya selalu tinggi, dan dia sedikit lebih menarik dariku, kurasa. Tapi, ia selalu nampak tak acuh dengan apa yang sudah dimilikinya, entah mengapa.

Julie tak pernah sepenuhnya terbuka terhadapku, mengenai apa pun. Termasuk soal apa yang paling disukainya di dunia ini. Yang kutahu, Julie adalah lelaki berparas tampan dengan tampilan yang kepalang rapi, ia mengoleksi berbagai macam parfum mahal yang kebanyakan berbau sedikit feminin. Hm, hal itu tak menimbulkan tanda tanya besar bagiku, sebab aku berpikir bahwa itu adalah sisi eksentrik yang dimilikinya. Tak ada yang salah. Sungguh tak ada yang salah setidaknya sebelum aku menemukan sebuah kotak berisi make up yang disimpan di kolong tempat tidurnya, sebuah tulisan tangan berbunyi ‘the most favorite thing’  tertera di post it oranye yang ditempel di permukaan kotak. Kupikir, kiamat sudah datang. Namun sedetik kemudian, aku sadar bahwa aku berlebihan.

Aku mematung. Julie tidak mungkin seperti itu. Tapi sayangnya dia memang seperti itu lantaran kurang dari 12 jam setelah kelulusan kami bergulir, aku memergokinya tengah asyik ber-make up ria di kamar jam satu malam. Aku ingat, Julie menangis dan memintaku untuk tidak menjauhi apalagi membencinya.

“Aku lahir di raga yang salah.” Ujar Julie sembari terisak, aku hanya membisu dan tanganku belum berhenti membelai punggungnya tanpa pernah berpikir bahwa Julie akan pergi, meninggalkanku di sini.

//

Lebih dari satu dekade Julie menghilang. Di suatu malam, aku menikmati film kartun favoritnya. Dulu, dulu sekali kami sering menontonnya bersama. Tentu dengan dibarengi rentetan kalimat hinaan yang kulontarkan sementara Julie hanya bergeming sembari menjaga fokusnya agar stabil. Dan bel apartemenku pun berbunyi tepat di mana ketika sebuah adegan Tom dan Jerry memutuskan untuk berdamai dan bersalaman—dan ini adalah adegan yang sangat langka. Di bunyi keempat, aku baru membuka pintu. Kau tahu? Seorang wanita nyaris membuatku mati di ambang pintu. Parasnya kepalang jelita, mini dress yang terkesan sensual membalut tubuhnya yang kecil dan ramping, rambut brunette-nya tergerai indah sampai bahu, wewangian bunga fressia bercampur buah pir begitu jelas tercium. Ia tersenyum kepadaku, jenis jinjitan sudut bibir yang kepalang familiar. Tak salah lagi, wanita itu adalah Julie.

Julie membangun hidupnya lagi dari titik yang mungkin jauh di bawah nol. Ia melakukan operasi transgender tak lama setelah ia menghilang, namanya pun berubah menjadi Julie Gilmour. Tapi, dua informasi itu tak lantas memuaskan rasa ingin tahuku. Pergi ke mana dia selama ini? Dari mana uang yang didapat untuk melakukan semua operasi itu? Di mana ia tinggal setelahnya? Bersama siapa? Apa dia aman? Apa dia selalu baik-baik saja? Apa dia sempat berkuliah? Apa pekerjaannya sekarang? Apa, apa, apa, apa, dan apa yang lainnya begitu kejam menyerang kepalaku secara membabi buta.

Namun, Julie bungkam dan tetap enggan untuk menjawab puluhan—atau bahkan ratusan? Entahlah aku tak menghitung—pertanyaanku. Rasa penasaranku memuncak hingga akhirnya bertumpah ruah menjadi amarah yang tak terkendali. Aku memaki Julie, bahkan nyaris meninju wajahnya. Kami bertengkar hebat malam itu, ia menangis dan aku melempar beberapa barang hingga rusak—bahkan beberapa ada yang pecah berkeping-keping. Dan aku menyerah, ketika rentetan kalimat itu terucap di sela-sela isak tangisnya.

“Anggap Julie tak pernah memiliki masa lalu, anggap saja jika hidupnya baru dimulai setelah bertemu denganmu. Kautahu? Di dunia ini tak ada yang bisa kupercaya sepenuhnya selain dirimu dan diriku sendiri.”

Aku roboh. Ucapan yang dirapalkannya bagaikan mantra, sejenak aku bisa melupakan masa lalu Julie. Rasa iba dan bersalah nyaris menenggelamkanku. Kala itu, Julie terlihat layaknya gadis rapuh yang nyaris mati oleh takdir yang salah. Aku duduk di sampingnnya, memeluknya tanpa berkata-kata dan tanpa tahu bahwa hidupku tak akan lagi sama sejak saat itu.

//

Kami pergi jauh dari kota di mana kami dilahirkan dan menjalani separuh dari masa remaja kami. Menyewa sebuah flat sederhana dan mulai mencari pekerjaan. Julie mendapat pekerjaan di sebuah salon kecantikan besar sebagai make up artist, sementara aku bekerja sebagai graphic designer di sebuah majalah lokal yang katanya baru berdiri kurang lebih delapan bulan. Secara gaji, jelas Julie lebih besar. Kurasa hal mengenai ‘siapa yang selalu menjadi yang terbaik’ di antara kami tidak pernah berubah hingga detik ini kendati situasinya agak berbeda. Tapi, aku tidak begitu peduli.

Julie tidak berubah, dia masih seperti dirinya yang kukenal dulu. Tenang dan selalu mengalah, tak suka berdebat dan lembut—sekarang jauh lebih lembut sebenarnya, tapi kurasa ini memang Julie yang sesungguhnya. Di empat bulan pertama, aku masih merasa sedikit canggung, tapi tidak dengan Julie. Hari demi hari kami lewati bersama dan aku benar-benar merasa tengah hidup bersama seorang wanita, bahkan sepertinya ia lebih baik dari wanita-wanita yang pernah berkencan denganku.

Dia senang merapikan seluruh penjuru flat termasuk kamarku, menyiapkan sarapan, melepas kacamata dan menutup tubuhku dengan selimut jika aku terlelap saat membaca di ruang teve, selalu menungguku untuk makan malam, menemaniku mengobrol di Sabtu malam hingga Minggu pagi, dan… hal-hal menyenangkan lainnya. Aku gila. Aku benar-benar merasa gila.

Sampai suatu hari Julie pulang lebih terlambat daripada aku, tak ada makan malam dan aku memergokinya tengah berciuman dengan seorang pria di ambang pintu. Itu menjengkelkan dan aku diam. Kupikir itu urusannya lantaran aku pun baru saja menjalin hubungan dengan seorang editor di kantorku. Beberapa kali Julie pulang terlambat dan aku tetap bungkam, namun tak ada yang lebih menjengkelkan ketika aku pulang pukul dua dini hari lantaran sebuah dateline yang mencekik lantas mendapati suara berisik di kamar Julie. Oh, pilon jika aku beranggapan jika Julie tengah bermain UNO bersama teman prianya. Shit.

//

Oh. Aku tak pernah menyangka jika akan ada pertengkaran hebat yang lain di antara  kami. Oke, ini agak sedikit berbeda dan aku benci membahasnya. Namun tingkahnya semakin hari semakin membuatku muak, entah mengapa. Apa aku cemburu? Tidak mungkin. Demi Tuhan aku lebih suka wanita sungguhan, dan aku tidak mungkin mencintai Julie Gilmour.

“Mencampuri urusan pribadi tak ada di dalam kesepakatan kita! Aku berkencan dengan pria mana pun itu urusanku!”

Yap. Kesepakatan yang kami buat kala itu hanya meliputi urusan biaya sewa flat, listrik, telepon, belanja bulanan, dan—baiklah aku malas mendiktenya. Ucapan Julie kali ini benar-benar layaknya sebuah korek menyala yang dilempar ke tumpukkan jerami kering. Amarahku semakin berkobar dan aku tidak dalam keadaan mabuk ketika mendorongnya ke sofa dan menciumnya. Ia berteriak, namun ciuman itu dengan cepat meredamnya. Ia meludahi wajahku, namun tak lantas menghentikan perbuatanku yang semakin menjadi. Aku tak peduli dan tetap menciumnya. Iya, aku cemburu. Aku sepertinya memang cemburu. Aku sudah tidak peduli lagi mengenai siapa yang tidak waras di sini. Well, jika dulu aku ingin sekali memonopoli semua mainannya, maka kali ini dirinyalah yang ingin aku monopoli. Itu saja.

Dua hari semenjak kejadian itu. Kami tak saling bicara. Entah apa yang terjadi, aku tidak tahu. Aku bertanya, dia menjawab. Aku bungkam, Julie berpolah layaknya aku tak ada di sekitarnya. Itu menyakitkan, sangat. Aku mengakhiri hubunganku dengan si editor, aku memutuskan tak pulang selama seminggu dan memilih tinggal di rumah Dominic—rekan kerjaku. Aku tak menghubungi Julie, pun dia tak berusaha mencariku. Aku kacau. Aku membutuhkannya, mencintainya.

Aku memutuskan untuk pulang dan kala itu flat kosong. Dadaku rasanya sakit, aku takut Julie pergi. Bahkan sampai pukul satu dini hari wanita itu belum juga pulang, aku duduk di ruang makan dengan sekaleng bir favorit kami. Menunggunya dengan harapan besar, hingga akhirnya suara derit pintu memusnahkan kecemasanku. Julie datang dengan langkah gontai. Oke, dia mabuk.

Julie meracau, racauan yang manis menurutku. Tak ada manusia yang akan percaya jika wanita ini adalah mantan pria, kurasa. Dia kepalang sempurna, membuat siapa pun gila. Aku menatapnya lekat di samping tempat tidur, wanita itu akhirnya menyebut namaku. Sepasang manik kelamnya terpicing ke arahku lantas berbisik, “Jadi itu kau? Kau sudah pulang?”

Aku tak menjawab dan beralih untuk melepas sepasang stiletto berwarna soft pink-nya. Menarik selimut, menutup sebagian tubuhnya. Julie tetap meracau, bertanya ke mana aku pergi, apa aku masih marah, dan lain-lain. Tak sadar aku tersenyum, rasanya bahagia ketika tahu jika ia masih peduli. Racauannya terhenti ketika aku mematikan lampu dan menutup pintu. Kau harus istirahat, semoga mimpi indah Julie.

“Kau pergi terlalu lama.”

Saat aku berbalik, Julie masih mengenakan pakaian yang semalam dikenakannya, rambut berantakan, dan lingkar hitam tak terbantahkan di kedua matanya. Aku pura-pura tak acuh, berjalan melewatinya sembari mengendus aroma kopi pagi yang baru saja kubuat, dan dia berjalan mengekoriku.

“Ke mana kau pergi selama seminggu ini?”

“Mencampuri urusan pribadi tak ada di dalam kesepakatan.” Sahutku mengikuti ucapannya sebelum menyesap kopi di meja makan.

Wanita itu diam, aku tahu dia benci  melakukan konfrontasi. Aku berani bertaruh bahwa ia tak akan bersikeras menuntut jawaban dariku, berpolah seakan-akan ucapanku tadi adalah akhir dari acara bersitegang kecil-kecilan di pagi buta.

“Aku ingin kita menyelesaikannya sekarang.”

“Maaf, tapi aku harus pergi kerja, Julie.”

Hanya itu yang bisa kuucapkan sebelum pergi meninggalkannya. Tidak, kupikir semuanya sudah selesai. Aku akan pergi jika perlu, aku tak akan menahan Julie jika memang dia yang akan lebih dulu meninggalkanku.

Aku tak keberatan atas kisah cinta sepihak ini. Hahaha, selain sepihak kisah cinta ini juga agak sedikit menggelikan dan tak normal. Setidaknya ideku untuk membawanya pergi jauh dari kota kelahiran kami tidaklah buruk, tak ada yang tahu bahwa kami adalah sepasang pria yang berteman baik sejak kecil. Tak ada yang tahu bahwa Julie adalah wanita buatan, tidak, aku tidak bermaksud merendahkannya. Satu hal, kini aku mencintainya lengkap dengan seluruh kisah hidup yang sudah dijalaninya termasuk masa di mana ia masih menjadi pria. Itu saja. Apa itu artinya aku adalah seorang homoseksual? Demi Tuhan aku tidak peduli, karena jika orang itu bukanlah Julie, jelas aku tak akan mau repot-repot menjadi seperti ini.

Di tengah-tengah kesibukan, sebuah pesan sampai di ponselku. Itu dari Julie yang memintaku untuk tidak pergi ke mana-mana setelah pulang kerja karena dia menungguku di flat. Well, aku menurut saja meskipun sebetulnya ada kerjaan yang harus kuselesaikan hari ini. Tak apa, lagi pula Dominic mengijinkanku, khusus untuk hari ini saja katanya.

Julie sedang duduk sembari memeluk bantal kursi di ruang teve, menyaksikan sebuah acara yang aku yakin dia sudah bosan setengah mati menontonnya. Sejak dulu, Julie memang tak suka reality show. Dan kebiasaan lupa menyimpan remot jelas mempersulitnya, misalnya seperti saat ini.

Julie menoleh ketika aku menggantungkan jaket di kapstok. Sepasang maniknya tetap memerhatikan ketika aku berjalan menyebrangi ruang teve dan membuka pintu kulkas untuk mengambil sebotol air, bahkan pandangan kami masih beradu ketika aku meneguk air. Aku tak punya klu mengenai topik apa yang akan ia bicarakan malam ini. Apa ini perihal rencananya untuk pergi? Aku tak tahu.

Kami duduk bersampingan. Tanpa saling menatap. Sesekali Julie membuka suara, mengajakku berbincang. Aku bertekad untuk tak memperpanjang durasi pertikaian tak penting di antara kami, sesekali aku menggodanya, aku juga menceritakan kekonyolan Dominic dan akhirnya kami tertawa bersama. Kebiasaanku mendorong kepalanya dengan sangat keras ketika bercanda tidak hilang sampai saat ini, aku nyaris lupa bahwa Julie yang sekarang semestinya diperlakukan lebih lembut lagi. Namun, Julie tak pernah protes jadi aku memutuskan untuk tetap seperti itu.

Entah sejak kapan jarak di antara kami merapat. Oh, mungkin gara-gara tadi Julie mencoba menjambak rambutku dan malah aku yang menarik tubuhnya hingga menimpaku. Tapi wanita itu dengan cepat menarik diri, menjadi gugup setelahnya.

“Jadi mengapa kau memintaku pulang cepat?”

Julie terdiam, menyibakkan rambut ikalku ke belakang. Oh, sejak dulu aku memang jarang membiarkan rambutku pendek, sebahu adalah yang terpendek. Begitulah.

Wanita itu tak berkata apa-apa, hanya mendorongku dengan lembut sampai kepalaku bertemu dengan tangan sofa. Demi Tuhan, jantungku berdebar hebat. Debarannya lebih hebat dibanding ketika melihat wanita mana pun bertelanjang. Julie duduk di atas perutku, membelai sisi kanan wajahku dengan punggung tangannya, pun ia mengulas senyum.

“Jangan pernah mencoba meninggalkanku lagi, itu membuatku sulit tidur nyenyak.”

“Kau juga tak menghubungiku, kupikir kau tak lagi peduli.”

Wajahnya memerah, cantik sekali. “Aku takut kau tak merespon, kupikir kau masih marah.”

Aku menggenggam tangan Julie, belaiannya terhenti. “Sejak dulu kau tak berubah.”

“Apa?”

“Terlalu banyak berspekulasi, Miss Gilmour.”

Sepasang bibirnya yang merah memproduksi seulas senyum, membuatku jatuh cinta untuk yang kedua kali. Aku menarik tubuhnya lebih dekat, merengkuh leher Julie dan menciumnya dalam. Kali ini ia tak berontak, bahkan aku berani bertaruh bahwa ia tak bisa menolak. Julie membalas, jantung wanita itu berdebar dan aku merasakannya.

“Apa kau mencintaiku?” Julie bertanya disertai dengan jenis tatapan khawatir. Aku mengambangkan pertanyaan itu beberapa detik, lalu mengajaknya bertukar posisi.

“Menurutmu? Apa kejadian ini tak cukup jelas, Julie?” Aku menunduk, memandang wajahnya yang dibingkai helaian rambutnya yang beraroma lidah buaya. Aku memberinya waktu, sebelum kami melanjutkan acara kami malam ini.

“Kau mengetahui hidupku jauh sebelum aku menjadi seperti ini. Kau tak merasa jijik?” Nada khawatir yang tak terbantahkan terdengar oleh sepasang telingaku, aku menggeleng. “Kau bohong.”

Aku mengecup dahinya. “Tidak sama sekali.”

Julie menarik tubuhku, kami beradu dalam sebuah perasaan terhebat yang pernah ada. “Aku mencintai Julie Gilmour beserta seluruh hidupnya, aku tak akan pernah meninggalkannya, demi Tuhan.” Pelukan wanita itu mengerat. “Apa kau percaya?”

Aku menatap wajahnya lagi, dia mengangguk sangat pelan dan aku tersenyum. “Setelah ini, apa rencanamu?”

Wanita itu menitikkan air mata. Dia bahagia, aku tahu itu. “Hidup bersamamu.”

“Bagus, aku pun memiliki rencana untuk mengubah nama belakangmu menjadi sama sepertiku, Julie. Keren kan?”

Namun ia tak menjawab lantaran aku sudah mengunci bibirnya. Memunggut serpihan kegelisahan Julie, menghapus ketakutannya. Tak ada yang mencintai wanita itu lebih baik daripada aku. Kepingan yang dicarinya kini sudah Julie temukan, dan ia sangat bahagia. Sentuhan malam ini adalah yang terbaik di sepanjang hidup kami. Selamanya akan tetap seperti ini, aku berani jamin.

FIN


Filed under: one shot, original fiction


Viewing all articles
Browse latest Browse all 585

Trending Articles